Rabu, 15 Mei 2013

STUDI TASAWUF

A. Pendahuluan
    Islam sebagai agama yang bersifat universal, selain menghendaki kebersihan lahiriah juga menghendaki kebersihan batiniah, lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batinnya. Hal ini terlihat pada salah satu syarat diterimanya amal ibadah, yaitu harus disertai niat.
    Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada penbersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui studi tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. Dari pengetahuan ini diharapkan ia akan tampil sebagai orang yang pandai mengendalikan dirinya pada saat ia berinteraksi dengan orang lain, atau pada saat melakukan berbagai aktivitas yang menuntut kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan dan lain-lain. Dari suasana yang demikian itu, tasawuf diharapkan dapat mengatasi berbagai penyimpangan moral seperti manipulasi, korupsi, kolusi, penyalahgunaan kekuasaan dan kesempatan, penindasan dan sebagainya.

    Melihat pentingnya peranan tasawuf dalam kelangsungan hidup manusia seutuhnya, maka tidak mengherankan jika tasawuf akrab dengan kehidupan masyarakat Islam setelah masyarakat tersebut membina akidah dan ibadahnya melalui ilmu tauhid dan ilmi fiqih. Berkenaan dengan ini telah bermunculan para peneliti yang mengonsentrasikan kajiannya pada masalah tasawuf yang hasilnya telah disajikan dalam berbagai literatur.

B. Pengertian Tasawuf, Sufi dan Tariqat
    Banyak defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. Hal ini disebabkan karena para ahli tasawuf tidak ada memberikan defenisi tentang ilmu sebagaimana para ahli filsafat. Ahli tasawuf hanya menggambarkan tentang sesuatu keadan yang dialaminya dalam kehidupan tasawuf pada waktu keadaan tertentu.1 Disamping itu, perbedaan cara memandang kegiatan tasawuf juga melahirkan defenisi yang berbeda.
    Dari segi kebahasaan terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al Suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah, saf, yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan salat berjama’ah, sufi yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa Yunani :  hikmah), dan suf (kain wol kasar).2
    Jika diperhatikan secara seksama, nampak kelima istilah tersebut bertemakan tentang sifat-sifat dan keadaan yang terpuji, kesederhanaan dan kedekatan dengan Tuhan. Dengan demikian, dari segi kebiasaan tasawuf menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan kebenaran dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah.
    Dari segi istilah, tasawuf dapat didefenisikan dari tiga sudut pandang. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan.
    Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia akan memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan adalah pandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Dan jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk bertuhan, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai keadaan fitrah (perasaan percaya kepada Tuhan) yang dapat mengarahkan jiwa agar selalu tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.3
    Kata sufi atau sufiah diartikan sebagai orang yang selalu mengamalkan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, sufi berarti orang yang telah mensucikan hatinya dengan mengingat Allah (zikrullah), menempuh jalan kembali kepada Allah dan sampai pada pengetahuan hakiki (ma’rifah).4
    Istilah tariqat berasal dari kata al-tariq yang berarti jalan menuju kepada hakikat. Menurut istilah adalah tata cara yang telah digariskan dalam agama dan dilakukan hanya karena penghambaan diri kepada Allah dan karena ingin berjumpa dengan-Nya.5

C. Sumber dan Perkembangan Pemikiran Tasawuf
    Di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang menbentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia.6 Kelima unsur ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.    Unsur Islam
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pada unsur kehidupan bersifat batiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) (QS. Al-Maidah 54), perintah agar manusia senantiasa bertaubat, membersihkan diri dan memohon ampunan (QS. Al-Thamrin 8), petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada (QS. Al-Baqarah 110). Selanjutnya al-Qur’an mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak dunia dan harta benda (QS. Al- Hadid dan al-Fatir 5), dan senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendekatan diri kepada Allah (QS. Ali Imran).
Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an diatas, Sunnahpun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah antara lain  :
Aku adalah perbendaharaan yang bersembunyi, maka aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku.
Selanjutnya didalam kehidupan Nabi Muhammad juga terdapat petunjuk yang menggambarkannya sebagai seorang sufi. Nabi telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Selama di Gua Hira’ ia tafakkur, beribadah dan hidup sebagai seorang yang zahid. Beliau hidup sederhana, tidak memakan atau meminum minuman kecuali yang halal.
    2.    Unsur Luar Islam
Dalam berbagai literatur yang ditulis para orientalis Barat sering dijumpai uraian yang menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh unsur agama Masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Hal ini secara akademik bisa saja diterima, namun secara akidah perlu kehati-hatian. Para orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam masuk ke dalam tasawuf itu disebabkan karena secara historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam. Tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa boleh saja orang Arab terpengaruh oleh agama-agama tersebut, namun tidak secara otomatis mempengaruhi kehidupan tasawuf, karena para penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak menjadi sufi itu bukan berasal dari mereka itu.
Unsur-unsur luar Islam yang diduga mempengaruhi tasawuf Islam itu adalah sebagai berikut :
a.  Unsur Masehi
    Dalam ajaran Kristen ada faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara. Dalam literatur Arab yang terdapat tulisan-tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabiah. Dikatakan bahwa zahid dan sufi dalam Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri adalah atas pengaruh rahib Kristen.7
b.  Unsur Yunani
    Ajaran Pythagoras untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi, menurut sebagian orang inilah yang mempengaruhi Zuhud dan tasawuf dalam Islam.8 Filsafat mistik Phytagoras mengatakan bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Kesenangan roh yang sebenarnya berada di alam samawi.
c.  Unsur Hindu/Budha
    Dalam ajaran Budha dinyatakan bahwa untuk mencapai nirwana orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi. Faham fana’ yang terdapat dalam tasawuf hampir serupa dengan faham nirwana.
    Dalam ajaran Hindu juga dianjurkan agar manusia meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan.
d.  Unsur Persia
    Diantara para orientalis ada yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari Persia, karena sebagian tokohnya berasal dari Persia, seperti Ma’ruf al-Karkhi dan Abu Yazid al-Bustami. Pendapat ini tidak mempunyai pijakan yang kuat, karena perkembangan tasawuf tidak sekedar upaya mereka saja. Banyak para sufi Arab yang hidup di Syria, bahkan di kawasan Afrika (Maroko), seperti al-Darani, Zu al-Nun al-Misri dan lain-lain.9
    Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa fase, yaitu:
    Pertama, yaitu fase asketisme (zuhud) yang tumbuh pada abad pertama dan kedua hijriyah. Pada fase ini terdapat individu-individu dari kalangan muslim yang lebih memusatkan dirinya pada ibadah. Mereka menjalankan konsepsi asketis dalam kehidupan, yaitu tidak mementingkan makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan akhirat. Tokoh yang sangat populer dari kalangan mereka adalah Hasan al-Basri (w.110H) dan Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H).10
    Pada abad ketiga hijriyah, ahli tasawuf mencoba menyelidiki ajaran tasawuf yang berkembang pada masa itu, sehingga mereka membaginya menjadi tiga bagian yaitu  :
a.    Tasawuf yang berisikan ilmu jiwa, yaitu tasawuf yang berisi metode yang lengkap tentang pengobatan jiwa, yang mengonsentrasikan kejiwaan menusia kepada Khaliqnya sehingga ketegangan jiwa akibat pengaruh keduniaan dapat teratasi dengan baik.
b.    Taswuf yang berintikan ilmu akhlak, yaitu didalamnya terkandung petunjuk-petunjuk tentang cara-cara berbuat baik.
c.    Tasawuf yang berisikan metafisika, yaitu didalamnya terkandung ajaran yang melukiskan ketunggalan Ilahi yang merupakan satu-satunya yang ada dalam pengertian yang mutlak.11
Di akhir abad ketiga Hijriyah, mulai timbul pertimbangan baru dalam sejarah tasawuf, yang ditandai dengan munculnya lembaga pendidikan dan pengajaran yang didalamnya terdapat kegiatan pengajaran tasawuf dan latihan-latihan rohaniah. Maka dari sini muncullah istilah tarekat.
Pada abad keempat Hijriyah, ilmu tasawuf maju lebih pesat jika dibanding dengan abad ketiga. Para ulama mengembangkan ajaran tasawufnya masing-masing. Sehingga kota Bagdad sebagai kota satu-satunya yang terkenal sebagai pusat kegiatan tasawuf yang paling besar sebelum masa itu, tersaingi oleh kota-kota besar lainnya. Ulama yang mengembangkan ajaran tasawufnya tersebut antara lain  :
1.    Musa al-Ansary, mengajarkan tasawuf di Khurasan (Iran). Wafat tahun 320 H.
2.    Abu Hamid bin Muhammad al-Rubazy, mengajar disalah satu kota di Mesir. Wafat tahun 322 H.
3.    Abu Ali Muhammad bin Abdil Wahhab al-Saqafy, mengajar di Naisabur. Wafat tahun 328 H.
Pada abad kelima Hijriyah muncullah Imam al-Gazali yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah serta bertujuan asketisme, kehidupan sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf  dikajinya dengan mendalam. Di sisi lain, ia melancarkan kritikan tajam terhadap para filosof.
Pada abad keenam Hijriyah muncul kelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf mereka dengan filsafat, dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Disebut murni tasawuf bukan, murni filsafatpun bukan. Mereka itu antara lain al-Suhrawardi al-Maqtul (w. 549 H) Muhyiddin Ibnu al-‘Arabi (w. 638 H), Umar Ibnu al-Farid (w. 632 H)
Dengan munculnya para sufi yang juga filosof, orang mulai membedakannya dengan tasawuf yang mula-mula berkembang, yaitu tasawuf akhlaki  yang identik dengan tasawuf sunni. Dengan demikian, aliran tasawuf terbagi menjadi dua, tasawuf sunni dan tasawuf falsafi.
Pada abad ketujuh tercatat dalam sejarah, bahwa menurunkan gairah masyarakat Islam untuk mempelajari tasawuf. Hal ini disebabkan  :
1.    Semakin gencarnya serangan ulama syari’at memerangi tasawuf
2.    Adanya tekad penguasa (pemerintah) pada masa itu untuk melenyapkan ajaran tasawuf di dunia Islam, karena kegiatan ini dianggap sebagai sumber perpecahan umat Islam.12
Tasawuf pada masa-masa akhir (kurang lebih dari abad ke delapan hijriyah sampai saat ini) mengalami kemunduran. Dengan habisnya abad ketujuh dan masuknya abad kedelapan, tidak didengar lagi perkembangan atau fikiran yang baru dalam tasawuf. Meskipun banyak pengarang sufi yang menyatakan fikiran seperti al-Kasani (w. 739 H) tetapi beliau tidak lagi mengeluarkan pendapat baru. Begitu juga dengan tokoh sufi Abdul Karim al-Jaili pengarang kitab “Insan Kamil”. Buku ini isinya tidak lebih dari menjelaskan dan memperindah buah fikiran Ibnu ‘Arabi dan Jalaluddin Rumi.13

D. Variasi Praktek Tasawuf dan Pengkajiannnya
    Para sufi punya cara yang berbeda dalam mengimplementasikan hidup dan ajaran tasawufnya. Pengalaman-pengalaman dalam mendekatkan diri kepada Allah menjadikan praktek tasawuf itu lebih bervariasi. Karena tujuh dari sufi itu adalah berada sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga tercapai persatuan, maka cara mencapai tujuan itu panjang dan berisi maqamat.14 Maqamat yang biasa disebutkan antara lain tobat, zuhud, sabar, tawakal dan rida. Diatas itu ada lagi al-mahhab (cinta), al-ma’rifah (pengetahuan), al fana dan al- baqa (kehancuran dan kelanjutan dan itihad (persatuan).
    Rabi’ah al-Adawiyah (w. 185 H) adalah seorang yang banyak mengeluarkan cinta pada Tuhan. Ia mengatakan “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut masuk neraka atau bukan pula ingin masuk surga, tetapi karena cintaku kepada-Nya.15 Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi jiwanya sehingga di dalamnya tidak ada lagi ruangan untuk cinta kepada yang lain.
    Rabi’ah al-Adawiyah mengklasifikasikan cinta Ilahi kepada dua jenis. Pertama, rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan kebaikan yang diberikan Allah. Kedua, cinta yang tidak didorong kesenangan indrawi, tetapi didorong zat yang dicintai yaitu tersingkapnya tirai sehingga Allah nyata baginya.
    Faham al-ma’rifah dipelopori oleh Zu al- Nun al-Misri (w. 214 H). Menurut beliau ma’rifah itu berbeda lagi setiap orang. Ma’rifah tentang keEsaan Allah yang diniliki orang awam didasarkan kepada taklid, ma’rifah utama bersumber kepada dalil. Sedangkan ma’rifah bagi ahli sufi atau wali-wali Allah bersumber kepada kasyf dan musyahadah. Menurut Zu al-Nun al-Misri, ma’rifah yang benar kepada Allah membawa sinarNya dalam hati hingga terang dan jelas, membuat orang selalu mendekat kepada Allah sehingga menjadi fana dalam keesaan-Nya. Dalam keadaan yang demikian, maka orang berbicara dengan ilmu yang diberikan-Nya, melihat dengan penglihatan-Nya, berbuat dengan perbuatan-Nya. Jadi ma’rifah itu ialah sesuatu yang halus dan terbit dari hati terdalam, diberikan oleh Tuhan sehingga terbuka hijab dan jelaslah penyelesainya.

E. Pendekatan Utama Dalam Kajian Tasawuf
    Ada beberapa pendekatan yang dilakukan dalam kajian tasawuf, yaitu :
1. Pendekatan tematik
    Pendekatan tematik maksudnya, pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu. Diantaranya uraian tentang fungsi tasawuf, tingkatan-tingkatan kerohanian dalam tasawuf dan perkembangan tasawuf. Di dalamnya dinyatakan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin hubungan dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia.
    Pendekatan ini dilakukan oleh Sayyed Husein Nasr ketika melakukan penelitian di bidang tasawuf dengan judul : Tasawuf Dulu dan Sekarang, yang diterjemahkan oleh Abdul hadi WM.16
2. Pendekatan studi tokoh
    Ketika Kaisar Azhari Noor (dosen fak. Usuludin IAIN Syariff Hidayatullah Jakarta) melakukan penelitian di bidang tasawuf dengan judul : Ibn ‘Arabi : wahdat al-wujud dalam perdebatan, beliau menggunakan pendekatan studi tokoh. Penelitian ini cukup menarik, karena dilihat dari segi faham yang dibawakannya, yaitu wahdat al-wujud telah menimbulkan kontroversi di kalangan para ulama, karena faham tersebut di nilai membawa faham reinkarnasi atau faham serba Tuhan, yakni Tuhan menjelma dalam berbagai ciptaannya, sehingga dapat mengganggu keberadaan zat Tuhan. Wahdat al-wujud yang berarti kesatuan wujud adalah lanjutan dari faham hulul.
    Faham wahdat al-wujud ini timbul dari faham bahwa Allah ingin melihat dirinya, maka dijadikannyalah alam. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah. Di kala ia melihat dirinya, ia lihat kepada alam, pada benda-benda yang ada pada alam, karena pada tiap benda-benda itu terdapat sifat Tuhan. Dari sini timbullah paham kesatuan. Yang ada dalam alam ini kelihatan banyak, tetapi sebenarnya itu satu. Tak obahnya seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya.
3. Pendekatan kombinasi
    Dalam bukunya yang berjudul Pasang Surut Aliran Tasawuf, Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh.17 Dengan pendekatan ini ia mencoba kemukakan firman Tuhan, kehidupan Nabi, para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf. Amalan tasawuf, tarikat sufi serta runtuhnya aliran tasawuf. Dari isi penelitian tersebut nampak bahwa Alberry menggunakan analisa kesejarahan, dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai atau mentransformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang lebih luas.

F. Tokoh dan Karya Utama Dalam Kajian Tasawuf
1. Al-Gazali
    Nama lengkapnya adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali, dan lebih dikenal dengan nama al-Gazali. Dia lahir pada tahun 450 H/1058 M di sebuah desa yang bernama Gazalah di wilayah Khurasan. Beliau wafat pada hari senin, tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H. Karya-karya beliau dalam bidang tasawuf antara lain : Ihya’Ulum al-Din, Miskat min al-Dalal, Minhaj al-‘Abidin, Mizan al-Anwar, al-Ma’rifat al-‘Aqliah wa Luhab al-himah al-Ilahiah.18
2. Suhrawardi al-Maqtul
    Nama lengkapmya adalah syahabuddin Yahya bin Hafasi bin Amirek Suhrawardi. Ia dilahirkan pada tahun 5549 H/1153 M di sebuah desa yang bernama Suhrawardi dekat kota Zahjan sebelah utara Persia. Beliau mendapat gelar al-Maqtul. Ia meninggal pada tahun 587 H/1191 M dalam usia 38 tahun. Karya beliau antara lain : al-Talwihat al-Muqawwamat, al-Hikmah al Israg, al-Waridat al-Ilahiyah, al-Hayak al-Nur.19
3. Hamka
    Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir di sungai Batang Maninjau pada tanggal 14 Muharram 1325 H/17 Februari 1908 M, dan wafat pada tanggal 22 Ramadhan 1407 H/24 Juli 1981 M, dalam usia 73 tahun. Karya-karya beliau yang berkaitan dengan tasawuf adalah : Tasawuf Modern Falsafah Hidup Lembaga Budi, Lembaga Hikmah Islam dan Kebatinan, Mengembalikan Tasawuf ke Pangkalnya, Perkembangan Tasawuf dari Abad Ke Abad.20
4. Nuruddin al-Raniri
    Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad Ibn Ali Hasanji Ibn Muhammad al-Raniri. Ia berasal dari India, keturunan Aceh. Ia dilahirkan di daerah Ranir ( Rander) dekat Gujarat, India. Meninggal pada tahun 22 Zulhijjah 1096 H/21 September 1658 M di India.
    Karya-karyanya yang berkaitan dengan tasawuf adalah : Lataif al-Asrar, Nubzah fi az-Zil ma’a Sahibih, Asrar al-Ihsan fi Ma’rifat ar- Ruh wa ar Rahman, Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma’lum, Syifa al Qulub, Hidayah al Imam bin Fadlal – manan, ‘Aqaid as-Sufiyah al- Muwahiddin, Rahiq alp Muhammadiyah fi Tariq as- Sufiyah.21



G. Perkembangan Mutakhir Studi Tasawwuf
Ada banyak tudingan terhadap tasawwuf sebagai penyebab kemunduran Islam pada abad-abad klasik. Sedikit banyaknya, tudingan tersebut sangat beralasan karena tasawwuf dianggap menjadikan pemikiran umat Islam menjadi statis. Rasa bosan dan tidak simpati juga mulai diperlihatkan oleh masyarakat sekarang ini kepada tasawwuf dan kaum sufi. Era yang membutuhkan dinamika dan kekuatan politik dan ekonomi gagal dijawab oleh ajaran sufisme seperti yang diperlihatkan oleh mereka yang berkecimpung dalam dunia tasawwuf.  Namun meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tasawwuf merupakan salah satu aspek yang sangat unik dalam Islam, tasawwuf dengan metode dan ajaran yang benar bisa menjawab tantangan-tantangan hidup yang tidak bisa dijelaskan oleh ilmu lainnya. Dengan demikian, meski ada tuduhan dan rasa tidak simpati terhadap tasawwuf, tetap saja ada keinginan kuat untuk tetap menghidupkan dan melestarikan tasawwuf dalam Islam.
Akibat logis dari dua fakta yang bertentangan tersebut, muncullah Neo-Sufisme yang menginginkan ajaran dan kaum sufi lebih dinamis dan tidak terpisah dari masyarakat sosial. Meski belum begitu populer di kalangan sufi, tampaknya ajaran ini bisa menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi oleh sufisme.
Neo-Sufisme adalah keinginan untuk menggabungkan ajaran-ajaran sufisme klasik dengan kebutuhan-kebutuhan-kebutuhan sosial. Dengan neo-Sufimse, seorang sufi tidak lagi terpisah dari lingkungan sosial dan tidak meninggalkan tanggung jawabnya meskipun ajaran sufisme klasik tidak mengajarkan demikian.

H. Penutup
    Tasawuf sebagai salah satu bidang studi Islam, sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia seutuhnya, karena tasawuf mengarahkan manusia kepada penyucian diri dari pengaruh dunia, menghiasi diri dengan akhlak yang baik untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang pada gilirannya sampai kepada pengetahuan ma’rifah.
    Ada asumsi yang mengatakan bahwa tasawuf  bersumber dari ajaran Kristen, filsafat Yunani, ajaran Hindu/Budha dan pengaruh Persia. Tapi jika dilihat dari ajaran Islam itu sendiri, baik al- Qur’an maupun al-Hadist, banyak berbicara tentang rohani (tasawuf), sehingga dapat dikatakan bahwa tasawuf  bersumber dari Islam.
    Ada beberapa pendekatan dalam kajian tasawuf, pendekatan tematik, pendekatan studi tokoh dan pendekatan kombinasi.


Daftar Pustaka

Anwar, Rosihan, Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2000.

As, Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta:  PT. Raja Grafindo Persada, 1994.

Basuni, Ibrahim, Nas’ah al-Tasawuf al- Islam. Makkah: Dar al-Ma’rifat,  1119 H. Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1983.

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993.

Mahyuddin, Kuliah Akhlah Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia, 2001.

Mansur, M. Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi. Jakarta: Sri Gunting, 1996.

Mz, Lahib, Rahasia Ilmu Tasawu. Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2001.

Mz, Labib, Kisah Perjalanan Tokoh Sufi Terkemuka. Surabaya: Tiga Dua, 2000.

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam.  Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

Nata, Abu, Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

Nasrullah, M.S., Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung: Mizan, 1996.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Beberapa Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1986.

Solihin, M., Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar