Kamis, 26 Juli 2012

PENDEKATAN STUDI WILAYAH DALAM STUDI ISLAM

PENDEKATAN STUDI WILAYAH DALAM STUDI ISLAM

A. Pendahuluan
            Studi Islam tampaknya masih merupakan sebuah harapan, karena sampai saat ini, di berbagai wilayah dimana Islam merupakan agama mayoritas para penduduk, studi Islam belum banyak dilakukan. Meskipun demikian, upaya untuk mengembangkan studi Islam di berbagai wilayah tetap diusahakan oleh para sarjanawan muslim dan para sarjanawan yang berkecimpung dalam kajian-kajian ke-Islaman, meskipun usaha mereka tersebut belumlah maksimal.
            Banyak dari para ilmuan pengkaji Islam yang telah memulai pengkajian-pengkajian Islam dengan beberapa pendekatan studi, terkhusus studi wilayah yang akan kita bahas ini dalam makalah sederhana ini. Melirik pada perkembangan politik, sejarah dan budaya sangat dinamis, dan juga disebabkan kurangnya umat Islam mengkaji agamanya, menjadikan studi wilayah ini dianggap sangat urgen dan signifikan untuk dikaji dan juga dikembangkan.


B. Pengertian, Latar Belakang dan Perkembangan Studi Wilayah

            Studi wilayah (area studies) terdiri dari dua kata, yakni area dan studi. Area mengandung arti “region of the earth’s surfaces”,[1] artinya adalah: daerah permukaan bumi. area juga bermakna: luas, daerah kawasan setempat dan bidang.[2] Sedangkan studi  mengandung pengertian “devotion of time and thought to getting knowledge”,[3] artinya adalah pemanfaatan waktu dan pemikiran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Studi juga mengandung pengertian “something that attracts investigation”[4]  yakni sesuatu yang perlu untuk dikaji.
            Studies adalah bentuk jamak dari studi, kata ini menunjukkan bahwa kajian yang dilakukan terhadap sebuah wilayah tidak hanya terbatas pada suatu bidang kajian, melainkan terdiri dari berbagai bidang. Secara terminologi studi wilayah adalah pengkajian yang digunakan untuk menjelaskan hasil dari sebuah penelitian tentang suatu masalah menurut wilayah dimana masalah tersebut terjadi.[5]
            Setelah nabi Muhammad saw. wafat, dominasi Islam atas Jazirah Arab sudah sedemikian luas. Hal itu merupakan permulaan dari pencapaian peradaban Islam. Rencana penaklukkan yang direncakanan nabi Muhammad saw. dianggap merupakan wasiat yang harus dijalankan oleh para sahabat, maka adalah hal yang wajar bila ekspansi ini terus dijalankan oleh para sahabat sepeninggal beliau. Dalam waktu yang relatif singkat, yakni pada masa pemerintahan Abu Bakar ra. dan Umar ra. wilayah Islam sudah mencapai Yaman, Oman, Bahrain, Iraq bagian Selatan, Persia, Syiria, Pantai Laut Tengah dan Mesir. Perluasan wilayah ini kemudia dilanjutkan oleh Utsman ra. hingga ke Sijistan, Khurasan, Azzerbijan, dan Armenia.[6]
            Pada perkembangan berikutnya, tekanan Islam terhadap daerah-daerah Barat semakin intens. Sebuah peristiwa penting terjadi pada 751 dimana pasukan muslim berhasil menaklukkan semenanjung Iberia, Sisilia, dan Andalusia, bahkan penaklukkan tersebut berlanjut hingga Pyneress menuju daerah Prancis Selatan.[7]
            Pasukan yang menaklukkan Andalusia didominasi oleh kaum muslimin, sehingga kekuatan muslimpun disadari oleh penganut agama Kristen yang berada di wilayah Barat.
            Pada tahun 1236 M, kekuatan gabungan gereja Spanyol mengambil alih kembali Cordova dan disusul dengan Sevilla pada tahun 1248 M. Granada dibawah kekuasaan Bani Ahmar dapat bertahan kurang lebih dua abad lamanya sebelum akhirnya juga jatuh.[8]
            Sejak saat itu, serangan kaum Kristen untuk menaklukkan wilayah yang dikuasai oleh kaum muslimin semakin gencar. Dengan dilatar belakangi berbagai tujuan, mereka melakukan pelayaran-pelayaran ke berbagai belahan dunia untuk memperluas kekuasaan mereka.
            Serangkaian penaklukkan yang terjadi tidak hanya bertujuan, baik sengaja ataupun tidak, untuk menguasai wilayah dan aspek-aspek material saja, akan tetapi juga, serangkaian penaklukkan ini dibarengi dengan imperialisme kultural.[9]
            Melaluai ekspansi politik dan kultural terhadao wilayah-wilayah Islam, maka kajian wilayah menjadi sebuah usaha yang terus digalakkan untuk memahami agama Islam.[10]

C. Pengertian, Asal dan Perkembangan Orientalisme

            Secara Etimologi Orientalisme berasal dari bahasa latin orient yang artinya digunakan dalam bahasa Perancis menjadi Orienter yang bermakna menunjukkan atau mengarahkan dan dalam bahasa Jerman menjadi sich orientiern yang bermaksud mengumpulkan maklumat dan pengetahuan.
            Secara Terminologi ,orientalisme adalah suatu istilah yang artinya mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan bangsa timur. Kata Orientalisme ini digunakan bagi setiap cendikiawan Barat yang bekerja untuk mempelajari masalah ketimuran ,baik dalam bidang bahasa,etika,peradaban dan agamanya.
            Kata Orient ini berubah menjadi  orientalisme di dunia eropa sebagai studi kajian tentang dunia Timur. Menurut Al Berry  salah satu anggota gereja Yunani bahwa istilah orientalisme ini muncul pada tahun 1638 M. Kemudian pada tahun 1691 Antony Wood dan Samuel Clark mengistilahkan orientalisme sebagai pengetahuan tentang ketimuran. Kemudian istilah ini muncul di Perancis dengan nama orienter pada tahun 1779 M, diikuti di Inggris  menjadi orientalisme pada tahun 1838 M, sehingga istilah orientalisme ini menjadi istilah yang mapan dan berkembang di dunia Eropa-Barat pada abad ke-18 M.
            Kata “isme” menunjukkan kepada suatu faham, ajaran, cita-cita dan sikap.[11] Jadi orientalisme adalah suatu faham atau aliran yang berkeinginan untuk menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur dan yang berkaitan dengannya.
            Sementara menurut Edward Said, orientalisme memiliki pengertian yang berbeda sesuai dengan fase-fase perkembangan yang diuraikan dalam bukunya Culture and Orientalisme.
1.        Fase pertama Edward mendefenisikan Orientalisme sebagai suatu cara untuk memahami dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia barat-Eropa.
2.        Fase kedua Edward mendefenisikan orientalisme adalah sebagai suatu gaya berfikir yang berdasarkan kepada perbedaan ontologis dan epistomologis yang dibuat antara timur dan Barat.
3.        Fase ketiga Edward mendefenisikan orientalisme sesuatu yang lebih cenderung dilihat dari segi histories dan materialnya.
4.        Fase keempat Edward menyampaikan bahwa orientalisme mengenai pengetahuan yang ditempatkan pada segala sesuatu yang bersifat timur dalam mata pelajaran sekolah, mahkamah, penjara atau buku-buku pegangan untuk tujuan penelitian, pengkajian, pengadilan, pendisiplinan, atau pemerintahan atasnya.
            Pertumbuhan orientalis tidak lepas dari peran para pendeta yang pada awalnya mencoba untuk membuka jalan ke arah yang lebih luas. Mereka belajar ke negeri-negeri Islam di belahan Timur, memperdalam ilmu pengetahuan untuk dibawa ke negeri mereka.
            Pada masa itu, mereka yang belajar ke negeri-negeri Islam disebut sebagai murid-murid yang datang dari negeri Barat ke negara-negara Islam yang lebih maju dalam berbagai bidang. Namun pada umumnya mereka tidak merasa senang untuk disebut sebagai murid-murid yang belajar ke negeri timur, mereka lebih senang untuk disebut sebagai ahli, yakni ahli ke-Timuran (orientalis).[12]
            Orang-orang Barat yang mempelajari dunia Timur dimotivasi oleh agama. Bagaimanapun juga, perang Salib telah meninggalkan pengaruh terhadap sikap kaum Kristen atas ummat Islam.[13] Di sisi lain ummat Kristen juga ingin menyebarkan agama mereka di tengah-tengah kalangan ummat Islam.
            Selain motivasi agama, munculnya orientalisme juga dimotivasi oleh perdagangan dan politik.[14] Negeri-negeri industri memerlukan untuk pemasaran hasil industri.
            Mustafa as-Siba’i juga menyatakan bahwa ada empat motivasi khusus orientalis:[15]
  1. Dorongan ke-agamaan, misalnya para pendeta Katolik Roma.
  2. Dorongan penjajahan, seperti Snouck Hurgronje di Indonesia.
  3. Dorongan politik.
  4. Dorongan ilmiah artinya para orientalis ini ingin mempelajari tentang hal-hal yang bersifat ke-Timuran untuk mengetahui kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa di Timur.
Kaum orientalis mempelajari apa yang mereka inginkan dengan pikiran bebas dan terbuka. Beberapa faktor menyebabkan kesimpulan yang mereka hasilkan jauh dari fakta yang ada. Beberapa faktor tersebut antara lain bisa kita sebutkan sebagai berikut:
  1. Wilayah Timur itu terlalu luas untuk dikuasai seseorang hingga ia layak mengklaim dirinya sebagai orientalis. Secara jujur seorang ilmuan harus bisa membatasi wilayah studinya hingga objek yang  ia kajipun akan benar-benar ia kuasai. Dengan faktor ini, orientalis inipun sekarang lebih banyak disebut dengan Islamicist, atau bahkan yang lebih spesifik, yakni ahli ke-Indonesiaan.
  2. Sumber yang tidak sepenuhnya benar yang dikaji oleh para orientalis.
  3. Sumber terjemahan yang tidak memadai.
  4. banyak dari term-term yang dipakai bahkan tidak benar. Dahulunya orang Arab diartikan oleh Orientalis sebagai orang yang menggunakan bahasa Arab dalam ritual Ibdahnya.
  5. Selain itu, yang pantas kita sebutkan disini adalah kecenderungan-kecenderungan awal yang mempengaruhi para peneliti.
Adapun hal-hal yang melatari perkembangan orientalis adalah:
  1. Perang Salib.
  2. Persentuhan pemikiran wilayah Barat dan Timur, dan Islam dengan Kristen khususnya. Sejarah mencatat bahwa ada empat perguruan tertua di dunia Islam, yaitu: Nizhamiyah, al-Azhar, Qordova dan Qairawan.[16] Perguruan ini telah lama mengundang ketertarikan pelajar dari wilayah Barat.
  3. Penulisan manuskrip Arab ke dalam bahasa Latin.
Penulisan ini telah berlangsung sejak abad ke-13 M hingga munculnya Renesains di Eropa pada abad ke-14 M. hal tersebut berawal dari restu King Fredrick II di Sisilia meski mendapat penolakan keras dari gereja Vatikan. Kegiatan itu terus berlangsung hingga didirikannya beberapa perguruan tinggi di semenanjung Italia, Padua, Florence, Milano dan sebagainya.

D. Keadaan Kontemporer

            Pada faktanya, kajian-kajian orientalis telah banyak menghasilkan kesimpulan yang dinilai menyudutkan agama Islam. Usaha mereka dalam pengkajian ke-Islaman telah banyak menghasilkan berupa buku, memberikan kuliah dan pelajaran di tengah kalangan ummat Islam.
            Di berbagai negara Eropa, orientalis ini terus berkembang. Beberapa negara tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Prancis.
Di Institut Studi Islam di Paris telah dilakukan pengkajian-pengkajian tentang bahasa Arab, kebudayaan, sejarah dan beberapa bidang lainnya.[17]
  1. Italia.
Negara dan bangsa Italis telah mempunyai kontak dengan kaum muslimin sejak dahulu. Kemudian dengan usaha Vatikan, kebudayaan Arab dan beberapa kebudayaan lainnya terus berkembang di Italia. Di Italia di kenal sebuah perpustakaan besar yaitu perpustakaan Vatikan yang berisi buku-buku dari kerajaan Utsmani di Turki.[18]
Di zaman sekarang ini, kaum orientalis, baik sengaja ataupun tidak telah mendiskriminasikan Islam. Akan tetapi, sebuah kajian yang dilaksanakan dengan serius dan metode yang bisa dipertanggung jawabkan layak untuk dihormati, baik karya seorang muslim ataupun tidak. Sebagai seorang pengkaji yang jujur, hendaklah mereka tidak lantas mengklaim bahwa kajian mereka adalah yang paling benar.

E. Dunia Islam Sebagai Kajian Studi Wilayah

            Dalam makalah ini akan dipaparkan bagaimana keadaan studi-studi Islam di berbagai wilayah yang memang di dalamnya Islam dipegang sebagai keperyaan mayoritas masyarakat.
  1. Islam di Indonesia.
Sejarah Islam di Indonesia, dinilai sangat rumit oleh sebahagian sejarawan. Kerumitan tersebut disebabkan oleh kompleksitas di sekitar sosok Islam itu sendiri, sebagaimana direfleksikan oleh kaum muslimin di kawasan ini. Kerumitan lain adalah dalam menangani sumber-sumber sejarah dengan adanya kecenderungan tertentu di kalangan sejarawan atau ilmuan sosial yang mengkaji Islam di Indonesia, seperti yang ditegaskan oleh Roff bahwa sejak zaman kolonial hingga saat ini terdapat hasrat yang luar biasa di kalangan pengamat Barat secara konseptual untuk mengurangi peranan Islam dalam membentuk kebudayaan Indonesia.[19]
            Kebudayaan itu secara dramatis dimulai oleh Snouck Hurgronje dengan memisahkan adat lokal pada satu pihak dengan Islam pada pihak yang lain.
            Tentang masuknya Islam ke Indonesia ada tiga teori:[20]
  1. Teori yang menyatakan bahwa Islam langsung datang dari Arab yang dikemukakan oleh Niemann (1861) menyatakan bahwa Islam dibawah oleh orang-orang Mesir yang bermadzhab Syafi’i seperti layaknya kaum mayoritas di nusantara.
  2. Teori yang menyatakan bahwa Islam datang dari India yang dikemukakan oleh Pijnapel (1872) yang menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabarlah yang membawa ajaran Islam ke Indonesia.
  3. Teori yang menyatakan bahwa Islamd datang ke Indonesia dari Benggali (Bangladesh). Teori ini dikembangkan oleh Fatimi. Ia mengutip keterangan dari Tome Pires yang menyatakan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali.
Islam boleh jadi telah sampai di Indonesia sejak Abad ke-7/8 M, tetapi untuk muncul sebagai kekuatan politik, ia memerlukan waktu hingga enam abad sampai terbentuknya kerajaan Islam di Sumatera pada abad ke-13 M. akan tetapi rumusan ini masih bersifat hipotetif. Belum sampai dua abad Islam tampil sebagai kekuatan politik di Nusantara,  datanglah kekuatan tandingan dari Barat yang berupa Imperialisme yang secara berangsur, sekalipun selalu mendapat perlawanan, ternyata berhasil mengurangi peranan Islam di nusantara.
Taufik Abdullah menyatakan bahwa dalam proses perjalanan Islam di bumi nusantara, Islam merupakan suatu dasar pembentukan tradisi kultural baru.[21]
Agar Islam di masa depan tidak menjadi “menggapai dalam ketiadaan daya” maka kajian Islam yang mendasar dan strategis di Indonesia tidak dapat ditunda. Jika bangsa ini ingin “pembentukan kultural baru” maka harus didapatkan sebuah landasan intelektual yang kokoh. Dengan kata lain, kajian ke-Islaman di Indonesia, di samping mendalami ajaran substansi ajaran, pendekatan yang berorentasi ke masa depan merupakan kebutuhan mutlak secara iman dan akademik. Memang sejarah berurusan dengan masa lalu, tapi masa lalu itu hendaknya dijadikan untuk kepentingan masa depan. Dengan cara ini diharapkan bahwa Islam tidak saja menjadi agama yang didominasi oleh ritual demi keshalehan pribadi, tetapi menjadi agama yang hidup dan menghidupkan, agama yang mampu memecahkan persoalan-pesoalan ke-manusiaan secara mendasar.
Tangantan besar yang menghadang di depan bangsa Indonesia sekarang ini adalah masih sangat langkanya pakar kajian Islam yang mampu menulis di atas landasan wawasan ke-Islaman dan ke-manusiaan yang luas.
Selanjutnya yang terpenting adalah bagaimana para pakar yang ada mampu memasyaratkan hasil-hasil pemikirannya yang bernilai strategis Qurani ke tengah-tengah ummat tanpa menimbulkan kegoncangan-kegoncangan yang tidak ada artinya.
  1. Islam di Timur Tengah.
Masyarakat Islam dibangun diatas framework peradaban Timut Tengah kuno yang telah mapan sebelumnya. Masyarakat Islam berkembang dalam sebuah lingkungan yang sejak masa awal sejarah ummat manusia telah menampilkan dua aspek yang fundamental, yaitu asal-usul dan struktur sejarah yang telah berlangsung.[22]
Garis keturunan keluarga, kekerabatan, komunitas etnis terus berlanjut seperti semula sekalipun telah terjadi kesejarahan. Ekologi regional berlangsung dengan didasarkan pada komunitas petani dan perkotaan, dan ekonomi dijalankan diatas basis pemasaran dan pertukaran uang. Bentuk-bentuk dasar organisasi negara, termasuk administrasi biroratis, pola kehidupan keagamaan yang berlaku sebelumnya difokuskan kepada keyakinan yang bersifat universal dan transendental.
Perjalanan panjang Islam di Timur Tengah berlangsung sekitar 622 sampai 1002 M, yang berlangsung dalam tiga fase.[23]  Fase pertama adalah fase penciptaan sebuah komunitas baru yang bercorak Islam di Arabia sebagai hasil dari transformasi wilayah peripheral (pikiran) dengan sebuah masyarakat kekerabatan yang telah berkembang sebelumnya menjadi sebuah tipe monotheistik Timur Tengah.
Fase ke-dua adalah fase penaklukkan Timur Tengah oleh masyarakat Arab Muslim yang baru terbentuk tersebut, dan mendorong kelahiran sebuah imperium dan kebudayaan Islam (selama periode ke-khalifahan yang pertama sampai tahun 945 M).
Fase ketiga adalah fase kesulatanan (945-1200 M). pada fase pola dasar kultural dan institusional dari era khilafah berubah menjadi pola-pola negara dan institusi Islam.
Dalam fase pertama, dapat difahami bahwa fase tersebut merupakan fase kelahiran Islam pertama dalam masyarakat ke-sukuan. Pada fase ke-dua adalah memandang Islam sebagaimana ia menjadi agama dari sebuah negara kerjaan dan kalangan elit perkotaan. Sedangkan fase ke-tiga, nilai-nilai Islam ternyata telah mengubah mayoritas masyarakat Timur Tengah.
Penyatuan beberapa wilayah seperti bagian Sasania dan Bizantium di Timur Tengah menjadi sebuah pemerintahan, beberapa halangan politis dan strategis perdagangan menjadi hilang, dan sebuah fondasi utama untuk kebangkitan perdagangan telah terhampar.
Selanjutnya sungai Eufrat yang membatasi antara Persia dan wilayah Bizntium telah musnah dan Transxonia untuk pertamakalinya dalam sejarah disatukan dalam imperium Timut Tengah. Dunia perdagangan semakin maju mengilhami ekspansi Arab ke Asia Tengah dan India, da pengembangan kota-kota di Syiria utara, Iran, Iraq, Basra dan belakangan Baghdad menjadi pusat perdagangan dunia.[24]
  1. Islam di Turki.
Pembahasan Islam di Turki akan mewakili negara-negara lain di wilayah Timur Dekat.
    1. Penyebaran Bangsa Turki.
Penyebaran bangsa Turki dengan berbagai macam elemennya meliputi wilayah yang sangat luas. Kondisi geografis yang mereka diami saat itu secara umum menuntut pola hidup berpindah-pindah. Stuasi semcam ini membentuk masyarkat yang bersuku-suku.
Bangsa Turki mempunyai peranan yang sangat penting dalam perkembangan kebudayaan Islam. Peran tersebut terlihat dalam bidang politik ketika mereka masuk dalam barisan tentara profesional maupun dalam birokrasi pemerintahan yang bekerja untuk khalifah-khalifah Bani Abbsiyah.
Munculnya dinasti Turki, Islam mengalami fragmentasi kekuasaan pada periode kedua pemerintahan Abbasiyah (sekitar abad ke-9 M).
Bangsa Turki muslim yang pertama-tama membangun dinasti adalah Bani Saljuk mulai tampak pengaruhnya di Baghdad sebagai pusat dunia Islam pada tahun 1038 M. kemudian selain Bani Saljuk, dinasti Utsmaniyyah juga berkuasa (1290-1922 M).
    1. Islamisasi Bangsa Turki.
Adanya kontak dagang bangsa Turki yang bertempat tinggal di bagian Selatan wilayah Asia Tengah dengan pedagang muslim Arab telah memperkenalkan Islam kepada bangsa Turki.
Bangsa Turki yang kuat dan berkuasa dengan berbagai imperiumnya mencerminkan tipe masyarkat muslim lainnya, seperti mewarisi pola masyarakat Saljuk-Iran dan ia memberinya sebuah corak inovatif serta menjadikan negara sebagai institusi yang dominan, lalu menjadikan kalangan elit keagamaan, warga nomadik Turki di Anatolia, dan seluruh rakyat dibawah kekuasaan negara.[25]
    1. Pemikiran ke-Islaman di Turki.
Amin Abdullah[26] mengatakan bahwa hingga saat sekarang ini, tidak hanya partai politik yang berbau agama, tetapi juga organisasi-organisasi keagamaan masih dilarang di Turki. Namun anehnya, di negara sekuler itu mereka mempunyai “dianet isleri” (kantor urusan agama) yang bernaung dibawah menteri negara.
Dengan kondisi seperti ini, para generasi muda Turki merasa bosan dan tidak puas, akhirnya mereka beralih menggunakan “media cetak” sebagai sarana lalu-lintas dan penyampaian pesan kepada masyarakat.
Muncul beberapa penerbitan keagamaan yang memiliki ciri-ciri arus pemikiran yang berbeda, seperti:
Penerbitan yang disponsori Dianet Islery yang memiliki ciri Islam negara.
Penerbitan yang disponsori tarekat kuno.
Penerbitan yang disponsori tarekat baru.[27]
Penerbitan yang disponsori oleh kaum fundamentalis.

F. Signifikansi dan Konstribusi
            Berawal dari pembicaraan Munawwir Sadjali dengan Fazlurrahman dan Gigma[28] bahwa keduanya menekankan tentang kepincangan dan ketidak lengkapan studi Islam saat ini, khususnya di Indonesia dan Asia Tenggara. Satu sisi, banyak ahli ke-Islaman tetapi tidakl tahu tentang Indonesia dan wilayah-wilayah lainnya, sebaliknya banyak pakar ahli wilayah tapi tidak mengetahui tentang Islam.
            Kelemahan lain adalah banyak ahli yang berasal dari Barat yang melihat Islam di kawasan Asia Tenggara dan yang lainnya dengan menggunakan tolak ukur yang berasal dari Barat, sehingga dalam kesimpulan penelitiannya tidak selalu tepat.
            Konstribusi studi wilayah ini memberikan suatu upaya untuk menggali ilmu pengetahuan dan mengembangkannya sesuai dengan rumusan Islam, disamping juga menopang bangunan suatu bangsa.




G. Penutup
            Islam berkembang melalui proses perjalanan sejarah yang panjang dan kultur yang berbeda melihat dimana Islam itu berkembang. Perbedaan latar belakang sejarah dan budaya mempunyai ukuran yang sama tentang ke-Islaman.
            Pandangan agama dapat berubah dan dibenarkan berbeda karena perbedaan waktu, zaman, lingkungan, stuasi dan sasaran serta tradisi yang sesuai dengan suatu kaidah.
            Maka studi ke-Islaman di wilayah-wilayah secara objektiv akan berhasilkan pandangan dan aplikasi Islam yang benar dan tidak harus sama dengan apa yang dilakukan dan diterapkan di wilayah lainnya. Oleh karena itu, sangat didambakan untuk munculnya pusat-pusat studi Islam untuk dapat menyahuti persoalan yang terus berkembang di masa mendatang.


Daftar Pustaka


Abdullah, Amin, Studi Agama Normativitas Atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Abdullah, Taufiq, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Islam. Jakarta: LP3S, 1987.

Aqiqi, Najib al-, Al-Musytasyriqun. Mesir: Daar an-Nahdhoh al-Mishriyah, 1958.

Azra, Azyumardi, Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.

Bahiy, Muhammad,  Al-Fikri ak al-Islami al-Hadist wa Shirotuhu bi al-Isti’mari al-Gharbiyyi. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.

Edward Said, Culture and Imperialism. New York: Alfred A. Knof, 1993.

Fananie, Peny Zainuddin, Studi Islam Asia Tenggara. Jakarta: Muhammadiyah University Press, 1999.

Hornby, A. S., Oxford Advanced Learner’s Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1986.

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, jil. I.  Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999.

Lubis, Nur Ahmad Fadhil,  Introductory Reading on Islamic Studies. Medan: IAIn Press, 2000.

Madjid, Nurcholish, Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1977.

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. Jakarta: Rajawali Press, 1999.

Roff, William R., Islam of Seculer? Some Reflection on Studies of Islam and Society in Southeast Asia. Arckipel, 1985.

Salim, Peter, Webster’s New World Dictionary . Jakarta: Modern English Press, t.th.

Shaban,  M. A., Islamic History: A New Intrepretation. Cambridge: Cambridge University Press, 1971.
Siba’i,  Mustafa, al-Istisyraq wal Mustasyriqun. Beiru: Daar Kutub al-Ilmiyah, t.th.

Sou’yb, Joesoef, Orientalisme dan Islam, entri dalam Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.

Watt, W. Montgomery dan Piere Cachia, History Of Islamic Spain. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1977.

Ya’qub,  Ismail, Orientaslime dan Orientalisten. Surabaya: CV. Faizan, 1970.


[1] A. S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary (Oxford: Oxford University Press, 1986), h. 40.
[2] Peter Salim, Webster’s New World Dictionary (Jakarta: Modern English Press, t.th) h. 31.
[3] Hornby, Oxford. H. 859.
[4] Ibd.
[5] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1999), h. 142.
[6] M. A. Shaban, Islamic History: A New Intrepretation  (Cambridge: Cambridge University Press, 1971), h. 16.
[7] Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta: Paramadina, 1977) h. 10.
[8] W. Montgomery Watt dan Piere Cachia, History Of Islamic Spain (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1977), h. 147.
[9] Edward Said, Culture and Imperialism (New York: Alfred A. Knof, 1993) h. 25.
[10] Richard C. Martin, Islmic Studies: History of The Field, dalam Nur Ahmad Fadhil Lubis,  Introductory Reading on Islamic Studies (Medan: IAIn Press, 2000), h.
[11] ibid.
[12] Ismail Ya’qub, Orientaslime dan Orientalisten (Surabaya: CV. Faizan, 1970) h. 109.
[13] Najib al-Aqiqi, Al-Musytasyriqun (Mesir: Daar an-Nahdhoh al-Mishriyah, 1958) h. 235.
[14] Muhammad al-Bahiy,  Al-Fikri ak al-Islami al-Hadist wa Shirotuhu bi al-Isti’mari al-Gharbiyyi (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th) h. 25.
[15]  Mustafa s-Siba’i, al-Istisyraq wal Mustasyriqun (Beiru: Daar Kutub al-Ilmiyah, t.th) h. 25
[16] Joesoef Soeyb, Orientalisme. H. 37.
[17] Isma’il, Orientalisme. H. 135.
[18] Ibid.
[19] William R. Roff, Islam of Seculer? Some Reflection on Studies of Islam and Society in Southeast Asia (Arckipel, 1985) h. 7.
[20] Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989) h. 12.
[21] Taufiq Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Islam (Jakarta: LP3S, 1987) h. 241.
[22] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, jil. I (Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1999) h. 3.
[23] Ibid. h. 14.
[24] Ibid. h. 68.
[25] Ira, M. Laidus, Sejarah. H. 468.
[26] Untuk kajian lebih lanjut baca Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas Atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) h. 183.
[27] Ibid.  h. 184.
[28] Peny Zainuddin Fananie, Studi Islam Asia Tenggara (Jakarta: Muhammadiyah University Press, 1999) h. xiv.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar