A. Pendahuluan
Alquran merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah kepada
rasulnya yang terakhir yaitu Nabi Muhammad saw. Sekaligus sebagai mukjizat yang
terbesar diantara mukjizat-mukjizat yang lain. Turunnya Alquran dalam kurun
waktu 23 tahun, dibagi menjadi dua fase.
Pertama diturunkan di Mekkah yang biasa disebut dengan ayat-ayat Makiyah. Dan yang kedua diturunkan di
Madinah disebut dengan ayat-ayat Madaniyah.
Alquran sebagai kitab terakhir dimaksudkan untuk menjadi petunjuk bagi
seluruh umat manusia (hudan linnas)
sampai akhir zaman. Bukan cuma diperuntukkan bagi anggota masyarakat Arab
tempat dimana kitab ini diturunkan akan tetapi untuk seluruh umat manusia. Di
dalamnya terkandung nilai-nilai yang luhur yang mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia dalam berhubungan dengan Tuhan maupun hubungan manusia dengan
sesama manusia lainnya dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Fazlur
Rahman mengemukakan tentang tema-tema pokok yang terkandung dalam Alquran yang
meliputi : tentang Ketuhanan, kemanusiaan (individu/masyarakat), alam semesta,
kenabian, eskatologi, setan/kejahatan dan masyarakat muslim.[1]
Menurut Ahmad Van Denffer pendekatan terhadap Alquran itu dapat dilakukan
dengan tiga tahapan, yaitu :
Pertama :
Menerima Alquran lewat membaca dan mendengarnya.
Kedua :Memahami pesan-pesan yang dikandung Alquran
dengan cara menghayati, dan kemudian mengkaji makna yang dikandungnya.
Ketiga :
Menerapkan pesan-pesan yang dibawa Alquran lewat pelaksanaan, baik dalam
kehidupan pribadi ataupun kehidupan
masyarakat yang kita jalani[2]
Dan cabang yang dikenal dengan nama “ulumul
quran” tersebut dapat kita pergunakan untuk mencapai pada tahapan yang
kedua, yaitu memahami pesan-pesan dari Alquran lewat pemahaman terhadap nash
dan suasana ketika ayat-ayat tersebut diwahyukan.
B. Pengertian Alquran dan Wahyu
1. Pengertian
Alquran
Berbicara tentang pengertian Alquran, apakah itu dipandang dari sudut
bahasa maupun istilah. Banyak para ulama berbeda pandangan dalam
mendefinisikannya. Qara’a mempunyai
arti mengumpulakan dan menghimpun, dan qira’ah berarti menghimpun huruf-huruf
dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang terusun rapi. Quran pada mulanya seperti qira’ah,
yaitu masdar (infinitive) dari kata
qara’a, qira’atan qur’anan,[3]
Sebagaimana firman Allah :
Artinya :Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya, Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (Al-Qiyamah : 17-18)
Adapun pengertian Alquran menurut istilah yang telah disepakati oleh para
ulama adalah “Kalam Allah yang bernilai mukjizat yang dturunkan kepada “pungkasan” para nabi dan rasul (Nabi
Muhammad SAW) dengan perantaraan malaikat Jibril AS, yang tertulis pada
mashahif, diriwayatkan kepada kita secara mutawatir,
yang membacanya dinilai sebagai ibadah yang di awali dengan surat al-Fatihah
dan di tutup dengan surat an-Naas”[4]
2. Pengertian
Wahyu
Alquran dengan wahyu memiliki kaitan yang erat, karena Alquran merupakan
wahyu Allah yang telah disampaikan kepada nabi Muhammad SAW, sebagaimana Allah
telah menyampaikan wahyu kepada rasul sebelumnya.
Arti kata wahyu sebagaimana dikatakan wahaitu ilaih dan auhaitu, bila
kita berbicara kepadanya agar tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat
yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraan yang berupa rumus dan lambang, dan
terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan
sebagian anggota badan.[5]
Sementara itu menurut pendapat lain yang mendefinisikan wahyu dari segi bahasa (etimologi) maupun secara istilah (terminology) adalah sebagai berikut : Bahwa wahyu secara semantic
diartikan sebagai isyarat yang cepat (termasuk bisikan di dalam hati dan
ilham), surat,
tulisan, dan segala sesuatu yang disampaikan kepada orang lain untuk diketahui.
Sedangkan menurut istilah adalah pengetahuan seseorang di dalam dirinya serta
diyakininya bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan perantaraan atau
tanpa suara maupun tanpa perantaraan.[6].
C. Asal-Usul Studi Quran Pada Masa Muslim
Periode Pertama
Pada masa turunya Alquran ditengah-tengah bangsa Arab dengan segala
aktifitas kebudayaan mereka, setiap ayat diturunkan Allah tidak dipahami
sebagai kalimat-kalimat yang berdiri sendiri, melainkan berkaitan langsung
dengan kenyataan-kenyataan yang mereka hadapi sehari-hari, sehingga untuk
memahami isi kandungan dari ayat tersebut hampi-hampir tidak ditemukan masalah-masalah
yang serius. Selain itu para sahabat nabi, adalah orang-orang yang pintar,
sehingga mereka mampu memahami dan mencerna kesusasteraan yanag bermutu tinggi
dari Alquran.
Dan jika mereka mendapaatkan
suatu ayat yang sukar untuk dimengerti, maka mereka menanyakan langasung kepada
nabi. Jadi praktis pada masa rasulullah dan masa berikutnya (pada masa generasi
sahabat nabi) tidak ada kebutuhan sama sekali untuk menulis atau mengarang
buku-buku tentang ilmu-ilmu Alquran
Disamping telah terpenuhinya
pemahaman mereka terhadap wahyu yang diturunkan, nabi sendiri juga telah
melarang para sahabatnya untuk menulis sesuatu selain yang bukan Alquran,
seperti sabdanya : “Jangan kalian menulis
sesuatu tentang diriku selain Alquran, siapa yang menulis tentang diriku selain
Alquran, hendaklah menghapusnya”.
Larangan beliau ini didorong karena kekhawatiran akan terjadinya percampuran
dengan hal-hal yang bukan Alquran.[7]
Pada masa rasulullah hingga
masa khalifah Abu Bakar dan Umar ibn Khattab, naskah-naskah yang ditulis oleh
para sahabvat yang ditugaskan nabi, dikumpulkan menjadi satu dan disimpan. Dan
ilmu Alquran masih disampaikan melalui lisan. Baru setelah pemerintahan Usman
ibn Affan, di mana pada saat itu bangsa Arab telah membuka diri dengan
bangsa-bangsa lainnya, barulah naskah-naskah itu dikeluarkan untuk ditulis
ulang dan disusun kembali dan kemudian dikirimkan kebeberapa daerah di luar
Arab.[8]
Naskah Alquran yang baru disusun ulang itu dijadikan naskah standar
(induk), yang kemudian dikenal dengan mushaf al-ustmani. Dengan demikian
khalifah Usman telah meletakkan dasar-dasar ilm
rasm Alquran (ilmu tentang bentuk tulisan alquran atau ilm rasam al-Usamani (ilmu tentang bentuk tulisan Alquran yang
disetujui Usman), suatu cabang ulumul quran dari segi penulisannya.[9]
Selanjutnya pada pemerintahan Ali ibn Abi Thalib, dimunculkannya ilmu
tentang alaquran yang mengkaji dari segi tata bahasanya (ilm I’rab alquran). Hal ini disebabkan adanya
pengrusakan-pengrusakan terhadap kaidah bahasa arab yang dilakukan oleh
orang-orang Asing, sehingga dikhawatirkan akan menjalar kepada bahasa alquran
yang natabene bahasa arab. Untuk itu beliau memerintahkan Abul Aswad Ad-Duwali
untuk menyusun kaidah-kaidah bahasa Arab guna memelihara kemurnian alquran
(dari segi tata bahasa) dari permainan dan kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang
yang jahil.[10]
Setelah masa Khulafaurrasyidin, maka muncullah ilmu-ilmu yang membahas
tentang alquran yang dimunculkan oleh para tabi’ dan tabi’in, pada sudut
pandang (bahasan) yang beraneka ragam. Ada
yang membahas tentang penafsiran ayat-ayat yang menghapus dan dihapus oleh ayat
yang lain (ilm nasikh wal mansukh)
dan lain sebagainya. Kemudian setelah itu datanglah masa pembukuan/penuliasan
cabang-cabang ulumul quran. Adapun cabang ulumul quran yang pertama kali
dibukukan adalah Tafsir Alquran. Sebab Tafsir Alquran ini dianggap sebagai
induk dari ilmu-ilmu alquran lainnya.[11]
C. Pendekatan-pendekatan Dalam Studi Quran
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Alquran, pemakalah ingin
menguraikan secara ringkas tentang pendekatan-pendekatan dalam studi Alquran,
antara lain adalah sebagai berikut :
a. Pendekatan Kebahasaan (analisis bahasa)
Telah disepakati oleh semua
pihak, bahwa untuk memahami isi kandungan Alquran dibutuhkan pengetahuan Bahasa
Arab. Dan untuk memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi satu ayat,
seseorang terlebih dahulu harus meneliti apa saja pengertian yang dikandung
oleh kata tersebut. Kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah
memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan ayat tadi.[12]
Dengan kata lain, bahwa
seseorang yang ingin meneliti tentang ilmu-ilmu Alquran harus mengetahui betul
tentang kaedah-kaedah bahasa Alquran itu sendiri dalam hal ini adalah Bahasa
Arab, sehingga ia mampu memahami isi yang terkandung dalam ayat tersebut.
b. Pendekatan Korelasi antar ayat dengan ayat lain
(anlisis ayat per-ayat)
Memahami pengertian suatu kata
dalam rangkaian satu ayat, tidak dapat dilepaskan adari konteks kata tersebut
dengan keseluruhan kata-kata dari ayat tadi.[13] Maksudnya adalah pemaknaan suatu ayat
tidak akan sempurna jika tidak diikuti oleh makna ayat sebelum atau sesudahnya.
Dengan demikian terjadinya hubungan sebab akibat antara suatu ayat dengan ayat
lainnya baik sebelum maupun sesudahnya.
c. Sifat Penemuan Ilmiah
Hasil pemikiran seseorang
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu yang berasal dari dalam dirinya
sendiri maupun dari luar dirinya. Dengan begitu pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. sehingga memaksa pemahaman redaksi
Alquran menjadi berbeda-beda.
Berkenaan dengan pendekatan ini,
Qurais Shihab mengemukakan pandangannya bahwa, apa yang dipersembahkan para
ahli dari berbagai disiplin ilmu, sangat bervariasi dari kebenarannya.
Seseorang bahkan tidak dapat mengatas namakan Alquran dalam kaitan dengan
pendapatnya, jika pendapat tadi melebihi kandungan redaksi ayat-ayat. Tetapi
hal Ini bukan berarti seseorang dihalangi untuk memahami suatu ayat sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Hanya selama pemahaman tersebut sejalan
dengan prinsip-prinsip ilmu tafsir yang telah disepakati.[14]
D. Metodelogi dan Corak Tafsir dalam Studi
Alquran
Selanjutnya dalam pembahasan ini juga akan diuraikan secara singkat
tentang metode-metode dalam mengkaji (studi) terhadap kandungan Alquran.
Setidaknya ada empat metode penting dalam mengkaji isi kandungan Alquran yang
dikemukakan oleh para ahli yaitu : 1.
Metode Tahlily (Analisis ayat per-ayat). 2. Metode Ijmaly (secara global). 3. Metode Muqarin (perbandingan). Dan 4 Metode Mudhu’i / Tematik (bertolak dari tema tertentu).[15]
1. Metode Tahlily (analisis ayat per-ayat)
Dari keempat metode yang dikemukakan adi atas, metode tahlily merupakan
salah satu metode yang paling popular selain metode maaaaaaauadhu’ia/tematik
yang sering digunakan oleh para mufassir untuk mengkaji isi kandungan Alquran.
Adapun pengertian
metode tahlily adalah metode yang “mufassirnya”
berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Alquran dari berbagai seginya dengan
memperhatikan, runtutan ayat-ayat Alquran sebagaimana yang tercantum dalam
mushaf.[16]
Metode tafsir
tahlily ini memiliki aspek-aspek yang sangat luas dan menyeluruh, di dalam
melakukan penafsiran, mufassir harus dapat memberikan perhatian di segala aspek
yang terkandung dalam ayata yanga ditafsirkannya, dengan tujuan menghasilkan
makna yang benar dari setiap bagian ayat.
Metode ini juga digunakan oleh sebagian besar mufassir pada masa lalu dan
masih terus berkembang pada massa
sekarang. Diantara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ini, ada yang
ditulis dengan sangat panjang, seperti kitab tafsir karya Al-Alussi, Fakhr
al-Din al-Razi dan Ibn Jabir al-Thabari. Ada yanag sedang, seperti kitab tafsir
Imam al-Baidhawi dan Naisaburi, dan ada pula yang ditulis dengan ringkas
tetapai jelas dan padat, seperti kitab tafsir
al-Jalalain karya Jalal al-Din
Suyuthi dan Jalal al-Din al-Mahalli,
dan kitab tafsir yang ditulis Muhammad Farid Wajdi.[17]
Dilihat dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi (corak) yang
terdapat dalam metode tahlily ini, paling tidak ada tujuh corak tafsir yang
dapat dikemukakan, antara lain :
1. Tafsir bil Ma’tsur
Yaitu, metode tafsir dengan menggunakan riwat sebagai sumber pokoknya.
Dengan demikian tafsir ini juga disebut dengan bi riwayah atau tafsir bil
mangqul (tafsir yang menggunakan pengutipan). Penafsiran dalam caorak ini juga
dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu :
- Penafsiran ayat dengan ayat lain.
- Penafsiran ayat Alquran dengan Hadits Nabi
- Penafsiran ayat Alquran dengan pendapat para sahabat.
- Penafsiran ayat Alquran dengan pendapat para tabai’in.
2. Tafsir bi ra’yi
Yaitu, penafsiran yang di lakukan dengan menetapkan rasio sebagai titik
tolak. Tafsir corak ini dinamakan juga dengan tafsir bi ijtihad (tafsir dengan menggunakan ijtihad), karena
tafsir model ini didasari atas hasil pemikiran seorang mufassir. Oleh
karenaitu, bila dibandingkan dengan tafsir bi
ma’tsur, tafsir ini lebih memungkinkan terjadinya perdebatan-perdebatan
penafsiran antara satu mufassir dengan mufassir lainnya. Dengan demikian,
tidaklah mengherankan jika dikalangan para ulama ada yang menolak tafsir model
ini. Karena mereka berpendapat bahwa pemikiran seseorang dapat dipengaruhi oleh
hawa nafsunya.
3. Tafsir adabi ijtima’i
Yaitu, corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat Alquran berdasarkan
ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan
menekankan tujuan pokok diturunkannya Alquran, kemudian mengaplikasikannya pada
tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada
umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat.
4. Bercorak Fikih
Yaitu, tafsir yang berorientasi atau memusatkan perhatian pada fikih (hukum
Islam). Dengan demikian, mufassir dalam corak ini biasanya adalah seorang ahli
fikih yang berupaya menafsirkan ayat-ayat Alquran dalam akaitannya dengan persoalan-persoalan
hokum Islam.
5. Bercorak Tasawuf
6. Becorak Filsafat
7. Bercorak Ilmiah (ilmu pengetahuan)
2. Metode Ijmali (global)
Pengertian metode ijmali adalah
suatu metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan mengemukakan
makna global.
Dengan menggunakan metode ini, mufassir menjelaskan makna ayat-ayat
Alquran secara global (garis besar). Sistimatikanya harus mengikuti urutan
surah-surah Alqauran sehingga maknanya dapat saling berhubungan dalam
menyajikan maknaa-makna ini, mufassir mengemukan ungkapan-ungkapan dari Alquran
itu sendiri dengan menambah kata-kata atau kalimat penghubung sehingga
memudahkan para pembaca untuk memahaminya.
Adapun kitab tafsir yang disusun menurut metode ini antara lain, tafsir Alquranul Karim (Muhammad Farid Wajdi)
dan Al-Wasith (Karya Tim Lembaga
Penelitian)
3. Metode Muqarin (Perbandingan)
Metode tafsir ini menggunakan perbandaingan yaitui dengan membandingkian
antara ayat Alquran satu dengan ayat yang lainanaya dan membandingkan antara
ayat Alquran dengan hadits, serta membandingkan antara mufassir satu dengan
mufgassir lainnya.
Perlu digaris bawahi, bahwa membandingkan ayat Alquran dengan ayat
lainnya dalam metode ini, hanya sebatas pada persoalan redaksinya saja dan
bukan terletak pada bidang pertentangan makna seperti yang dibahas pada ilmu nasikh dan mansukh.
4. Metode Maudhu’i / Tematik
Metode ini memiliki dua bentuk, yaitu :
- Membahas suatu surah Alquran secara menyeluruh, memperkenalkan dan menjelaskan maksi=ud-maksud umum dan khususnya secara garis besar dengan cara menghubungkan ayar satu dengan ayat yang lain, atau antara pokok satu dengan pokok masalah lain. Dengan metode ini surat tersebut tampak dengan metodenya yang utuh, teratur, cermat, teliti dan sempurna.
- Menghimpun dan menyusun ayat-ayat Alquran yang memiliki kesamaan arah dan tema, kemudian memberikan penjelasan dan mengambil kesimpulan di bawah satu bahasan tema tertentu. Melalui kajian seperti ini mufassir mencoba menetapkan pandangan Alquran yang mengacu pada tema tertentu dari berbagai macam tema yang berkaitan dengan alam dan kehidupan. Upaya tersebut pada akhirnya dapat mengantarkan mufassir kepada kesimpulan yang menyeluruh tentang masalah tertentu menurut pandangan Alquran, bahkan dengan menggunakan metode ini, mufassir dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas dalam benaknya dan menjadikan permasalahan tersebut sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan tujuan menemukan pandangan Alquran mengenai hal tersebut.
Demikianlah metode-metode serta corak yang ada dalam mengkaji studi
tafsir yang merupakan ainduaak dari ilmu-ilmu Alquaran lainnya yang terhimpun
dalam satu bahasan yaitu ulumul quran.[18]
E. Perkembangan Studi Quran pada Masa
Selanjutnya
Perlu diketahui bahwa perkembangan studu Alquran ini telah melalui
beberapa fase/masa perkembangan yang sejalan dengan perkembangan agama Islam.
Di awali pada masa nabi Muhammad SAW. Dan kemudian diikuti oleh para sahabat
terdekat (Khulafaurrasyidin) serta
diperluas oleh tabi’i dan tabi’u at-tabi’in serta diteruskan oleh para ulama
yang terbagi dalam beberapa fase yaitu :
a.Fase pertama
(masa hidupnya Nabi SAW hingga abad 11 Hijrah)
Pada masa ini perkembangan studi Alquran sudah dijelaskan pada penjelasan
sebelumnya. Bahwa keadaan studi Alquran pada saat itu masih dalam perumusan
yang dipelopori oleh para sahabat Nabi SAW.
b.Fase kedua (abad III dan X Hijrah)
Pada masa ini, kajian studi
quran sudah mulai berkembang yang ditandai dengan banyaknya ulama yang
mengkhususkan kajian studi alquran pada satu pokok pembahasan, seperti
pembahasan tentang asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, gharibil quran dan ilmu-ilmu lainnya yang
menyangkut tentang alquran. Tidak ketinggalan pembahasan terhadap tafsir alquran
pada masa ini juga telah menjamur.
Dengan meluasnya pengkajian
terhadap studi alquran maka para ulama alquran pada saat itu bersepakat untuk
menggabungkan seluruh kajian-kajian mereka dalam satu bentuk pembahasan yang
dinamakan dengan Ulumul Quran.
Terlebih lagi pada abad V!! Hijrah, dimana pada masa ini muncul istilah Ulumul
Quran yang mudawwan (terpadu). Maksudnya adalah Ulumul Quran yang sistematis,
ilmiah, dan integrative yang perkembangannya disempurnakan oleh seorang ulama
Al quran pada abad X Hijrah yang bernama Imam Asy-Syuyuthi.
c. Fase ketiga
(abad XV! Hijrah / abad modern)
Setelah wafatnya Imam As-Syuyuthi (911 H), perkembangan studi Al-quran
mengalami kemundurun, yaitu dengan terhentinya gerakan penulisan Ulumul Quran.
Baru setelah abad XV! Hijrah atau abad modern gerakan penulisan dan pengkajian
tersebut muncul dan berkembang kembali. Hal ini ditandai dengan banyak
bermunculan ulama yang mengarang Ulumul Quran dan menulis kitab-kitabnya, baik
tafsir maupun macam-macam kitab Ulumul Quran lainnya.
Diantara para ulama yang menulis Tafsir / Ulumul Quran pada abad modern
ini adalah sebagai berikut :
Ad-Dahlawi ; al-
Fauzul Kabir fi Ushulit Tafsir
Thahir al-Jazari
; at-Thibyan Fi Ulumul Quran
Abu Daqiqah ;
Ulumul Quran
M. Ali Slamah ;
Minhaajul Furqan Fi Ulumul Quran
Muhammad Bahist
; Nuzulul Quran ‘ala Sab’ati Ahrufin
Dan lain sebagainya.[19]
F. Studi Quran Dikalangan Orientalis
Orientalis berasal dari kata “Orient”
yang mengandung pengertian “timur”,
kata-kata tersebut berarti ilimu-ilmu yang berhubungan dengan dunia timur.[20] Orang-orang
yang mempelajari budaya timur dari segala aspeknya disebut orientalis atau ahli
ketimuran. Orientalis adalah suatu gaya
berfikir yang berdasarkan pada perbedaan ontologis dan epistimologis yang
dibuat antara timur dan barat.[21]
Secara
defenisitif orientalis ialah segolongan sarjana barat yang mendalami
bahasa-bahasa, budaya, politik, etnis dunia timur, sejarahnya, adat istiadatnya
dan ilmu-ilmunya.[22]
Boleh jadi motivasi awal orang –orang barat mempelajari Islam, tidaklah
untuk menyerang Islam. Mungkin saja pada awalnya mereka benar-benar mempelajri
Islam sebgai suatu ilmu. Namun akhirnya orientalis toh tetap saja membawa bau
sentiment barat (baca: Kristen) terhadap Islam. Sehingga jadilah kajian-kajian
orientalis merupakan syubhat-syubhat yang menimbulkan keragu-raguan dikalangan
muslimin terhadap ajaran Islam, beberapa serangan mereka terhadap Islam antara
lain :
Menghujat
Alquran
Dalam banyak penelitian mereka, para orientalis menyebarkan berbagai
subhat batil seputar Alquran. Seorang orientalis bernama Noeldeke dalam
bukunya, Tarikh Alquran, menolak
keabsahan huruf-huruf pembuka dalam banyak surat Alquran dengann klaim bahwa itu hanyalah
simbol-simbol dalam beberapa teks mushaf yang ada pada kaum muslimin generasi
awal dahulu, seperti yang ada pada teks mushaf Utsmani. Ia berkata bahwa huruf Mim adala simbol untuk mushaf
al-Mughirah, huruf Ha adalah simbol
untuk mushaf Abu Haurairah, huruf Nun
untuk mushaf Ustman. Menurutnya simbol-simbol itu secara tidak senganja
dibiarkan pada mushaf-mushaf tersebut, sehingga pada akhirnya terus melekat
pada mushaf Alquran dan menjadi bagian dari Alquran hingga kini.
Berkaitan dengan sumber penulisan Alquran, kaum orientalis menuduh bahwa
isi Alquran berasal dari ajaran Nsrani, seperti tuduhan Brocelman. Sedangkan
Goldziher menuduhnya berasal dari ajaran Yahudi. Kauam orientalis yakin bahwa
Alquran adalah buatan Muhammad. Orientalis Gibb dalam bukunya, Al-Wahyu Al-Muhammadi, berkata bahwa
Alquran hanya buatan orang tertentu, yaitu Muhammad yang hidup dilingkungan
khusus, yaitu dikalangan Makkah sehingga kehidupan beliau terwarnai oleh apa
yang beliau ungkapkan.
G. Kritik Analisis Terhadap kajian Orientalis
Ternyata tidak semua orientalis,
mempunyai pemikiran sama,dimana mereka mempelajari Islam untuk menyerang Islam
itu, tetapi justru banyak diantara mereka juga yang membela Islam, seperti
William Montogomery Watt, yang diklaim sebagai orientalis objektif dan paling
simpatik terhadap Islam, berpendapat bahwa kebenaran kenabian Muhammad didasarkan pada fakta sejarah umat Islam sendiri. Bagi
Watt, pesan-pesan (massage) wahyu Nabi Muhammad telah mengantarkan komunitas
umat Islam berkembang sejak masa kerasulan Muhammad hingga sekarang, umat Islam
menaati ajaran, merasakan kepuasan dan kebahagiaan, serta menjadi saleh dan
taat dalam keislamannya, meskipun hidup dalam lingkungan yang sulit. Ia
menyatakan,
“These point lead to the conclusion that the view of reality presented in
the Quran is true and from God, and that therefore Muhammad is genuine
prophet.”
(Hal-hal tersebut mmenghasilkan konklusi bahwa pandangan tentang realitas
yang terkandung dalan Alquran adalah benar dan bersumber dari Tuhan. Dengan
demikian, Muhammad adalah nabi yang sesungguhnya).[23]
Hal senada diungkapkan pula oleh G. Margolioth (1858-1940)
“Adapun Alquran menempati kedudukan yang maha penting dalam barisan
agama-agama yang besar di dunia. Meskipun umurnya yang relative muda, ia
mempunyai bagian dalan ilmu kitab yang pernah mencapai keberhasilan, yang belum
pernah dicapai sebelumnya. Alquranlah yang telah mengubah cara berfikir dalam
lingkaran manusia dan membawa anjuran tentang peradaban tinggi dan menggerakkan
bangsa Arab yang sedang dalam alam gulita menjadi suatu bangsa yang gagah
berani. Alquranlah yang telah membawa bangsa itu (Arab) masuk ke medan pemuka agama yang
berdasar politik, sehingga dapat membangun sebuah organiasasi Islam yang
mengagumkan.”[24]
Sekalipun pada akhir kalimat dari kutipan di atas, Margoliuth memberikan
papandangan subjektif, yaitu memandang Islam sebagai “agama yang berdasar politik” dan secara implisit mengidentikkan Alquran sebagai kitab suci
orang Arab, pada beberapa bagian, ia mengakui bahwa Alquran mempunyai peranan
penting dalam sejarah umat manusia dan telah membuktikan dirinya sebagai
penggerak peradaban manusia.
Dari masa ke masa, Alquran juga diposisikan sebagai sebuah teks petunjuk
dan tata aturan tindakan bagi berjuta-juta manusia yang ingin hidup di bawah
naungannya dan mencari makna kehidupan di dalamnya. Alquran membentuk pemikiran
mereka dan mengalir ke dalam literature dan wacana keseharian.
Dalam ungkapan singkat, William A. Graham berkomentar bahwa Alquran
merupakan “A Canonical writing is something
people ready and study, ascripture something people live by and for”
(sebuah teks resmi aturan agama yang daibaca dan dipelajari masyarakat,
sekaligus sebagai naskah yang menjadi landasan kehidupan dan tujuan
masyarakat).
Nur Fadhil A. Lubis menyebutkan bahwa sebagian besar universitas di
Amerika Serikat, juga hampir menyeluruh
di universitas Barat, mempunyai program khusus Quranic Studies sejajar dengan Bible
Studies dan studi kitab suci lainnya. Dari seluruh bagian kajian keislaman,
tidak ada yang lebih sensitive bagi peneliti non-Muslim daripada
anlisis-analaisis Alquran.[25]
Dalam wacana orientalis, studi kritis Alquran merupakan “menu utama”,
sekaligus merupakan kajian paling sensitive disbanding dengan kajian lainnya. Para orientalis menaruh perhatian terhadap studi kritis
Alquran dalam berbagai aspek, dari teks Alquran sendiri hingga terjemahan
Alquran. Di dunia ini ada lebih dari 600 terjemahan Alquran dalam berbagai
bahasa.
Ketertarikan umat Islam dalam kajian Alquran sejak masa awal hingga masa
kini jelas tidak banyak mengundang pertanyaan yang bernada sinis, bahkan
dipandang sebagai suatu keharusan, sebab Alquran merupakan kitab utama dan
menjadi pegangan hidup dalam menjalankan agama. Sebaliknya, pertanyaan atau
bahkan kecurigaan sering dialamatkan
kepada para orientalis ketika umat Islam menghadapai fenomena bahwa para
sarjana Barat yang notanene-nya
non-muslim.
Penutup
Alquran merupakan kitab yang berisikan kalamullah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW melalui malaikat jibril yang didalamnya berisikan
petunjuk-petunjuk kepada seluruh umat manusia.
Untuk memahami petunjuk-petunjuk tersebut dengan benar, maka
diperlukannya berbagai macam ilmu yang membahas / mengkaji alquran itu yaitu
Ulumul Quran, didalamnya memuat seluruh bahasan tentang alquran mulai dari
tafsir alquran yang merupakan induk dari segala macam kajian mengenai alquran
sampai pada ilmu bacaan alquran, yang semuanya itu bertujuan untuk membela
serta mempertahankan kesucian alquran itu sendiri dari segala macam bentuk
gangguan yang tidak mengiginkan kesuciannya.
DAFTAR PUSTAKA
Amanah, H.St. Pengantar Ilmu Alquran dan Tafsir, Semarang: Asy-Syifa, 1994
Al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahits fi Ulumil Quran, terj. Mudzakkir
AS, Studi Ilmu-Ilmu Quran, Jakarta: PT. Litera Antar Nusa, 2000.
Asmuni, M. Yusran,
Dirasah Islamiah I (Pengantar Studi Alquran Hadits Fiqh dan Pranata
Sosial), Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 1997.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, At-Tibyan fi Ulumil Quran, terj. Muhammad Qadirun Nur, Jakarta: Pustaka Amani,
2001.
As-Shalih, Subhi.
Mabahits fi Ulumil Quran, terj. Membahas Ilmu-ilmu Alquran, Jakarta: Fustaka Firdaus,
1985.
Djalal, Abdul. Ulumul Quran, Surabaya: Dunia Ilmu,2000
D.S. Margoliouth, Mohammed
and The Rise of Islam, New York:
Book for Librarian Press, 1975.
Mansyur, Kahar.Pokok-Pokok Ulumul Quran, Jakarta: Rineka Cipta,
1992.
Nata, Abudin. Metodelogi
Studi Islam, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2000.
Shiddieqy,
T. M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Alquran/Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Shihab, Quraish. Membumikan Alquran (Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat), Bandung:
Mizan, 1994.
, dkk. Sejarah dan Ulumul Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000.
Watt, W.Montogomery, Islam and Critianity Today:London:
Routledge & Kegan Paul, 1983.
[13] Ibid,
hlm. 108
[14] Ibid,
hal. 107-109
[19] Lihat
Abdul Djalal, Ulumul Quran, hlm.
41-41.
[20] A.
Hanafi, Orientalisme ditinjau dari
kacamata Agama, (Alquran dan Hadits), Pustaka Al-Husna, hal. 9.
[21] Zulfran
Rahman, Kajian nSunnah nabi SAW Sebagai
Sumber Hukum Islam, CV Pedoman Ilmu Jaya, Kerinci, hlm. 135.
[22] Ibid,
hlm. 135
[23] W.
Montogomery Watt, Islam and Cristianity
Today: A Contribution to Dialogue (London, Boston : Routledge & Kegan
Paul, 1983), hlm. 61.
[24] D.S.
Margolioutth, Mohammed and The Rise
of Islam (Freeport, New York: Book
for Librarian Press, 1975), hlm. 45-46.
[25]
Nurfadhil A. Lubis, Kecenderungan Kajian
Islam di Amerika Serikat, Sebuah Survey Kepustakaan, Dalam Jurnal Ulumul
Quran nomor 4 vol. IV, 1993 hlm68-84.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar