PENDEKATAN STUDI WILAYAH DALAM STUDI ISLAM
A. Pendahuluan
Studi Islam tampaknya masih merupakan sebuah harapan,
karena sampai saat ini, di berbagai wilayah dimana Islam merupakan agama
mayoritas para penduduk, studi Islam belum banyak dilakukan. Meskipun demikian,
upaya untuk mengembangkan studi Islam di berbagai wilayah tetap diusahakan oleh
para sarjanawan muslim dan para sarjanawan yang berkecimpung dalam
kajian-kajian ke-Islaman, meskipun usaha mereka tersebut belumlah maksimal.
Banyak
dari para ilmuan pengkaji Islam yang telah memulai pengkajian-pengkajian Islam
dengan beberapa pendekatan studi, terkhusus studi wilayah yang akan kita bahas
ini dalam makalah sederhana ini. Melirik pada perkembangan politik, sejarah dan
budaya sangat dinamis, dan juga disebabkan kurangnya umat Islam mengkaji
agamanya, menjadikan studi wilayah ini dianggap sangat urgen dan signifikan
untuk dikaji dan juga dikembangkan.
B. Pengertian, Latar Belakang dan Perkembangan Studi Wilayah
Studi
wilayah (area studies) terdiri dari dua kata, yakni area dan studi.
Area mengandung arti “region of the earth’s surfaces”,[1]
artinya adalah: daerah permukaan bumi. area juga bermakna: luas, daerah kawasan
setempat dan bidang.[2]
Sedangkan studi mengandung
pengertian “devotion of time and thought to getting knowledge”,[3]
artinya adalah pemanfaatan waktu dan pemikiran untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan. Studi juga mengandung pengertian “something that
attracts investigation”[4] yakni sesuatu yang perlu untuk dikaji.
Studies adalah bentuk jamak
dari studi, kata ini menunjukkan bahwa kajian yang dilakukan terhadap
sebuah wilayah tidak hanya terbatas pada suatu bidang kajian, melainkan terdiri
dari berbagai bidang. Secara terminologi studi wilayah adalah pengkajian yang
digunakan untuk menjelaskan hasil dari sebuah penelitian tentang suatu masalah
menurut wilayah dimana masalah tersebut terjadi.[5]
Setelah nabi Muhammad saw. wafat,
dominasi Islam atas Jazirah Arab sudah sedemikian luas. Hal itu merupakan
permulaan dari pencapaian peradaban Islam. Rencana penaklukkan yang
direncakanan nabi Muhammad saw. dianggap merupakan wasiat yang harus dijalankan
oleh para sahabat, maka adalah hal yang wajar bila ekspansi ini terus
dijalankan oleh para sahabat sepeninggal beliau. Dalam waktu yang relatif
singkat, yakni pada masa pemerintahan Abu Bakar ra. dan Umar ra. wilayah Islam
sudah mencapai Yaman, Oman, Bahrain, Iraq bagian Selatan, Persia, Syiria, Pantai
Laut Tengah dan Mesir. Perluasan wilayah ini kemudia dilanjutkan oleh Utsman
ra. hingga ke Sijistan, Khurasan, Azzerbijan, dan Armenia.[6]
Pada perkembangan berikutnya,
tekanan Islam terhadap daerah-daerah Barat semakin intens. Sebuah peristiwa
penting terjadi pada 751 dimana pasukan muslim berhasil menaklukkan semenanjung
Iberia, Sisilia, dan Andalusia, bahkan penaklukkan tersebut berlanjut hingga
Pyneress menuju daerah Prancis Selatan.[7]
Pasukan yang menaklukkan Andalusia
didominasi oleh kaum muslimin, sehingga kekuatan muslimpun disadari oleh
penganut agama Kristen yang berada di wilayah Barat.
Pada tahun 1236 M, kekuatan gabungan
gereja Spanyol mengambil alih kembali Cordova dan disusul dengan Sevilla pada
tahun 1248 M. Granada dibawah kekuasaan Bani Ahmar dapat bertahan kurang lebih
dua abad lamanya sebelum akhirnya juga jatuh.[8]
Sejak saat itu, serangan kaum
Kristen untuk menaklukkan wilayah yang dikuasai oleh kaum muslimin semakin
gencar. Dengan dilatar belakangi berbagai tujuan, mereka melakukan
pelayaran-pelayaran ke berbagai belahan dunia untuk memperluas kekuasaan
mereka.
Serangkaian penaklukkan yang terjadi
tidak hanya bertujuan, baik sengaja ataupun tidak, untuk menguasai wilayah dan
aspek-aspek material saja, akan tetapi juga, serangkaian penaklukkan ini
dibarengi dengan imperialisme kultural.[9]
Melaluai ekspansi politik dan
kultural terhadao wilayah-wilayah Islam, maka kajian wilayah menjadi sebuah
usaha yang terus digalakkan untuk memahami agama Islam.[10]
C. Pengertian, Asal dan Perkembangan Orientalisme
Secara Etimologi Orientalisme
berasal dari bahasa latin orient yang artinya digunakan dalam bahasa Perancis
menjadi Orienter yang bermakna menunjukkan atau mengarahkan dan dalam bahasa
Jerman menjadi sich orientiern yang bermaksud mengumpulkan maklumat dan
pengetahuan.
Secara Terminologi ,orientalisme
adalah suatu istilah yang artinya mengetahui segala sesuatu yang berhubungan
dengan bangsa timur. Kata Orientalisme ini digunakan bagi setiap cendikiawan
Barat yang bekerja untuk mempelajari masalah ketimuran ,baik dalam bidang
bahasa,etika,peradaban dan agamanya.
Kata Orient ini berubah menjadi orientalisme di dunia eropa sebagai studi
kajian tentang dunia Timur. Menurut Al Berry
salah satu anggota gereja Yunani bahwa istilah orientalisme ini muncul
pada tahun 1638 M. Kemudian pada tahun 1691 Antony Wood dan Samuel Clark
mengistilahkan orientalisme sebagai pengetahuan tentang ketimuran. Kemudian
istilah ini muncul di Perancis dengan nama orienter pada tahun 1779 M, diikuti
di Inggris menjadi orientalisme pada
tahun 1838 M, sehingga istilah orientalisme ini menjadi istilah yang mapan dan
berkembang di dunia Eropa-Barat pada abad ke-18 M.
Kata “isme” menunjukkan kepada suatu
faham, ajaran, cita-cita dan sikap.[11]
Jadi orientalisme adalah suatu faham atau aliran yang berkeinginan untuk
menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsa-bangsa di Timur dan yang
berkaitan dengannya.
Sementara menurut Edward Said,
orientalisme memiliki pengertian yang berbeda sesuai dengan fase-fase
perkembangan yang diuraikan dalam bukunya Culture and Orientalisme.
1.
Fase
pertama Edward mendefenisikan Orientalisme sebagai suatu cara untuk memahami
dunia Timur, berdasarkan tempatnya yang khusus dalam pengalaman manusia
barat-Eropa.
2.
Fase
kedua Edward mendefenisikan orientalisme adalah sebagai suatu gaya berfikir
yang berdasarkan kepada perbedaan ontologis dan epistomologis yang dibuat
antara timur dan Barat.
3.
Fase
ketiga Edward mendefenisikan orientalisme sesuatu yang lebih cenderung dilihat
dari segi histories dan materialnya.
4.
Fase
keempat Edward menyampaikan bahwa orientalisme mengenai pengetahuan yang
ditempatkan pada segala sesuatu yang bersifat timur dalam mata pelajaran
sekolah, mahkamah, penjara atau buku-buku pegangan untuk tujuan penelitian,
pengkajian, pengadilan, pendisiplinan, atau pemerintahan atasnya.
Pertumbuhan orientalis tidak lepas
dari peran para pendeta yang pada awalnya mencoba untuk membuka jalan ke arah
yang lebih luas. Mereka belajar ke negeri-negeri Islam di belahan Timur,
memperdalam ilmu pengetahuan untuk dibawa ke negeri mereka.
Pada masa itu, mereka yang belajar
ke negeri-negeri Islam disebut sebagai murid-murid yang datang dari negeri
Barat ke negara-negara Islam yang lebih maju dalam berbagai bidang. Namun pada
umumnya mereka tidak merasa senang untuk disebut sebagai murid-murid yang
belajar ke negeri timur, mereka lebih senang untuk disebut sebagai ahli, yakni
ahli ke-Timuran (orientalis).[12]
Orang-orang Barat yang mempelajari
dunia Timur dimotivasi oleh agama. Bagaimanapun juga, perang Salib telah
meninggalkan pengaruh terhadap sikap kaum Kristen atas ummat Islam.[13]
Di sisi lain ummat Kristen juga ingin menyebarkan agama mereka di tengah-tengah
kalangan ummat Islam.
Selain motivasi agama, munculnya
orientalisme juga dimotivasi oleh perdagangan dan politik.[14]
Negeri-negeri industri memerlukan untuk pemasaran hasil industri.
Mustafa as-Siba’i juga menyatakan
bahwa ada empat motivasi khusus orientalis:[15]
- Dorongan ke-agamaan, misalnya para pendeta Katolik Roma.
- Dorongan penjajahan, seperti Snouck Hurgronje di Indonesia.
- Dorongan politik.
- Dorongan ilmiah artinya para orientalis ini ingin mempelajari tentang hal-hal yang bersifat ke-Timuran untuk mengetahui kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa di Timur.
Kaum
orientalis mempelajari apa yang mereka inginkan dengan pikiran bebas dan
terbuka. Beberapa faktor menyebabkan kesimpulan yang mereka hasilkan jauh dari
fakta yang ada. Beberapa faktor tersebut antara lain bisa kita sebutkan sebagai
berikut:
- Wilayah Timur itu terlalu luas untuk dikuasai seseorang hingga ia layak mengklaim dirinya sebagai orientalis. Secara jujur seorang ilmuan harus bisa membatasi wilayah studinya hingga objek yang ia kajipun akan benar-benar ia kuasai. Dengan faktor ini, orientalis inipun sekarang lebih banyak disebut dengan Islamicist, atau bahkan yang lebih spesifik, yakni ahli ke-Indonesiaan.
- Sumber yang tidak sepenuhnya benar yang dikaji oleh para orientalis.
- Sumber terjemahan yang tidak memadai.
- banyak dari term-term yang dipakai bahkan tidak benar. Dahulunya orang Arab diartikan oleh Orientalis sebagai orang yang menggunakan bahasa Arab dalam ritual Ibdahnya.
- Selain itu, yang pantas kita sebutkan disini adalah kecenderungan-kecenderungan awal yang mempengaruhi para peneliti.
Adapun
hal-hal yang melatari perkembangan orientalis adalah:
- Perang Salib.
- Persentuhan pemikiran wilayah Barat dan Timur, dan Islam dengan Kristen khususnya. Sejarah mencatat bahwa ada empat perguruan tertua di dunia Islam, yaitu: Nizhamiyah, al-Azhar, Qordova dan Qairawan.[16] Perguruan ini telah lama mengundang ketertarikan pelajar dari wilayah Barat.
- Penulisan manuskrip Arab ke dalam bahasa Latin.
Penulisan ini telah berlangsung sejak abad
ke-13 M hingga munculnya Renesains di Eropa pada abad ke-14 M. hal tersebut
berawal dari restu King Fredrick II di Sisilia meski mendapat penolakan keras
dari gereja Vatikan. Kegiatan itu terus berlangsung hingga didirikannya
beberapa perguruan tinggi di semenanjung Italia, Padua, Florence, Milano dan
sebagainya.
D. Keadaan Kontemporer
Pada
faktanya, kajian-kajian orientalis telah banyak menghasilkan kesimpulan yang
dinilai menyudutkan agama Islam. Usaha mereka dalam pengkajian ke-Islaman telah
banyak menghasilkan berupa buku, memberikan kuliah dan pelajaran di tengah
kalangan ummat Islam.
Di berbagai negara Eropa, orientalis
ini terus berkembang. Beberapa negara tersebut adalah sebagai berikut:
- Prancis.
Di Institut Studi Islam di Paris telah
dilakukan pengkajian-pengkajian tentang bahasa Arab, kebudayaan, sejarah dan
beberapa bidang lainnya.[17]
- Italia.
Negara
dan bangsa Italis telah mempunyai kontak dengan kaum muslimin sejak dahulu.
Kemudian dengan usaha Vatikan, kebudayaan Arab dan beberapa kebudayaan lainnya
terus berkembang di Italia. Di Italia di kenal sebuah perpustakaan besar yaitu
perpustakaan Vatikan yang berisi buku-buku dari kerajaan Utsmani di Turki.[18]
Di zaman
sekarang ini, kaum orientalis, baik sengaja ataupun tidak telah
mendiskriminasikan Islam. Akan tetapi, sebuah kajian yang dilaksanakan dengan
serius dan metode yang bisa dipertanggung jawabkan layak untuk dihormati, baik
karya seorang muslim ataupun tidak. Sebagai seorang pengkaji yang jujur,
hendaklah mereka tidak lantas mengklaim bahwa kajian mereka adalah yang paling
benar.
E. Dunia Islam Sebagai Kajian Studi Wilayah
Dalam
makalah ini akan dipaparkan bagaimana keadaan studi-studi Islam di berbagai
wilayah yang memang di dalamnya Islam dipegang sebagai keperyaan mayoritas
masyarakat.
- Islam di Indonesia.
Sejarah
Islam di Indonesia, dinilai sangat rumit oleh sebahagian sejarawan. Kerumitan
tersebut disebabkan oleh kompleksitas di sekitar sosok Islam itu sendiri,
sebagaimana direfleksikan oleh kaum muslimin di kawasan ini. Kerumitan lain
adalah dalam menangani sumber-sumber sejarah dengan adanya kecenderungan
tertentu di kalangan sejarawan atau ilmuan sosial yang mengkaji Islam di
Indonesia, seperti yang ditegaskan oleh Roff bahwa sejak zaman kolonial hingga
saat ini terdapat hasrat yang luar biasa di kalangan pengamat Barat secara
konseptual untuk mengurangi peranan Islam dalam membentuk kebudayaan Indonesia.[19]
Kebudayaan itu secara dramatis
dimulai oleh Snouck Hurgronje dengan memisahkan adat lokal pada satu pihak
dengan Islam pada pihak yang lain.
Tentang masuknya Islam ke Indonesia
ada tiga teori:[20]
- Teori yang menyatakan bahwa Islam langsung datang dari Arab yang dikemukakan oleh Niemann (1861) menyatakan bahwa Islam dibawah oleh orang-orang Mesir yang bermadzhab Syafi’i seperti layaknya kaum mayoritas di nusantara.
- Teori yang menyatakan bahwa Islam datang dari India yang dikemukakan oleh Pijnapel (1872) yang menyimpulkan bahwa orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i dari Gujarat dan Malabarlah yang membawa ajaran Islam ke Indonesia.
- Teori yang menyatakan bahwa Islamd datang ke Indonesia dari Benggali (Bangladesh). Teori ini dikembangkan oleh Fatimi. Ia mengutip keterangan dari Tome Pires yang menyatakan bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali.
Islam boleh jadi telah sampai di Indonesia sejak Abad ke-7/8 M,
tetapi untuk muncul sebagai kekuatan politik, ia memerlukan waktu hingga enam
abad sampai terbentuknya kerajaan Islam di Sumatera pada abad ke-13 M. akan
tetapi rumusan ini masih bersifat hipotetif. Belum sampai dua abad Islam tampil
sebagai kekuatan politik di Nusantara,
datanglah kekuatan tandingan dari Barat yang berupa Imperialisme yang
secara berangsur, sekalipun selalu mendapat perlawanan, ternyata berhasil
mengurangi peranan Islam di nusantara.
Taufik Abdullah menyatakan bahwa dalam proses
perjalanan Islam di bumi nusantara, Islam merupakan suatu dasar pembentukan
tradisi kultural baru.[21]
Agar Islam di masa depan tidak menjadi
“menggapai dalam ketiadaan daya” maka kajian Islam yang mendasar dan strategis
di Indonesia tidak dapat ditunda. Jika bangsa ini ingin “pembentukan kultural
baru” maka harus didapatkan sebuah landasan intelektual yang kokoh. Dengan kata
lain, kajian ke-Islaman di Indonesia, di samping mendalami ajaran substansi
ajaran, pendekatan yang berorentasi ke masa depan merupakan kebutuhan mutlak
secara iman dan akademik. Memang sejarah berurusan dengan masa lalu, tapi masa
lalu itu hendaknya dijadikan untuk kepentingan masa depan. Dengan cara ini
diharapkan bahwa Islam tidak saja menjadi agama yang didominasi oleh ritual
demi keshalehan pribadi, tetapi menjadi agama yang hidup dan menghidupkan,
agama yang mampu memecahkan persoalan-pesoalan ke-manusiaan secara mendasar.
Tangantan besar yang menghadang di depan bangsa
Indonesia sekarang ini adalah masih sangat langkanya pakar kajian Islam yang
mampu menulis di atas landasan wawasan ke-Islaman dan ke-manusiaan yang luas.
Selanjutnya yang terpenting adalah bagaimana
para pakar yang ada mampu memasyaratkan hasil-hasil pemikirannya yang bernilai
strategis Qurani ke tengah-tengah ummat tanpa menimbulkan
kegoncangan-kegoncangan yang tidak ada artinya.
- Islam di Timur Tengah.
Masyarakat Islam dibangun diatas framework
peradaban Timut Tengah kuno yang telah mapan sebelumnya. Masyarakat Islam
berkembang dalam sebuah lingkungan yang sejak masa awal sejarah ummat manusia
telah menampilkan dua aspek yang fundamental, yaitu asal-usul dan struktur
sejarah yang telah berlangsung.[22]
Garis keturunan keluarga, kekerabatan,
komunitas etnis terus berlanjut seperti semula sekalipun telah terjadi
kesejarahan. Ekologi regional berlangsung dengan didasarkan pada komunitas
petani dan perkotaan, dan ekonomi dijalankan diatas basis pemasaran dan
pertukaran uang. Bentuk-bentuk dasar organisasi negara, termasuk administrasi
biroratis, pola kehidupan keagamaan yang berlaku sebelumnya difokuskan kepada
keyakinan yang bersifat universal dan transendental.
Perjalanan panjang Islam di Timur Tengah
berlangsung sekitar 622 sampai 1002 M, yang berlangsung dalam tiga fase.[23] Fase pertama adalah fase penciptaan sebuah
komunitas baru yang bercorak Islam di Arabia sebagai hasil dari transformasi
wilayah peripheral (pikiran) dengan sebuah masyarakat kekerabatan yang telah
berkembang sebelumnya menjadi sebuah tipe monotheistik Timur Tengah.
Fase ke-dua adalah fase penaklukkan Timur
Tengah oleh masyarakat Arab Muslim yang baru terbentuk tersebut, dan mendorong
kelahiran sebuah imperium dan kebudayaan Islam (selama periode ke-khalifahan
yang pertama sampai tahun 945 M).
Fase ketiga adalah fase kesulatanan (945-1200
M). pada fase pola dasar kultural dan institusional dari era khilafah berubah
menjadi pola-pola negara dan institusi Islam.
Dalam fase pertama, dapat difahami bahwa fase
tersebut merupakan fase kelahiran Islam pertama dalam masyarakat ke-sukuan.
Pada fase ke-dua adalah memandang Islam sebagaimana ia menjadi agama dari
sebuah negara kerjaan dan kalangan elit perkotaan. Sedangkan fase ke-tiga,
nilai-nilai Islam ternyata telah mengubah mayoritas masyarakat Timur Tengah.
Penyatuan beberapa wilayah seperti bagian
Sasania dan Bizantium di Timur Tengah menjadi sebuah pemerintahan, beberapa
halangan politis dan strategis perdagangan menjadi hilang, dan sebuah fondasi
utama untuk kebangkitan perdagangan telah terhampar.
Selanjutnya sungai Eufrat yang membatasi antara
Persia dan wilayah Bizntium telah musnah dan Transxonia untuk pertamakalinya
dalam sejarah disatukan dalam imperium Timut Tengah. Dunia perdagangan semakin
maju mengilhami ekspansi Arab ke Asia Tengah dan India, da pengembangan
kota-kota di Syiria utara, Iran, Iraq, Basra dan belakangan Baghdad menjadi
pusat perdagangan dunia.[24]
- Islam di Turki.
Pembahasan Islam di Turki akan mewakili
negara-negara lain di wilayah Timur Dekat.
- Penyebaran Bangsa Turki.
Penyebaran bangsa Turki dengan berbagai macam
elemennya meliputi wilayah yang sangat luas. Kondisi geografis yang mereka
diami saat itu secara umum menuntut pola hidup berpindah-pindah. Stuasi semcam
ini membentuk masyarkat yang bersuku-suku.
Bangsa Turki mempunyai peranan yang sangat
penting dalam perkembangan kebudayaan Islam. Peran tersebut terlihat dalam
bidang politik ketika mereka masuk dalam barisan tentara profesional maupun
dalam birokrasi pemerintahan yang bekerja untuk khalifah-khalifah Bani
Abbsiyah.
Munculnya dinasti Turki, Islam mengalami
fragmentasi kekuasaan pada periode kedua pemerintahan Abbasiyah (sekitar abad
ke-9 M).
Bangsa Turki muslim yang pertama-tama membangun
dinasti adalah Bani Saljuk mulai tampak pengaruhnya di Baghdad sebagai pusat
dunia Islam pada tahun 1038 M. kemudian selain Bani Saljuk, dinasti Utsmaniyyah
juga berkuasa (1290-1922 M).
- Islamisasi Bangsa Turki.
Adanya
kontak dagang bangsa Turki yang bertempat tinggal di bagian Selatan wilayah
Asia Tengah dengan pedagang muslim Arab telah memperkenalkan Islam kepada
bangsa Turki.
Bangsa
Turki yang kuat dan berkuasa dengan berbagai imperiumnya mencerminkan tipe
masyarkat muslim lainnya, seperti mewarisi pola masyarakat Saljuk-Iran dan ia
memberinya sebuah corak inovatif serta menjadikan negara sebagai institusi yang
dominan, lalu menjadikan kalangan elit keagamaan, warga nomadik Turki di
Anatolia, dan seluruh rakyat dibawah kekuasaan negara.[25]
- Pemikiran ke-Islaman di Turki.
Amin
Abdullah[26] mengatakan bahwa hingga saat sekarang ini, tidak hanya partai
politik yang berbau agama, tetapi juga organisasi-organisasi keagamaan masih
dilarang di Turki. Namun anehnya, di negara sekuler itu mereka mempunyai
“dianet isleri” (kantor urusan agama) yang bernaung dibawah menteri negara.
Dengan
kondisi seperti ini, para generasi muda Turki merasa bosan dan tidak puas,
akhirnya mereka beralih menggunakan “media cetak” sebagai sarana lalu-lintas
dan penyampaian pesan kepada masyarakat.
Muncul
beberapa penerbitan keagamaan yang memiliki ciri-ciri arus pemikiran yang
berbeda, seperti:
Penerbitan
yang disponsori Dianet Islery yang memiliki ciri Islam negara.
Penerbitan
yang disponsori tarekat kuno.
Penerbitan
yang disponsori tarekat baru.[27]
Penerbitan
yang disponsori oleh kaum fundamentalis.
F.
Signifikansi dan Konstribusi
Berawal dari
pembicaraan Munawwir Sadjali dengan Fazlurrahman dan Gigma[28]
bahwa keduanya menekankan tentang kepincangan dan ketidak lengkapan studi Islam
saat ini, khususnya di Indonesia dan Asia Tenggara. Satu sisi, banyak ahli
ke-Islaman tetapi tidakl tahu tentang Indonesia dan wilayah-wilayah lainnya,
sebaliknya banyak pakar ahli wilayah tapi tidak mengetahui tentang Islam.
Kelemahan lain adalah banyak ahli
yang berasal dari Barat yang melihat Islam di kawasan Asia Tenggara dan yang
lainnya dengan menggunakan tolak ukur yang berasal dari Barat, sehingga dalam
kesimpulan penelitiannya tidak selalu tepat.
Konstribusi studi wilayah ini
memberikan suatu upaya untuk menggali ilmu pengetahuan dan mengembangkannya
sesuai dengan rumusan Islam, disamping juga menopang bangunan suatu bangsa.
G.
Penutup
Islam
berkembang melalui proses perjalanan sejarah yang panjang dan kultur yang
berbeda melihat dimana Islam itu berkembang. Perbedaan latar belakang sejarah
dan budaya mempunyai ukuran yang sama tentang ke-Islaman.
Pandangan agama dapat berubah dan
dibenarkan berbeda karena perbedaan waktu, zaman, lingkungan, stuasi dan
sasaran serta tradisi yang sesuai dengan suatu kaidah.
Maka studi ke-Islaman di
wilayah-wilayah secara objektiv akan berhasilkan pandangan dan aplikasi Islam
yang benar dan tidak harus sama dengan apa yang dilakukan dan diterapkan di
wilayah lainnya. Oleh karena itu, sangat didambakan untuk munculnya pusat-pusat
studi Islam untuk dapat menyahuti persoalan yang terus berkembang di masa
mendatang.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin, Studi Agama Normativitas
Atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Abdullah, Taufiq, Islam dan Masyarakat:
Pantulan Sejarah Islam. Jakarta: LP3S, 1987.
Aqiqi, Najib al-, Al-Musytasyriqun. Mesir:
Daar an-Nahdhoh al-Mishriyah, 1958.
Azra, Azyumardi, Perspektif Islam di Asia
Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Bahiy, Muhammad, Al-Fikri ak al-Islami al-Hadist wa Shirotuhu
bi al-Isti’mari al-Gharbiyyi. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Edward Said, Culture and Imperialism. New
York: Alfred A. Knof, 1993.
Fananie, Peny Zainuddin, Studi Islam Asia
Tenggara. Jakarta: Muhammadiyah University Press, 1999.
Hornby, A. S., Oxford Advanced Learner’s
Dictionary. Oxford: Oxford University Press, 1986.
Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, jil.
I. Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada,
1999.
Lubis, Nur Ahmad Fadhil, Introductory Reading on Islamic Studies. Medan:
IAIn Press, 2000.
Madjid, Nurcholish, Kaki Langit Peradaban
Islam. Jakarta: Paramadina, 1977.
Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam. Jakarta:
Rajawali Press, 1999.
Roff, William R., Islam of Seculer? Some
Reflection on Studies of Islam and Society in Southeast Asia. Arckipel,
1985.
Salim, Peter, Webster’s New World Dictionary
. Jakarta: Modern English Press, t.th.
Shaban,
M. A., Islamic History: A New Intrepretation. Cambridge:
Cambridge University Press, 1971.
Siba’i, Mustafa, al-Istisyraq wal Mustasyriqun. Beiru:
Daar Kutub al-Ilmiyah, t.th.
Sou’yb, Joesoef, Orientalisme dan Islam, entri
dalam Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993.
Watt, W. Montgomery dan Piere Cachia, History
Of Islamic Spain. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1977.
Ya’qub,
Ismail, Orientaslime dan Orientalisten. Surabaya: CV. Faizan,
1970.
[1] A. S. Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary (Oxford:
Oxford University Press, 1986), h. 40.
[2] Peter Salim, Webster’s New World Dictionary (Jakarta: Modern English
Press, t.th) h. 31.
[3] Hornby, Oxford.
H. 859.
[4] Ibd.
[5] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali
Press, 1999), h. 142.
[6] M. A. Shaban, Islamic History: A New Intrepretation (Cambridge: Cambridge University Press,
1971), h. 16.
[7] Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam (Jakarta:
Paramadina, 1977) h. 10.
[8] W. Montgomery Watt dan Piere Cachia, History Of Islamic Spain (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 1977), h. 147.
[9] Edward Said, Culture and Imperialism (New York: Alfred A.
Knof, 1993) h. 25.
[10] Richard C. Martin, Islmic Studies: History of The Field, dalam
Nur Ahmad Fadhil Lubis, Introductory
Reading on Islamic Studies (Medan:
IAIn Press, 2000), h.
[11] ibid.
[12] Ismail Ya’qub, Orientaslime dan Orientalisten (Surabaya: CV.
Faizan, 1970) h. 109.
[13] Najib al-Aqiqi, Al-Musytasyriqun (Mesir: Daar an-Nahdhoh
al-Mishriyah, 1958) h. 235.
[14] Muhammad al-Bahiy, Al-Fikri ak al-Islami al-Hadist wa Shirotuhu
bi al-Isti’mari al-Gharbiyyi (Beirut:
Daar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th) h. 25.
[15] Mustafa s-Siba’i, al-Istisyraq
wal Mustasyriqun (Beiru: Daar Kutub al-Ilmiyah, t.th) h. 25
[16] Joesoef Soeyb, Orientalisme. H. 37.
[17] Isma’il, Orientalisme. H. 135.
[18] Ibid.
[19] William R. Roff, Islam of Seculer? Some Reflection on Studies of
Islam and Society in Southeast Asia (Arckipel,
1985) h. 7.
[20] Azyumardi Azra, Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1989) h. 12.
[21] Taufiq Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Islam (Jakarta:
LP3S, 1987) h. 241.
[22] Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, jil. I (Jakarta:
PT. Raja Grapindo Persada, 1999) h. 3.
[23] Ibid. h. 14.
[24] Ibid. h. 68.
[25] Ira, M. Laidus, Sejarah. H. 468.
[26] Untuk kajian lebih lanjut baca Amin Abdullah, Studi Agama
Normativitas Atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) h. 183.
[27] Ibid. h. 184.
[28] Peny Zainuddin Fananie, Studi Islam Asia Tenggara (Jakarta:
Muhammadiyah University Press, 1999) h. xiv.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar