Makalah
BAB I
Pendahuluan.
Negeri Islam yang
selamat dari kehancuran akibat serangan-serangan bangsa Mongol, baik serangan Hulagu
Khan maupun Timur lenk, Negeri itu adalah Mesir yang ketika itu berada dibawah
kekuasaan Mamalik. Karena, negeri ini terhindar dari kehancuran, maka
persambungan perkembangan peradaban dengan masa klasik relative terklihat dan
beberapa diantara prestasi yang pernah dicapai pada masa klasik bertahan di Mesir.
Walaupun demikian, kemajuan yang dicapai oleh Dinasti Mamalik masih dibawah
prestasi yang pernah dicapai oleh umat islam pada masa klasik. Hal itu mungkin
karena metode berfikir tradisioanl sudah tertanam sangat kuat sejak
berkembangnya aliran teologi Asy’ariyah, juga karena Bagdad
dengan fasilitas-fasilitas ilmiahnya yang banyak memberi inspirasi
kepusat-pusat peradaban islam telah hancur.
Kemunculan dan
kebangkitan Dinasti Mamalik merupakan satu fenomena yang sangat sulit dipahami.
Fenomena ini terbilang ajaib atau unik. Dinasti Mamalik, sebagaimana ditunjukkan
oleh namanya,[1]
merupakan dinasti para budak, yang berasal dari berbagai suku dan bangsa
menciptakan suatu tatanan kekuasaaan militer diwilayah asing. Para
sultan-budak ini menegaskan kekuasaan mereka atas wilayah Suriah-Mesir, yang
sebelumnya dikuasai tentara salib.
Selama beberapa waktu
mereka berhasil menahan laju serangan pasukan Mongol pimpinan Hulagu Khan dan
Timur Lenk. Seandainya mereka gagal bertahan, tentu seluruh tatanan sejarah dan
kebudayaan di Asia Barat dan Mesir akan berubah drastis. Berkat kegigihan
mereka, Mesir bisa bertahan, dan selamat dari serangan Mongol yang telah
menghancurkan Suriah dan Iraq, sehingga penduduk Mesir bisa tetap menyaksikan
kesinambungan budaya, suatu fenomena yang tidak dinikmati oleh Negara-negara
islam lain di luar daratan Arab. Sekitar dua atau tiga perempat abad
(1250-1517) Dinasti-dinasti Mamalik menguasai satu kawasan panas di dunia dan
memelihara keutuhan daerah tersebut, meskipun mereka terdiri atas berbagai ras
yang berbeda-beda.
BAB II
Pembahasan Dinasti
Mamalik di Mesir
A. Berdirinya
Dinasti Mamalik
Mamalik
adalah jamak dari kata mamluk yang berarti budak. Dinasti mamalik memang
didirikan oleh para budak. Mereka pada mulanya adalah orang-orang yang ditawan
oleh penguasa Dinasti Ayyubiyah sebagai budak, kemudian dididik dan dijadikan
tentaranya. Mereka ditempatkan pada kelompok tersendiri yang terpisah dari
masyarakat. Oleh penguasa Ayyubiyah yang terakhir, (Al-Malik Al-Shalih Najm
al-Din), mereka dijadikan pengawal untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya.
Pada masa penguasa ini, mereka mendapat hak-hak istimewa, baik dalam karier
ketentaraan maupun dalam imbalan-imbalan material. Pada umumnya, mereka berasal
dari daerah Kaukakus dan Laut Kaspia. Di Mesir, mereka ditempatkan di pulau
Raudhah di Sungai Nil untuk menjalani latihan militer dan keagamaan. Karena
itulah mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri (laut). Saingan mereka dalam
ketentaraan pada masa itu adalah tentara yang berasal dari suku Kurdi.
Fondasi
kekuasaan Mamalik diletakkan oleh Syajar al-Durr,[2]
janda dari Al-Malik Al-Shalih Najm al-Din dari dinasti Ayyubiyah. Ketika Al-Malik
Al-Shalih Najm al-Din meninggal dunia (1249 M),[3]
anaknya, Turansyah, naik tahta sebagai Sultan. Golongan Mamalik merasa terancam
karena Turansyah lebih dekat kepada tentara asal Kurdi daripada mereka. Pada
tahun 1250 M, Mamalik di bawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh
Turansyah.[4]
Istri Al-Malik Al-Shalih Najm
al-Din, Syajarah Al-Durr, seorang yang juga berasal dari kalangan Mamalik
berusaha mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan
Mamalik. Kepemimpinan Syajarah Al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia
kemudian kawin dengan seorang tokoh Mamalik bernama Aybak dan menyerahkan
tampuk kepemimpinan kepadanya dan sambil berharap dapat terus berkuasa
dibelakang tabir. Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajarah
Al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan.
B. Perkembangan dan kemajuan Dinasti Mamalik
1.
Mamluk Bahri
Najmuddin[5]
dari Daulah Ayyubiyah memiliki banyak pengiring dari hamba sahaya yang di
tempatkan di pulau Rawdah di banjaran sungai Nil. Budak (hamba sahaya) ini
kebanyakan berasal dari Turki dan Mongol. Mereka disebut dengan Budak Bahri.
Keturunan dari hamba sahaya yang bertempat tinggal di pulau itu mendirikan
kerajaan bernama Mamalik Bahriyah.
Aybek
(1250-1257) adalah sultan Mamluk yang pertama, tugas pertama dinasti baru ini
adalah melakukan konsolidasi atas seluruh wilayah kerajaan dan mengamankan
daerah perbatasan. Aybak menghabiskan sebagaian besar waktunya dalam peperangan
di Suriah, Palestina, dan Mesir.
Al-Muzhaffar
Sayf al-Din Quthuz (1259-1260), memecat dan merebut tahta kekuasaan dari tangan
putra Aybak, al-Manshur ‘Ali, (1257-1259). Pada masa kekuasaannya, para
penguasa dari dinasti Ayyubiyah di Suriah menganggap diri mereka sebagai
pengganti sah Dinasti Ayyubiyah di Mesir. Mereka melakukan penyerangan ke
Dinasti Mamalik, namun dapat dipukul mundur oleh Quthuz. Tidak lama setelah
berhasil memukul mundur serangan dari sisa-sisa Dinasti Ayyubiyah, menyusul
kemudian serangan yang lebih berbahaya dari pasukan Tartar Hulagu yang dipimpin
oleh Kitbugha. Utusan-utusan Hulagu kepada Quthuz dieksekusi dan memicu
peperangan di Ain Jalut (1260). Dalam pertempuran ini Baybar memimpin barisan
depan dan menetapkan dirinya sebagai panglima perang, meski komando tertinggi
tetap dipegang oleh Quthuz hingga ahir pertempuran. Pasukan Tartar dapat diusir
dan ditaklukkan, dan Kitbugha beserta sejumlah pemimpin pasukan terbunuh di medan pertempuran.[6]
Baybar
mengharapkan kota
Alleppo sebagai hadiah dan tanda pengakuan atas gerakan militernya, namun
sultan membuat kecewa. Dalam perjalanan pulang melalui Suriah, ketika berburu
bersama Quthuz, seorang agen Quthuz mendekati sultan lalu mencium tangannya,
dan Baybar menebaskan pedangnya pada leher sultan. Sultan yang terbunuh diganti
oleh pembunuhnya.
Sultan
Mamluk yang paling unggul adalah al-Malik Al-Zhahir Rukn al-Din Baybar
al-Bunduqdar (1260-1277). Baybar menjadi Mamluk agung yang pertama, penguasa
dan pendiri sejati kekuasaan Mamluk. Kemenangan pertamanya ia dapatkan dalam
peperangan melawan Mongol di medan
perang Ain Jalut, tetapi puncak ketenarannya didapatkan berkat perjuangannya
yang tanpa henti melawan Tantara Salib. Perlawanannya itulah yang menghancurkan
inti pertahanan pasukan Franka dan memungkinkan terwujudnya kemenangan terakhir
yang diraih oleh para penerusnya yaitu Qallawun dan al-Asyraf.
Kemampuan
Baybar lebih dari sekedar pemimpin militer. Ia tidak hanya berhasil
mengorganisir angkatan perangnya, membangun kembali angkatan laut dan
memperkuat benteng Suriah, tetapi ia juga menggali sejumlah kanal, memperbaiki
pelabuhan serta menghubungkan Kairo dengan Damaskus dengan layanan burung pos.
Di antara beberapa monument arsitekturnya seperti masjid agung (1269) di Kairo
dan Damaskus serta sekolah yang menyandang namanya, perpustakaan zhahiriyah.[7]
Peristiwa
paling spektakuler pada masa pemerintahan Baybar adalah penobatan satu
rangkaian baru dari kekhalifahan Abbasiyah yang menyandang nama Abbasiyah,
tetapi tidak memiliki kekuasaan nyata. Sultan melakukan ini dengan tujuan untuk memberikan legitimasi atas
tahtanya, memberikan nuansa keagungan pada istananya dalam pandangan umat
islam, serta mengurangi intrik-intrik kelompok ‘Ali yang sejak masa Fatimiah,
semakin sering muncul di Mesir. Untuk mencapai tujuan itu ia mengundang paman
khalifah Abbasiyah terakhir dan putra khalifah al-Zhahir yang lolos dari
pembantaian di Bagdad, dari Damaskus pada
(1261). Kemudian ia menobatkannya dalam satu upacara yang megah dan agung
sebagai Khalifah al-Mustanshir.[8]
Setelah
Baybar, pemimpin dari Dinasti Mamluk yang paling terkenal adalah al-Malik
al-Manshur Sayf al-Din Qallawun (1279-1290). Ia mengamankan tahta dengan
menyingkirkan saingannya, Salamisy (1279), putra Baybar berusia tujuh tahun,
yang menggantikan saudaranya, Barakah (1277-1279), berusia sembilan belas tahun
yang suka berfoya-foya. Qallawun adalah satu-satunya Mamluk yang garis
keturunannya berlanjut hingga generasi keempat dan berakhirnya Dinasti Mamalik
Bahri terakhir, al-Shalih Hajji adalah cicitnya.[9]
Qallawun dianggap sebagai sultan yang istimewa di antara sultan-sultan Mamluk
lainnya. Ia merenovasi dalam skala besar beberapa benteng pertahanan meliputi
Alleppo, Baklabak dan Damaskus. Di Kairo ia membangun sebuah rumah sakit yang
tersambung dengan satu masjid-sekolah, serta sebuah komplek kuburan bangsawan
yang besar dan indah, yang hingga saat ini masih menampilkan jejak-jejak
kearabannya yang luar biasa.
Satu-satunya
putra dan penerus Qallawun yang sukses adalah al-Malik al-Asyraf Khalil
(1290-1293) yang kemudian menaklukkan Akka pada 1291. Penaklukkan ini membuka
jalan bagi jatuhnya beberapa pelabuhan yang masih dikuasai oleh bangsa Franka.
Pada 1302, pasukan ksatria gereja yang telah membangun pijakan terakhir di
pulau kecil Arwad (Aradus) yang telah angkat kaki dari pesisir Suriah Utara,
diusir dan dibantai habis-habisan oleh saudara dan pengganti al-Asyraf yaitu
al-Nashir Muhammad. Kekuasaan al-Nashir yang cukup lama lebih banyak membuahkan
kemajuan pada masa damai ketimbang masa perang. Meski perawakan sultan cukup
pendek dengan satu kaki pincang, ia mempunyai citarasa keindahan yang tinggi.
Dia tidak pernah bosan untuk memperindah lingkungannya, serta menjalani
kehidupan yang mewah, boros dan berlebihan. Pernah ia ketika kembali ke tempat
tinggalnya di dalam komplek pertahanan dari perjalanan ke luar negeri, dia
membawa sekawanan kuda betina, dan kain-kain mewah hasil tenunan sebanyak empat
ribu kubik.
Saat
melakukan ibadah haji, meja makannya selalu penuh oleh buah-buahan dan sayuran
dari kebun berjalan yang dibawa oleh sekitar empat puluh ekor unta sebagai
persediaan melewati gurun-gurun Arab. Pada masa perkawinan anaknya, ia
menyajikan 18.000 irisan roti, menyembelih 20.000 ekor ternak dan menyalakan
tak kurang dari 3.000 batang lilin yang menerangi istana. Bangunan al-Qashr
al-Ablaq (istanan multiwarna) yang termasyhur dibangun mengikuti model istana
di Damaskus. Sebagai orang yang menyukai olah raga, berburu dan pecinta kuda,
al-Nashr senantiaasa memelihara kuda pejantan yang baik dan tidak pernah ragu
mengeluarkan tiga puluh ribu dinar untuk seekor kuda yang ia senangi.[10]
Gaya hidup
tinggi dan mewah pada masa pemerintahan al-Nashr yang panjang pada ujungnya
dibebankan pada rakyat karena mesti membayar pajak yang lebih tinggi dan
menjadi salah satu penyebab runtuhnya Dinasti Mamluk Bahri.
Keturunan
al-Nashir sebanyak duabelas yang meneruskan kekuasaannya dalam satu masa yang
sukup singkat, yaitu 42 tahun (1340-1382) merupakan sosok-sosok yang lemah. Para amir merekalah sebenarnya yang memerintah. Satu-satunya
monument yang berharga hanyalah masjid sultan al-Hasan, anak al-Nashir, yang
selesai dibangun pada 1362, dan diakui sebagai masjid terindah.
Penguasa
terakhir Dinasti Mamluk Bahri, cicit al-Nashir, al-Shalih Hajji ibn Sya’ban
(1381-1382, 1389-1390) hanyalah seorang anak kecil yang setelah dua tahun
memerintah, kekuasaanya diselingi oleh sultan lain, dan kemudian diakhiri oleh
Barquq[11]
dari Circassius (pendiri Dinasti Mamluk Burji).
2. Mamluk Burjiyah
Ketika
keturunan terakhir dari Mamluk Bahriyah itu baru berumur enam tahun, yaitu
al-Shalih Hajji ibn Sya’ban, maka Al-Zhahir Sayf al-Din Barquq diangkat sebagai
pemangku raja. Tetapi Barquq dihadapkan kepada gerakan bawah tanah yang hendak
menumbangkan kekuasaannya. Tetapi gerakan itun segera tercium olehnya, maka
Barquq mengumpulkan pembesar-pembesar istana termasuk Khalifah Al-Mutawakkil.
Pada saat itu Barquq menyatakan bahwa kekuasaan harus dipegang oleh orang kuat
agar kerajaan Mesir aman dari gangguan dalam negeri maupun serangan dari luar.
Pembesar-pembesar itu menyetujui ide Barquq. Maka al-Shalih Hajji ibn Sya’ban
dima’zulkan dan Barquq menjadi sultan. Dengan demikian, berdirilah Daulah
Mamalik Burjiyah di Mesir, menggantikan Daulah Mamalik Bahriyah.
Pada
masa Barquq berkuasa Mongol melakukan serangannya yang kedua kali ke
negeri-negeri dengan ganasnya dibawah pimpinan Timurlank. Ahmad bin Idris
penguasa Bagdad pada saat itu meminta bantuan pada Barquq, dengan bantuan
Barquq itulah Bagdad terpelihara dari serangan
Mongol kedua kalinya. Daulah Mamalik Burjiyah berdiri sejak tahun 1382 M sampai
dengan tahun 1515 M.
Dinasti
Mamluk Burjiyah lebih tegas menolak prinsip pewarisan kekuasaan ketimbang
Mamluk Bahriyah. Bagi mereka, sultan adalah yang memiliki kekuatan nyata yang
berada di tangan penguasa militer (system oligarki militer). Rezim Mamluk
Burjiyah berkuasa dengan politik tipu daya, pembunuhan dan pembantaian. Pada
periode mereka menandai masa paling gelap dalam sejarah Suriah-Mesir. Sebagaian
sultan melakukan tindakan curang dan kejam atau bermoral bejat dan kebanyakan
dari mereka tidak beradab. Sultan Mu’ayyad Syaikh (1412-1421)[12],
melakukan berbagai tindakan keji yang kelewatan, Sultan Barsbay (1422-1438)[13],
ia pernah memenggal kepala dua orang dokternya karena tidak bisa menyembuhkan
penyakit yang cukup parah. Sultan Inal (1453-1460)[14],
ia tidak hafal surat
pertama Al-Quran dengan baik. Sultan Yalbay (1467), ia tidak hanya buta huruf,
tetapi juga gila. Sultan Qa’it-bay (1468-1495)[15],
ia mempunyai seorang ahli kimia yaitu ‘Ali ibn al-Marsyusyi yang dibutakan dan
dipotong lidahnya karena gagal mengubah logam rongsokan menjadi emas. Dia juga
membebani rakyat dengan pajak yang tinggi atas komoditas jagung sehingga rakyat
semakin sengsara. Hanya Sultan Barquq dari begitu banyak sultan yang mempunyai
ayah seorang muslim[16]
Korupsi bukan
hanya dilakukan oleh para Sultan, namun juga oleh para pejabat rendahan. Para amir dan budak-budak Mamluk yang jumlahnya sangat
banyak mengorganisir diri mereka sendiri dalam berbagai fraksi yang menginduk
pada kelompok pengawal masing-masing yang satu sama lain saling memusuhi.
Masing-masing fraksi semata-mata digerakkan oleh hasrat untuk menguasai semua
kekayaan dan pengaruh.
Situasi
ekonomi kerajaan yang sangat buruk diperparah oleh kebijakan politik para
sultan yang mementingkan diri sendiri. Barsbay misalnya, memberlakukan larangan
impor rempah-rempah dari India
termasuk lada yang sangat dibutuhkan. Memonopoli perdagangan dengan tujuan
mendapatkan keuntungan yang sangat besar baginya. Selain itu, terjadi pula
kemarau panjang yang menyebabkan sungai Nil menjadi dangkal dan pengairan
pertanian terhambat. Dan ketika pada tahun 1498 M (903 H), Vasco da Gama
menemukan Tanjung Harapan (Lautan Hindia) dan menjadikannya pusat perdagangan
sehingga jalur perdagangan dialihkan dari Kairo yang merupakan salah satu
sumber pendapatan negara ke Tanjung Harapan.
Pada pihak
lain kerajaan Usmani yang terus berkembang dan bahkan mengancam Mamalik, telah
memanfaatkan keampuhan senjata api. Dalam situasi yang demikian serangan
pasukan Turki Usmani tentu sulit untuk dibendung. Dan akhirnya tahun 1517 Kairo
jatuh. Mulai saat ini Mamalik hancur dan dengan demikian Mesir masuk wilayah
kekuasaan dinasti Usmaniyah.
C. Puncak Kejayaan Dinasti Mamalik
Dinasti Mamalik membawa warna baru
dalam sejarah politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki
militer, kecuali dalam waktu yang singkat ketika Qalawun (1280-1290 M)
menerapkan pergantian sultan secara turun temurun. Anak Qalawun berkuasa hanya
empat tahun, karena kekuasaannya direbut oleh Kitbugha (1295- 1297 M). Sistem
pemerintahan oligarki ini banyak mendatangkan kemajuan di Mesir. Kedudukan amir
menjadi sangat penting. Para amir berkompetisi
dalam prestasi, karena mereka merupakan kandidat sultan. Kemajuan-kemajuan itu
dicapai dalam bebagai bidang, seperti konsolidasi pemerintahan, perekonomian,
dan ilmu pengetahuan.
Dalam bidang pemerintahan,
kemenangan dinasti Mamalik atas tentara Mongol di 'Ayn Jalut menjadi modal
besar untuk menguasai daerah-daerah sekitarnya. Banyak penguasa-penguasa
dinasti kecil menyatakan setia kepada kerajaan ini. Untuk menjalankan
pemerintahan di dalam negeri, Baybars mengangkat kelompok militer sebagai elit
politik. Disamping itu, untuk memperoleh simpati dari kerajaan-kerajaan Islam
lainnya, Baybars membaiat keturunan Bani Abbas yang berhasil meloloskan diri
dari serangan bangsa Mongol, al-Mustanshir sebagai khalifah. Dengan demikian,
khilafah Abbasiyah, setelah dihancurkan oleh tentara Hulagu di Baghdad,
berhasil dipertahankan oleh dinasti ini dengan Kairo sebagai pusatnya.
Sementara itu, kekuatan-kekuatan yang dapat mengancam kekuasaan Baybars dapat
dilumpuhkan, seperti tentara Salib di sepanjang Laut Tengah, Assasin di
pegunungan Syria, Cyrenia (tempat berkuasanya orang-orang Armenia), dan
kapal-kapal Mongol di Anatolia.
Dalam bidang ekonomi, dinasti
Mamalik membuka hubungan dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasan
jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya.
Jatuhnya Baghdad membuat Kairo, sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, menjadi lebih penting karena Kairo
menghubungkan jalur perdagangan Laut Merah dan Laut Tengah dengan Eropa.
Disamping itu, hasil pertanian juga meningkat. Keberhasilan dalam bidang
ekonomi ini didukung oleh pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi
antarkota, baik laut maupun darat. Ketangguhan angkatan laut Mamalik sangat
membantu pengembangan perekonomiannya.
Di bidang ilmu pengetahuan, Mesir
menjadi tempat pelarian ilmuwan-ilmuwan asal Baghdad dari serangan tentara Mongol. Karena
itu, ilmu-ilmu banyak berkembang di Mesir, seperti sejarah, kedokteran,
astronomi, matematika, dan ilmu agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama
besar, seperti Ibn Khalikan, ibn Taghribardi, dan Ibn Khaldun. Di bidang
astronomi dikenal nama Nasir al-Din al- Tusi. Di bidang matematika Abu al-Faraj
al-'Ibry . Dalam bidang kedokteran: Abu al-Hasan ' Ali al-Nafis, penemu susunan
dan peredaran darah dalam paru-paru manusia, Abd al-Mun'im al-Dimyathi, seorang
dokter hewan, dan al-Razi, perintis psykoterapi. Dalam bidang opthalmologi
dikenal nama Salahuddin ibn Yusuf. Sedangkan dalam bidang ilmu keagamaan,
tersohor nama ibn Taimiyah, seorang pemikir reformis dalam Islam, al-Sayuthi
yang menguasai banyak ilmu keagamaan, Ibn Hajar al- 'Asqalani dalam ilmu hadits
dan lain-lain.
Dinasti Mamalik juga banyak
mengalami kemajuan di bidang arsitektur. Banyak arsitek didatangkan ke Mesir
untuk membangun sekolah-sekolah dan masjid-masjid yang indah. Bangunan-bangunan
lain yang didirikan pada masa ini diantaranya adalah rumah sakit, museum,
perpustakaan, villa-villa, kubah dan menara masjid.
D. Masa Kemunduran dan Runtuhnya
Dinasti Mamalik
Diantara faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya dinasti
Mamalik adalah karena lemahnya kemampuan para sultan dari Mamalik Burjiyah
dalam mengatur roda pemerintahan, kecuali dalam hal latihan militer. Sedangkan
dalam mempertahankan eksistensi sebuah dinasti tidak cukup hanya kemampuan
militer saja tetapi juga keahlian dalam mengelola dan mengatur pemerintahan
yang tentu saja membutuhkan seorang sultan atau penguasa yang ahli dalam hal
itu.
Kelemahan ini disebabkan karena
banyak penguasa Mamalik Burjiyah tidak menyukai ilmu pengetahuan, bahkan sultan
Barquq, Inal, Bilbay, mereka buta huruf. Yalbay, sultan keenam belas dari
Mamluk Burji bukan hanya buta huruf tetapi juga gila. Disamping itu mereka
bermoral rendah, cinta kemewahan dan hobi berfoya-foya yang menyebabkan pajak
dinaikkan. Bahkan dari begitu banyak sultan yang berkuasa selama 134 tahun,
hanya Barquq yang mempunyai ayah seorang muslim.
Korupsi bukan
hanya dilakukan oleh para Sultan, namun juga oleh para pejabat rendahan. Para amir dan budak-budak Mamluk yang jumlahnya sangat
banyak mengorganisir diri mereka sendiri dalam berbagai fraksi yang menginduk
pada kelompok pengawal masing-masing yang satu sama lain saling memusuhi.
Masing-masing fraksi semata-mata digerakkan oleh hasrat untuk menguasai semua
kekayaan dan pengaruh.
Selain itu,
terjadi pula kemarau panjang yang menyebabkan sungai Nil menjadi dangkal dan
pengairan pertanian terhambat. Dan ketika pada tahun 1498 M (903 H), Vasco da
Gama menemukan Tanjung Harapan (Lautan Hindia) dan menjadikannya pusat
perdagangan sehingga jalur perdagangan dialihkan dari Kairo yang merupakan
salah satu sumber pendapatan negara ke Tanjung Harapan.
Pada pihak
lain kerajaan Usmani yang terus berkembang dan bahkan mengancam Mamalik, telah
memanfaatkan keampuhan senjata api. Dalam situasi yang demikian serangan
pasukan Turki Usmani tentu sulit untuk dibendung. Dan akhirnya tahun 1517 Kairo
jatuh. Mulai saat ini Mamalik hancur dan dengan demikian Mesir masuk wilayah
kekuasaan dinasti Usmaniyah.
BAB III
Penutup
Kemajuan-kemajuan itu tercapai
berkat kepribadian dan wibawa Sultan yang tinggi, solidaritas sesama militer
yang kuat, dan stabilitas negara yang aman dari gangguan. Akan tetapi, ketika
faktor-faktor tersebut menghilang, dinasti Mamalik sedikit demi sedikit
mengalami kemunduran. Semenjak masuknya budak-budak dari Sirkasia yang kemudian
dikenal dengan nama Mamluk Burji yang untuk pertama kalinya dibawa
oleh Qalawun, solidaritas antar sesama militer menurun, terutama setelah Mamluk
Burji berkuasa. Banyak penguasa Mamluk Burji yang bermoral rendah dan tidak
menyukai ilmu pengetahuan. Kemewahan dan kebiasaan berfoya-foya di kalangan
penguasa menyebabkan pajak dinaikkan. Akibatnya, semangat kerja rakyat menurun
dan perekonomian negara tidak stabil. Disamping itu, ditemukannya Tanjung
Harapan oleh Eropa tahun 1498 M, menyebabkan jalur perdagangan Asia-Eropa
melalui Mesir menurun fungsinya. Kondisi ini diperparah oleh datangnya kemarau
panjang dan berjangkitnya wabah penyakit.
Di pihak lain, suatu kekuatan
politik baru yang besar muncul sebagai tantangan bagi Mamalik, yaitu kerajaan
Usmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamalik di Mesir. Dinasti
Mamalik kalah melawan pasukan Usmani dalam pertempuran menentukan di luar kota Kairo tahun 1517 M.
Sejak itu wilayah Mesir berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani sebagai salah
satu propinsinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ibnu Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun
Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II
As-Suyuthi,
Tarikh al-Khulafa
Ibnu Katsir,
al-Bidayah wa an –Nihayah
Wafi Marzuqi
Ammar, Dinasti Mamluk: Sumbangannya terhadap dunia Islam (Makalah), 2008
Syamsudin
Arif, Orientalis Dan Diabolisme Pemikiran
Philip K.
Hitti, History of The Arabs
Taufiqurrahman,
Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam
[1]
Bahasa Arab, Mamluk (jamak, mamalik), artinya budak berkulit hitam.
[2]
Syajarah Al-Durr (pohon mutiara) adalah seorang budak wanita dari Turki yang
dipekerjakan di rumahtangga khalifah dan menjadi salah satu harem khalifah
al-Musta’shim. Kemudian ia mengabdi pada khalifah Al-Malik Al-Shalih Najm
al-Din, dan dibebaskan setelah ia melahirkan anak laki-laki dari keturunan
khalifah. Philip K. Hitti, History of the Arabs (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2006) h. 860
[3]
Al-Malik Al-Shalih Najm al-Din meninggal dunia (1249 M) dengan cara dipukuli
habis-habisan sampai mati dengan sepatu kayu oleh beberapa budak wanita istri
Aybak. Kemudian tubuhnya dilempar dari atas menara. Philip K. Hitti, History
of the Arabs (Jakarta:
Ikrar Mandiriabadi, 2006) h. 860
[4]
Al-Mu’azhzham Turan-syah adalah khalifah dinasti Ayyubiyah yang kedelapan. Ia
gagal beradaptasi dengan para budak-budak ayahnya.
[5]
Al-Shalih Najm al-Din (1240-1249)
[6] Philip
K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta:
Ikrar Mandiriabadi, 2006), h. 862-863
[7]
Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2006), h.
865-866
[8]
Ibid, h. 866
[9]
Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2006), h. 868
[10]
Sehuah manuskrip unik tentang kuda yang dipersembahkan untuknya dalam tulisan
berwarna emas oleh sekretarisnya al-Husayn terdapat dalam Hitti, Faris dan
Abdul Malik, Catalog of Arabic Manuscript no. 1066, kutipan diambil dari
Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2006), h. 872
[11]
Barquq memulai kariernya sebagai budak untuk anak al-Asyraf, yakni sya’ban.
[12]
Sultan Mu’ayyad Syaikh adalah seorang pemabuk yang dibeli oleh Barquq dari
penjual budak Sirkasius. Hitti, History of The Arabs (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2006), h. 889
[13]
Sultan Barsbay adalah salah seorang budak Barquq yang sama sekali tidak
memahami bahasa Arab. Hitti, History of The Arabs (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2006), h. 889.
[14] Sultan
Inal adalah salah seorang budak Barquq yang tidak bisa membaca dan menulis.
Hitti, History of The Arabs (Jakarta:
Ikrar Mandiriabadi, 2006), h. 889.
[15]
Sultan Qa’it-bay adalah seorang budak yang dibeli seharga lima puluh dinar oleh Barsbay dan dibebaskan
oleh Jaqmaq. Hitti, History of The Arabs (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2006), h. 890
[16]
Philip K. Hitti, History of The Arabs (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2006), h.
888-890
Tidak ada komentar:
Posting Komentar