STUDI ISLAM DALAM KONTEKS
PENGETAHUAN ILMIAH
Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai agama yang sempurna, ajaran
agama Islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dan dengan berpegang pada
ajaran Islam, seluruh aktivitas umat muslim akan bernilai ibadah. Sesungguhnya
ajaran yang dibawa oleh Islam bersifat universal, sehingga seluruh aspek
kehidupan manusia ini tak satupun yang luput dari jangkauan hukum dan
tatanannya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa ilmu
pengetahuan bersumber kepada Al-Qur’an, juga dijelaskan bahwa dalam banyak ayat
Al-Qur’an, Allah telah memerintahkan manusia untuk berpikir, meneliti, dan
belajar. Hal ini lebih jauh mengokohkan Al-Qur’an sebagai sumber petunjuk bagi
ilmu pengetahuan.
Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari alima – ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui. Ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam, hal ini terlihat dari banyaknya ayat Al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia, di samping Hadits-hadits Nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu. Di dalam Al-Qur’an kata ilmu digunakan lebih dari 780 kali, ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari Al-Qur’an sangat kental dengan nuansa-nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dari agama Islam. Salah satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu, Al-Qur’an, dan As-Sunah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat tinggi.
BAB II
PEMBAHASAN STUDI ISLAM DALAM KONTEKS
PENGETAHUAN ILMIAH
A. Studi Islam
dalam Konteks Pengetahuan Ilmiah
Prinsip
tauhid di dalam Islam, menegaskan bahwa semua yang ada berasal dan atas izin
Allah SWT. Dia-lah Allah SWT yang maha mengetahui segala sesuatu. Konsep
kekuasaan-Nya juga meliputi pemeliharaan terhadap alam yang Dia ciptakan.
Konsep yang mengatakan bahwa Allah SWT lah yang mengajarkan manusia disebutkan
dalam Al-Quran (2:31, 55:2, 96:4-5, 2:239). Di dalam ayat lain 5:1-4 disebutkan
bahwa “Dia telah mengajarkan Al-Qur’an kepada manusia dan mengajarinya
penjelasan (bayan)”.
Wahyu,
yang diterima oleh semua Nabi SAW/AS berasal dari Allah SWT, merupakan sumber
pengetahuan yang paling pasti. Namun, Al-Quran juga menunjukkan sumber-sumber
pengetahuan lain disamping apa yang tertulis di dalamnya, yang dapat melengkapi
kebenaran wahyu. Pada dasarnya sumber-sumber itu diambil dari sumber yang sama,
yaitu Allah SWT, asal segala sesuatu. Namun, karena pengetahuan yang tidak
diwahyukan tidak diberikan langsung oleh Allah SWT kepada manusia, dan karena
keterbatasan metodologis dan aksiologis dari ilmu non-wahyu tersebut, maka
ilmu-ilmu tersebut di dalam Islam memiliki kedudukan yang tidak sama dengan
ilmu pengetahuan yang langsung diperoleh dari wahyu. Sehingga, di dalam Islam
tidak ada satupun ilmu yang berdiri sendiri dan terpisah dari bangunan
epitemologis Islam, ilmu-ilmu tersebut tidak lain merupakan bayan atau
penjelasan yang mengafirmasi wahyu, yang kebenarannya pasti. Di sinilah letak
perbedaan epistemologi sekuler dengan epistemologi Islam.
Sumber-sumber
pengetahuan lain selain yang diwahyukan langsung misalnya fenomena alam,
psikologi manusia, dan sejarah. Al-Quran menggunakan istilah ayat (tanda) untuk
menggambarkan sumber ilmu berupa fenomena alam dan psikologi (2:164, 42:53).
Untuk sumber ilmu berupa fenomena sejarah, Al-Quran menggunakan istilah ‘ibrah
(pelajaran, petunjuk) yang darinya bisa diambil pelajaran moral (12:111).
Sebagai
akibat wajar dari otoritas ketuhanannya, al-Quran, di samping menunjukkan
sumber-sumber pengetahuan eksternal, ia sendiri merupakan sumber utama
pengetahuan. Penunjukkannya terhadap fenomena alam, peristiwa sejarah,
metafisis, sosiologis, alami dan eskatologis mesti benar, apakah secara literal
atau metaforis. Kaum muslimin mengambil sistem dan subsistem pengetahuan dan
kebudayaan dari al-Quran. Dokumen paling otentik tentang subyek ilmu
pengetahuan (di mana al-quran sebagai katalisator) dapat ditemukan dalam
al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran karya Badruddin al-Zarkasyi.
Dalam
bahasa Arab, pengetahuan digambarkan dengan istilah al-ilm, al-ma’rifah dan
al-syu’ur. Namun, dalam pandangan dunia Islam, yang pertamalah yang terpenting,
karena ia merupakan salah satu sifat Allah SWT. Al-ilm berasal dari akar kata ‘ilm
dan diambil dari kata ‘alamah, yang berarti “tanda”, “simbol”, atau ”lambang”,
yang dengannya sesuatu itu dapat dikenal. Tapi ‘alamah juga berarti
pengetahuan, lencana, karakteristik, petunjuk dan gejala.. Karenanya ma’lam
(amak ma’alim) berarti petunjuk jalan, atau sesuatu yang menunjukkan dirinya
atau dengan apa seseorang ditunjukkan. Hal yang sama juga pada kata alam berarti rambu jalan sebagai petunjuk. Di
samping itu, bukan tanpa tujuan al-Quran menggunakan istilah ayat baik terhadap
wahyu, maupun terhadap fenomena alam. Pengertian ayat (dan juga ilm, alam, dan
’alama) di dalam al-Quran tersebut yang menyebabkan Nabi SAW mengutuk
orang-orang yang membaca ayat 3:190-195 yang secara jelas menggambarkan
karakteristik orang-orang yang berfikir, mambaca, mengingat ayat-ayat Allah SWT
di muka bumi tanpa mau merenungkan (makna)nya.
Sifat penting dari konsep pengetahuan
dalam al-Quran adalah holistik dan utuh (berbeda dengan konsep sekuler tentang
pengetahuan). Pembedaan ini sebagai bukti worldview tauhid dan monoteistik yang
tak kenal kompromi. Dalam konteks ini berarti persoalan-persoalan epistemologis
harus selalu dikaitkan dengan etika dan spiritualitas. (Dalam Islam) ruang
lingkup persoalan epistemologis meluas, baik dari wilayah (yang disebut)
bidang keagamaan dengan wilayah-wilayah (yang disebut sekuler)., karena
worldview Islam tidak mengakui adanya perbedaan mendasar antara wilayah-wilayah
ini. Adanya pembedaan semacam itu akan memberi implikasi penolokan hikmah dan
petunjuk Allah SWT, dan hanya memberi perhatian dalam wilayah tertentu saja.
Wujud Allah SWT sebagai sumber semua pengetahuan, secara langsung meliputi
kesatuan dan integralitas semua sumber dan tujuan epistemologis. Ini menjadi
jelas jika kita merenungkan kembali istilah ayat yang menunjuk pada
ayat-ayat al-Quran dan semua wujud di alam semesta. Konsep integralitas
pengetahuan telah diuraikan al-Ghazali dalam kitabnya Jawahir al-Quran, di mana
ia menegaskan bahwa ayat-ayat al-Quran yang menguraikan tentang bintang dan
kesehatan, misalnya, hanya sepenuhnya dipahami masing-masing dengan pengetahuan
astronomi dan kesehatan. Ibnu Rusyd dalam fasl al-maqal, juga memberikan
penjelasan keterkaitan antara penafsiran keagamaan dan kefilsafatan dengan
mengutip beberapa ayat al-Quran yang mendorong manusia meneliti dan
menggambarkan kajian penciptaan langit dan bumi (7:185, 3:191, 88:17-18).
Dengan hal yang sama, al-Quran juga mendorong manusia melakukan perjalanan di
bumi untuk mempelajari nasib peradaban sebelumnya. Ini membentuk kajian
sejarah, arkeologi, perbandingan agama, sosiologi dan sebagainya secara utuh.
Dalam
41:53, secara kategoris, al-Quran menegaskan bahwa ayat-ayat Allah SWT di alam
semesta dan di kedalaman batin manusia merupakan bagian yang berkaitan dengan
kebenaran wahyu, dan menegaskan kecocokan dan keutuhan yang saling terkait.
Namun, keutuhan dan kesatuan cabang-cabang pengetahuan ini tidak berarti
bahwa disiplin-disiplin itu sama, atau tidak ada prioritas diantara mereka.
Pengetahuan wahyu dalam konsep Islam adalah lebih utama, unik karena berasal
langsung dari Allah SWT dan memiliki manfaat yang mendasar bagi alam semesta.
Semua pengetahuan lain yang benar harus membantu kita memahami dan menyadari
arti dan jiwa pengetahuan Allah SWT di dalam al-Quran untuk kemajuan individu
dan masyarakat.
B. Penggolongan
Pengetahuan Manusia
Perbedaan manusia dan binatang dalam soal
pengetahuan terletak pada taraf perkembangannya. Penegasan ini akan lebih mudah
dipahami dengan analogi yang dikutip Jujun S. Suryasumantri dari ceramah
seorang ilmuan bernama Andi Hakim Nasution: “sekiranya binatang mempunyai
kemampuan menalar, maka bukan harimau Jawa yang sekarang ini akan dilestarikan
supaya jangan punah, melainkan manusia Jawa”. Jujun selanjutnya menegaskan
bahwa kemampuan menalar yang dimiliki manusia menyebabkan manusia dapat
mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaan-kekuasaannya.[1]
Binatang memang memiliki pengetahuan, namun pengetahuan tersebut terbatas pada
usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.
Jujun S. Suryasumantri lebih jauh
menyebutkan penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik kesimpulan berupa
pengetahuan. Penalaran ini akan menghasilkan pengetahuan yang ditempuh melalui
proses berpikir sebagai upaya untuk menemukan pengetahuan yang benar.[2]
Proses penalaran ini pula yang selanjutnya dapat membedakan antara pengetahuan
biasa dengan pengetahuan ilmiah. Sebagaimana disebutkan C.A Van Peursen,
pengetahuan dalam kajian filsafat memiliki keluasan makna tidak hanya meliputi
pengetahuan ilmiah, melainkan juga pengetahuan biasa berupa pengalaman pribadi,
melihat dan mendengar, perasaan dan intuisi, dugaan dan suasana jiwa.[3]
Proses perkembangan pengetahuan manusia dari pengetahuan biasa ke arah pengetahuan
ilmiah yang melibatkan metode dan sistem-sistem tertentu, termasuk di dalamnya
pengetahuan yang dihasilkan dengan jalan filsafat, sebagai sebuah gambaran umum
akan dipaparkan lebih jauh pada makalah ini.
Beberapa tipe klasifikasi telah
dihasilkan dengan berbagai aspek peninjauan dan penghayatan terhadap ilmu-ilmu
yang berkembang, diantaranya klasifikasi oleh Al-Kindi (801 – 873 M), Al-Farabi
(870 – 950 M), Al-Ghazali (1058 – 1111 M), dan Ibn Khaldun (wafat 1406 M).
Pada dasarnya ilmu itu dibagi atas
dua bagian besar, yakni ilmu-ilmu Tanziliyah yaitu ilmu-ilmu yang dikembangkan
akal manusia terkait dengan nilai-nilai yang diturunkan Allah Swt baik dalam
kitab-Nya maupun Hadits-hadits Rasulullah Saw, dan ilmu-ilmu Kauniyah yaitu
ilmu-ilmu yang dikembangkan akal manusia karena interaksinya dengan alam.
Bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits, ilmu-ilmu Tanziliyah telah berkembang
sedemikian rupa ke dalam cabang-cabang yang sangat banyak, diantaranya Ulumul
Qur’an, Ulumul Hadits, Ushul Fiqh, Tarikhul anbiya, Sirah Nabawiyah, dan
lain-lain. Masing-masing ilmu tersebut melahirkan ilmu-ilmu, seperti dalam
Ulumul Qur’an ada ilmu Qiroat, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Tajwid, dan
lain-lainnya.
Bersumber pada ayat-ayat Allah Swt, di alam raya ini akal
manusia melahirkan banyak sekali cabang-cabang ilmu. Ilmu-ilmu yang terkait
dengan benda-benda mati melahirkan ilmu kealaman, terkait dengan pribadi
manusia melahirkan ilmu-ilmu kemanusiaan (humaniora), dan terkait dengan
interaksi antar manusia lahir ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu kealaman melahirkan
ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi, dan lainnya. Ilmu-ilmu humaniora
melahirkan psikologi, bahasa, dan lainnya.
Antara ilmu Tanziliyah dan Kauniyah tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling melengkapi bagi kehidupan manusia. Ilmu Tanziliyah berfungsi menuntun jalan kehidupan manusia, sedangkan ilmu Kauniyah menjadi sarana manusia dalam memakmurkan alam ini. Kadangkala ayat- ayat Al-Qur’an atau teks-teks Hadits memberikan rangsangan bagi manusia untuk lebih menekuni lagi ilmu-ilmu Kauniyah. Sebaliknya, ilmu-ilmu Kauniyah dapat memperkuat bukti-bukti keagungan dan kebesaran ayat-ayat Allah.
Antara ilmu Tanziliyah dan Kauniyah tidak bisa dipisahkan karena keduanya saling melengkapi bagi kehidupan manusia. Ilmu Tanziliyah berfungsi menuntun jalan kehidupan manusia, sedangkan ilmu Kauniyah menjadi sarana manusia dalam memakmurkan alam ini. Kadangkala ayat- ayat Al-Qur’an atau teks-teks Hadits memberikan rangsangan bagi manusia untuk lebih menekuni lagi ilmu-ilmu Kauniyah. Sebaliknya, ilmu-ilmu Kauniyah dapat memperkuat bukti-bukti keagungan dan kebesaran ayat-ayat Allah.
1. Ilmu Pengetahuan Alam
Ilmu
alam adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena alam. Hubungan agama Islam
dengan ilmu pengetahuan dalam bidang alam, Islam bersikap terbuka dan selektif.
Dari satu segi Islam terbuka untuk menerima berbagai masukan dari luar, tetapi
berssamaan dengan itu Islam juga selektif, yakni tidak begitu saja menerima
seluruh jenis ilmu alam yang tidak sejalan dengan Islam. Dalam bidang ilmu dan
teknologi, Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk bersikap terbuka.
Sekalipun Islam bukan timur dan bukan barat, ini tidak berarti Islam harus
menutup diri dari keduanya. Bagaimanapun, Islam adalah sebuah paradigma
terbuka. Ia merupakan mata rantai peradaban dunia ilmu dan teknologi.
Hubungan
agama Islam dengan ilmu pengetahuan dalam bidang alam, dapat pula dilihat dari
lima ayat Surah Al-’Alaq yang diturunkan Allah SWT, kepada Nabi Muhammad SAW di
gua Hira, yang artinya: ”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha Pemurah, Dialah yang mengajarkan manusia dengan pena, Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-’Alaq (96 : 1 –
5 )
2. Ilmu-ilmu
Sosial
Ilmu-ilmu Sosial, yaitu ke ilmu-ilmu yang mempelajari
perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Sifat Ilmu-ilmu Sosial itu spesifik
karena disertai kajian mendalam. Ilmu-ilmu Sosial merupakan terjemahan dari Social
Sciences. Di antara ilmu-ilmu sosial itu ada: (1). Geografi, yang mempelajari
kehidupan bersama manusia dalam hubungan atau interaksinya dengan lingkungan
alam dan sosial; (2). Ekonomi, yang mempelajari bagaimana masyarakat memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidup mereka; (3). Sejarah, yang mempelajari tingkah-laku
(aktivitas) manusia pada masa lalu; (4) Antropologi, yang mempelajari kehidupan
masyarakat tradisional; (5) Sosiologi, yang mempelajari interaksi antarwarga
masyarakat; (6) Hukum, yang mempelajari bagaimana kehidupan masyarakat diatur
dengan undang-undang; (7) Politik, yang mempelajari bagaimana penyelenggaraan
negara dilaksanakan supaya tujuan bernegara dapat dicapai.
3. Ilmu Humaniora
Ilmu-ilmu Humaniora adalah ilmu-ilmu
pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti
membuat manusia lebih berbudaya. Contoh: Teologi, filsafat, hukum, sejarah,
fiologi, bahasa, kesusastraan, dan kesenian.
Humaniora atau Humaniteis adalah
bidang-bidang studi yang berusaha menafsirkan makna kehidupan manusia dan
berusaha menambah martabat kepada penghidupan dan eksistensi manusia menurut
Elwood mendefinisikan “Humaniora” sebagai seperangkat dari perilaku moral
manusia terhadap sesamanya, beliau juga mengisyaratkan pengakuan bahwa manusia
adalah makhluk yang mempunyai kedudukan amung (unique) dalam ekosistem, namun
sekaligus juga amat tergantung pada ekosistem itu dan ia sendiri bahkan
merupakan bagian bidang-bidang yang termasuk humaniora meliputi agama,
filsafat, sejarah, bahasa, sastra, dan lain-lain. Manfaat pendidikan humaniora
adalah memberikan pengertian yang lebih mendalam mengenai segi manusiawi.
Ada
hubungan sangat erat antara antropologi dan humaniora yang kesemuanya
memberikan sumbangan kepada keduanya sebagai kajian umum mengenai manusia. Bagi
para humanis, bahan antropologis juga sangat penting. Dalam deskripsi biasa
mengenai kebudayaan primitif, ahli etnografi tradisional biasanya merekam
sebagai macam mite dan folktale, menguraikan artifak, musik dan bentuk-bentuk
karya seni, barangkali juga menjadi subjek analisa bagi para humanis dengan
menggunakan alat-alat konseptual mereka sendiri.
C. Kajian Islam
dalam Ilmu Pengetahuan Alam
Salah satu fungsi al-Quran
adalah sebagai kitab ilmu pengetahuan. Namun demikian, Al-Quran bukanlah kitab
ilmiah/kitab sains murni seperti kitab-kitab sains selama ini. Al-Quran adalah
kitab petunjuk bagi kebahagiaan dunia dan akhirat, termasuk pula di dalam nya
adalah petunjuk tersirat dan tersurat tentang berbagai ilmu pengetahuan.Hakikat
ilmu-ilmu pengetahuan yang disebut dalam Al-Quran disebutkan secara singkat
namun padat makna, sehingga untuk mengungkap makna yang terkandung di dalamnya,
perlu dilakukan kajian yang sangat mendalam, karena keterbatasan ilmu manusia
dan luasnya ilmu Allah SWT. Adapun seringkali ditemukan beberapa kasus yang
seolah-olah bertentangan antara hasil temuan manusia dengan Al-Quran, pada
hakikatnya kesalahan itu terletak pada metodologi tafsir maupun keterbatasan
akal manusia saja. Sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini dalam ilmu biologi,
yang selama lebih dari satu abad mayoritas umat manusia mempercayai adanya
teori evolusi, teori asal mula kehidupan yang terjadi secara bertahap dan
secara kebetulan, serta menafikkan adanya penciptaan. Akan tetapi, teori-teori
yang salah ini akhirnya dapat dipatahkan oleh cendekiawan muslim, Harun Yahya,
dengan sangat telak. Asal mula kehidupan tetap dengan adanya penciptaan dan
kehendak Tuhan. Hal ini telah ditulis Harun Yahya dalam banyak karyanya. Dalam
hal ini, Al-Quran selalu bersesuaian dengan ilmu pengetahuan, namun akal
manusia belum menguasai ilmu-ilmu tersebut.
Diantara ayat-ayat Al-Quran yang mengandung
isyarat ilmiah dan ilmu pengetahuan antara lain
1. Tentang Penciptaan
QS. Al-Qiyamah: 36 – 39, QS. An-Najm: 45 –
46, QS. Al-Waqi’ah: 58 – 59, QS. Ali Imran : 190.
2. Tentang Asal Mula Alam Semesta
QS. Al-Anbiya’:30, QS. Az-Dzariyaat:53
3. Tentang Gerakan Awan
QS. An-Nuur: 43, QS. Luqman : 29.
4. Tentang Ilmu Geologi
QS. An-Naml: 88, QS. An Naazi'aat : 30 –
31
Yunus:101,
Katakanlah:”Perhatikanlah apa
yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfat tanda kekuasaan Allah dan
asul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman”
Thaahaa:114
Maka Maha Tinggi Allah Raja
Yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al Qur’an
sebelum disempurnakan mewahyukannya kepadamu, dan katkanlah:”Ya Tuhanku,
tambahkanlah kepadaku Ilmu Pengetahuan
Al-Mulk:3-4
Yang telah menciptakan tujuh
langit berlapis-lapis.Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang
Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah
kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?
Kemudian pandanglah sekali
lagi niscaya penglihatanmu akan kembali padamu dengan tidak menemukan sesuatu
cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah.
Al-Alaq:1-5
Bacalah dengan (menyebut) nama
Tuhan-mu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Quran yang berbicara
tentang ilmu pengetahuan, seperti tentang pengobatan dengan madu, tentang
fotosintesis tumbuhan, ilmu kelautan, tentang kalender syamsiyah dan qomariyah,
dan lain-lain.
D. Kajian Islam dalam Ilmu Pengetahuan
Sosial
Masalah-masalah sosial telah menghantui manusia sejak adanya
peradaban manusia, karena dianggap sebagai mengganggu kesejahteraan hidup
mereka. Sehingga, merangsang para warga masyarakat untuk mengidentifikasi,
menganalisa, memahami, dan memikirkan cara-cara untuk mengatasinya. Di masa
lampau, pada waktu belum ada ahli-ahli ilmu sosial, para warga masyarakat yang
biasanya peka terhadap adanya masalah-masalah sosial adalah para ahli filsafat,
ahli dan pemuka agama, dan para ahli politik dan kenegaraan.
Di samping pendekatan-pendekatan tersebut, berbagai disiplin
ilmu pengetahuan yang tergolong dalam ilmu-ilmu sosial (seperti antropologi,
sosiologi, politik, psikologi sosial, komunikasi), juga mencakup berbagai
masalah sosial dalam ruang lingkup studi mereka masing-masing. Walaupun
demikian, pusat perhatian studi-studi mereka itu bukanlah pada masalah-masalah
sosial itu sendiri tetapi pada usaha untuk memahami hakekat manusia, kehidupan
sosial, ekonomi, dan politiknya, masyarakatnya, dan kebudayaannya. Masalah
sosial dilihat sebagai hasil atau akibat dari adanya proses perubahan sosial
dan perubahan kebudayaan. Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan adalah
proses-proses yang secara tetap dan terus menerus di alami oleh setiap
masyarakat manusia, cepat atau lambat, berlangsung dengan tenang ataupun dengan
kekacauan.
Diantara ayat-ayat Al-Quran yang mengandung
isyarat terkait dengan ilmu sosial diantaranya:
1. Tentang Sosial Politik
QS. Ali Imran : 26.
2. Tentang Sosial Ekonomi
QS. At Tatfik : 1 – 3.
3. Tentang Sosial Hukum
QS. Al An'aam : 57.
4. Tentang Pendidikan
QS. Al Alaq : 1 – 5.
E. Kajian Islam
dalam Ilmu Humaniora
Islamisasi tidak lagi berarti menempatkan berbagai tubuh
ilmu pengetahuan dibawah masing-masing dogmatis atau tujuan yang berubah-ubah,
tetapi membebaskannya dari belenggu yang senantiasa mengungkungnya. Islam
memandang semua ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang kritis, yakni universal,
penting dan rasional. Ia ingin melihat setiap tuntutan melampaui teks hubungan
internal, akan sesuai dengan realitas, meninggikan kehidupan manusia dan
moralitas. Karenanya, bidang-bidang yang telah kita Islamisasikan akan membuka
halaman baru dalam sejarah semangat manusia dan lebih mendekatkan kepada
kebenaran.
Humaniora seperti semua
disiplin ilmu pengetahuan lainnya, harus membebaskan dirinya dari visi yang
sempit. Ia harus mempelajari sesuatu yang baru, sederhana, tetapi kebenaran
yang primordinal dari semua ilmu pengetahuan yaitu kebenaran pertama Islam.
Diantara
ayat-ayat Al-Quran yang mengandung isyarat terkait dengan Ilmu Kemanusiaan,
diantaranya :
1. Psikologi (Al Mudatsir : 38)
2. Bahasa (Ar Ruum : 22)
3.
Sastra (Asy Syu’raa : 224 – 227)
F. Pendekatan
Interdisiplin dan Multidisiplin dalam Studi Islam.
Islam selain sebagai ajaran agama
yang khas, juga tampil sebagai sebuah disiplin ilmu, yaitu ilmu keislamam,
diantara disiplin ilmu keislaman sebagai sebuah disiplin ilmu, yaitu
Al-quran/tafsir, hadis/ilmu hadis, sejarah kebidayaan Islam dan pendidikan Islam.
Harun Nasution mengatakan bahwa Islam
berlainan dengan apa yang umum diketahui. Islam bukan hanya mempunyai satu-dua
aspek, tetapi mempunyai berbagai aspek. Islam mempunyai aspek teknologi, aspek
ibadah, aspek moral, aspek mitisme, aspek filsafat, aspek sejarah, aspek budaya
dan aspek ritual lainnya. Inilah yang selanjutnya membawa kepada timbulnya
berbagai jurusan dan fakultas di Institut Agama Islam Negri, STAIN, UIN dan
sekolah tinggi yang bernafaskan Islam di tanah air.
Ajaran Islam secara dominan ditandai
oleh pendekatan normatif, historis dan filosofis. Ajaran Islam memiliki
ciri-ciri yang secara keseluruhan sangat ideal. Islam agama yang mengajarkan
perdamaian, toleransi, terbuka, kebersamaan, kerja keras yang bermutu, adil
seimbang antara urusan dunia dan skhirat. Islam harus berharta, memiliki
kepekaan terhadap masalah sosial kemasyarakatan. Islam wajib mengutamakan
pencegahan dalam bidang kesehatan dengan cara memperhatikan segi kebersihan
badan, pakaian, makanan, tempat tinggal dan lingkungan, Islam juga tampil
sebagai disiplin ilmu keIslaman dengan berbagai cabangnya.
Untuk sampai kepada keadaan yang
mampu bersentuhan dengan berbagai persoalan aktual berkaitan dengan dimensi
kehidupan, manusia memerlukan pendekatan baru yang lebih relevan. Agama tidak
cukup dipahami dari suatu pendekatan saja, melainkan harus dipahami dan
dianalisis dengan menggunakan berbagai pendekatan yang komperhensif, aktual dan
integral. Seseorang yang ingin memahami agama dalam hubungannya dengan berbagai
masalah tersebut perlu melengkapi diri dengan ilmu-ilmu bantu seperti filsafat,
sejarah, antropologi, sosiologi dan ilmu alam lainnya.
Ilmu-ilmu keislamam yang selama ini
terkesan tertutup, sebenarnya tetap konsis dapat diaktualisasikan dan
dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Mengembangkan ilmu-ilmu keislaman,
harus melengkapi diri dengan ilmu bantu dan menguasai teori-teori penelitian
lengkap dengan metodenya, baik secara teoritis maupun praktis. Pemahaman agama
yang komperhensif, aktual dan integral telah memberikan petunjuk praktis
tentang bagaimana ilmu agama itu dipelajari dan diajarkan. Dengan cara ini umat
Islam dapat memahami agama yang utuh dan integral. Juga dapat mengembangkan dan
merespon berbagai persoalan aktual dalam kehidupan modern.
BAB II
KESIMPULAN
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting
dalam ajaran Islam, hal ini terlihat dari banyaknya ayat Al-quran yang
memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia, disamping
Hadis-hadis Nabi Saw yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut
ilmu. Dalam melangsungkan kehidupan, seorang muslim (muslimah) diharuskan
menutut ilmu sebagaimana yang dijelaskan dalam Hadis bahwa : ”Hendaklah
menuntut ilmu sejak dalam buaian sampai ke liang lahat”. Jadi Islam dan
pengetahuan sangat berhubungan dalam menyeimbangkan kehidupan serta penting.
Untuk itu, semua yang mencakup ilmu pengetahuan dan Islam agar terdapat
kesesuaian dalam menjalankan segala aspek yang ada di dalamnya.
Peran Islam dalam perkembangan iptek pada
dasarnya ada 2 (dua). Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qaidah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan.
Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu
pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan,
sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar
bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria
inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat
(pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini
mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah
diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun
ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qaidah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan.
Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu
pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan,
sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar
bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria
inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat
(pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini
mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah
diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun
ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ansari, Undang
Saifuddin, Kuliah Al-Islam, Jakarta: Grafindo Persada, 1992
Basri, Cik Hasan, Tradisi Baru Penelitian Islam;
Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Bandung, 2001
Faruqi, Ismail R, Islam
and Cultur, terj. Bandung: Mizan, 1989
Ma’arif, A. Syafi’i, Islam; Kekuatan Doktrin
dan Keagamaan Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
National Commission For UNESCO. Sumbangan Islam
Kepada Ilmu dan Kebudayaan, terj. Bandung: Pustaka, 1989
Rahman, Fazlur. Al-Quran Sumber Ilmu
Pengetahuan, terj. Jakarta: Rineka Cipta, 1992
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002
Sumaatmajda, Nursid. Pengantar Studi Sosial.
Bandung: Alumni, 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar