NASIKH DAN MANSUKH
A. Pengertian Nasikh dan Masukh
Masalah nasikh dan masukh dan korelasinya dengan Al-Qur’an merupakan hal yang masih hangat untuk dibicarakan. Pendapat seputar konsep ini – dalam fiqh – ushul al-fiqh, dan ‘ulum al-qur’an – masih dilingkupi oleh perdebatan. Karena, sepanjang zaman, masalah nasikh ini benar-benar telah menyita perhatian para pemikir Islam.
Menurut Prof.Dr.Muhammad Amin Suma, di antara kajian Islam tentang hukum (fiqh – ushul fiqh), yang hatta sekarang debatable dan controversial adalah persoalan nasakh, terutama jika dihubungkan dengan kemungkinan adanya nasikh – masukh sesame (internal) ayat-ayat Al-Qur’an. Bahkan, dengan nada yang cukup provokatif, pemikir liberal asal Mesir, Gama al-Banna menyatakan bahwa ide nasih adalah “min akbar al-kawarits al-fikriyah” (‘salah satu malapetaka pemikiran terbesar’) yang menjadikan ulama salaf tergelincir
dan tertipu. Akhirnya, seluruh mereka membolehkannya, bahkan mereka sampai mengatakan bahwa itu merupakan ijma’. Bahkan, mereka menolak Imam Al-Syafi’I, yang menyatakan bahwa Sunnah tidak me-naskh Al-Qur’an, berdasarkan klaim mereka bahwa kedua-duanya – Al-Qur’an dan Sunnah – adalah wahyu. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa beliau menafsirkan kata al-hikmah dalam firman Allah: (“Yu’ti al-hikmata man yasya’ wa man yu’ta al hikmata faqad utiya khayran katsiran”) adalah: ma’rifat nasikh al-qur’an wa mansukhihi’ (mengetahui nasikh dan masukh dalam Al-Qur’an).1
Secara umum, para ulama telah berijma’ bahwa naskh itu ‘boleh’ secara akal, dan ‘terjadi’ secara pendengaran (ja’iz ‘aqlan wa waqi’ sam’an). Dan hanya Abu Muslim al-Ashfahani saja yang diriwayatkan yang menyatakan ‘boleh’, tetapi ia – naskh – bukan menjadi satu realita – tidak terjadi. Sehingga ia menjadi menarik untuk
1 al-Naskh ‘inda al-Ushuliyin karya Prof.Dr.Ali Jumu’ah (mufti Mesir sekarang)
ditelusuri. Ada satu alasan penting kenapa penulis katakana menarik, karena masalah naskh ini sangat erat kaitannya dengan istinbath al-ahkam (menyimpulkan satu hukum). Dengan demikian, ia harus benar diketahui dan dibahas secara serius.
Dalam masalah ini, penulis hanya mengulas naskh yang berkenaan dengan Al-Qur’an. Penulis mencoba memberikan uraian makna (pengertian) naskh, sikap para ulama, dalil-dalil yang mereka gunakan, dan terakhir penulis akan mengambil sikap – berdasarkan pendapat para ulama – sebagai sebuah konsekuensi logis dari keberpihakan objektif (al-tahayyuz al-mawdhu’iyy). Penulis mencoba memberikan komentar dan ‘catatan’ tentang pengertian naskh – mansukh di dalam makalah, agar lebih integral dan dapat dipahami secara langsung. Sedangkan komentar dan “kritik” terhadap contoh naskh – mansukh penulis akan memuatnya dalam poin tersendiri.
1. Pengertian naskh
Dalam hal ini, penulis akan mengutip pengertian naskh dari dua cabang ilmu yang berbeda, namun sangat berkaitan: ’ulum al-qur’an dan ushul al-fiqh. Pendapat pertama, akan diwakili oleh Abu Ja’far al-Nuhâs, imam Jalaluddin al-Suyuthi dan Imam ‘Abd al-‘Azhim al-Zaqani. Sedangkan, dari kelompok kedua, akan diwakili oleh Imam Abu Zahrah, Imam ‘Abu al-Wahab Khalaf dan Syeikh al-Khudhari.
Pertama, menurut Abu Ja’far al-Nuhas (w. 338 H), dasar makna naskh adalah dua: pertama, dari “nasakhat al-syams al-zhilla”. Jika matahari menghilangkan/menghapuskan bayangan dan menggantikannya. Padanan makna naskh ini adalah firman Allah: fayansakhu Allahu ma yulqiy al-syaithanu (..lalu Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu).(6) Dan kedua , dari “naskhta al-kitaba idza anqaltahu min nuskhatihi” (engkau me-naskh sebuah buku jika engkau memindahkan masalahnya). Dari makna inilah dibangun konsep nasikh-mansukh.
Imam al-Suyuthi merupakan tokoh ulama yang mendukung adanya naskh-mansukh dalam Al-Qur’an. Beliau memberikan defenisi naskh sebagai berikut: pertama, naskh bermakna al-izalah (menghapus/menghilangkan). Firman Allah: “…fayansakhu Allahu ma yulqiy al-syaitanu isumma yuhkimu Allahu ayatihi” Kedua, naskh bermakna al-tabdil (perubahan, pemindahan, dan pertukaran). Firman Allah: “Wa idza baddalna ayatan makana ayatin…” (Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat yang lain…). Ketiga, naskh bermakna al-tahwil (pemindahan), seperti “tanasukh al-mawarits”, yang bermakna pemindahan harta warisan dari satu orang kepada orang lain. Keempat, naskh bermakna al-naql (pemindahan, pengopian, penyalinan): dari satu tempat ke tempat yang lain. Contoh: nasakhta al-kitaba idza naqalita ma fihi: mengikuti atau meniru lafaz dan tulisannya.
Imam al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan memberikan defenisi yang sedikit agak luas. Secara etimologis, dalam bahasa Arab naskh itu bermakna dua: pertama, naskh bermakna izalah al-sya’I wa i'damuhu (menghapuskan sesuatu dan menghilangkannya). Firman Allah: “Wa ma arsalnaka min qablika min rasulin wa nabiyyin illa odza tamanna alqa al-syaithanu fi umniyyatihi fayansakhu Allahu ma yulqiy al-syaithanu tsumma yuhkimu Allahu ayatihi.” Kedua, naskh bermakna naql al-syai’i wa tahwiluhu ma’a baqa’ihi fi nafsihi (menyalin sesuatu dan memindahkannya, dan aslinya masih tetap ada). Berkenaan dengan ini, al-Sijistani dari ulama ahli bahasa menyatakan : “Naskh itu berpindahnya apa yang ada di dalam sel lebah dan madu kepada bentuk yang lain. Contohnya, tanasukh al-mawarits, yakni berpindahnya harta warisan dari satu kaum kepada kaum yang lain. Dan tanasukh al-arwah (reinkarnasi) dengan cara berpindah dari satu tubuh ke dalam tubuh yang lain, menurut orang-orang yang menyatakan adanya reinkarnasi. Juga naskh al-kitab, memindahkan apa yang ada di dalamnya karena mirip dengan al-naql (pengopian). Inilah yang ditunjukkan oleh firman Allah: “…inna kunna nastansikhu ma kuntum ta’malun” (Sesungguhnya Kami mencatat apa yang telah kalian kerjakan.([12]) Maksudnya adalah: memindahkan amal kepada dalam lembaran-lembaran (al-shuhuf) dan dari lembaran-lembaran ke pada yang lain. Dan secara terminologi, imam al-Zarqani mendefenisikan naskh dengan “mengangkat hukum syari’ dengan satu dalil syar’i” (raf’u al-hukmi al-syar’i bidalilin syar’iyyin).2
2 Lihat takhrij-nya dalam Prof.Dr. Ali Jumu’ah, op. cit. hlm. 65.
Dari ketiga defenisi yang diberikan oleh Abu Ja’far al-Nuhas, imam al-Suyuthi dan imam al-Zarqani, kita menemukan kesamaan. Ayat-ayat yang digunakan yang digunakan oleh ketiga ulama untuk mendukung defenisi yang mereka paparkan ditolak oleh Makki. Beliau menyatakan; “Ini tidak benar – tidak ada – di dalam Al-Qur’an.” Ia menolakan pendapat al-Nuhas yang membolehkan hal itu dengan alasan bahwa al-nasikh yang ada di dalam Al-Qur’an tidak lewal lafaz al-mansukh, melainkan dengan lafaz yang lain.
Al-Sa’idi, dengan mengutip firman Allah: ”...inna kunna nastansikhu ma kuntum ta’malun. Dan firman-Nya: “Wa innahu fi umm al-kitab ladayna la’aliyyun hakim”menyatakan bahwa sudah maklum bahwa apa yang diturunkan dari wahyu itu secara gradual (nujuman) ada di dalam Umm al-Kitab, yaitu Lauh Mahfuzh, seperti yang dijelaskan oleh Allah: “Fi kitabin maknun. La yamassuhu illa al-muthahharun.”
Kedua, menurut Syeikh Muhammad Abu Zahrah, naskh menurut para ushulliyyun adalah “pengangkatan sang pembuat hukum (syari’) satu hukum syariat dengan menggunakan dalil yang dating belakangan”. Dengan demikian, menurut beliau, tampak beda antara naskh dengan takhshish. Naskh terdapat dua naskh nasikh dan mansukh yang kedua-duanya tidak disertai satu zaman, tetapi nasikh dating belakangan dari masukh.
Syeikh ‘Abd al-Wahab Khallaf memberikan defenisi bahwa naskh menurut para ushulliyyun adalah “membatalkan pengamalan satu hukum syar’i dengan menggunakan dalil yang datang kemudian”. Pembatalan tersebut bisa terjadi secara parsial (juz’iy) sesuai dengan maslahat yang ada. Atau, naskh itu adalah pemunculan dalil yang datang kemudian, yang secara implisit membatalkan amal – atas satu hukum – yang berlaku dengan menggunakan dalil yang lebih dulu (dalil sabiq)([19]). Secara sederhana, Syeikh al-Khudhari memberikan defenisi bahwa naskh adalah “pengangkatan sang pembuat hukum (syari’) atas satu hukum syari’ dengan menggunakan dalil syar’i".
Sementara itu, dalam bukunya Tarikh al-Tasyri al-Islami, secara panjang lebar beliau menyatakan bahwa naskh menurut terminology fuqaha’ dimulai dengan dua pengertian. Pertama, pembatalan hukum yang diambil dari nash awal (nash sabiq) dengan menggunakan nash yang datang kemudian (nash lahiq). Contohnya adalah hadits yang berbunyi: “Kuntu nahaytukum ‘an Ziyarat al-qubur ala fazuruha.” Nash pertama melarang untuk melakukan ziarah kubur, sedangkan nash kedua mengangkat (menghapus) larangan tersebut lalu posisinya digantikan oleh pembolehan (al-ibahah) atau permintaan (al-thalab) – untuk melakukan ziarah kubur.
Kedua, mengangkat keumuman nash awal atau men-taqyid nash yang mutlak. Contohnya adalah firman Allah SWT, di dalam Qs. Al-Baqarah (2): 228, “Wa al-muthallaqatu yatarabbashna bi’anfusihinna tsalasta quru’in.” Kemudian Allah berfirman di dalam Qs. Al-Ahzab (33): 49, “Idza nakahtum al-mu’minati tsumma thallaqtumuhunna min qabli an tamassuhunna fama lakum ‘alayhinna min ‘iddatin ta’taddunaha.”
Nash pertama adalah umum (‘amm) mencakup wanita yang sudah digauli (al-madkhul biha) dan yang tidak, dan nash kedua memberikan wanita yang al-madkhul biha satu hukum khusus. Begitu juga dengan firman Allah dalam Qs. Al-Nur (24): 4, “Wa al-ladzina yarmuna al-muhshanati tsumma lam ya’tu bi’arba’ati syuhada’a fajliduhum tsamanina jaldatan”. Setelah itu, Allah berfirman dalam Qs. Al-Nur (24): 6, “Wa al-ladzina yarmuna azwajahum wa alam yakun lahum syuhada’u illa anfusuhum fasyahadatu ahadihim arba’u syahadatin bilahi innahu lamin al-shadiqin”. Nash pertama merupakan nash umum (‘amm) mencakup semua orang yang menuduh zina (al-qadzifin), baik para istri, atau bukan. Sedangkan nash kedua menjadikan lima satu hukum khusus bagi para suami, dimana – nash tersebut – menjadikan lima sumpah mereka menduduki posisi empat saksi. Juga, nash tersebut memberikan kepada istri hak untuk melepaskan diri dari tuduhan zina, menurut lima sumpah mereka.
Contoh dari pen-taqyid-an nash yang mutlak adalah firman Allah di dalam Qs. Al-Ma’idah (5): 3, “Hurrimat ‘alaykum al-maytatu wa al-damu…” Dalam ayat yang lain, Allah berfirman, “Qul la ajidu fima uhiya ilayya muharraman ‘ala tha’min yath’amuhu illa an yakuna maytatan aw datan masfuhan.” Nash pertama adalah mutlak, yakni berbicara tentang darah yang diharamkan (al-dam al-muharram). Sedangkan nash kedua merupakan pengikatnya – nash pertama – yakni darah yang mengalir (al-dam al-masfuh).
B. Cara Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Ada tiga cara untuk mengetahui tentang Nasikh dan Mansukh
a. Dalam salah satu dalil menentukan datangnya lebih belakangan dari dalil yang lain, seperti dalam ayat 13 Surah Al-Mujadilah
•
Artinya :
“ Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) Karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah Telah memberi Taubat kepadamu Maka Dirikanlah Shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
b. Harus ada kesepakatan (Ijmak) para imam dalam suatu masa dari sepanjang waktu yang menetapkan bahwa salah satu dari kedua dalil itu datang lebih dahulu dan yang lain datang kemudian.
c. Harus ada riwayat sahih dari salah seorang sahabat yang yang menentukan mana yang lebih dahulu dari kedua dalil yang saling bertentangan tadi, contohnya seperti ungkapan-ungkapan
(ayat ini diturunkan setelah ayat itu atau kalimat:
(ayat ini diturunkan sebelum ayat ini) atau ucapan:
Sedangkan ayat ini diturunkan pada tahun sekian. Dengan begitu dapat diketahui turunnya yang saling bertentangan itu, mana yang turun dahulu dan mana yang turun kemudian.3
3 Djalal Abdul H. A. Ulumul Qur’an hal, 128-130.
C. Analisis Kritis Dua Ayat Naskh
Ada dua ayat penting, yang lazim dijadikan sebagai dalil pendukung nasikh – mansukh. Pertama, “Ma nansakh min ayatin aw nunsiha na’ti bikhayrin minha aw mitsliha. Alam ta’lam anna Allaha ‘ala kuli syai’in qadir.” (Apa saja ayat yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya. Tidakkah kamu mengetahui bahw sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu). Kedua, “Wa idza badaha ayatan makan ayatin wa Allahu a’lamu bima yunnazzilu qalu inama anta muftarin, bal aktsaruhum la ya’lamun.” (Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ada saja.”).
Dalam menyikapi kedua ayat diatas, para pendukung naskh-mansukh dan penentangnya berbeda pendapat. Perbedaan mereka terjadi seputar penafsiran kata “ayatin” dan “ayatan” dalam kedua ayat di atas. Apakah dimaksud dengan kedua kata di atas adalah “ayat Al-Qur’an” atau “mukjizat”?
Para pendukung nasikh-mansukh dalam menguatkan pendapatnya menggunakan asbab al-nuzul. Mereka berpendapat bahwa asbab al-nuzul surah al-Baqarah ayat 106 dan al-Nahl ayat 101 sesuai dengan konsep naskh di dalam Islam. Dengan demikian, dalam Al-Qur’an memang terdapat nasikh-mansukh memperkuat pendapat mereka dengan menggunakan munasabah ayat yang diklaim sebagai nasikh-mansukh oleh jumhur.
Dalam Asbab al-Nuzul-nya, al-Wahidi (w.468 H) menyebutkan perihal surah al-Baqarah (2): 106 bahwa para mufassirun menyatakan bahwa orang-orang musyrik berkata: “Tidakkah kalian saksikan Muhammad memerintah para sahabatnya untuk melakukan sesuatu, kemudia dia melarangnya dan menyuruh mereka melakukan pekerjaan yang lain (berbeda). Hari ini Muhammad bilang begini, besok mengatakan yang lain lagi?! Maka tidak lain dan tidak bukan bahwa Al-Qur’an itu adalah ucapan Muhammad yang ia buat-buat menurut kehendaknya sendiri, dan Al-Qur’an adalah perkataan yang saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Maka, Allah menurunkan: (Wa’idza baddalna ayatan makana ayatin) juga menurunkan: (Manansakh min ayatin aq nunsiha na’ty bikhayrin minha aw mitsliha).
Sementara itu, sebab turunya surat al-Nahl (16): 101 al-Wahidi menyebutkan riwayat yang hamper mirip dengan sebab turunnya surah al-Baqarah (2): 106. Beliau menyebutkan: “Nazalat hina qala al-musyrikuna: Inna Muhammadan yaskharu bi’ashhabihi ya’muruhum al-yauma bi’amrin wa yanhahum ‘anhu ghadan, aw ya’tyhim bima huwa ahwanu ‘alayhim. Wa ma huwa illa muftarin yaquluhu min tilqa’i nafsihi. Fa’anzula Allahu ta’ala hadzihi al-ayah wa al-laty ba’daha.”
Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H), dalam Jami’ al-Bayan-nya menyebutkan satu riwayat, bahwa jika seseorang berkata: “Kami telah mengetahui bahw anak sapi (al-‘ijl) tidak diresapkan – perasaan untuk menyembahnya – ke dalam hati. Ia tidak terjadi perselisihan bagian siapa yang mendengar firman-Nya: “…wa usyribu fi qulubihim al-‘ijl,” bahwa artinya: diresapkan ke dalam hati mereka kecintaan kepada anak sapi (al-‘ijl), jadi apa yang menunjukkan bahwa firman Allah: (Ma nansakh min ayatin aw nunsiha na’ti bikhayrin minha aw mitsliha) memiliki padanan (nazhir)?”
Dikatakan: yang menunjukkan bahwa hal itu demikian adalah firman-Nya: (na’ti bikhayrin minha aw mitsliha), dan tidak boleh di dalam Al-Qur’an sesuatu lebih baik dari lainnya; karena seluruhnya adalah kalam Allah. Dan tidak boleh dalam sifat-sifat Allah disebutkan bahwa sebagiannya lebih utama (afdhal) dari sebagian yang lain, dan sebagiannya lebih baik (khayr) dari sebagian yang lainnya.4
Kemudian, al-Thabari menyebutkan dua cara membaca (al-qira’ah) terhadap kata “nunsiha”. Pertama, kelompok yang membaca nunsiha dan Kedua, kelompok yang membaca nunsi’aha.
Hal yang sama juga disebutkan oleh Ibnu Katsir (700-774 H) di dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azhim. Ali ibn Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas: (ma nansakh min ayatin aw nunsiha),
4 Dr.Muhammad Abdullah Darraz, Madkhal ila al-Qur’an al-Karim, (Kuwait: Dar al-Qalam, cet. V, 2003), hlm. 172.
ia berkata: “ma nubaddilu min ayatin aw nantrukuha la nubaddiluna’ (apa yang kami naskh dari satu ayat atay kami akhirkan, bukan kami tukar). Mujahid berkata: “Dari para sahabat Ibnu Mas’ud aw ninsi’aha nutsbitu khahthaha wa nubaddilu hukmaha. ‘Abd ibn ‘Umayr, Mujahid, dan ‘Atha’ berkata: nunsi’aha nu’akhkhiruha wa nurji’uha (Kami akhirkan dan Kami tangguhkan). ‘Athiyyah al-‘Ufi berkata: “Aw nunsi’aha: nu’akhkhiruha fala nunsikhuha” (atau Kami lupakan: Kami akhirkan, tidak Kami hapuskan). Hal yang sama juga dikatakan oleh al-Sadi, begitu juga dengan al-Rabi’ ibn Anas. Al-Dhahhak berkata: (“ma nansakh min ayatin aw nunsiha”), artinya: al-nasikh wa al-mansukh.
Abu al-Aliyah berkata: (ma nansakh min ayatin aw nunsiha) nu’akhkhiruha ‘indana (menurut kami adalah mengakhirkannya). Ibnu Abi Hatim berkata: ‘Ubayd ibn Isma’il al-Baghdadi mengabarkan kepada kami, Khalaf mengabarkan kepada kami, al-Khafaf mengabarkan kepada kami dari Isma’il; yakni Ibnu Aslam dari Habib ibn Abi Tsabit dari Sa’id ibn Jubayr dari Ibnu Abbas ia berkata: “Umar ra. Berkhutbah kepada kami lalu ia berkata, “Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: (ma nansakh min ayatin aw nunsiha) ay nu’akhkhiruha (artinya: Kami akhirkan). Sedangkan jika dibaca dengan (“nunsiha”) berkata: ‘Abd al-Raziq dari Ma’mar dari Qatadah dalam firman Allah (ma nansakh min ayatin aw nunsiha), ia berkata: Allah ‘Azza wa Jalla melupakan Nabi-Nya saw, apa yang dia kehendaki dan menghapus apa yang dia kehendaki.
Dari beberapa riwayat dan pendapat yang kita sebutkan di atas, tampak bahwa sebab turunnya ayat dan pendapat para pendukung nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an tidaklah kuat. Pendapat Imam al-Wahidi yang didasarkan surah al-Baqarah (2): 016 tidak bisa dijadikan dalil yang kuat.
Kedua ayat dalil nasikh-mansukh jumhur di atas dikomentari oleh Syeikh Muhammad ‘Abduh dan muridnya Syeikh Rasyid Ridha. Menurut mereka, naskh yang ada di dalam Al-Qur’an yang mulia maksudnya adalah naskh atas ayat-ayat kauniyah (perkara yang luar biasa), bukan pada ayat-ayat hukum. Ketika menjelaskan firman Allah: (Ma nansakh min ayatin aw nunsiha na’ty bikhayrin minha wa mitsliha alam ta’lam anna Allaha ‘ala kuli syai’in qadir), setelah memaparkan pendapat jumhur dan pandangan-pandangan mereka dalam ayat tersebut beliau menyatakan: “inilah pendapat para mufassir dalam ayat tersebut. Jika kita timbang (bandingkan) antara redaksi (siyaq) ayat (ma nansakh) dan ayat (Wa idza baddalna ayatan makana ayatin)([30]) kita menemukan bahwa ayat pertama ditutup oleh firman Allah: (…alam ta’lam anna Allaha ‘ala kuli syai’in qadir) dan ayat kedua ditutup dengan: (…wa Allahu a’lamu bima yunazzilu qalu innama anta muftarin). Kita mengetahui bagaimana kuatnya perhatian gaya bahasa (uslub) Al-Qur’an dengan adanya kesesuaian (munasabah) ini.
Penyebutan kata “al-‘ilm” dan “al-tanzil” dan klaim rekaan (da’wa al-iftira’) di dalam ayat kedua menerangkan bahwa ayat-ayat tersebut berkaitan dengan hukum-hukum, sedangkan penyebukan “al-qudrah” (kemampuan) dan afirmasinya (al-taqrir) terhadap “al-qudrah” di dalam ayat pertama tidak sesuai dengan pembahasan hukum-hukum dan penghapusannya.
Dua qira’ah yang diriwayatkan oleh al-Thabari dan Ibnu Katsir mengindikasikan adanya kebingungan (al-tahayyur) para ulama dalam memahami ayat tersebut. Ini juga dikomentari oleh Syeikh Muhammad ‘Abduh.
Sebagian ulama, menurutnya, sampai ada yang menyatakan bahwa (nunsiha) artinya “natrukuha’. Padahal ini tidak sesuai dengan pernyataan mereka tentang naskh. Beliau kemudian berpendapat bahwa makna yang benar, sesuai dengan redaksi ayat hingga akhirnya adalah: “ayat” di sini adalah apa yang dengannya Allah menguatkan para Nabi dengan menggunakan dalil-dalil atas kenabian mereka. Artinya, (ma nansakh min ayatin) Kami memberikan satu dalil atas kenabian seorang nabi, atau menghapuskan (nuzzuluha) dan meninggalkan (tidak menguatkan) nabi yang lain atau menghapuskannya dari manusia, karena jauhnya waktu (masa) dengan (nabi) yang membawa. Kami, dengan segala kemampuan yang sempurna dan menguasai kerajaan, mendatangkan apa saja yang lebih baik dari segi kemampuan dalam memberikan kepuasan dan menguatkan kenabian atau yang sepertinya. Siapa yang kemampuannya dan luas kerajaannya seperti itu, maka tidak dapat di-taqyid dengan satu ayat khusus yang diberikannya kepada seluruh nabi-Nya.
Lihatlah, menurut beliau, bagaimana ketinggian retorik (al-balaqah) membuka wajahnya di sini. Tampak jelas, bahwa penyebutan “al-qudrah” dan keluasan kekuasaan sesuai dengan ayat-ayat tersebut dalam arti dalil-dalil, bukan bermakna hukum-hukum syar’i. Perkataan-perkataan yang ada menunjukkan hal itu, bukan perkataan-perkataan yang menunjukkan kenabian. Hal ini semakin jelas dalam ayat berikutnya: (Am turiduna an tas’alu rasulakum kam su’ila Musa min qablu wa man yatabaddal al-kufra bi al-iman faqad dhalla sawa’a al-sabii). Bani Israil tidak merasa cukup dengan ayat-ayat (tanda-tanda kenabian) yang diberikan kepada Musa, sampai mereka berani untuk meminta yang lain, dan berkata: “Wahai Musa, kami tidak akan pernah beriman kepadamu, sampai kami melihat Allah dengan nyata.”([33]) Begitu juga halnya dengan fir’aun dan kaumnya. Setiap kali mereka melihat satu tanda kenabian (ayat), mereka meminta yang lain sampai mereka melihat sembilan ayat yang nyata, tapi tidak juga beriman. Firman Allah: (…kama su’ila Musa min qablu) mencakup semuanya. Penafsiran ini, yang dengannya ayat-ayat tersebut berkaitan antara satu dengan lainnya, yang mengalir sesuai dengan balaghah merupakan penafsiran yang dapat diterima oleh akal. Dan ini mustahil dapat dirasakan lewat cita rasa bahasa (al-dzauq), karena dalam memahami susunan dan arah kosakatanya tidak harus bersusah payah (al-takalluf).
Tentang qira’ah yang membaca kata “nunsiha” dengan “nunsi’aha imam Muhammad ‘Abduh menyatakan bahw itu qira’ah Ibnu Katsir dan Abu ‘Amru, artinya “kami mengakhirkannya”. Beliau menyatakan: “Hal ini tidak tampak mendukung naskh hukum-hukum, sebagaimana tampak dalam naskh ayat-ayat dan mukjizat-mukjizat yang diajukan kepada para nabi. Ayat yang diajukan kepada seorang nabi, karena ayat baru yang lebih baik darinya atau yang sepertinya. Bisa jadi ia diakhirkan dengan ayat yang baru, kemudian diberikan pada waktu yang lain setelah pengajuan. Tetapi, pengakhiran ayat-ayat hukum tidak memiliki makna yang jelas.
Pendapat yang sama juga datang dari imam Muhammad Abu Zahrah. Mengomentari dua ayat nasikh-mansukh di atas, setelah menyebutkan dalil-dalil jumhur dan Abu Muslim al-Ashfahani, beliau menyatakan: “Berdasarkan asumsi bahwa yang dimaksud dari dua nash yang mulia merupakan ayat Al-Qur’an, maka kedua ayat tersebut tidak menunjukkan kemungkinan adanya naskh. Tentu berbeda antara terjadi (al-wuqu’) dan boleh – terjadi (al-jawaz).”
Syeikh Muhammad al-Ghazali, memandang dalil jumhur dengan menggunakan ayat: (Ma nansakh min ayatin wa nunsiha na’ty bikhayrin minha wa mitsliha alain ta’lam anna Allaha ‘ala kulli syai’in qadir) bahwa ayat-ayat di sini bukan ayat-ayat taklifiya, melainkan ayat-ayat takwiniyah. Yang dimaksud dengan ayat-ayat takwinyah adalah hal-hal yang luar biasa (Khawariq al-‘adat) yang ditampakkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk menguatkan para nabinya dan menyokong risalah mereka. Dari jenis ini adalah firman-Nya: (Wa aqsamu billahi jahda aymanihim la’in ja’athum ayatun layu’minunna biha qul innama al-ayatu ‘inda Allahi wa ma yusy’irukum annaha idza ja’at la yu’minun).
Dalam hal ini, penulis sepakat dengan beberapa pendapat ulama kontemporer di atas. Bagaimanapun pendapat jumhur tidaklah kuat.
Dalam Syarh al-Badakhsyi disebutkan bahwa ayat yang berbunyi: “Ma nansakh min ayatin aw nunsiha” artinya “nu’akhkhiruha” “na’aty bikhayrin minha aw mitsliha”. Wajhu al-dilalah dari ayat tersebut adalah: bahwa pengambilan dalil dari Al-Qur’an tergantung pada kenabian Nabi Muhammad SAW. Dimana kenabian beliau merupakan penghapus kenabian yang sebelumnya atau mukhashshish. Dalam hal ini, terdapat dua pendapat ulama. Kita menyatakan bahwa kenabian Nabi SAW. Jika berdasarkan pada naskh, maka yang diklaim – naskh – telah terjadi. Jika tidak, maka ayat tersebut yang dinukilnya menunjukkan bolehnya naskh. Imam al-Razi di dalam tafsirnya menyatakan bahwa pengambilan dalil (al-istidlal) ini adalah lemah. Karena firman-Nya: “Ma nansakh min ayatin” adalah jumlah syarthiyah. Artinya, Kami me-naskh-mendatangkan (an nansakh na’ty), dan adanya keharusan antara dua hal tidak mengharuskan salah satunya terjadi. Dan tidak benar bahwa hal itu terjadi. al-naskh ‘inda al-Ushuliyin karya Prof.Dr.Ali Jumu’ah (mufti Mesir sekarang) al-Naskh ‘inda al-Ushulliyin karya Prof.Dr.Ali Jumu’ah (mufti Mesir sekarang).
3. Jenis-jenis Nasikh-Mansukh
Secara rinci imam al-Suyuthi menyatakan bahw sebagian ulama (menurutnya qala ba’dhuhum) surat-surat Al-Qur’an menurut nasikh-mansukh terbagi kepada empat kelompok. Pertama, kelompok yang tidak terdapat di dalamnya nasikh-mansukh, jumlahnya 43 surat: al-Fatihah, Yusuf, al-Hujurat, al-Rahman, al-Hadid, al-Shaff, al-Jumu’ah, al-Tahrim, al-Mulk, al-Haqqj, Nuh, al-Jinn, al-Mursalat, ‘Amma, al-Naz’at, al-Infithan dan tiga surat setelahnya, al-Fajr, dan setelahnya sampai akhir Al-Qur’an, kecuali surat at-Tin, al-Ashr dan al-Kafirun.
Kedua, kelompok yang di dalamnya terdapat nasikh-mansukh, jumlahnya 25 surat: al-Baqarah dan tiga surat sesudahny, al-Hajj, al-Nur dan surat berikutnya, al-Ahzab, Saba’, al-Mu’min, al-Syura, al-Dzariyat, al-Thur, al-Waqi’ah, al-Mujadilah, al-Muzammil, al-Muddatsir, Kuwwirat, dan al-‘Ashr.
Ketiga, kelompok yang hanya mengandung nasikh saja, jumlahnya 6 surat: al-Fath, al-Hasyr, al-Munafiqun, al-Taghabun, al-Thalaq, dan al-A’la. Dan keempat, kelompok yang hanya mengandung mansukh saja, yakni empat puluh surat dari sisa yang tidak disebutkan.
Khusus berkenaan jenis naskh-mansukh, seperti pendapat jumhur, membagikannya ke dalam tiga bagian: Pertama, jenis yang dihapus bacaannya dan hukumnya secara bersamaan (ma nusikha tilawatuhu wa hukmuhu ma’an). Contoh, ‘Aisyah ra. berkata: “Kana fima ‘unzila: ‘Asyra radha’atin ma’lumatin fanusikhna hunna mimma yuqra’u min al-qur’ani,” Ayat yang pernah diturunkan adalah: Sepuluh hisapan (susunan) lalu dihapuskan dengan lima hisapan, kemudian wafatlah Rasulullah SAW, dan lima hisapan tersebut bagian yang dibaca dari Al-Qur’an. (HR. Al-Syaikhani).
Kemudian para ulama “memperbincangkan” perkataan ‘Aisyah: (wa hunna mimma yuqra’u). Zahir ucapan tersebut adalah: baqa’u al-tilawah (tetap ada bacaannya), namun tidak demikian.
Kemudian dijawab bahwa maksudnya: mendekati waktu wafat. Atau: bacaannya di-naskh juga. Dan hal itu tidak sampai kepada orang banyak, kecuali setelah Rasulullah wafat. Dan setelah beliau wafat, sebagian manusia membacanya.
Abu Musa al-‘Asy’ari berkata: “Nazalat tsumma rufi’at.” (Ayat tersebut turun, lalu diangkat/dihapus). Dan Makki berkata: “Ini adalah contoh di dalamnya terdapat mansukh yang tidak terbaca (al-mansukh ghayr matluww), dan nasikh juga tidak dibaca (ghayr matluww). Aku tidak mengetahui yang sepertinya (wa la a’lamu lahu nazhiran). “Selesai.
Kedua, jenis yang dihapus hukumnya tanpa bacaannya (ma nusikha hukmuhu duna tilawatihi). Jenis kedua inilah, menurut beliau, yang menjadikan ditulisnya banyak buku. Dan pada hakikatnya, jenis ini sangat sedikit sekali, meskipun banyak yang menghitung banyak ayat berkenaan dengan ini. Para muhaqqiqin, seperti al-Qadhi Abu Bakar ibn al-‘Arabi telah menjelaskan hal ini dan beliau merupakan orang yang membahas secara tuntas (wa atqanahu).
Untuk jenis yang kedua ini, beliau banyak menyebutkan sebanya 20 ayat yang mansukh (dihapus) hukumnya tanpa bacaannya. Namun demikian, beliau banyak menggunakan kata-kata qila (dikatakan), yang mengindikasikan riwayat yang lemah. Bahkan, masalah ayat yang berbunyi: “wa al-ladzina yatawaffauna minkum” sampai firman Allah: “mata’an ila al-hauli.” di-naskh oleh ayat: “arba’ata asyhurin wa ‘asyran.” Wasiat di-naskh oleh al-mirats (ayat tentang warisan). Tempat tinggal: tetap (harus diberikan) menurut satu kaum, dan di-naskh menurut pendapat yang lain dengan hadits yang berbunyi: “la sakna.” Di sini tampak perbedaan pendapat.
Ketiga, jenis yang dihapus bacaan tanpa hukumnya (ma nusikha tilawatuha duna hukmihi). Contohnya, riwayat dari ‘Umar ibn al-Khaththab dan Ubayy ibn Ka’ab, mereka berdua berkata: “Termasuk yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah: al-Syaiky wa al-syaikhatu idza zanaya farjumuhuma albattah.”
Berbeda dengan pendapat di atas, Syeikh Muhammad Abu Zahrah membagi naskh ke dalam dua bagian. Pertama, naskh eksplisit (naskh sharih) dan kedua, naskh implisit (naskh dhimniy). Untuk contoh jenis pertama, beliau mengutip hadits Nabi SAW, yang berbunyi: “Kuntu nahaytukum ‘an ziyarah al-qubur, ala fazuruha.” Naskh dalam Hadits ini jelas (Sharih). Contohnya juga adalah naskh menghadap ke Bait al-Maqis (al-Muqaddas) yang terdapat di dalam surat al-Baqarah ayat 142 dan 144. Sedangkan tentang naskh implisit, beliau menyatakan bahwa itu terjadi karena ada dua naskh yang bertentangan dan tidak mungkin untuk dikompromikan (al-tawfiq) antara keduanya. Sebagai contohnya, beliau mengutip pendapat fuqaha’ tentang penghapusan ayat-ayat mawarits terhadap wasiat bagi ahli waris yang dikandung oleh ayat wasiat.
Jenis naskh implisit ini terbagi kepada dua bagian. Pertama, naskh seluruh hukum yang dicakup oleh nash terdahulu/awal (al-nash al-mutaqaddim), contohnya adalah iddah wanita yang ditinggal suaminya di dalam surat al-Baqarah ayat 234 yang diklaim di-nasakh oleh ayat 240. Dan kedua, naskh parsial (al-naskh al-juz’iyy). Maksudnya adalah: kandungan ayat nash yang datang kemudian (al-naskh al-muta’akhkhir) keluar dari keumuman nash yang awal (al-nash al-mutaqaddim). Contohnya adalah ayat al-la’an keluar dari ayat yang pertama, yaitu qadzaf seorang suami terhadap istrinya. Ini juga menurut beliau bukan bagian dari naskh, melainkan al-takhsish.
D. Hikmah Nasakh dan Mansukh
Hikmah nasakh ialah sebagai berikut :
a. Untuk menunjukkan bahwa syariat agama Islam syariat yang paling sempurna. Karena itu, syariat agama Islam ini menasakh semua syaria dari agama-agama sebelum Islam. Sebab, syariat Islam ini telah mencakup semua kebutuhan seluruh umat manusia dari segala periodenya, mulai dari Nabi Adam a.s. yang kebutuhan-kebutuhannya masih sederhana hingga Nabi akhir zaman, Nabi Muhammad SAW yang kebutuhan-kebutuhannya sudah banyak dan kompleks.
b. Selalu menjaga kemaslahatan hamba agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di sepanjang zaman.
c. Untuk menjaga agar perkembangan hukum Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan, mulai dari yang sederhana sampai ke tingkat yang sempurna.
d. Untuk menguji orang mukallaf, apakah dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian dari nasakh itu mereka tetap taat, setia mengamalkan hukum-hukum Tuhan, atau dengan begitu mereka ingkar dan membangkang?
e. Untuk menambah kebaikan dan pahala dari yang mudah kepada yang sukar. Sebab, semakin sukar menjalankan sesuatu peraturan Tuhan, akan semakin besar manfaat, faedah dan pahalanya.
f. Untuk memberi dispensasi dan keringan bagi umat Islam, sebab dalam beberapa nasakh banyak yang memperingan beban dan memudahkan pengamalan guna menikmati kebijaksanaan dan kemurahan Allah SWT yang Maha Penyayang.5
5 Ibid. hal 148-149
PENUTUP
Dari uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Teori naskh muncul berawal dari adanya nash ayat-ayat Alqur’an atau hadis Nabi yang pada lahirnya tampak bertentangan sehingga sulit sekali memahaminya dan tidak dipilih dilakukan tarijh di antara nash-nash tersebut.
2. Timbulnya perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang adanya naskh ialah karena mengingat Alqur’an kalam Allah Yang Maha Tahu segala sesuatu secara mutlak, baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Jadi rasanya mustahil akan terjadi naskh. Namun secara factual memang telah terjadi perubahan yang sangat mencolok, misalnya, dulu ziarah kubur dilarang, sekarang dibolehkan, dan lain-lain.
Mereka yang tak mau berpikir lama-lama cepat saja menyimpulkan, bahwa itu namanya naskh. Sebab selama yang melakukan perubahan atau revisi itu Tuhan sendiri, tidak ada persoalan, Dia berbuat sesuai kehendak-Nya, tidak akan mengurangi derajat ketuhanan-Nya.
Sebaliknya mereka yang menolak naskh ingin mensucikan Tuhan dari sifat-sifat kemanusiaan yang selalu berubah-ubah. Jika naskh diakui ada, berarti secara tidak langsung, telah diakui Allah sama dengan manusia, padahal telah menjadi keyakinan tak ada yang serupa dengan-Nya, suatu juga pun. Meskipun demikian mereka yang menolak naskh ini juga meyakini bahwa memang telah terjadi perubahan terutama dalam masalah-masalah istinbath hukum. Oleh karena itu, mereka menyatakan bahwa perubahan hukum itu bukan berarti membatalkan hukum sebelumnya, melainkan hukum itu disyariatkan Allah secara dinamis, sesuai dengan kondisi masyarakat. Dengan pengertian bila kondisi semula kembali, maka hukum diterapkan kembali pula pada apa yang telah diterapkan tempo dulu itu. Jadi tidak ada pembatalan; yang ada ialah pensyari’atan hukum oleh Tuhan secara fleksibel sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Jadi pada hakikatnya antara mereka yang menerima naskh dan yang menolaknya tidak terdapat perbedaan yang prinsipil karena mereka hanya berbeda dalam redaksi saja, sebab masing-masing mengakui telah terjadi perubahan hukum dalam kasus-kasus tertentu sebagaimana telah dijelaskan.
3. Naskh hanya terjadi di masa tasyri’ yakni selama hidup Nabi mulai dari menjadi Rasul sampai beliau wafat, yakni lebih kurang selama kurun waktu 23 tahun.
4. Dengan diketahui nasikh-mansukh maka sekaligus akan dapat terhindar dari misiinterprestasi, sehingga penafsiran tidak akan merusak tatanan yang sudah baku.
5. Pengetahuan tentang nasikh-mansukh juga akan memberikan gambaran yang jelas tentang perkembangan hukum Islam khususnya di masa tasyr’i karena, nasikh-mansikh terutama terjadi berkenaan dengan ayat-ayat hukum.6
6 Prof.Dr.Nashruddin Baidan. Kawasan Baru Ilmu Tafsir 180-181.
DAFTAR PUSTAKA
Prof.Dr. Ali Jumu’ah (mufti Mesir sekarang). Al-Naskh ‘inda al-Ushuliyin
Lihat Takhrij-nya dalam Prof.Dr.Ali Jumu’ah, Op-Cit. hlm. 65
Djalal Abdul H.A. Ulumul Qur’an hal, 128-130
Ahmad Ihzan. Pokok-Pokok Kajian Al-Qur’an. Penerbit Tafakur Bandung.2007
Prof.Dr.Nashruddin Baidan, Kawasan Baru Ilmu Tafsir
http://qosim.multiply.com/journal/item/79/Nasikh_dan_Mansukh
http://tholib.wordpress.com/2007/04/11/78/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar