Kamis, 26 April 2012

TAFSIR ISYARI


Makalah
BAB I
PENDAHULUAN


Pemahaman terhadap ayat Alquran melalui penafsirannya sangatlah penting, karena hal tersebut sangat berperan terhadap maju mundur umat dan sekaligus dapat mencerminkan perkembangan dan corak pemikiran yang sedang ada ditengah masyarakat. Oleh karna itu perkembangan tafsir sering dikaitkan dengan trend perkembangan pemikiran yang tengah terjadi pada umat.
Salah satu corak penafsiran Alquran adalah tafsir bil isyari. Tafsir Isyari adalah mentakwil al-Qur'an dengan makna di balik makna dzahirnya karena ada isyarat tersembunyi yang nampak bagi sebagian ahli ilmu (kaum sufi). Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang dzahir dan batin. Yang dzahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran, sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi di balik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat Alquran.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir Isyari
Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari adalah takwil Al Quran berbeda dengan lahirnya lafal atau ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh sebagian ulul ‘ilmi yang telah diberi cahaya oleh Allah swt dengan ilham-Nya. Atau dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang Mufassir akan melihat makna lain selain makna zhahir yang terkandung dalam Al Qur’an. Namun, makna lain itu tidak tampak oleh setiap orang, kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah swt[1].
Tafsir Isyari menurut Imam Ghazali adalah usaha mentakwilkan ayat-ayat Alquran bukan dengan makna zahirnya malainkan dengan suara hati nurani, setelah sebelumnya menafsirkan makna zahir dari ayat yang dimaksud[2].
Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Al Qur’an itu mengandung banyak ancaman dan janji, meliputi yang lahir dan bathin. Tidak pernah terkuras keajaibannya, dan tak terjangkau puncaknya. Barangsiapa yang memasukinya dengan hati-hati akan selamat. Namun barangsiapa yang memasukinya dengan ceroboh, akan jatuh dan tersesat. Ia memuat beberapa khabar dan perumpamaan, tentang halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, zhahir dan batin. Zhahirnya adalah bacaan, sedang bathinnya adalah takwil. Tanyakan ia pada ulama, jangan bertanya kepada orang bodoh[3].
Menurut kaum sufi setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur’an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan pengetahuan gaib yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
B. Bentuk-bentuk Tafsir Isyari 
Ketika ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan pesat serta kebudayaan Islam tersebar keseluruh pelosok dunia dan mengalami kebangkitan dalam segala segi, maka berkembanglah ilmu tasawauf  dan ilmu itu mengpunyai dua wujud: teoritis dan praktis
1. Tashawuf  Teoritis
Dari kalangan tokoh-tokoh tasawuf lahir ulama yang mencurahkan waktunya untuk meneliti, mengkaji, memahami dan mendalami Alquran dengan sudut pandang sesuai dengan teori-teori tasawuf  mereka. Mereka mentakwilkan ayat-ayat Alquran dengan tidak mengikuti cara-cara untuk mentakwilkan ayat Alquran dan menjelaskannya dengan penjelasan yang menyimpang dari pengertian tekstual yang telah dikenal dan didukung oleh dalil syar’i serta terbukti kebenarannya dalam bahasa arab, yaitu dalam bab perihal isyarat[4].
Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan sebagai berikut:
”Apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh sufy tentang Alquran adalah termasuk ke dalam bab isyarat terhadap pengertian-pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-orang yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati. Mereka berkeyakinan bahwa pengertian tekstual sama sekali bukanlah yang dikehendaki (pengertian batin, bukan tekstual, itulah yang dikehendaki). Oleh karena demikianlah keyakinan aliran Bathiniyyah yang ekstrim, maka mereka sampai menafikan syari’at secara keseluruhan. Tokoh-tokoh sufy kita tidaklah mungkin sampai bersikap demikian, oleh karena mereka menganjurkan agar tetap dipelihara penafsiran dan pengertian tekstual. Mereka berkata: pada tahap pertama harus dilakukan serta diketahui penafsiran dan pengertian tekstual, sebab tidak mungkin bisa sampai kepada penafsiran dan pengertian batin (non tekstual) dari suatu ayat sebelum penafsiran dan pengertian tekstualnya terlebih dahulu diketahui. Barang siapa mengaku dapat memahami rahasia-rahasia Alquran sebelum mengetahui penafsiran dan pengertian tekstualnya, maka ia seperti orang yang mengaku telah sampai ke bagian dalam ka’bah sebelum ia melewati pintunya”[5].
            Oleh karena itu tidak sepantasnya bagi orang yang kemampuannya terbatas dan keimanannya belum mendalam mengingkari bahwa Alquran mempunyai bagian-bagian batin yang dilimpahkan oleh Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Pelimpah kepada batin-batin hamba-Nya yang dikendaki. Al-Alusy memberikan contoh tentang isyarat yang diberikan oleh firman Allah (QS. 2:45), sebagai berikut:
واستعينوا بالصبر والصلوة وانها لكبيرة الا على الخشعين
“Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’”[6].
            Bahwa sholat adalah sarana untuk memusatkan dan mengkonsentrasikan hati untuk menangkap tajally (penampakan diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali bagi orang-orang yang luluh dan lunak hatinya untuk menerima cahaya-cahaya dari tajally-tajally Allah yang amat halus dan menangkap kekuasaaa-Nya yang Perkasa. Merekalah orang-orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan Allah dan hanya kepada-Nyalah mereka kembali, dengan menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka (fana) dan meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa), sehingga mereka tidak menemukan selain eksistensi Allah sebagai Raja yang Maha Halus dan Maha Perkasa[7].
            2. Tashawuf Praktis
            Yang dimaksud dengan tasawuf praktis adalah cara hidup yang berdasarkan atas hidup sederhana, zuhud, lapar, tidak tidur pada malam hari, hidup menyendiri, menjaga diri dari segala kenikmatan, memutuskan jiwa dari segala macam syahwat dan menghancurkan ddalam ketaatan kepada Allah[8]. Orang-orang sufy tersebut yang benar-benar menerapkan sikap-sikap hidup sebagai seorang  sufy untuk dirinya dalam kehidupan dunia  dan selalu bersiap-siap diri menghadapi kehidupan akhirat. DR. Muhammad Husain al-Dzahaby (al-marhum) mengatakan “Kami tidak mendengar ada seorang mengarang kitab tertentu tentang tafsir sufy teoritis yang menafsirkan ayat demi ayat dalam Alquran seperti dalam tafsir Isyary, yang kami temukan adalah keterangan-keterangan terpencar-pencar yang termuat dalam penafsiran yang disandarkan kepada Ibn ‘Araby dan kitab Al-futuhat al-Makkiyyah, karangan beliau, sebagaimana sebagian lain dapat ditemukan dalam banyak kitab-kitab tafsir yang corak penafsirannya berbeda-beda”[9].

C. Perdebatan Ulama Mengenai Jenis Tafsir
Hukum Tafsir bil-isyarah: Para ulama berselisih pendapat dalam menghukumi tafsir isyari, sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat), dan sebagian lainnya melarangnya[10]. Imam Az-Zarqani memberi penjelasan tentang tafsir isyari dengan mengatakan:
تأويل القران بغير ظاهره لاشارة خفية تظهر لارباب السلوك والتصرف ويمكن الجمع بينهما وبين الظاهر
Artinya: ”Penafsiran Alquran yang berlainan menurut zahir ayatnya, karena ada petunjuk yang tersirat, hanya diketahui oleh orang-orang yang terlatih jiwanya dan berbudi luhur, yang karenanya mereka bisa menggabungkan antara arti tersirat dengan maksud yang tersurat”[11].
            Tafsir semacam ini tidak dapat diperoleh dengan usaha pembahasan dan pemikiran, tetapi ia merupakan ilmu laduni, yaitu ilmu yang diberikan kepada seseorang akibat dari ketakwaannya kepada Allah Swt.  Sebagaimana yang telah difirmankan Allah dalam Alquran yang artinya: ”Dan bertaqwalah kepada Allah; Allah mengajarimu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”[12].
            Dalam menghadapi tafsir isyari ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang membenarkan dan bahkan menganggapnya sebagai kesempurnaan iman serta kema’rifatan seseorang, tetapi ada juga yang tidak membenarkannya, bahkan menuduhnya sebagai penyelewengan dari ajaran-ajaran Allah Swt yang sebenarnya.
            Ulama yang membenarkan tafsir isyari berlandaskan Hadis riwayat Bukhari, dimana Ibnu Abbas memahami ayat:
اذا جـاء نصر الله والفتح (النصر: 1)
Artinya: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”[13]. Bahwa ayat tersebut menunjukkan isyarat dekatnya ajal Nabi Saw.
            Selanjutnya Ibn Abbas sebagaimana ditulis oleh As-Suyuti menegaskan bahwa Alquran itu mengandung berbagai budaya dab ilmu, yang lahir maupun yang batin, keajaibannya tidak akan habis dan puncak tujuannya tidak akan terjangkau. Barang siapa yang menyelami dengan penuh kelembutan niscaya akan selamat, dan barang siapa yang menyelami dengan radikal niscaya adakan terjerumus, ia mengandung berita dan perumpamaan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkan dan mutasyabih yang lahir dan yang batin, secara lahir berupa bacaan dan secara batin berupa ta’wil. Belajarlah dari ulama dan jauhkanlah dari orang-orang yang bodoh”[14].
            Badruddin Muhammad Ibn Adbullah Az-Zarkasyi adalah termasuk golongan orang yang tidak mendukung tafsir isyari (menolak tafsir bil isyari), hingga beliau mengatakan: “Adapaun perkataan golongan sufi dalam menafsirkan Alquran itu bukan tafsir, melainkan hanya makna penemuan yang mereka peroleh ketika membaca”[15]. Demikian juga An-Nasafi mengatakan, sebagaimana dijelaskan Az-Zarqani dan As-Suyuti:
النصوص على ظواهرها والعدول عنها الى معان يدعيها اهل الباطن الحاد
Artinya: “Nash-nash itu harus berdasarkan zahirnya, memutarkan pada arti lain yang dilakukan oleh orang kebatinan adalah merupakan bentuk penyelewengan”[16].
            Di samping tafsir isyari ada pula tafsir yang mirip dengannya, yaitu tafsir kebatinan, namun tafsir ini termasuk tafsir yang bathil. Dan barang kali keengganan sebagian ulama untuk menerima tafsirisyari ini karena khawatir terjerumus dalam tafsir kebatinan. Dalam kitab At-Tibyan disebutkan perbedaan pokok tafsir isyari dengan tafsir kebatinan adalah:
      “Tafsir isyari tidak membuang makna  tersurat, tetapi mereka menetapkannya sebagai dasar dan asas, mereka menganjurkan untuk berpegang kepadanya dengan mengatakan: pertama-tama harus mengetahui terlebih dahulu arti yang tersurat, karena orang yang mengaku mengerti rahasia Alquran, tetapi tidak menguasai zahirnya, sama halnya orang yang mengaku telah masuk ke dalam rumah tetapi belum masuk pintunya.
      Tafsir kebatinan, mereka mengatakan bahwa zahirnya ayat itu sama sekali bukan tujuan, tetapi yang dimaksud adalah rahasianya (batinnya). Latarbelakang dari kata-kata ini adalah menghilangkan syari’at dan merusak hokum. Karena itu tidaklah diragukan lagi bahwa pendapat ini adalah merupakan penyelewengan dalam ajaran agama”[17].
            Imam As-Suyuti mengambil pendapat Ibn ‘Ata’illah yang mengatakan:
      “Ketahuilah bahwa tafsir dalam golongan ini (tafsir isyari) terhadap Kalam Allah dan Rasul-Nya dengan makna-makna yang pelik bukanlah berarti memalingkan dari zahirnya, tetapi zahir ayat itu dapat dipahami makna sebenarnya, seperti yang dimaksud oleh ayat, di samping itu juga dapat diketahui dari istilah bahasa, serta mereka memperoleh pengertian yang tersirat dari Ayat dan Hadis bagi orang yang hatinya telah dibukakan oleh Allah SWT”[18].
Pendapat ini dinilai oleh ’Ali As-Sabuni sebagai pendapat yang adil, karena mengemukakan yang adanya, yaitu dengan mengkompromikan/memadukan  beberapa nash yang zahir dengan makna yang tersirat yang memancar dari hati sanubari mukmin seperti Abu Bakar As-Siddiq.[19]
Untuk mengatasi penyimpangan-penyimpangan tafsir isyari, maka di antara ulama telah memberikan kriteria persyaratan untuk bisa diterima tafsirnya, Az-Zarqani telah menuliskan sebagai berikut:
1.       Tidak boleh bertolak belakang dengan susunan AlQuran yang zahirnya
2.      Tidak menyatakan bahwa makna isyarat itu merupakan makna sebenarnya (makna satu-satunya), tanpa ada makna zhahir.
3.      Hendaknya pentakwilan tersebut harus tidak terlalu jauh, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan lafaz zahir
4.      Tidak bertentangan dengan hukum syar’i atau naqli
5.      Terdapat syahid (penopang) syar’i yang menguatkannya
Selanjutnya dijelaskan bahwa syarat-syarat tersebut di atas hanyalah sebagai syarat diterimanya tafsir isyari, yakni tidak serta merta ditolak, bukan syarat yang baku dan bukan pula hanya terbatas itu saja.[20]


D. Contoh Penafsiran bi al-Isyari
Menurut kaum sufi, setiap ayat mempunyai makna yang zahir dan batin. Yang zahir adalah yang segera mudah dipahami oleh akal pikiran sedangkan yang batin adalah yang isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik itu yang hanya dapat diketahui oleh ahlinya. Isyarat-isyarat kudus yang terdapat di balik ungkapan-ungkapan Al-Qur'an inilah yang akan tercurah ke dalam hati dari limpahan gaib pengetahuan yang dibawa ayat-ayat. Itulah yang biasa disebut tafsir Isyari.
1. Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
إن الله يأمركم ان تذبحوا بقرة (البقرة : 67)[21]
'“.......Innallaha ya`murukum an tadzbahuu baqarah.....” (Surat Al Baqarah: 67)
Yang mempunyai makna zhahir adalah “......Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina...” tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna dengan “....Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah...”.
Beberapa karya tafsir Isyari yang terkenal antara lain: Tafsir An Naisabury, Tafsir Al Alusy, Tafsir At Tastary, Tafsir Ibnu Araby.
2. Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
Ibnu Abbas memahami ayat:
اذا جـاء نصر الله والفتح (النصر: 1)
Artinya: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”[22]. tetapi dalam tafsir Isyari diberi makna Bahwa ayat tersebut menunjukkan isyarat dekatnya ajal Nabi Saw.


3. Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
اذهب إلى فرعون إنه طغى
Artinya: Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas.” (QS. Thaahaa: 24)
            Dalam hal ini para sufi mentakwilkan Fir’aun dengan Hati. Maksudnya bahwa Fir’aun itu sebenarnya hati setiap manusia yang mempunyai sifat melampaui batas.
4. Contoh bentuk penafsiran secara Isyari antara lain adalah pada ayat:
            “Dan lemparkanlah tongkatmu.  Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerak-gerak seolah-olah dia seekor ular yang  gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh (kemudian Musa diseru), “ Hai Musa datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman”.(QS.Al-Qashash : 31).[23]
            Para sufi mentakwilkan bahwa tongkat itu dilemparkan kepada siapapun yang ada di muka bumi dan orang yang bergantung kepada selain Allah.

E. Kitab-kitab Tafsir bil-Isyari yang Terkenal:
Tafsir Shufi/Isyari, corak penafsiran Ilmu Tashawwuf yang dari segi sumbernya termasuk tafsir Isyariy. Nama-nama kitab tafsir yang termasuk corak shufi ini antara lain:
a. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, karya Sahl bin Abdillah al-Tustary. Dikenal dengan Tafsir al-Tustasry.
b. Haqaiq al-Tafsir, karya Abu Abdirrahman al-Silmy, terkenal dengan sebutan Tafsir al-Silmy.
c. Al-Kasyf Wa al-Bayan, karya Ahmad bin Ibrahim al-Naisabury, terkenal dengan nama Tafsir al-Naisabury.
d. Tafsir Ibnu Araby, karya Muhyiddin Ibnu Araby, terkenal dengan nama Tafsir Ibnu ‘Araby.
e. Ruh al-Ma’ani, karya Syihabuddin Muhammad al-Alusy, terkenal dengan nama tafsir al-Alusiy.
f. ‘Arais al-Bayan fi Haqaiq al-Quran, Karya Imam Al-Syirazy.
Selayang Pandang Kitab Tafsir bil-isyari:
 Tafsir Ruhul Ma’ani Pengarangnya adalah Syihabuddin Sayyid Mahmud Alusi, wafat tahun 1270 H. Beliau adalah mufti di Baghdad, yang juga terkenal sebagai seorang pujangga, ulama, ahli hikmah dan ma’rifah, serta memiliki pemahaman dan ilmu yang cukup luas. DR. Muhammad Husain Adz Dzahabi dalam At Tafsir wa Al Mufassirun, memasukkan kitab ini dalam kategori tafsir bir-ra’yi, sedangkan Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni dalam At Tibyan memasukkan tafsir ini dalam kategori tafsir bir-ra’yi dan bil-isyari sekaligus.
Dalam kitab ini beliau mengumpulkan pendapat-pendapat salafush shalih baik secara riwayah maupun dirayah. Di dalamnya juga memuat beberapa pendapat ahli ilmu, dan dilengkapi dengan tafsir-tafsir terdahulu. Disamping itu, beliaupun sangat berhati-hati terhadap riwayat israiliyat, melengkapinya dengan tafsir isyari dan banyak menyinggung tentang balaghah dan bayan. Boleh dibilang tafsir ini merupakan literatur utama dalam ilmu tafsir bir-riwayah, bid-dirayah maupun bil-isyari[24].
           


BAB III
PENUTUP

Menurut kaum sufi, riyadlah atau olah spiritual yang dilakukan seorang sufi untuk dirinya akan mengantarkan kepada suatu tingkatan dimana ia dapat menyingkap isyar- isyarat khusus yang terdapat dibalik ungkapan-ungkapan al-Quran. Limpahan keajaiban akan tercurahkan ke dalam hatinya, demikian pula pengetahuan spiritual yang dibawa ayat-ayat al-Quran. Itulah yang disebut dengan tafsir isyari (sufistik esoterik). ArtInya, setiap ayat mempunyai makna lahir (aspek luar harfiah) dan batin (aspek dalam substansial). Makna lahir adalah apa yang segera mudah dipahami akal pikiran sedang makna batin adalah isyarat-isyarat yang tersembunyi dibalik ayat-ayat al-Quran, yang tentunya hanya bisa tampak bagi ahli suluk (sufi).


DAFTAR PUSTAKA

1.       Al Qur’an dan Terjemahannya, terbitan Departemen Agama Republik Indonesia.
2.      Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni, At Tibyan fi Ulum Al Qur’an, Maktabah Rahmaniyah, Lahore Pakistan.
3.      Imam Az Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum Al Qur’an.
4.      Syaikh Muhammad Abdul Adzim Az Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an, Daar Ihya at Turats al Arabi Cet.II, Beirut Libanon.
5.      Syaikh Jaadul Haqq Ali Jaadul Haqq, Min Ahkam Al Qur’an wa Ulumihi, Darush Shidq, Islamabad Pakistan.
6.      DR. Muhammad Husain Adz Dzahabi, At Tafsir wa Al Mufassirun, Daar Al Kutub Al Haditsah Cet.II (1396H/1972M), Riyadh.
7.      Syaikh Manna’ Khalil Al Qattan, Mabahits fi Ulum Al Qur’an, Maktabah Al Ma’arif lin Nasyr wat Tawzi’ Cet.II (1417H/1996M), Riyadh.
8.     ’Ali Hasan Al-’Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994
9.      Sahilun A. Nasir, Ilmu Tafsir Al-Quran, Al-Ikhlas, Surabaya, 1987
10.  Zuhri, Ahmad, Risalah Tafsir Berinteraksi dengan Al-Quran Versi Imam Ghazali,Citapustaka Media, Bandung 2007.
11.  Hadna, Ahmad Musthofa, Problematika Manafsirkan Al-Quran, Dina Utama, Semarang, 1993





[1] Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni, At Tibyan fi Ulum Al Qur’an, (Maktabah Rahmaniyah, Lahore Pakistan). h. 171
[2] Ahmad Zuhri, Risalah Tafsir, Berinteraksi dengan Alquran versi Imam Al-Ghazali,(Bandung: Citapusaka Media, 2007), h. 190 (Kutipan dari Ihya’ Ulumuddin, Jilid 1)
[3] Imam Jalaluddin Syuyuthi, Al Itqan fi ulum Al Qur’an. Juz II, h:185.
[4] ‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), h. 55
[5] Ibid., h. 55-56
[6] Khadim al Haramain asy Syarifain, Alquran dan Terjemahnya, (Saudi Arabia, 1971), h. 16
[7] ‘Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), h. 56-57
[8] Ibid., h. 57
[9] Ibid., h. 58
[10] Syaikh Muhammad Abdul Adzim Az Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an, Daar Ihya at Turats al Arabi (Cet.II, Beirut Libanon. Juz I), h. 546.
[11] Muhammad Abd. Azim Az-Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an,(tt : Isa al-babi al-halabi, tth), Juz I, h. 12
[12] QS, Al-Baqarah, ayat 282
[13] QS. An-Nashr, ayat 1.
[14] Ahmad Musthofa Hadnan, Problematika Menafsirkan Alquran, (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 44-46
[15] Ibid., h. 46-47
[16] Ibid., h. 47
[17] Ibid., h. 47
[18] Jalaluddin As-Suyuti, Al-Itqan fi ‘ulum Al-Quran,(Bairut: Dar al-fikr, 1399 H),h. 185
[19] Muhammad Ali Ash Shobuni, At Tibyan fi Ulum Al Qur’an, (Maktabah Rahmaniyah, Lahore Pakistan). h. 173-174
[20] Muhammad Abd. Azim Az-Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an,(tt : Isa al-babi al-halabi, tth), Juz I, h. 81
[21] Khadim al Haramain asy Syarifain, Alquran dan Terjemahnya, (Saudi Arabia, 1971), h. 20
[22] QS. An-Nashr, ayat 1.
[23] Khadim al Haramain asy Syarifain, Alquran dan Terjemahnya, (Saudi Arabia, 1971), h. 614.
[24] Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni, At Tibyan fi Ulum Al Qur’an, ( Pakistan: Maktabah Rahmaniyah,), h. 194.

3 komentar:

  1. oh ya ustaz, kbetulan sy jg mengajar di SMAN SERGAI, kl ada info penting publikasikan ya.

    BalasHapus
  2. dan syukron katsir tafsir isyari nya, lg ada tgs ne dr pak Nawir.

    BalasHapus
    Balasan
    1. afwan....
      makasih sudah mampir ke blog ana...
      silahkan ambil yang bermanfaat... moga cepat selesai tugasnya..
      nitip salam buat ketua kelas.... kalau nga salah "Ust Ibrahim".

      Hapus