Senin, 24 September 2018

POLEMIK IMAM AL-GHAZALI DAN IBNU RUSYD TENTANG METAFISIKA DAN KAUSALITAS



A.    PENDAHULUAN
Imam al-Ghazali (1058-111 M) dikenal sebagai ulama yang banyak mengkritik pendapat para filosof pendahulunya, seperti Aristoteles (382-322 SM), Al-Farabi (874-999 M), Ibn Sina (980-1037) dan lain-lain. Adapun pendapat mereka yang ia kritik adalah 20 masalah metafisika. Tiga diantaranya Al-Ghazali mengatakan bahwa filsafat mereka membawa kepada kekufuran yaitu :
1.      Bahwa aliran alam tidak bermula (qadim).
2.      Bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juz’iyat)
yang terjadi di alam.
3.      Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-jasad) di akhirat.1
Sedang masalah metafisika yang lainnya Al-Ghazali mengidentifikasikan mereka dengan Mu’tazilah.
Sebagai pembelaan atas kaum filosof terhadap serangan-serangan Al-Ghazali, Ibn Rusyd (1126-1198 M) menulis buku yang berjudul “Tahafut al-Tahafut” (kekacauan diatas kekacauan), sebagai bantahan dan jawaban terhadap buku Al-Ghazali yang berjudul “Tahafut al-Falasifah” (kekacauan pemikiran filosof-filosof).

B.     PERBEDAAN PENDAPAT AL-GHAZALI DAN IBNU RUSYD
Al Ghazali2 berpendapat bahwa pemikiran para filosof tentang metafisika bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu, ia mengecam secara langsung dua tokoh Neo-Paltonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn Rusyd), yaitu
 

                        1  Al Ghazali, Al-Munqidz Min al Dhalal (Kairo:Al-Matba’ah) al-Islamiyah, 1977), hlm. 26
     2  Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali, digelar Hujjah al-Islam. Ia lahir di Thus, bagian dari kota Khurasan, Iran pada 450 H (1056 M). Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana sebagai pemintal benang, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tingi seperti terlihat simpatiknya kepada ulama, dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasehat kepada ummat. Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya, Al-Ghazali dan saudaranya Ahmad yang ketika itu masih kecil, kepada seorang ahli Tasyauf untuk mendapatkan didikan dan bimbingan. Diperkirakan Al-Ghazali, hidup dalam suasana kesederhanaan sufi tersebut sampai usia 15 tahun (450-465 H). lihat Dr.Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hlm. 77.
Dalam masalah alam tidak bermula (qadim), Tuhan tidak mengetahui perincian dalam dan pembangkitan jasmani tidak ada.3

1.      A. Tentang Qadimnya Alam Menurut Al-Ghazali
Dikalangan pemikir Yunani seperti Aristoteles, mengatakan bahwa alam ini qadim dalam arti kata tidak ada awalnya.4 Dan faham ini juga dianut para filosof muslim seperti Al Farabi dan Ibn Rusyd, mereka membuat beberapa alasan yaitu :
·        Mustahil secara mutlak yang baharu muncul dari yang qadim.
·        Tuhan lebih dahulu daripada alam.
Tuhan lebih dahulu daripada alam bukan dari segi zaman melainkan dari segi zat (tingkata), seperti terdahulunya bilangan satu dari dua, atau dari segi kausalitasnya, seperti dahulunya  gerakan seseorang atas gerakan bayangannya, sedang gerakan tersebut sebenarnya sama-sama mulai dan sama-sama berhenti, artinya sama dari segi zaman. Berarti Tuhan lebih dahulu daripada alam dan zaman, dari segi zaman, bukan dari segi zat, maka artinya sebelum wujud alam dan zaman tersebut, sudah terdapat suatu zaman dimana (tidak ada) murni terdapat didalamnya sebagai hal yang mendahului wujud alam.
·        Tiap-tiap yang baru didahului oleh bendanya.
Tiap-tiap yang didahului oleh bendanya untuk didapat dikatakan bahwa benda itu baru. Yang baru hanyalah form, sifat-sifat dan peristiwa-peristiwa yang mendatangkan kepada benda.5
Al-Ghazali menjawab alasan-alasan para filosof tersebut dengan membedakan antara iradat yang qadim dengan apa yang dikehendakinya. Kehendak Allah yang azali adalah mutlak, artinya bisa memilih sewaktu-



 

3  Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jld II (Jakarta: UI-Press,1979) Hal.65
4  Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Sulaiman Duya, (ed) (Kairo: Dar al Ma’arif,tt.), Hal 88.
5  Ibid, Hal.118.

waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya karena sebab tersebut adalah kehendakNya sendiri. Kalau masih ditanya sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas tidak lagi bebas.6
Menurut Al-Ghazali, terdahulunya tuhan dari alam dan zaman ialah maksudnya adalah bahwa tuhan sudah ada sendirian pada saat alam belum ada, kemudian Ia menciptakan alam, hingga pada saat itu tuhan ada beserta alam. Pada keadaan pertama adanya zat Tuhan zat alam, sedangkan alam hanyalah gerakan alam yang berarti sebelum ada benda (alam) tentu saja belum ada alam.
Selanjutnya menurut Al-Ghazali, alam itu bukanlah suatu sistem yang berdiri sendiri, bebas dari lainnya, bergerak, berubah, tumbuh dan berkembang dengan dirinya, dengan hukum-hukumnya. Tetapi wujud, sistem dan hukum-hukumnya bertopang pada Allah. Dia lah yang mencipta, menahan, mengendalikan, menghidupkan, dan mematikan segala sesuatu.7
Dengan demikian menurut Al-Ghazali bahwa alam qadim dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima dalam theologi Islam. Sebab, menurut theology Islam Tuhan adalah pencipta, yang dimaksud dengan pencipta adalah yang menciptakan sesuatu dari tiada (creation ex nihilo). Kalau alam dikatakan qadim, berarti alam tidak diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta, sedangkan Al-Qur’an menyebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Menurut Al-Ghazali alam haruslah hadits (Bermula).8 Jika alam qadim berarti ada banyak yang qadim, hal ini mengindikasikan kesyirikan atau justru tidak ada perlu adanya Tuhan sang pencipta.9





 

6  Ibid, Hal.96. A.Ahmadi, Filsafat Islam (Semarang: Toha Putra, 1988), hlm.216.
A.Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), hlm. 114
7  A.Ahmadi, Ibid, Hal.217-219. A.Hanafi, Ibid, hlm. 147.
8  Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, hlm.38.
9  Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm.85

1.      B.   Tentang Qodimnya Alam Menurut Ibn Rusyd

Pendapat para filosof bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima kalangan teologi Islam, sebab menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini membawa kekufuran. Demikian gugatan Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah.
Ibnu Rusyd, begitu pula para filosof lainnya berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada atau kekosongan tidak mungkin berubah menjadi ada. Yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.10
Pernyataan bahwa creatio ex nihilio tidak didukung oleh dasar syari’at yang kuat, disanggah oleh Ibn Rusyd. Tidak ada ayat yang mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain dari dirinya, dan kemudian dijadikanlah alam ini. Ini kata Ibn Rusyd hanyalah merupakan pendapat dan Interpretasi kaum teolog.11
Pendapat Ibn Rusyd ini didukung oleh beberapa ayat Al-Qur’an yang mengandung pengertian bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada, seperti ayat berikut ini :
qèdur Ï%©!$# t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur Îû Ïp­GÅ 5Q$­ƒr& šc%Ÿ2ur ¼çmä©ötã n?tã Ïä!$yJø9$# öNà2uqè=ö7uŠÏ9 öNä3ƒr& ß`|¡ômr& WxyJtã 3 úÈõs9ur |Mù=è% Nä3¯RÎ) šcqèOqãèö6¨B .`ÏB Ï÷èt/ ÏNöqyJø9$# £`s9qà)us9 tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿŸ2 ÷bÎ) !#x»yd žwÎ) ֍ósÅ ×ûüÎ7B ÇÐÈ




 

                        10  De Boer, T.J., Tarikh al-Falsafah fi al-Islam, terjemahan Arab oleh Abd. Al-Hadi Abu Raidah.                                  Kairo: Lajnah al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1938. hlm. 260.
      11  Nasution, Falsafah dan Misticisme, hlm. 44.
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu Berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata". ( Q.S. Hud; 11:7 )

Ayat ini menurut Ibn Rusyd mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya sebelum langit dan bumi diciptakan telah ada air, tahta, dan masa.12
§NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$uK¡¡9$# }Édur ×b%s{ߊ tA$s)sù $olm; ÇÚöF|Ï9ur $uÏKø$# %·æöqsÛ ÷rr& $\döx. !$tGs9$s% $oY÷s?r& tûüÏèͬ!$sÛ ÇÊÊÈ
Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu dia Berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati". (Q.S. Fushlihat; 41:11).

Ayat-ayat sebelum ayat ini menyatakan bahwa Tuhan menciptakan bumi dalam dua hari (masa), dihiasinya dengan gunung-gunung dan diisinya berbagai macam makanan kemudian barulah Tuhan naik ke langit yang pada waktu itu masih merupakan uap. Ibn Rusyd menafsirkan ayat ini mengandung arti bahwa langit dijadikan dari sesuatu yaitu uap.
Dari ayat-ayat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan telah ada benda lain. Dalam sebagian ayat benda itu diberi nama air, dan dalam ayat lain disebut uap. Selanjutnya dapat pula ditarik kesimpulan bahwa bumi dan langit dijadikan dari air atau uap sesuatu yang ada bukan dijadikan dari tiada. Sementara itu tidak pernyataan dalam Al-Qur’an yang secara eksplisit menegaskan “Tuhan ada bersama-sama dengan non-wujud (tiada) dan kemudian mewujud setelah ia tiada”.13
 

      12  Al-Ahwani, Al-Falsafah, hlm. 144.
      13  Fakhry, hlm. 314. 
2.            A. Tentang Pengetahuan Tuhah Menurut Al-Ghazali
Para filosof berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal kecil kecuali yang dengan cara kulliy. Dengan alasan yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu bergantung kepada yang diketahui atau dengan kata lain perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu, atau sebaliknya berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi.
Misalnya pada peristiwa gerhana matahari, sedangkan sebelumnya tidak gerhana dan gerhana akan hilang. Sebelumnya kita mengetahui gerhana itu tidak ada dan ketika terjadi gerhana pengetahuan kita berubah jadi mengetahui adanya gerhana, lalu ketika gerhana berlalu, pengetahuan kita berubah jadi mengetahui tidak ada gerhana lagi. Dari contoh ini bisa menunjukkan pengetahuan yang satu bisa menggantikan pengetahuan yang lain.
Tuhan mengetahui gerhana dengan segala sifat-sifatNya, pengetahuan yang azali, abadi dan tidak berubah-ubah seperti hukum alam yang menguasai terjadinya gerhana. Jadi Ilmu Tuhan mengetahui sejak azali karena sebab-sebab yang ditimbulkan oleh sebab-sebab lain yang sifatnya juz’i.
Menurut Al-Ghazali, Ilmu adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat. Kalau terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaan-Nya yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada yang berdiri di sebelah kanan kita kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka sebenarnya yang berubah adalah kita bukan Dia.
Argumentasi Al-Ghazali ini juga berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi petunjuk bahwa Tuhan mengetahui yang juz’iyah seperti firmanNya dalam Surah Al-Hujurat Ayat 16 :
šcqßJÏk=yèè?r& ©!$# öNà6ÏZƒÏÎ/ ª!$#ur ãNn=÷ètƒ $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 4 ª!$#ur Èe@ä3Î/
 >äóÓx« ÒOÎ=tã ÇÊÏÈ
Artinya : 16.  Katakanlah: “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu ?”
Dalam Surah Yunus Ayat 61 :
4 $tBur Ü>â÷ètƒ `tã y7Îi/¢ `ÏB ÉA$s)÷WÏiB ;o§sŒ Îû ÇÚöF{$# Ÿwur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# Iwur ttóô¹r& `ÏB y7Ï9ºsŒ Iwur uŽy9ø.r& žwÎ) Îû 5=»tGÏ. AûüÎ7B ÇÏÊÈ
Artinya : “Tidak luput dari pengetahuan Tuhan biarpun sebesar Zarrah di bumi ataupun di langit, tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang besar dari itu.”

2.   B. Tentang Pengetahuan Tuhah Menurut Ibn Rusyd
Masalah kedua yang digugat Al-Ghazali dan dianggapnya membawa kepada kekufuran ialah masalah Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Kalau Al-Ghazali mengatakan, menurut para filosof Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, maka oleh Ibn Rusyd menjawab, Al-Ghazali dalam hal ini salah paham, sebab para filosof tidak ada pernah mengatakan demikian, yang ada ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn Rusyd pertentangan antara Al-Ghazali dan para filosof timbul dari penyamaan pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indra dan dengan panca indra ini pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyah) yang materi itu.
Selanjutnya, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa pengetahuan Tuhan merupakan sebab (bagi wujudnya perincian) yang tidak berubah oleh perubahan yang dialami juziyah. Tuhan mengetahui apa-apa yang akan terjadi dan sesuatu yang telah terjadi. Pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu yang telah lampau, sekarang, dan akan datang. PengetahuanNya bersifat qadim yaitu semenjak azali Tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, betapa pun kecilnya.14 Meskipun demikian pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi sifat kulliyah atau juziyah. Sebab kedua sifat itu merupakan kategori-kategori manusia, bukan merupakan kategori Ilahi. Sebenarnya bentuk pengetahuan Tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh Tuhan sendiri.15

3.      A. Tentang Kebangkitan Jasmani Menurut Al-Ghazali
Para filosof berkeyakinan bahwa alam akhirat adalah alam keruhanian, bukan materil. Karena perkara keruhanian lebih tinggi nilainya daripada alam materil. Karena itu pikiran tidaklah mengharuskan adanya kebangkitan jasmani, surga atau neraka serta segala isinya.16
Pada intinya menurut mereka mustahil manusia dibangkitkan kembali dengan jasad yang semula, sebab jasad tersebut telah hancur dan terurai menjadi bahan makanan dan menjadi bagian dari tubuh makhluk lain seperti hewan, tumbuhan atau bahkan manusia lainnya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa jika manusia tetap wujud sesudah mati, karena ia merupakan subtansi yang berdiri sendiri. Pendirian tersebut tidak berlawanan dengan syara’, bahkan ditunjukkan seperti disebutkan dalam Al-Qur’an dalam Surah Yasin ayat 78 dan 79 :

z>uŽŸÑur $oYs9 WxsWtB zÓŤtRur ¼çms)ù=yz ( tA$s% `tB ÄÓ÷ÕムzN»sàÏèø9$# }Édur ÒOŠÏBu ÇÐÑÈ ö@è% $pkŽÍósムüÏ%©!$# !$ydr't±Sr& tA¨rr& ;o§tB ( uqèdur Èe@ä3Î/ @,ù=yz íOŠÎ=tæ ÇÐÒÈ

Artinya : “ ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang Telah hancur luluh?, Katakanlah : "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.
 

      14  Musa, Bain, hlm. 215.
      15  De Boer, hlm. 261.
      16  Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, hlm.213

3.  B. Tentang Kebangkitan Jasmani Menurut Ibn Rusyd
Dalam membantah gugatan dan vonis Al-Ghazali, Ibn Rusyd menandaskan bahwa filosof tidak menolak adanya kebangkitan bahkan semua agama samawi mengakui adanya kebangkitan ukhrawi. Hanya saja sebagian berpendapat bahwa kebangkitan tersebut dalam bentuk rohani dan sebagian yang lain berpendapat bahwa dalam bentuk rohani dan jasmani sekaligus.
Meskipun Ibn Rusyd cenderung berpendapat bahwa kebangkitan diakhirat nanti dalam wujud rohani saja, ia tidak menafikan kemungkinan kebangkitan jasmani bersama-sama rohani. Kalaupun kebangkitan ukhrawi tersebut dalam bentuk fisik, di mana roh-roh akan menyatukan kembali dengan jasad sebagaimana keadaannya semula di dunia, tetap jasad tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia itu sendiri, sebab jasad yang ada di dunia telah hancur dan lenyap disebabkan kematian, sedangkan yang telah hancur mustahil dapat kembali seperti semula.17
Para filosof menolak konsep kebangkitan jasmani, karena mereka menganggap hal tersebut mustahil. Menurut mereka unsur-unsur fisik manusia yang telah mati akan diproses oleh alam. Proses panjang alam tersebut tidak menutup kemungkinan merubah unsur pertama menjadi dari bagian fisik manusia yang lain. Dengan demikian jika kebangkitan ukhrawi manusia dalam bentuk fisiknya yang semula maka terdapat kemungkinan manusia yang dibangkitkan dalam bentuk fisik yang tidak sempurna.18
Ibn Rusyd sendiri melihat bahwa adanya pertentangan didalam pendapat Al-Ghazali. Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali mengatakan bahwa kebangkitan tidak hanya dalam bentuk rohani, tetapi dalam tulisannya yang lain pada buku yang berbeda, ia mengatakan bahwa kebangkitan bagi kaum sufi akan terjadi hanya dalam bentuk rohani, tidak dalam bentuk jasmani.19 Karena itu Al-Ghazali telah membatalkan sendiri gugatan dan vonisnya terhadap para filosof. Sejarah kehidupan Al-Ghazali menunjukkan bahwa ia terakhir adalah sebagai tokoh sufi.
 

17  Musa, Bain, hlm. 223
18  Musa, Bain, hlm. 221
19  Nasution, Falsafat dan Misticisme, hlm. 47.

Sungguhpun demikian, Ibn Rusyd berpendapat bahwa bagi orang awam soal pembangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, dan tidak hanya dalam bentuk rohani, karena pembangkitan jasmani lebih mendorong bagi kaum awam untuk melakukan pekerjaan baik dan meninggalkan perbuatan jahat.

C.  PENUTUP
Dari penjelasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dan kaum filosof tentang arti baru dan qadim. Baru menurut Al-Ghazali berarti mewujudkan dari tiada, sedangkan menurut kaum filosof kata itu berarti mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan qadim menurut Al-Ghazali ialah suatu yang berwujud tanpa sebab, sedangkan menurut kaum filosof adalah tidak selalu tanpa sebab bisa juga berarti sesuatu yang berwujud dengan sebab.
Al-Ghazali telah salah memahami pendapat para filosof, bahwa sebenarnya para filosof tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang sifatnya particular, namun untuk mengetahui hal itu Tuhan dapat mengetahuinya dengan pengetahuan tuhan yang sifatnya Kully.
Dalam persoalan jasmani, Ibn Rusyd dan Al-Ghazali tidak jauh berbeda karena Ibn Rusyd tidak menafsirkan adanya kebangkitan jasmani dan ruhani, tetapi itu dipergunakan untuk penjelasan bagi orang awam karena hal-hal yang bersifat ruhani jauh lebih tinggi daripada hal-hal yang bersifat materil.








DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, A., Filsafat Islam, Semarang: Toha Putra, 1988.
Al-Ghazali, Al-Munqidz Min al Dhalal. Kairo:Al-Matba’ah al-Islamiyah, 1977.
_____________, Tahafut al-Falasifah, Sulaiman Duya, (ed). Kairo: Dar al  Ma’arif,tt.
Daudi, Ahmad Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
Hanafi, A., Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995.
Hasbullah, H., Disekitar Filsafat Skolastik Islam. Jakarta: Tintamas, 1984.
Musa, Mhd. Yusuf, Bain al-Din wa al-Falsafah. Kairo: Dar Ma’arif, 1971.
Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jld II. Jakarta:       
         UI-Press, 1979.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Syarif, M.M (ed), History of Muslim Philosofhy, vol Ibn Rusyd-II,. Wesbaden: Otto Harrowits, 1963.

Rusyd, Ibn, Tahafut al-Tahafut, (ed), Sulaiman Dunya. Mesir: Dar al-Ma’arif, tt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar