Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
Pemahaman
terhadap ayat Alquran melalui penafsirannya sangatlah penting, karena hal
tersebut sangat berperan terhadap maju mundur umat dan sekaligus dapat
mencerminkan perkembangan dan corak pemikiran yang sedang ada ditengah
masyarakat. Oleh karna itu perkembangan tafsir sering dikaitkan dengan
trend perkembangan pemikiran yang tengah terjadi pada umat.
Salah
satu corak penafsiran Alquran adalah tafsir bil isyari. Tafsir Isyari adalah
mentakwil al-Qur'an dengan makna di balik makna dzahirnya karena ada isyarat
tersembunyi yang nampak bagi sebagian ahli ilmu (kaum sufi). Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang dzahir dan
batin. Yang dzahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran,
sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi di balik itu
yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di
balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari
limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat Alquran.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir Isyari
Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari adalah takwil Al
Quran berbeda dengan lahirnya lafal atau ayat, karena isyarat-isyarat yang
sangat rahasia yang hanya diketahui oleh sebagian ulul ‘ilmi yang telah diberi
cahaya oleh Allah swt dengan ilham-Nya. Atau
dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang Mufassir akan melihat makna
lain selain makna zhahir yang terkandung dalam Al Qur’an. Namun, makna lain itu
tidak tampak oleh setiap orang, kecuali orang-orang yang telah dibukakan
hatinya oleh Allah swt[1].
Tafsir
Isyari menurut Imam Ghazali adalah usaha mentakwilkan ayat-ayat Alquran bukan
dengan makna zahirnya malainkan dengan suara hati nurani, setelah sebelumnya
menafsirkan makna zahir dari ayat yang dimaksud[2].
Ibnu Abbas
berkata: Sesungguhnya Al Qur’an itu mengandung banyak ancaman dan janji,
meliputi yang lahir dan bathin. Tidak pernah terkuras keajaibannya, dan tak
terjangkau puncaknya. Barangsiapa yang memasukinya dengan hati-hati akan
selamat. Namun barangsiapa yang memasukinya dengan ceroboh, akan jatuh dan tersesat.
Ia memuat beberapa khabar dan perumpamaan, tentang halal dan haram, nasikh dan
mansukh, muhkam dan mutasyabih, zhahir dan batin. Zhahirnya adalah bacaan,
sedang bathinnya adalah takwil. Tanyakan ia pada ulama, jangan bertanya kepada
orang bodoh[3].
Menurut
kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah
yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah isyarat-isyarat
yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya.
Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah
yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan gaib yang dibawa
ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
B.
Bentuk-bentuk Tafsir Isyari
Ketika ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan
pesat serta kebudayaan Islam tersebar keseluruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan
dalam segala segi, maka berkembanglah ilmu tasawauf dan ilmu itu mengpunyai dua wujud: teoritis
dan praktis
1. Tashawuf
Teoritis
Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang
mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami Alquran
dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf mereka. Mereka mentakwilkan ayat-ayat Alquran
dengan tidak mengikuti cara-cara untuk mentakwilkan ayat Alquran dan
menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang
telah dikenal dan didukung oleh dalil syar’i serta terbukti kebenarannya dalam
bahasa arab, yaitu dalam bab perihal isyarat[4].
Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan sebagai
berikut:
”Apa
yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sufy tentang Alquran adalah termasuk ke dalam
bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh
orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah
dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian
tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan
yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama sekali bukanlah
yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tekstual, itulah yang dikehendaki).
Oleh karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyyah yang ekstrim, maka mereka
sampai menafikan syari’at secara keseluruhan. Tokoh-tokoh sufy kita tidaklah
mungkin sampai bersikap demikian, oleh karena mereka menganjurkan agar tetap
dipelihara penafsiran dan pengertian tekstual. Mereka berkata: pada tahap
pertama harus dilakukan serta diketahui penafsiran dan pengertian tekstual,
sebab tidak mungkin bisa sampai kepada penafsiran dan pengertian batin (non
tekstual) dari suatu ayat sebelum penafsiran dan pengertian tekstualnya
terlebih dahulu diketahui. Barang siapa mengaku dapat memahami rahasia-rahasia
Alquran sebelum mengetahui penafsiran dan pengertian tekstualnya, maka ia
seperti orang yang mengaku telah sampai ke bagian dalam ka’bah sebelum ia
melewati pintunya”[5].
Oleh karena itu tidak sepantasnya
bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam
mengingkari bahwa Alquran mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh
Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah kepada batin-batin hamba-Nya yang
dikendaki. Al-Alusy memberikan contoh tentang isyarat yang diberikan oleh
firman Allah (QS. 2:45), sebagai berikut:
واستعينوا بالصبر والصلوة وانها لكبيرة الا
على الخشعين
“Jadikanlah sabar dan sholat sebagai
penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu berat, kecuali bagi orang-orang
yang khusyu’”[6].
Bahwa
sholat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk
menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat,
kecuali bagi orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima
cahaya-cahaya dari tajally-tajally Allah yang amat halus dan menangkap
kekuasaaa-Nya yang Perkasa. Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar
berada di hadapan Allah dan hanya kepada-Nyalah mereka kembali, dengan
menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka (fana) dan meleburkannya ke
dalam sifat-sifat Allah (baqa), sehingga mereka tidak menemukan selain
eksistensi Allah sebagai Raja yang Maha Halus dan Maha Perkasa[7].
2.
Tashawuf Praktis
Yang
dimaksud dengan tasawuf praktis adalah cara hidup yang berdasarkan atas hidup
sederhana, zuhud, lapar, tidak tidur pada malam hari, hidup menyendiri, menjaga
diri dari segala kenikmatan, memutuskan jiwa dari segala macam syahwat dan
menghancurkan ddalam ketaatan kepada Allah[8].
Orang-orang sufy tersebut yang benar-benar menerapkan sikap-sikap hidup sebagai
seorang sufy untuk dirinya dalam
kehidupan dunia dan selalu bersiap-siap
diri menghadapi kehidupan akhirat. DR. Muhammad Husain al-Dzahaby (al-marhum)
mengatakan “Kami tidak mendengar ada seorang mengarang kitab tertentu tentang
tafsir sufy teoritis yang menafsirkan ayat demi ayat dalam Alquran seperti
dalam tafsir Isyary, yang kami temukan adalah keterangan-keterangan
terpencar-pencar yang termuat dalam penafsiran yang disandarkan kepada Ibn
‘Araby dan kitab Al-futuhat al-Makkiyyah, karangan beliau, sebagaimana sebagian
lain dapat ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak penafsirannya
berbeda-beda”[9].
C.
Perdebatan Ulama Mengenai Jenis Tafsir
Hukum
Tafsir bil-isyarah: Para ulama berselisih
pendapat dalam menghukumi tafsir isyari, sebagian mereka ada yang
memperbolehkan (dengan syarat), dan sebagian lainnya melarangnya[10].
Imam Az-Zarqani memberi penjelasan tentang tafsir isyari dengan mengatakan:
تأويل القران بغير ظاهره لاشارة خفية تظهر
لارباب السلوك والتصرف ويمكن الجمع بينهما وبين الظاهر
Artinya:
”Penafsiran Alquran yang berlainan menurut zahir ayatnya, karena ada petunjuk
yang tersirat, hanya diketahui oleh orang-orang yang terlatih jiwanya dan berbudi
luhur, yang karenanya mereka bisa menggabungkan antara arti tersirat dengan
maksud yang tersurat”[11].
Tafsir semacam ini tidak dapat
diperoleh dengan usaha pembahasan dan pemikiran, tetapi ia merupakan ilmu
laduni, yaitu ilmu yang diberikan kepada seseorang akibat dari ketakwaannya
kepada Allah Swt. Sebagaimana yang telah
difirmankan Allah dalam Alquran yang artinya: ”Dan bertaqwalah kepada Allah;
Allah mengajarimu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”[12].
Dalam menghadapi tafsir isyari ini,
para ulama berbeda pendapat. Ada yang membenarkan dan bahkan menganggapnya
sebagai kesempurnaan iman serta kema’rifatan seseorang, tetapi ada juga yang
tidak membenarkannya, bahkan menuduhnya sebagai penyelewengan dari
ajaran-ajaran Allah Swt yang sebenarnya.
Ulama yang membenarkan tafsir isyari
berlandaskan Hadis riwayat Bukhari, dimana Ibnu Abbas memahami ayat:
اذا جـاء نصر الله والفتح (النصر: 1)
Artinya: “Apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan”[13].
Bahwa ayat tersebut menunjukkan isyarat dekatnya ajal Nabi Saw.
Selanjutnya
Ibn Abbas sebagaimana ditulis oleh As-Suyuti menegaskan bahwa Alquran itu mengandung
berbagai budaya dab ilmu, yang lahir maupun yang batin, keajaibannya tidak akan
habis dan puncak tujuannya tidak akan terjangkau. Barang siapa yang menyelami
dengan penuh kelembutan niscaya akan selamat, dan barang siapa yang menyelami
dengan radikal niscaya adakan terjerumus, ia mengandung berita dan perumpamaan,
halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkan dan mutasyabih yang lahir dan yang
batin, secara lahir berupa bacaan dan secara batin berupa ta’wil. Belajarlah
dari ulama dan jauhkanlah dari orang-orang yang bodoh”[14].
Badruddin
Muhammad Ibn Adbullah Az-Zarkasyi adalah termasuk golongan orang yang tidak
mendukung tafsir isyari (menolak tafsir bil isyari), hingga beliau mengatakan:
“Adapaun perkataan golongan sufi dalam menafsirkan Alquran itu bukan tafsir,
melainkan hanya makna penemuan yang mereka peroleh ketika membaca”[15].
Demikian juga An-Nasafi mengatakan, sebagaimana dijelaskan Az-Zarqani dan
As-Suyuti:
النصوص على ظواهرها والعدول عنها الى معان يدعيها اهل الباطن الحاد
Artinya: “Nash-nash itu harus
berdasarkan zahirnya, memutarkan pada arti lain yang dilakukan oleh orang
kebatinan adalah merupakan bentuk penyelewengan”[16].
Di
samping tafsir isyari ada pula tafsir yang mirip dengannya, yaitu tafsir
kebatinan, namun tafsir ini termasuk tafsir yang bathil. Dan barang kali
keengganan sebagian ulama untuk menerima tafsirisyari ini karena khawatir
terjerumus dalam tafsir kebatinan. Dalam kitab At-Tibyan disebutkan perbedaan
pokok tafsir isyari dengan tafsir kebatinan adalah:
“Tafsir isyari tidak membuang makna tersurat, tetapi mereka menetapkannya sebagai
dasar dan asas, mereka menganjurkan untuk berpegang kepadanya dengan
mengatakan: pertama-tama harus mengetahui terlebih dahulu arti yang tersurat,
karena orang yang mengaku mengerti rahasia Alquran, tetapi tidak menguasai
zahirnya, sama halnya orang yang mengaku telah masuk ke dalam rumah tetapi
belum masuk pintunya.
Tafsir kebatinan, mereka mengatakan bahwa zahirnya
ayat itu sama sekali bukan tujuan, tetapi yang dimaksud adalah rahasianya
(batinnya). Latarbelakang dari kata-kata ini adalah menghilangkan syari’at dan
merusak hokum. Karena itu tidaklah diragukan lagi bahwa pendapat ini adalah
merupakan penyelewengan dalam ajaran agama”[17].
Imam
As-Suyuti mengambil pendapat Ibn ‘Ata’illah yang mengatakan:
“Ketahuilah bahwa tafsir dalam golongan
ini (tafsir isyari) terhadap Kalam Allah dan Rasul-Nya dengan makna-makna yang
pelik bukanlah berarti memalingkan dari zahirnya, tetapi zahir ayat itu dapat
dipahami makna sebenarnya, seperti yang dimaksud oleh ayat, di samping itu juga
dapat diketahui dari istilah bahasa, serta mereka memperoleh pengertian yang
tersirat dari Ayat dan Hadis bagi orang yang hatinya telah dibukakan oleh Allah
SWT”[18].
Pendapat ini dinilai oleh ’Ali As-Sabuni sebagai pendapat
yang adil, karena mengemukakan yang adanya, yaitu dengan
mengkompromikan/memadukan beberapa nash
yang zahir dengan makna yang tersirat yang memancar dari hati sanubari mukmin seperti
Abu Bakar As-Siddiq.[19]
Untuk mengatasi penyimpangan-penyimpangan tafsir isyari,
maka di antara ulama telah memberikan kriteria persyaratan untuk bisa diterima
tafsirnya, Az-Zarqani telah menuliskan sebagai berikut:
1.
Tidak boleh
bertolak belakang dengan susunan AlQuran yang zahirnya
2.
Tidak
menyatakan bahwa makna
isyarat itu merupakan makna sebenarnya (makna satu-satunya), tanpa ada makna
zhahir.
3.
Hendaknya pentakwilan
tersebut harus tidak terlalu jauh, yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan lafaz zahir
4.
Tidak
bertentangan dengan hukum syar’i atau naqli
5.
Terdapat
syahid (penopang) syar’i yang menguatkannya
Selanjutnya dijelaskan bahwa syarat-syarat tersebut di
atas hanyalah sebagai syarat diterimanya tafsir isyari, yakni tidak serta merta
ditolak, bukan syarat yang baku dan bukan pula hanya terbatas itu saja.[20]
D. Contoh Penafsiran bi al-Isyari
Menurut
kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah
yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang
isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh
ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan
Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib
pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
1. Contoh bentuk penafsiran secara
Isyari antara lain adalah pada ayat:
إن الله يأمركم ان تذبحوا بقرة (البقرة :
67)[21]
'“.......Innallaha
ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....” (Surat
Al Baqarah: 67)
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.
2. Contoh bentuk penafsiran secara
Isyari antara lain adalah pada ayat:
Ibnu
Abbas memahami ayat:
اذا جـاء نصر الله والفتح (النصر: 1)
Artinya: “Apabila telah datang
pertolongan Allah dan kemenangan”[22].
tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna Bahwa ayat tersebut menunjukkan isyarat
dekatnya ajal Nabi Saw.
3. Contoh bentuk penafsiran secara
Isyari antara lain adalah pada ayat:
اذهب إلى فرعون إنه طغى
Artinya: Pergilah kepada Fir’aun;
sesungguhnya ia telah melampaui batas.” (QS. Thaahaa: 24)
Dalam
hal ini para sufi mentakwilkan Fir’aun dengan Hati. Maksudnya bahwa Fir’aun itu
sebenarnya hati setiap manusia yang mempunyai sifat melampaui batas.
4. Contoh bentuk penafsiran secara
Isyari antara lain adalah pada ayat:
“Dan
lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala
(tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah dia
seekor ular yang gesit, larilah ia
berbalik ke belakang tanpa menoleh (kemudian Musa diseru), “ Hai Musa datanglah
kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang
aman”.(QS.Al-Qashash : 31).[23]
Para sufi mentakwilkan bahwa tongkat itu dilemparkan
kepada siapapun yang ada di muka bumi dan orang yang bergantung kepada selain
Allah.
E. Kitab-kitab Tafsir bil-Isyari
yang Terkenal:
Tafsir Shufi/Isyari, corak
penafsiran Ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyariy.
Nama-nama kitab tafsir yang termasuk corak shufi ini antara lain:
a. Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, karya Sahl bin Abdillah al-Tustary. Dikenal dengan Tafsir
al-Tustasry.
b. Haqaiq
al-Tafsir, karya Abu Abdirrahman al-Silmy, terkenal dengan sebutan Tafsir
al-Silmy.
c. Al-Kasyf
Wa al-Bayan, karya Ahmad bin Ibrahim al-Naisabury, terkenal dengan nama Tafsir
al-Naisabury.
d. Tafsir
Ibnu Araby, karya Muhyiddin Ibnu Araby, terkenal dengan nama Tafsir Ibnu
‘Araby.
e. Ruh
al-Ma’ani, karya Syihabuddin Muhammad al-Alusy, terkenal dengan nama tafsir
al-Alusiy.
f. ‘Arais
al-Bayan fi Haqaiq al-Quran, Karya Imam Al-Syirazy.
Selayang
Pandang Kitab Tafsir bil-isyari:
Tafsir Ruhul Ma’ani Pengarangnya adalah
Syihabuddin Sayyid Mahmud Alusi, wafat tahun 1270 H. Beliau adalah mufti di
Baghdad, yang juga terkenal sebagai seorang pujangga, ulama, ahli hikmah dan
ma’rifah, serta memiliki pemahaman dan ilmu yang cukup luas. DR. Muhammad
Husain Adz Dzahabi dalam At Tafsir wa Al Mufassirun, memasukkan kitab ini dalam
kategori tafsir bir-ra’yi, sedangkan Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni dalam At
Tibyan memasukkan tafsir ini dalam kategori tafsir bir-ra’yi dan bil-isyari
sekaligus.
Dalam kitab
ini beliau mengumpulkan pendapat-pendapat salafush shalih baik secara riwayah
maupun dirayah. Di dalamnya juga memuat beberapa pendapat ahli ilmu, dan
dilengkapi dengan tafsir-tafsir terdahulu. Disamping itu, beliaupun sangat
berhati-hati terhadap riwayat israiliyat, melengkapinya dengan tafsir isyari
dan banyak menyinggung tentang balaghah dan bayan. Boleh dibilang tafsir ini
merupakan literatur utama dalam ilmu tafsir bir-riwayah, bid-dirayah maupun
bil-isyari[24].
BAB
III
PENUTUP
Menurut
kaum sufi, riyadlah atau olah spiritual yang dilakukan seorang sufi untuk
dirinya akan mengantarkan kepada suatu tingkatan dimana ia dapat menyingkap
isyar- isyarat khusus yang terdapat dibalik ungkapan-ungkapan al-Quran.
Limpahan keajaiban akan tercurahkan ke dalam hatinya, demikian pula pengetahuan
spiritual yang dibawa ayat-ayat al-Quran. Itulah yang disebut dengan tafsir
isyari (sufistik esoterik). ArtInya, setiap ayat mempunyai makna lahir (aspek
luar harfiah) dan batin (aspek dalam substansial). Makna lahir adalah apa yang
segera mudah dipahami akal pikiran sedang makna batin adalah isyarat-isyarat
yang tersembunyi dibalik ayat-ayat al-Quran, yang tentunya hanya bisa tampak
bagi ahli suluk (sufi).
DAFTAR PUSTAKA
1. Al Qur’an dan
Terjemahannya, terbitan Departemen Agama Republik Indonesia.
2.
Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni, At Tibyan fi Ulum Al
Qur’an, Maktabah Rahmaniyah, Lahore Pakistan.
3.
Imam Az Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum Al
Qur’an.
4.
Syaikh
Muhammad Abdul Adzim Az Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an, Daar Ihya
at Turats al Arabi Cet.II, Beirut Libanon.
5.
Syaikh Jaadul
Haqq Ali Jaadul Haqq, Min Ahkam Al Qur’an wa Ulumihi, Darush Shidq, Islamabad
Pakistan.
6.
DR. Muhammad
Husain Adz Dzahabi, At Tafsir wa Al Mufassirun, Daar Al Kutub Al Haditsah
Cet.II (1396H/1972M), Riyadh.
7.
Syaikh Manna’
Khalil Al Qattan, Mabahits fi Ulum Al Qur’an, Maktabah Al Ma’arif lin Nasyr wat
Tawzi’ Cet.II (1417H/1996M), Riyadh.
8.
’Ali Hasan
Al-’Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994
9.
Sahilun A.
Nasir, Ilmu Tafsir Al-Quran, Al-Ikhlas, Surabaya, 1987
10. Zuhri, Ahmad, Risalah Tafsir Berinteraksi dengan Al-Quran
Versi Imam Ghazali,Citapustaka Media, Bandung 2007.
11. Hadna, Ahmad Musthofa, Problematika Manafsirkan Al-Quran,
Dina Utama, Semarang, 1993
[1] Syaikh
Muhammad Ali Ash Shobuni, At Tibyan fi Ulum Al Qur’an, (Maktabah
Rahmaniyah, Lahore Pakistan). h. 171
[2]
Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir, Berinteraksi dengan Alquran versi Imam
Al-Ghazali,(Bandung:
Citapusaka Media, 2007), h. 190 (Kutipan dari Ihya’ Ulumuddin, Jilid 1)
[3] Imam
Jalaluddin Syuyuthi, Al Itqan fi ulum Al Qur’an. Juz II, h:185.
[4]
‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1994), h. 55
[5]
Ibid., h. 55-56
[6]
Khadim al Haramain asy Syarifain, Alquran dan Terjemahnya, (Saudi
Arabia, 1971), h. 16
[7]
‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 1994), h. 56-57
[8]
Ibid., h. 57
[9]
Ibid., h. 58
[10] Syaikh
Muhammad Abdul Adzim Az Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an, Daar
Ihya at Turats al Arabi (Cet.II, Beirut Libanon. Juz I), h. 546.
[11]
Muhammad Abd. Azim Az-Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an,(tt :
Isa al-babi al-halabi, tth), Juz I, h. 12
[12]
QS, Al-Baqarah, ayat 282
[13]
QS. An-Nashr, ayat 1.
[14]
Ahmad Musthofa Hadnan, Problematika Menafsirkan Alquran, (Semarang: Toha
Putra, 1993), h. 44-46
[15]
Ibid., h. 46-47
[16]
Ibid., h. 47
[17]
Ibid., h. 47
[18]
Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqan fi ‘ulum Al-Quran,(Bairut: Dar al-fikr,
1399 H),h. 185
[19] Muhammad
Ali Ash Shobuni, At Tibyan fi Ulum Al Qur’an, (Maktabah Rahmaniyah, Lahore Pakistan).
h. 173-174
[20]
Muhammad Abd. Azim Az-Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an,(tt :
Isa al-babi al-halabi, tth), Juz I, h. 81
[21]
Khadim al Haramain asy Syarifain, Alquran dan Terjemahnya, (Saudi
Arabia, 1971), h. 20
[22]
QS. An-Nashr, ayat 1.
[23] Khadim
al Haramain asy Syarifain, Alquran dan Terjemahnya, (Saudi Arabia,
1971), h. 614.
[24] Syaikh
Muhammad Ali Ash Shobuni, At Tibyan fi Ulum Al Qur’an, ( Pakistan:
Maktabah Rahmaniyah,), h. 194.
oh ya ustaz, kbetulan sy jg mengajar di SMAN SERGAI, kl ada info penting publikasikan ya.
BalasHapusdan syukron katsir tafsir isyari nya, lg ada tgs ne dr pak Nawir.
BalasHapusafwan....
Hapusmakasih sudah mampir ke blog ana...
silahkan ambil yang bermanfaat... moga cepat selesai tugasnya..
nitip salam buat ketua kelas.... kalau nga salah "Ust Ibrahim".