Sabtu, 02 November 2013

DAULAH UMAYAH PENDIRINYA MUAWIYAH BIN ABI SUFYAN

A.    Pendahuluan
Daulah Bani Umayah berkuasa selama lebih kurang 91 tahun (41-132H). Khalifah yang saling bergantian memerintah adalah 14 orang semuanya dari keluarga umayah. Akhir pemerintahan Bani Umayah di Damaskus adalah pada masa pemerintahan Marwan bin Muhammad yang selalu mengalami pergolakan dengan Bani Hasyim, sehingga berdiri Dinasti Abbasiah, yang juga mewariskan kekuasaan kepada keluarganya.
Timbul permasalahan bagi kita kenapa sebutan Umayah di pakai dalam suatu Negara “Daulah Umayah” tidak di ambil nama dari pimpinannya yang bernama Muawiyah bin Abi Sufyan? Apa sebab di dalam sistem pemerintahan Muawiyah mengganti sistem syuro menjadi sistem pemerintahan yang monarchi Absolut? Apakah sistem ini merupakan bentuk yang sah dari konsep kepemimpinan islam. Sementara pada masa khalifah Arrasyidin tidak menganut hal yang semacam ini.
Dalam sejarah Islam kita akan melihat bahwa Muawiyahlah yang menganut sistem semacam ini yang memberikan kekuasaan kepada kaum keluarga tidak kepada kaum muslimin.
Tulisan ini berupaya untuk menganalisa secara kritis alternatif-alternatif hukum sejarah yang terjadi dalam fragmen pementasan sejarah Bani Umayah. Tindakan Muawiyah mengangkat Yazid sebagai pewaris kerajaan dan tidak menyerahkannya kepada hak kaum muslimin.



B.    Asal-Usul Bani Umayah
Bani Umayah merupakan Daulah Islamiyah yang melanjutkan kekuasaan Khulafaur Rasyidin, di namakan dengan Daulah Umayyah karena nama tersebut berasal dari Umayah Ibnu Abdi Syams Ibnu Abdi Manaf, serta para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Umayah (Bani Umayah), Abang buyut dari nabi Muhammad Saw. Pendiri dinasti ini adalah Muawiyah bin Abi Sufyan. Lihatlah silsilah di bawah ini:

                    Abdul Manaf

               Abd al-Syams                                              Hasyim

                   Umayah                                             Abd Almuthalib

     Abu Al-Ash      Harb       AlHaris  Abu Thalib Abu Lahab Abdullah Abbas Hamzah

       AlHakam    Affan  Abu Sufyan               Ali                        Muhammad

       Marwan      Usman     Muawiyah

Dengan demikian Daulah Umayah masih keturunan Abdul Syams ababng buyut nabi Muhammad saw, selain itu juga masih keturunan Abdu Manaf yaitu salah seorangdari pemimpin-pemimpin kabilah Quraisy di zaman jahiliyah yang menjadi leluhur Daulah Islamiyah.


C.    Proses berdirinya Daulah Umayah
1.    Muawiyah Bin Abi Sufyan (41-60H)
Nama lengkap Muawiyah adalah Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Abdul Syams bin Abdul Manaf. Muawiyah Ibnu Abi Sufyan di lahirkan di Makkah 15 tahun sebelum hijriya. Ia masuk Islam pada saat penaklukkan kota Makkah pada 8H  ketika waktu usianya 23 tahun.
Rasulullah Saw ingin sekali mendekatkan orang yang baru masuk Islam, agar perhatian mereka kepada Islam dapat terjamin dan ajaran Islam benar-benar tertanam dalam hatinya, oleh karena itu Rasulullah mengangkat Muawiyah sebagai anggota sidang penulis wahyu.  Tujuannya supaya Muawiyah lebih akrab dengan beliau.
Dalam perjalanan sejarah hidupnya di zaman Khulafaur Rasyidin, muawiyah telah banyak memberikan andil dalam menumbuh kembangkan agama Islam antara lain:
1.    Di masa khalifah Abu Bakar, Muawiyah ikut berjuang keras menumpas kaum murtad,nabi-nabi palsu, dan orang-orang yang enggan berzakat.
2.    Di masa Umar, Muawiyah di angkat menjadi gubernur Yordania
3.    Di masa khalifah Usman, Muawiyah di jadikan sebagai gubernur di Syam selama 20 tahun.
4.    Di masa khalifah Ali, Muawiyah masih bertahan menjabat sebagai gubernur Syam. 

Pengalaman 20 tahun menjadi gubernur banyak memberikan pengalaman                            kepadanya untuk mengenal lebih jauh sistem social politik yang terbaik untuk tanah Arab. Ia adalah, seorang peneliti sifat manusia, politikus, administrator dan ia seorang orator (ahli pidato).
Suatu pembicaraan penting telah berlangsung antara Muawiyah dengan sahabat-sahabat terkemuka ketika terjadinya kekacauan yang menyebabkan terbunuhnya Usman. Ibnu Qutaibah berkata:
“Pada waktu terjadi kekacauan itu datanglah Muawiyah ibnu Abi Sufyan dari Syam ke kota Madinah. Ia masuk ke sidang yang dihadiri oleh Ali ibnu Abi Thalib, Thalhah ibnu Ubaidillah, Zubair Ibnil’Awwam, Sa’ad ibnu Abi Waqqash, Abdur Rahman ibnu
Auf dan Imar ibnu Yasir. Lalu Muawiyah berkata kepada mereka : “Wahai para sahabat Rasulullah, aku berpesan kepadamu sekalian, agar menjaga orang tua ini ( Usman ) dengan baik. Demi Allah, kalau orang tua ini sampai terbunuh di bawah penglihatan dan pendengaran kamu sekalian, maka kota Madinah ini akan saya gempur dengan bala tentara dan pasukan berkuda”. Kemudian ia menghadap kepada ‘Imar ibnu Yasir yaitu orang yang amat marah kepada Usman, seraya berkata : Hai ‘Imar, engkau tahu bahwa di Syam ada beratus ribu tentara berkuda, yang semuanya mendapat gaji untuk diri, serta anak-anak dan hamba sahaya mereka, Sebab itu, hai Imar, janganlah engkau ikut campur dalam kekacauan ini. Kita hanya dapat mengetahui permulaannya, tetapi kita tidak tahu kapan dan bagaimana kesudahannya kelak.
Dengan adanya persiapan yang sempurna itu Muawiyah berani menantang pengangkatan Ali menjadi khalifah. Dan ia mendapat alasan untuk itu dan seorang yang berhak menuntut bela darah Usman yang telah tartumpah, dan Ali lalai dalam membela Usman, atau sebenarnya telah melindungi pembunuh-pembunuhnya. Sejak itu mulailah berlangsung serangkaian pertempuran yang terpenting adalah pertempuran di Shiffin, dimana Muawiyah mengalami kekalahan di medan perang, tetapi ia menang dalam bidang pengalaman dan politik. Sesudah pertempuran di Shiffin itu terjadilah beberapa pertempuran lagi di mana Muawiyah berhasil melikwidir kekuasaan dan kekuatan musuhnya. Pada saat itu Ali mengalami penderitaan karena perlawanan dan kekuatan Muawiyah, ia juga menderita karena perlawanan dan kekuatan kaum khawarij serta juga perlawanan dari para pengikutnya di Iraq yang bersikap murtad dan munafiq kepadanya, serta enggan memberikan pertolongan.
Menguak kerusuhan-kerusuhan dan huru-hara yang telah mengabaikan terbunuhnya Usman, menemukan banyak aspek dan bidang yang luas. Karenanya, bukanlah sesuatu yang mudah untuk untuk mengklaim, apalagi memasukkannya dalam kategori yang benar menurut hukum Islam. Munculnya pemberontakan di masing-masing daerah dalam realitanya berkembang dengan persoalan-persoalan  yang berbeda-beda, yang mendorong mereka untuk marah sehingga mereka menyalakan api pemberontakan yang melibatkan juga unsure-unsur lemah untuk bergabung dengan para pembangkang tersebut. Namun, asal-muasalnya tindakan tersebut perlu adanya telaah lanjut. Perselisihan itu timbul dalam pelbagai macam  fitnah bagaikan gelombang ombak lautan. Dalam pada itu, penyebab-penyebabnya perlu dilacak melalui berbagai literature sejarah muslim yang refresentatif.

Abu Zahrah berpendapat bahwa diantara penyebab terjadinya fitnah tajam pada masa khalifah Usman adalah berikut ini:
1.    Usman mengijinkan para sahabat atau para pembesar Muhajirin untuk pergi ke daerah-daerah.
2.    Karena Usman terkenal cinta terhadap sanak saudaranya Bani Umaiyyah.
3.    Karena sikap Usman yang lemah lembut terhadap para walinya, walaupun sebagian mereka tidak berbuat adil.
Para pembesar Islam bertebaran di pelbagai penjuru wilayah Islam, setelah sebelumnya Umar mereka dilarang untuk keluar dari Madinah kecuali untuk mengemban amanah atau untuk memimpin tentara. Larangan itu di keluarkan Umar karena dia menghajatkan bantuan mereka dan khawatir kalau kepergian mereka akan mendatangkan fitnah dan mengkritik para hakim sebelumnya. Bilamana mereka menempati suatu tempat, akan mudah mempengaruhi penduduk tempat itu, karena ceritera mengenai peristiwa-peristiwa Rasulullah Saw dalam membela agama Islam, sudah barang tentu banyak orang-orang yang bersimpati kepadanya. Banyak orang akan mengikuti dan menyokongnya. Mungkin karena kecintaannya, atau karena suatu maksud dan keinginan yang tersembunyi. Kalau hal ini terjadi, umat Islam akan menjadi terpecah belah. Masing-masing para sahabat akan dapat menjadikan dirinya raja dengan kebesarannya dan pengikutnya yang banyak. Maka mereka oleh Umar di suruh menetap saja di Madinah agar bisa mengambil manfaatnya.
Pendapat Abu Zahrah yang berkaitan dengan kecintaan Usman terhadap Bani Umaiyyah tersebut didukung oleh Said Ibn Musayyib, yang sedikit menyinggung tentang pengabaiannya terhadap Bani Hasyim. Tak dapat dipungkiri, bahwa asal-muassalnya kecenderungan untuk berkuasa adalah dari dua keluarga besar bani Hasyim dan Bani Umaiyyah. Akan tetapi bani Hasyim telah lebih dahulu ingin menduduki khalifah dari bani Umaiyyah. Secara historis, bahwa bani Umaiyyah, dulu dikota Mekkah, merupakan saingan utama bani Hasyim, puah nabi Muhammad Saw. Dalam berebut pengaruh dan kepemimpinan Quraisy, menarik pula disimak, bahwa ketika Mekkah akhirnya dibebaskan oleh kaum muslimin dibawah pimpinan Nabi, kota suci itu resminya dalam kekuasaan Abu Sufyan, tokoh utama bani Umaiyyah tersebut, nabi bertindak sangat bijaksana dengan memberi kedudukan istimewa dan kehormatan tertentu kepadanya, namun ketika nabi wafat, dendam atau luka lama yang puak utama itu belum seluruhnya tersembuhkan. Dan ketika adanya kebijaksanaan-kebijaksanaan Usman yang dipandangnya tidak adil dan lemah, maka luka lama itu terkuak kembali dengan mudah. Pada gilirannya Usman dihadapkan kepada berbagai gerakan protes yang menghendaki turunnya Usman dari kursi kekhalifahan.

Muawiyah terpilih menjadi khalifah bukanlah atas kehendak umum sebagaimana pilihan khalifah yang berempat. Setelah percaturan Amru seketika mengikat perdamaian dengan Abu Musa al-Asyari di Daumatul Jandal itu, maka sepakatlah orang-orang syam membaiat dirinya. Setelah Ali mati terbunuh sewaktu beliau salat subuh di Masjid Nabawi pembunuhnya seorang khawarij yaitu Ibn Muljam, dan khalifah di pindahkan oleh ahli Iraq kepada  puteranya Hasan, maka oleh Hasan belum cukup jabatan itu sekitar  3 bulan di pegangnya sambil di ajaknyalah kepada Muawiyah berdamai yakni di serahkannya jawatan itu dengan sepenuhnyakepada Muawiyah supaya jangan terjadi perselisihan dan perbantahan penumpahan darah sesama Muslimin.
Oleh Muawiyah ajakan hasan itu di terima dengan sangat gembira. Lalu di kirimnya selembar surat kosong yang telah diberinya capnya sendiri. Hasan boleh menuliskan apa yang diingininya. Beberapa syarat di kemukakan Hasan, di antara-nya:
1.     Agar Muawiyah tiada menaruh dendam terhadap seorang pun dari penduduk                  Irak.
2.      Menjamin keamanan dan mamaafkan kesalahan-kesalahan mereka.
3.     Agar pajak tanah negeri Ahwaz di peruntuhkan kepadanya dan diberikan tiap-tiap tahun.
4.     Agar Muawiyah membayar kepada saudaranya yaitu Husein 2 juta dirham.
5.     Pemberian kepada Bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pemberian kepada Bani Abdi Syams.
6.     Kalau Muawiyah meninggal, supaya jabatan diserahkannya kembali.

Perdamaian berlangsung atas dasar ini, Hasan lalu mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan kepada Muawiyah, kemudian di umumkannya bahwa ia taat dan patuh kepada Muawiyah.
Sesudah itu Muawiyah masuk ke kota Kufah, pada bulan Rabi’ul Akhir tahun 41 Hijriah di mana ia bertemu dengan Hasan, lalu orang banyak membaiah Muawiyah menjadi Ishalifah, Hasan dan Husein turut pula membaiahnya bersama-sama orang banyak itu. Itulah sebabnya maka tahun tersebut dinamakan “ Tahun Persatuan “ karena rakyat telah bersatu di bawah pimpinan seorang khalifah. Setelah itu Muawiyah kembali ke Damaskus yang ditetapkannya sebagai ibukota kerajaannya, yang dulunya menjadi ibukota daerahnya, dan Hasan beserta keluarganya kembali ke Madinah, dimana ia tinggal sampai wafatnya pada tahun 50 atau 51 H.

      D. Ekspansi Imperium Umayah dalam Lintasan Sejarah
Kata Ekspansi berasal dari bahasa Inggris; Expantion, yang berarti perluasan atau pengembangan. Bila di hubungkan dengan kekuasaan bararti perluasan wilayah atau daerah pengembangannya. Hal ini dapat di lakukan dengan tindak kekerasan, melalui peperangan atau strategi lainnya seperti diplomasi dan ekspedisi, dan ekspensi biasanya lebih bersifat opensif.
Imperium umayah berkuasa sekitar 91 tahun ( 41-132 H / 661-750 M ) di bawah kekuasaan empat belas khalifah. Namun seperti di jelaskan di atas, hanya empat khalifah tersebut lah yang banyak berhasil memperoleh kemenangan. Muawiyah bin Abi Sufyan khalifah pertama ( 40-60 H / 660-680 M ).
Kekacauan telah terjadi pada awal masa pemerintahannya, karena tindakannya yang pertama berkonsentrasi penuh memulihkan keamanan dan stabilitas dalam negeri. Delapan tahun kemudian, awal tahun 48 H/ 668 M, Muawiyah menyiapkan espansinya. Sasaran pertamanya adalah ibukota Imperium Romawi (Bizantium); Konstantinopel. Pada hal sebelumnya dia secara terpaksa telah mengadakan perjanjian gencatan senjata dengan Kaisar Romawi-Konstatin, dan pengikut-pengikutnya penduduk Jurjumah. Ekspansi ini bagi ummt islam adalah yang kedua. Yang dilakukan semasa khalifah Utsman bin Affan dengan Amir al-Bahr ( baca ; Laksamana ).Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai panglimanya.
Penyerbuan ke kota Konstantinopel, di dasarkan kepada pikiran Muawiyah yang berhayal, jatuhnya ibukota tersebut akan menyebabkan berlututnya seluruh imperium Romawi sebagaimana halnya Imperium Persia berikutnya setelah ibukotanya AlMadani jatuh.
Ekspansi pertama dan kedua di atas gagal. Walaupun pada ekspansi kedua Muawiyah telah mempersiapkan armadanya sejumlah 1700 kapal lengkap dengan perbekalan dan persenjataan serta mengepung kota itu selama tujuh tahun (54-61H). Namun ia telah berhasil menduduki beberapa pulau sekitarnya;Rhodes, Kreta, Sicilia, dan Arward, di samping Cyprus yang di taklukkannya semasa khalifah usman.  Penyebab utama kegagalan ini, versi Barat karena di temukannya senjata baru dan canggih Greek Fire,  senjata panah berhulu api.
Pada tahun 50H/670M, Tripoli dan Fazzan dapat di kuasai di bawah komando Uqbah bin Nafi. Ketika itu Tripoli berada di bawah Imperium Romawi. Kemudian menjalar ke Tangier, tepian pantai Atlantik, Maghribi, kota Carthagina (sekarang wilayah Tunis). Akibat pertempuran sengit antara tentara Uqbah dan pasukan Romawi, kota Cartaghina lumat dan hancur berpuing-puing.
    Sadar akan kehancuran Cartaghina, Uqbah segera membangun kota baru Kairawan tidak jauh dari cartaghina. Dari kota ini komando angkatan laut di laut Tengah di konsentrasikan, guna melancarkan serangan-serangan berikutnya ke pantai Sicilia, pulau Sardinia, Pantai Italia, Perancis dan Spanyol, bahkan Kairawan kemudian menjadi pusat Dinasti Fatimiyah yang melepaskan diri dari dinasti Abbasiyah.
Pada penghujung 663H, Muawiyah memberi memberi mandat kepada Muhallab bin Abi Shafrah untuk menyerbu wilayah India dan setahun kemudian Kabul serta bagian timur wilayah Afghanistan di taklukkan sehingga empat tahun sebelum Muawiyah mengakhiri kekuasaannya (676M), wilayah Iran, kota Bukhara, dan Samarkand telah di kuasai termasuk juga lalu lintas dagang strategis antara Imperium Tiongkok dan dunia barat.
Di antara pembantu-pembantu utama Muawiyah yang menjadi tulang punggungnya di sebut: Amru bin Ash Al Mughirah bin Syu’bah, Ziyad bin Abihi, Ubaidillah bin Ziyad, Junaidah bin Abi Umayah dan Uqbah bin Nafi.





E. Sistem Pemerintahan Bani Umayah
Sistem teguh kekuasaan Muawiyah, di ubahnyalah dasar pemilihan khalifah yang berdasarkan Syura (pemilihan raya) itu, menjadi hak keturunannya, sehingga lebih banyak di namai raja daripada khalifah.
Perubahan yang pertama kali terjadi ialah dalam pokok undang-undang yang mengatur pengangkatan seorang khalifah atau pemimpin. Sistem tidak ada daya upaya, atau tidak ada rekayasa, sistem pemilihan yang demokratis dalam jabatan khilafahsedikit demi sedikit mulai bergeser. Jabatan khilafah sudah menyerupai kekaisaran dengan istana-istana yang mewah dan penjaga-penjaga yang ketat. Dan sistem kerajaan mudah di mulai dengan berubahnya dengan ketentuan tersebut di atas. Pada masa Muawiyah misalnya, beliau sangat berambisi untuk mengingini jabatan khalifah, dengan cara apapun, dan untuk itu ia telah berperang sehingga berhasil menduduki jabatan khalifah. Perubahan cara hidup khalifah mulai bergeser, kenyataannya bahwa para khalifah adalah “ khalifah raja” yang di tandai dengan cara hidup mewah dan memperhatikan orang-orang yang komitmen terhadap kebijakannya. Dan di mulailah di angkat direktur-direktur atau sekretaris pribadi agar melalui orang tersebut mengetahui hal-ihwal rakyat. Rakyat yang akan menemui khalifah harus berhadapan lebih dahulu dengan pembantu-pembantu khalifah atau tidak dapat secara langsung menyampaikan keluhan-keluhannya kepada kepada khalifah. Perubahan lain yang terjadi ialah hilangnya kemerdekaan mengeluarkan pendapat.
Di bidang Peradilan, juga mengalami pergeseran dan perubahan. Salah satu prinsip-prinsip dasar yang di bangun dalam sistem kekhalifahan sebelumnyaadalah kebebasan seorang hakim. Dan sungguhpun para hakim di angkat berdasarkan keputusan dan di bawah naungan kekhalifahan yang adil dan benar, namun para hakim pada hakekatnya memiliki kebebasan dari segala ikatan dan tekanan dalam memutuskan suatu perkara. Dan tidak seorangpun, betapa tinggi kedudukannya dan besar wibawanya berani ikut campur dalam tindakan mahkamah. Sehingga sangat di mungkinkan sekali seorang hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan khalifah, bahkan sering dalam prakteknya sering melawan mereka. Setelah sistem khalifah berubah menjadi sistem kerajaan, prinsip tersebut di atas tidak dapat lagi di pertahankan, bahkan sedikit demi sedikit mulai lenyap dan hilanglah prinsip dasar kebebasan seorang hakim. Terhadap perkara-perkara yang para penguasa dan para raja-raja terlibat di dalamnya, dengan alas an politis dan pribadi tidak lagi memberikan kebebasan mahkamah adil. Tindakan yang melampaui batas yang di lakukan oleh lembaga eksekutif terhadap lembaga yudikatif tidak dapat di bendung lagi. Sehingga seorang wali atau gubernur mempunyai kekuasaan untuk memecat seorang hakim. Padahal di zaman kekhalifahan (Khulafaur Rasyidin) pemecatan seorang hakim berada di tangan khalifah. Dan masih banyak hal serupa yang tidak mungkin di jelaskan secara rinci dalam kajian ini.


F.    Kesimpulan
Dari uraian tersebut di atas, dapatlah di ambil kesimpulan sebagai berikut:
a.    Asal usul Bani umayah adalah dari keturunan Umayah, salah seorang abang buyut dari Nabi Muhammad Saw (keturunan yang sangat jauh), serta pendiri Bani  Umayah yaitu Muawiyah bin Abi Sufyan.
b.    Penamaan Umayah itu di ambil nama dari buyutnya yang bernama Umaiyah
c.    Di mungkinkan bahwa sistem pewarisan kekuasaan adalah sistem yang di anut sebelum islam pada masa kekuasaan Persia dan Romawi.
d.    Bentuk pemerintahan Islam secara demokrasi belum mempunyai bentuk yang jelas karena Quran tidak menjelaskan perinciannya, karena itu kekhalifahan  adalah karena perkembangan sejarah.

DAFTAR PUSTAKA


1.     Philif K. Hitti, History of  the Arabs, PT Ilmu Semesta Anggota IKAPI, Cet I, Serambi (2008)
2.      Prof.Dr.Hamka, Sejarah Umat Islam, Cet I, 1994, Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura
3.      Jalal al-Din al-Sayuthy, Tarikh al-Khulafa, (Beirut;Dar al-Fikr,t.t)
4.     Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijtima’I, Cet I, Kairo:Maktabah alnahdah al-Misriyyah, 1965
5.     Prof.Dr.A.Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, jilid II, PT. Al Husna Zikra, Jakarta Selatan 2000.
6.     Prof.Dr.H.Nourouzaman shiddiqie, Tamadun Muslim, (Jakarta:Bulan Bintang),1986.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar