Rabu, 09 Januari 2013

PEMBENTUKAN KHILAFAH PADA MASA ABUBAKAR SHIDDIQ

PEMBENTUKAN KHILAFAH PADA MASA ABUBAKAR SHIDDIQ

I.    Pendahuluan
Nabi Muhammad SAW telah memimpin masyarakat Muslim kurang lebih selama 10 tahun. Pemerintahan Nabi Muhammad SAW di Madinah telah berhasil memberikan beberapa dasar hukum baru pada masyarakat Arab, baik pada sisi politik, sistem kemasyarakatan, sistem hukum yang akan mengatur masyarakat muslim pada masa selanjutnya.
Tampuk kepemimpinan tersebut kemudian dilanjutkan oleh Abu Bakar, sepeninggal Rasulullah SAW, sebagai pemimpin pertama pengganti Rasulullah. Tentu ada banyak perbedaan corak kepemimpinan antara Rasulullah saw. Dengan kepemimpinan Abu Bakar yang disebabkan semakin heterogennya masyarakat Muslim.

Dinamika sosial yang berwarna lebih terlihat pada masa pemerintah Umar bin Khattab pengganti Abu Bakar. Berbagai fondasi kemajuan peradaban Islam diletakkan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab.
Makalah ini akan mengkaji tentang peradaban Islam pada masa pemerintahan Khalifah rasyidah Abu Bakar Shiddiq Ra’Quhafah. Dari silsilah inilah Abu Bakar r.a., baik dari ayahnya maupun ibunya.

II.    Abu Bakar Khalifah Rasyidah Pertama (632-634M/11-13H)
Abu Bakar as-Shiddiq dilahirkan di kota Mekkah pada tahun 573 M, kira-kira dua tahun setelah kelahiran nabi Muhammad SAW. Ayahnya bernama Utsman bin Amar bin La’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab yang bergelar dengan Abu Qhuafah. Dari silsilah inilah Abu Bakar r.a., baik dari pihak ayahnya maupun ibunya mempunyai pertalian dengan keluarga Nabi Muhammad saw, yang bertemu silsilahnya pada Murrah bin Ka’ab 1.
Beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah saw, yang mempunyai rasa sosial yang tinggi. Beliau pernah membebaskan tujuh budak muslim yang tersiksa, salah satunya adalah Bilal, Amir bin Quhairoh dan lain sebagainya. Beliau juga mempunyai sebuah baitul mal yang berada di Sunh yang selalu ia tempati sebelum hijrah ke Madinah, kemudian setelah hijrah ke Madinah, beliau tetap tidak menerima usulan untuk menempatkan penjaga di baitul mal tersebut. Beliau tetap membiarkannya sebagai tempat terbuka dan persinggahan bagi orang-orang hingga rumah itu habis isinya. Beliau juga pernah menginfakkan hartanya sebanyak 4000 dinar untuk kepentingan Islam, padahal harta itu ia semuanya beliau dapatkan dari usahanya berdagang2

1  Harun Nasution, e.d, Ensiklopedia Islam di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 34.
2  Ibn Atsir, Al-Kamil Fi At-Tarikh (Beirut: Daar Ashwar, 1965), Jilid. II, hlm. 422.
A.    Proses Pengangkatan Abu Bakar r.a.
Meninggalnya Nabi Muhammad menimbulkan kevakuman pemimpin yang hampir tidak mungkin digantikan oleh orang lain. Ia bukan saja pemimpin Negara (sebagai pemimpin Negara mungkin ada orang yang bisa menggantikannya), tetapi juga seorang Nabi, pembuat Undang-undang guru spritual dan juga pribadi yang mempunyai visi transcendental. Sangat sulit untuk menggantikan Muhammad dalam kwalitas-kwalitas tersebut. Meninggalnya Nabi jelas menimbulkan pukulan batin bagi para sahabatnya, meskipun beliau sendiri tidak mengajarkan bahwa beliau tidak bisa meninggal. Namun demikian, masalah mendesak yang dihadapi oleh umatnya adalah menemukan pengganti beliau yang pantas sebagai pemimpin Negara yang telah dibangunnya. Para sahabatnya telah memikirkan hal tersebut bahkan sebelum nabi dimakamkan / dikuburkan ( bagaimanapun juga pemikiran ini tidak bisa dihindari ). Problem yang ada dihadapan mereka adalah siapa yang akan menggantikan nabi dan bagaimana prosedurnya. Tidak ada presiden sebelumnya karena sebelum ada Negara. Tentu saja mereka tahu (paling tidak kaum muslimin yang mempunyai hubungan dagang dengan kerajaan Romawi dan Sasanit) bahwa seorang Raja digantikan oleh putranya atau salah satu keluarga terdekatnya. Sehingga kekuasaan dinasti bisa terus berjalan.
Model suksesi yang demikian itu tidak mungkin, bukan hanya karena Nabi tidak mempunyai putra, tetapi juga karena secara historis semenanjung Arabia belum sampai pada tahapan membangun kekuasaan dinasti yang mempunyai struktur sosial yang berbeda. Meskipun tuntutan kehidupan kota yang menetap sudah berbeda, orang-orang Arab yang tinggal dikota-kota masih hidup dibawah bayang-bayang norma dan tradisi normad. ( Tentu saja komplik antara tuntutan kehidupan kota dan norma-norma serta praktik-praktik kehidupan normad telah menimbulkan berbagai masalah yang oleh Muhammad berhasil diatasi di bawah payung Islam.) Cara pandang orang-orang Arab pada umumnya masih bersifat suku. Sebagaimana yang kita ketahui pada masa sebelum Islam di Mekkah terdapat sebuah senat (mala’a) yang diwakili oleh para pemimpin suku atau kelompok. Muhammad berkat kedudukan dan kwalitasnya yang unik menjadi pemimpin yang kuat dan tidak membutuhkan semacam senat, meskipun ia bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam masalah-masalah yang penting. Tentu saja ini adalah perintah Al-Qur’an untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya tersebut. Terdapat ayat yang cukup menarik dalam Al-Qur’an yang mengatakan :
                              •    

Artinya :“Maka disebabkan Rahmat Allah lah Kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya Kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyarawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Q.S. 3:159).
Ayat ini menjelaskan kondisi yang ada di Arab pada masa itu. Bahkan seseorang dengan status Nabi sekalipun tidak bisa bertindak menurut kehendaknya sendiri, ia tidak bisa mendikte mereka karena orang-orang Arab lebih suka bebas dan mandiri. Untuk alasan itulah maka Allah menganjurkan Nabinya untuk berlaku lemah lembut kepada umatnya dan bermusyawarah dengan mereka dalam masalah-masalah yang penting karena jika tidak, mereka akan lari darinya. Dalam situasi seperti itu maka untuk membangun struktur kekuasaan negara yang bersifat refresif sangat sulit jika malah tidak mungkin. Tidak ada orang lain setelah Muhammad yang memiliki keistimewaan sebagaimana yang dimiliki Nabi untuk meneruskan perannya secara otomatis. Satu-satunya Presiden atau model adalah tradisi kesukuan mereka. Model ini cocok dengan struktur sosial mereka yang memang belum berkembang kearah institusi peodal yang diperlukan dalam membangun kekuasaan dinasti. Jadi sejalan dengan tradisi suku mereka, sepeninggal Muhammad mereka berkumpul di sebuat tempat bernama Saqifah Bani Sa’idah. Tentu saja mereka itu adalah para pemimpin suku dan sahabat-sahabat nabi yang terkemuka. Sulit untuk memastikan siapa yang mengambil inisiatif pertemuan itu. Dalam Musad Abi Ya’la diceritakan “Kami sedang duduk di rumah Rasulullah saw,” kata Umar Bin Khatab,” Keluarlah kamu (Umar) berkata, pergilah kamu, kami sibuk dengan rencana penguburan Rasulullah. Orang itu mengatakan bahwa sesuatu telah terjadi. Ia berkata, Orang-orang Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’ida. Pergi dan temuilah mereka akan melakukan gerakan yang bisa menimbulkan perang. Saya (Umar) meminta Abu bakar untuk pergi kesana.”3
Dari cerita di atas jelas bahwa sebelum Nabi dimakamkan beberapa orang yang mempunyai ambisi untuk menggantikan Muhammad sebagai pemimpin umat Islam dan negara. Jelas terdapat indikasi bahwa perebutan kekuasaan telah mulai disaat Nabi berbaring wafat ditempat tidurnya. Kaum legitimis (Syi’ah) yakin bahwa Nabi sudah menunjuk putra menantunya, Ali sebagai penggantinya. Namun sedemikian ini sulit dipastikan karena Hadits yang digunakan untuk mendukung hal itu bisa ditafsirkan secara berbeda-beda. Terlebih lagi hal ini tidak sejalan dengan tradisi orang-orang Arab untuk mencalonkan seseorang tanpa bermusyawarah dengan pemimpin suku dan pemuka-pemuka masyarakat lainnya.

3  Lihat Fath AlBari, Jilid XIII, hal. 13
Yang mungkin adalah Nabi barang kali mengingatkan Ali, seorang sahabat yang tidak diragukan lagi mempunyai sifat-sifat Kesatria, keberanian, akhlak yang terpuji dan ilmu yang mendalam untuk menggantikannya. Namun mengingat ada banyak kelompok yang bersaing Nabi lebih baik tidak mengungkapkan niatnya itu dalam ucapan yang eksplisit. Menurut salah satu Hadits bahkan Nabi pernah meminta pena dan tinta untuk menulis wasiat yang bias menyelamatkan kaum muslimin dari kesesatan. Namun Umar berkata, “Rasulullah sedang menderita sakit keras dan disamping kita ada Al-Qur’an.” Seseorang mengatakan bahwa Nabi tidak sadar. Kalimat yang dipakai dalam Shahih Muslim Adalah: “Sungguh Rasulullah tidak sadar dengan ucapannya”.
Semuanya itu dengan jelas menunjukkan bahwa berbagai kelompok bersaing untuk meraih kekuasaan politik dalam Negara yang baru berdiri dan mereka tidak mengharapkan pernyataan tegas dari Muhammad karena hal itu akan melenyapkan kesempatan seseorang untuk meraih kekuasaan tersebut. Sejak saat itulah masalah sukses ini pada kenyataannya telah memecah kaum muslimin. Sejarawan terkemuka Syihristani berkata. “Tidak ada masalah yang lebih banyak menimbulkan pertumpahan darah dalam Islam selain masalah Kekhalifahan.”4 Kepentingan suku juga ikut mengedepankan. Bani Hasyim mencalonkan Ali, Muhajirin Quraisy berada dibelakang Abubakar, dan kaum Anshar mendukung Sa’ad Bin’ Abada yang menjadi pemimpin mereka. Karena Bani Hasyim adalah kelompok minoritas maka peluang Ali menjadi kecil. Semua kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifa dan mereka mengaku berhak menduduki jabatan kekhalifahan. Saat itu kaum Anshar menawarkan kompromi, satu khalifah dari kaum Muhajirin dan yang satu dari kaum Anshar. Namun usulan itu ditolak, karena dua orang yang menduduki khalifah akan menimbulkan kekacauan dan membingungkan. Perdebatan menjadi semakin panas karena masing-masing kelompok mengklaim kelompok lain. Bahkan pada saat itu keadaan sudah memanas dan hamper terjadi pertumpahan darah. Umar sebagai sahabat yang sangat cerdik setelah memahami situasi genting tersebut segera meraih tangan Abubakar untuk menjadi khalifah. Beberapa pemimpin Quraisy terkemuka seperti Usman, Abdurrahman Bin Auf, dan lain-lain mengikutinya, dan dengan segera dukungan terhadap Abu Bakar semakin kuat.
Dengan demikian Abu baker terpilih sebagai khalifah pertama Negara Islam atas dasar riwayat yang dianggap berasal dari Muhammad bahwa seorang khalifah haruslah dari suku Quraisy. Demikianlah orang-orang Arab Kota dengan dasar Tradisi ini berusaha menguasai orang-orang normad padang pasir yang menolak klaim suku Qurasy dan mengobarkan revolusi melawan dominasi urban.

4 Lihat Syihristani, hal. 12.

Mari kita lihat beberapa aspek perkembangan yang terjadi setelah meninggalnya Nabi. Pengangkatan Abu bakar sebagai khalifah pertama Negara Islam dalam pengertian terbatas bersifat demokratis (jika istilah ini bias dibenarkan karena klaim semacam itu dalam konteks demokrasi yang terlembagakan seperti sekarang ini akan menjadi ahistoris). Ia lebih sejalan dengan tradisi Arab pada masa itu. Tidak ada istilah satu orang satu suara dalam pemilihan. Hanya para pemimpin suku dan orang-orang penting saja yang bisa turut dalam menyatakan kesetiaan. (Istilah yang dipakai untuk menyatakan dukungan adalah bai’ah yang berarti jual beli, dan menurut Al Munjid berarti memegang tangan seseorang yang ditunjuk oleh para pemimpin kota untuk menjadi pemimpin mereka sebagai tanda pengakuan mereka dan pernyataan untuk mematuhi perintahnya.”5 Jadi istilah dalam masyarakat dagang juga cenderung bersifat komersial ). Tentu saja wanita tidak mempunyai peran dalam pemilihan demikian juga kaum awam. Pemilihan khalifah bukan urusan mereka. Sebagaimana yang sudah kita jelaskan dalam pembahasan sebelumnya kekuasaan monarki atau institusi kerajaan tidak bisa berkembang di kawasan Arabiah ini karena tidak adanya pertanian dan pola-pola produksi peodal.


5 Lihat Al-Munjid (Matba ‘al Khatulika, Beirut), hal. 57.
Karena Negara Islam baru didirikan, maka tidak ada konstitusi tertulis ataupun konvensi-konvensi yang sudah baku. Al-Qur’an dan sunnah Nabi menjadi pedoman khalifah baru. Kekuasaannya belum ditentukan secara teori ia mempunyai kekuasaan mutlak. Namun, dalam praktiknya banyak pembatasan. Negara merupakan sebuah institusi baru bagi mereka. Mereka terbiasa hidup dalam kebebasan. Mereka tidak akan begitu saja mau tunduk pada kekuasaan. Meskipun Muhammad sudah membangun kontrolnya dihampir selurh jazirah Arabiah, ia tidak bisa menjadikan orang-orang nomad untuk tunduk sepenuhnya. Oleh karena itu, Abu bakar harus bertindak berhati-hati.
Pada waktu pelantikannya ia menyampaikan pidato berikut : “ Wahai saudaraku sekalian ! Kamu sekalian berhak mengawasiku dalam menjalankan pemerintahan. Aku bukanlah yang terbaik di antara kalian : Aku memerlukan bantuan kalian. Jika aku benar, dukunglah aku, jika aku salah, tegurlah aku. Mengatakan kebenaran kepada orang yang berkuasa adalah sahabat setia, sedang menyembunyikannya adalah pengkhianat. Dalam pandanganku yang kuat dan yang lemah sama; dan aku ingin menegakkan keadilan bagi keduanya. Sepanjang aku patuh kepada Allah dan Rasul, Ikuti Aku; jika aku mengabaikan hukum-hukum Allah dan Nabi-Nya, aku tidak lagi berhak mendapat dukungan kalian”.6 Jadi sumber kekuasaan baginya adalah Tuhan dan Nabi-Nya. Ia memberikan hak kepada orang-




6 Syayed Athar Husein, The Glorius Cali Phate (Luchknow, 1974) hal. 19
orang untuk menegurnya jika ia salah. Jadi, fungsi Negara pada saat itu bukanlah untuk membangun kekuasaan terhadap warga Negara. Ini tidak berarti bahwa Negara tidak mempunyai sifat represif sama sekali. Negara mulai menggunakan kekuatan untuk menentang para pemberontak dan mereka yang tidak mau mengakui legitimasi rejim baru. Bani Hasyim, misalnya, di bawah kepemimpinan Ali, tidak menyatakan dukungannya kepada khalifah baru selama beberapa waktu. Mereka berkumpul di rumah Ali untuk mendiskusikan rencana mereka. Umar berdiri di dekat pintu rumah Fatimah ( Fatimah adalah putri Nabi dan Istri Ali ) dan berteriak: “Wahai putri Rasulullah! Demi Allah, kami menghormatimu dan kamu mempunyai kedudukan yang terhormat di antara kami semua. Tetapi jika kamu terus mengumpulkan orang-orang di rumahmu, aku akan membakar rumah itu.”7 Diriwayatkan oleh beberapa sejarawan bahwa Umar menendang pintu dan mengenai fatimah yang berdiri di belakangnya dan melukainya. Pada akhirnya semua Bani Hasyim menyerah. Semua penduduk Kota setelah tunduknya Ali, mengakui kekuasaan Negara. Ali dan para pengikutnya tidak menentang maksud didirikannya Negara, tetapi hanya menolak Abu Bakar. Namun demikian, kaum Badui menolak ide Negara itu sendiri, karena ia membatasi kebebasan penuh yang mereka miliki turun temurun. Itulah sebabnya mengapa Al-Qur’an tetap meragukan keislaman mereka.
                                    

7 Maulana Shibli al Nu ‘mani, Al-Farouq, hal. 99.
Artinya :  “Orang-orang Badui itu lebih sangat kekafirannya dan kemunafikannya, dan lebih wajar tidak mengetahui hukum-hukum yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya. Dan Allah Maha  mengetahui lagi Maha Bijaksana. Diantara orang-orang Badui itu, ada yang memandang apa yang dinafkahkannya (dijalan Allah) sebagai suatu kerugian dan dia menanti-nanti marabahaya menimpamu; merekalah yang akan ditimpa marabahaya; Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S.9:97-98).
Jadi ketika ‘musibah’ menimpa kaum muslimin, yaitu ketika Nabi meninggal dunia, banyak suku-suku nomad bangkit menentang kekuasaan penduduk kota. Ini disebut riddah (ke-murtadan) dan menjadi pemberontakan  yang umum terjadi di sepanjang Arbia. Kaum badui tidak pernah mau tunduk pada setiap kekuasaan. Kondisi ekonomi  mereka tidak me-mungkinkan tuntutan pada setiap bentuk negara. Sementara, di dalam Madinah sendiri, perebutan kekuasaan terjadi antara berbagai kelompok, dan setelah mendengar kabar meninggal-nya Nabi suku-suku satu per satu meninggalkan Islam. Perlu kiranya memahami masalah ini dalam perspektif yang benar. Pada dasarnya konflik antara agama baru dan orang-orang Badui bersifat ekonomi, sosial dan moralnya. Goldziher membahas masalah ini secara rinci dalam bukunya, Muhammaden Studien, dalam bab “Muruwah und Din”.8 Prof.Nicholson memberikan ringkasan yang baik sekali mengenai hal tersebut. Di sini kami kutipkan ringkasannya “Sebenarnya, ide dasar tentang Islam adalah asing dan tidak bisa dimengerti oleh kaum Badui. Hal ini bukan lantaran Islam telah menghancurkan berhala-berhala  mereka, namun karena Islam menurut jiwa pengabdian yang


8 Goldziger “Murruwwa and Diend” dalam Muhammaden, Jilid I hal. 57.
ditanamkan pada diri mereka : penyerahan semua kehidupan mereka kepada Allah Yang Maha Kuasa beserta takdir yang telah ditentukan, sembahyang dan puasa, menahan nafsu, dan mengorbankan uang dan harta dijalan Allah …’ Lagi pula, organisasi sosial orang-orang Arab penyembah berhala didasarkan atas suku, sementara organisasi sosial Islam menekan-kan persamaan dan persaudaraan semua orang beriman. Ikatan keagamaan ini telah menghapus semua perbedaan derajat dan keturunan, dan secara teoritis melarang permusuhan antarsuku, persaingan dalam menduduki kedudukan terhormat, kebanggaan suku nilai-nilai yang berakar kuat dalam sifat kekesatriaan Arab….naluri konservatif orang-orang padang pasir ini menentang doktrin Islam di atas, dan meskipun mereka sendiri menjadi Muslim, kebanyakan dari mereka tidak percaya pada Islam dan tidak tahu apa sebenarnya Islam itu. Motif mereka bersifat utilitarian; mereka berharap bahwa Islam akan membawa keberuntungan pada diri mereka; dan sepanjang mereka dalam keadaan sehat, binatang ternak mereka banyak, istri-istri mereka melahirkan bayi laki-laki yang sehat dan kekayaan mereka melimpah, mereka berkata, ‘Kita dirahmati sejak kita memeluk agama ini, dan mereka merasa bangga dengan itu. Tetapi jika malapetaka menimpa, mereka menyalahkan Islam dan lari darinya. Bahwa orang-orang itu mempunyai semangat keagamaan yang kuat terbukti dari keberhasilan mereka mengalahkan bala tentara yang disiplin dari dua kerajaan besar, namun yang terutama mendorong mereka, disamping tujuan mendapatkan rampasan perang, adalah keyakinan bahwa Allah ada di pihak mereka.”9



9 R.A. Nicholson”, A Literary of the Arabs”, hal. 178-179

Jadi terdapat pemberontak yang meluas oleh orang-orang Arab padang pasir ini, yang menakutkan orang-orang di Madinah dan hampir menggoncangkan negara baru (Sebenarnya, orang-orang Arab nomad tetap berada dalam kekacauan, bahkan selama kerajaan besar Umayyah dan Abbasiyyah ). Baladhuri meriwayatkan bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata, “Sepeninggal Rasulullah, kami berdiri di persimpangan jalan di mana jika Allah tidak memberkati kami dengan Abu Bakar, mungkin kami akan binasa. Kami telah sepakat untuk tidak berperang hanya karena bintu makhad (yaitu anak onta yang berumur satu tahun) atau ibnu labbun (onta berumur  tiga tahun) dan sumber penghidupan kami berasal dari desa-desa Arab (yang artinya kami seharusnya tidak berperang melawan orang-orang Arab padang pasir dan mencukupkan diri dengan pendapatan yang berasal dari desa-desa sekitar Madinah).10 Banyak dari orang-orang Arab padang pasir ini tidak mau membayar zakat meskipun mereka tetap mengaku muslim.

B.  Dinamika Pemerintahan Abu Bakar
1.   Dinamika Agama
Ada beberapa gejala yang sungguh umum yang terjadi tidak lama setelah kematian Muhammad SAW. Beberapa dari kalangan yang bukan Arab Quraisy kemudian menyatakan kemerdekaan mereka karena menganggap bahwa ketundukan itu hanyalah berlaku kepada Muhammad SAW sang Rasul. Pembangkangan-pembangkangan yang terjadi pada masa Abu Bakar RA ini juga dibarengi dengan munculnya beberapa orang yang mengaku sebagai nabi baru dan mendakwakan agama ke kaumnya.

10 Baldhuri, “Futuh Al-Buldari” Heiderrabat thn …, hal. 150 – 151
Selain itu juga muncul juga gerakan untuk mogok bayar zakat, dengan anggapan bahwa zakat itu hanya wajib apabila Muhammad ada.
Masalah kematian Rasulullah SAW memang telah membawa dampak yang begitu besar dalam keimanan seseorang kala itu. Krisis ini tidak hanya menerpa mereka yang memang jauh dari Madinah atau jauh dari Rasulullah, akan tetapi juga dialami beberapa sahabat.
Masyarakat muslim kala itu tidaklah se-heterogen bila dibandingkan pada masa selanjutnya, akan tetapi beberapa elemen penyusun dasar masyarakat sudah mulai bervariasi. Otomatis tingkat kepatuhan, keyakinan, minat terhadap Islam motivasi untuk memeluk agama Islam pada masa Rasulullah pasti berbeda-beda. Bisa jadi ada yang motivasinya hanyalah penyelamatan diri dari serangan-serangan Arab, atau juga bisa jadi hanya menghindari beban upeti kepada mereka.”11


11 Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Islam, hal. 57.
Kemudian dengan meninggalnya Nabi Muhammad saw, anggapan bahwa zakat tidak perlu lagi dibayar serta-merta pun muncul. Meskipun beberapa kejadian ini mempunyai indikasi lain yang tidak kalah pentingnya, yakni hanya sebuh usaha agar tidak membayar pajak, akan tetapi kedoknya adalah benar-benar agama, hingga mereka yang melancarkan gerakan nabi palsu, mogok zakat dan lain sebagainya disebut sebagai murtad.”12
2.    Dinamika Sosial.
Sebenarnya masyarakat muslim, yang terdiri dari banyak element dan suku terancam hancur persatuannya pada peristiwa Saqifah. Sejumlah kalangan pengungsi dari Mekkah dan beberapa klan lemah di Madinah juga beberapa orang yang melepaskan diri dari klannya bersatu untuk memikirkan suksesi Abu Bakar r.a. dan menghalangi kalan Khazraj untuk memilih pemimpin sendiri karena hal ini akan sangat rentan dengan munculnya permusuhan di kalangan elit politik dan masyarakat.”13
Selain itu dalam beberapa kisah, yang coba diabaikan beberapa kalangan, disebutkan bahwa terjadi ketegangan antara Bani Hasyim dengan Abu Bakar dan suksesornya Umar bin Khattab.”14
3.    Politik
Kestabilan politik yang telah dirintis oleh Rasulullah saw, berangsur-angsur memburuk setelah kematian beliau. Ini terbukti dengan terjadinya beberapa pemberontakan yang dimotivasi oleh

12 Baik Oleh Ibnu Atsir dan At-Thabari gerakan ini disebut Riddah, Lihat Ibnu Atsir, al-Kamil hal,576 dan Abu Ja’far, Tarikh, hal. 230.
13 Ibnu Atsir , Al-Kamil, hal 342 dan 378.
14 Ira, Sejarah Hal, 56

keinginan diri dari kekuasaan Islam ataupun pemberontakan-pemberontakan yang dilancarkan oleh kaum-kaum murtad.
Selain itu di Madinah, seperti yang kita sebutkan diatas, muncul dua blok kekuasaan politik, satu pihak adalah Abu Bakar r.a. yang telah diangkat menjadi khalifah, di pihak lain adalah Ali bin Abi Thalib r.a. yang dalam pandangan beberapa sarjanawan disebutkan bahwa beliau berpendapat dan disetujui oleh pengikutnya sebagai orang yang lebih berhak untuk menduduki posisi kepemimpinan.”15
Ada banyak versi yang menceritakan pertikaian politik antara dua blok politik terbesar di Madinah. Akan tetapi ada juga riwayat yang menafikan pertikaian politik tersebut, seperti riwayat shahih yang diceritakan oleh at-Thabari” Selain itu Haikal juga menuturkan bahwa riwayat-riwayat yang menyebutkan terjadinya pertikaian politik baru muncul jauh sesudah berakhirnya ke-khalifahan Abu Bakar r.a. yakni pada masa Abbasyiah.”16
a.    Stabilitias Negara.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar r.a., tercatat beberapa pemberontakan yang membahayakan bagi kesatuan negara Islam. Beberapa diantaranya adalah gerakan-gerakan riddah yang muncul tidak lama setelah kematian Rasulullah saw. Pemberontakan-pemberontakan itu bisa dilatari beberapa alasan baik alasan politik, ekonomi ataupun agama. Beberapa pemberontakan dan gerakan yang mengancam Stabilitas  negara itu dapat kita sebutkan sebagai berikut:


15 Husein Muhammad Haikal, Khcdifah Abubakar As-Shiddiq, Terjemahan Abdul Qadir Mahdamy (Solo: Pustaka Mantiq, 1994), hal 71 Lihat juga S.H. M.Jafri, Dari Saqifah sampai Imamah, terjemah Kieraha (Bandung:Pustaka Hidayah, 1997) hal. 95.

16 Ibid S.H. M.Jafri Juga menuliskan Cerita Sama dari Saqifah hal.100
1.    Pemberontakan Thulaihah yang mengklaim dirinya sebagai nabi sebelum wafatnya Rasulullah saw.
2.    Pemberontakan Sajjah dan Malik bin Nuwairoh di dari Yamamah.
3.    Perang Yamamah, dan Musailamah yang menyebutkan dirinya sebagai nabi.
4.    Gerakan riddah di Baharain, Omman, Muhrah, Hadramaut dan Kinda.

b.    Ekspansi
Meskipun Abu Bakar r.a. tidak banyak melakukan perluasan daerah kekuasaan, akan tetapi beliau berhasil menaklukkan beberapa wilayah.17
1.    Penaklukkan Iraq, seperti Muhadhor, Ullais, Nahrud Dain, Anbar dan Ain Tamar oleh Khalid bin Walid (12 H).
2.    Penaklukkan Syam oleh Khalid bin Walid ( 13 H ), yang sebelumnya telah ditekan oleh Khalid bin Sa’id bin Ash.
c.    Kebijakan Politik Abu Bakar r.a.
Dalam perjalanan Abu Bakar r.a., beliau telah menetapkan beberapa kebijakan dalam politik, beberapa kebijakan penting beliau selain menumpas pemberontakan dan melakukan ekspansi adalah :
1.    Menjadikan Hirroh sebagai pusat militer untuk penyerangan selanjutnya ke Syam.
2.    Menaklukkan daerah-daerah yang berpeluang untuk membantu melawan Kaisar.
3.    Pemindahan baitul mal dari Sunnah ke Madinah.
4.    Mengurusi janda-janda perang di Madinah.
5.    Penunjukkan Umar bin Khatab r.a sebagai penggantinya sebagai Khalifah.

4.    Intelektual.
Sedangkan beberapa kontribusi yang telah kita sebutkan diatas seperti perluasan daerah, pemulihan stabilitas negara dan lain sebagainya, pemerintahan Abu Bakar r.a. juga telah memberikan kontribusi lain untuk kepentingan pemerintahan Islam selanjutnya.
Sebenarnya, sala satu keberhasilan Rasulullah saw dalam kepemimpinannya adalah mengganti system politik bangsa Arab yang dahulunya terpecah belah di bawah naungan klan. Seseorang tidak bisa mengklaim bahwa dirinya adalah seorang yang merdeka bila ia tidak bernaung dibawah sebuah klan. Kemudian Rasulullah saw menggantikan sistem ini dengan kesatuan politik yang bernama Ummah, yakni kesatuan seluruh Ummat Islam.18
Sedangkan pada masa Abu Bakar r.a. kesatuan politik bangsa-bangsa Arab yang terpecah belah dibawah beberapa kekuasaan politik telah dirancang untuk disatukan dibawah kekuasaan negara Islam. Kesatuan ini menjadi sistem pemerintahan negara yang oleh bangsa Arab sebelumnya tidak diperhatikan.
Selain itu juga, Abu Bakar r.a. juga telah merintis sistem pengambilan keputusan dengan keputusan syura. Lain halnya dengan Rasulullah saw yang keputusannya adalah mutlak karena memang beliau menjadi wadah penerima wahyu. Pada pengambilan keputusan-keputusan genting, beliau sering memanggil orang-orang yang menurutnya berkompeten untuk didengar pendapatnya, yakni pada saat itu adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw dengan begitu beliau telah mulai merintis pembangunan dasar-dasar pemerintahan imperium Islam.19



18 Ira, Sejarah Sosial, hal.29.
19 Haikal, Abu Bakar, hal.329
D.    Kematian Abu Bakar r.a.
Setelah menderita sakit demam selama lima belas hari akhirnya Abu Bakar r.a. meninggal dunia pada hari senin, 21 Jumadil Akhir 13 H (22 Agustus 634 M) pada usia 63 tahun. Riwayat yang paling kuat mengenai sebab sakitnya beliau adalah riwayat yang berasal dari putrinya yang menyebutkan bahwa beliau sering mandi malam. Sedangkan pemerintahan beliau berjalan selama dua tahun tiga bulan dan sepuluh malam.20
Selama sakitnya beliau tidak bisa mengimani shala jam’ah hingga beliau digantikan oleh Ummar bin Khattab r.a. selain itu juga beliau selalu memikirkan perkara ummat Islam yang akan ia tinggalkan. Beberapa motivasi dan penyebab mendorongnya untuk menunjuk orang yang menggantikannya setelah berbincang-bincang dengan para sahabat besar lainnya, yang membulatkan tekad beliau untuk menunjuk Umar bin Khattab r.a. sebagai penggantinya.
Ada beberapa hal yang mungkin sangat berpengaruh terhadap Abu Bakar r.a. untuk memilih sendiri orang yang akan menggantikannya. Salah satunya adalah perdebatan yang pernah terjadi di Saqifah Bani Saidah setelah Rasulullah saw meninggal dunia, selain itu juga masukan-masukan positif tentang Umar bin Khattab r.a. dari sahabat-sahabat besar lainnya.21
Di lain pihak, Jafri menuturkan bahwa penunjukkan ini juga salah satu bentuk penghalangan Ali bin Abi Thalib r.a. dari posisi ke-khalifahan. Sangat tidak mengherankan bila Umar bin Khattab r.a. tidak memilih Ali bin Abi Thalib r.a. yang tidak mau membaiatnya lima hingga enam bulan pemerintahannya. Tentu saja Umar bin Khattab r.a. yang juga merupakan pioner pengangkatan Abu Bakar r.a.


20 Ibnu Atsir, Al-Kamil hal.419.
21 Haikal, Abu Bakar r.a, hal.347
sebagai khalifah pada peristiwa Saqifah akan mendapatkan kepercayaan Abu Bakar r.a. untuk menjadi khalifah.
Menurut Jafri bahwa penghalangan Ali bin Abi Thalib r.a dari ke-khalifahan berlanjut pada masa pemerintahan Umar bin Khattab r.a. yakni ketika beliau memilih enam orang sahabat sebagai ahlul hilli wal aqdi yang bertugas untuk menentukan penggantinya, akan tetapi keputusan akhir diberikan kepada Abdurrahman bin Auf yang merupakan sahabat dekat Utsman bin Affan. Selain itu juga oleh Abdurrahman bin Auf juga menyaratkan kesanggupan untuk mengikuti tata cara (sunnah) Rasulullah saw dan dua orang pendahulunya dalam menjalankan pemerintahan. Tentu saja Ali bin Abi Thalib r.a. tidak akan menyanggupinya yang lain halnya dengan Utsman yang menyatakan bahwa ia akan menyanggupi syarat tersebut.22
Terlepas dari yang manakah pendapat yang paling mendekati kebenaran, paling tidak kita telah mengetahui beberapa perbedaan pendapat dalam masalah ini.

22  Jafri, Dari Saqifah. Hal. 95.

III.    Penutup
Masa pemerintahan Abu Bakar r.a. adalah masa transisi dari kepemimpinan seorang rasul yang mendapat bimbingan wahyu dan mempunyai keabsulatan keputusan mutlak kepada seorang sahabat biasa. Maka masa pemerintahan beliau ini diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan dan gerakan-gerakan riddah di beberapa wilayah.
Kesulitan dalam menumpas semua gerakan yang mendorong kestabilan negara telah menarik perhatian dan waktu Abu Bakar r.a. hingga tidak bisa berbuat banyak dalam urusan perluasan wilayah, disamping umur pemerintahan beliau yang relatif singkat. Akan tetapi masa transisi ini adalah salah satu masa terpenting dalam sejarah Islam, karena inilah masa pertama dimana kepemimpinan negara Islam diambil oleh seorang yang bukan rasul, dan mereka (Abu Bakar r.a. dan rakyatnya) berhasil dengan gemilang.
Setelah masa transisi ini berhasil dilalui, dan keamanan sudah relative lebih tenang, maka khalifah selanjutnya, Umar bin Khattab r.a. bisa lebih leluasa untuk memikirkan perluasan wilayah. Dalam sepuluh tahun pemerintahannya beliau berhasil menaklukkan beberapa wilayah-wilayah penting bagi beberapa imperium besar.
Selain itu juga beliau telah berhasil meletakkan sistem administrasi negara, hukum, dan politik yang mapan untuk ukuran saat itu.
Semoga Allah SWT menunjuki kita untuk mengkaji sejarah yang lebih dekat kepada faktanya. Amien.



DAFTAR PUSTAKA
Ali, K, Study of Islamic Story. Delhi : Idarah Adabiyah, 1980
Asghar Ali Enginer, Asal Usul dan Perkembangan Islam, Pustaka Pelajar, 1999
Atsir, Ibn, Al-Kamil Fi At-Tarikh, Jilid II. Beirut : Daar Ashwar, 1965
____, Al-Kamil Fi At-Tarikh, Jilid III. Beirut : Daar Ashwar, 1965.
Bakhsh, Khuda, Politics In Islam. India: Idarah Adabiyah Delhi, 1975
Haikal, Husain, Abu Bakar al-Shiddiq, Terj. Abdul Kadir Mahdawi. Solo : Pustaka Mantiq, 1994.

Hodgson, Marshall, The Venture Of Islam, jil. L Chicago: Chichago University Press, 1974.

Jafri, S.H. M, Dari Saqifah Sampai Imamah, terj. Kieraha Bandung : Pustaka Hidayah, 1997.

Ja’far, Abu, Tarikh at-Thabari, jil. III,. Daar Maarif: Kairo, 1963.
____, Tarikh at-Thabari, jil. IV. Daar Maarif: Kairo 1963.
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. Ghufron, bag. I dan II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999.

Maududi, Abul A’la, Khalifah dan Kerajaan. Jakarta : Mizan, 1996.
Nadwi, Abul Hasan, Kehidupan Nabi Muhammad, terj. Yunus Ali Mudhar. Semarang : as-Syifa, 1992.

Nasution, Harun, Ensiklopedi Islam di Indonesia. Jakarta : Djambatan, 1992.
Nujjar, Abdul Wahhab, al-Khulafa’ ar-Rasyidun. Beirut : Daar al-Qalam, 1986.
Sayyed Athar Husein, The Glorious Caliphate (Lucknow) 1974.
Schacht, Josep, An Introduction to Islamic Law. Inggris : Oxford Press, 1971.
Shiddiqi, Hasbiy, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta : PN Bulan Bintang, 1970.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar