A. Pendahuluan
Status dan
kualitas Hadis, apakah dapat diterima atau ditolak,
tergantung kepada sanad dan matan.
Apabila sanad Hadis telah memenuhi syarat-syarat tertentu, maka Hadis tersebut
adalah sahih dari segi sanadnya, tetapi belum tentu dari segi matannya,
sebaliknya, jika ternyata sanad dai’f, maka otomatis hadis itu menjadi da’if
sekalipun matannya nanti sahih.
Begitu pentingnya peranan sanad dalam menetapkan status dan
kualitas suatu hadis, maka para ulama hadis telah melakukan upaya untuk
mengetahui secara jelas mengenai keadaan sanad. Upaya untuk mengetahui secara jelas mengenai keadaan sanad. Upaya
dan kegiatan ini berwujud dalam bentuk penelitian hadis. Penelitian sanad
sering juga disebut dengan kritik ekstern atau an-Naqd al-Khariji atau an-Naqd
az-Zahiri. Urgensi penelitian ini berkaitan dengan kedudukan hadis sebagai
sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran, dan karenanya, apabila syarat-syarat
suatu hadis untuk dijadikan hujah tidak terpenuhi akan menyebabkan terjadinya
atau tidak benarnya suatu hukum ajaran Islam yang dirumuskan.
Dalam makalah ini penulis akan membahas tentang dasar-dasar
penelitian sanad, yang mencakup: Pengertian kritik sanad , kaedah dan langkah
kegiatan kritik sanad, permasalahan
kritik sanad dan contohnya. Juga
Kajian ini akan mengungkapkan bagaimana kritik matan sebagai bukti perkembangan
ilmu hadis dalam mencari dan menemukan validitas hadis.
B. Pengertian
dan Sejarah Penelitian Sanad dan Matan
Kata penelitian (kritik) dalam ilmu
hadis sering dinisbatan pada kegiatan penelitian hadis yang disebut dengan al
Naqd (ا
لنـقـد ) yang secara etimologi
adalah bentuk masdar dari ( نقـد ينقـد )
yang berarti mayyaza, yaitu memisahkan sesuatu yang baik dari yang
buruk.[1]
Kata al Naqd itu juga berarti “kritik” seperti dalam literatur Arab
ditemukan kalimat Naqd al kalam wa naqd al syi’r yang berarti “
mengeluarkan kesalahan atau kekeliruan dari kalimat dan puisi.[2]
Naqad juga dapat diartikan sebagai sesuatu yang memisahkan atau membedakan.
Di dalam ilmu Hadis, al Naqd berarti :
تَمْيِيْزٌ الْاَحَاديث الصحيحة من الضعيفة والحكم على الرواة
توثِيْقًا وتَجْرِيْحًا
“Memisahkan
Hadis-Hadis yang shahih dari dha’if, dan menetapkan para perawinya yang tsiqat
dan yang jarh (cacat) “[3]
1.
Pengertian
a. Pengertian Sanad
Menurut bahasa,
sanad berarti sandaran atau pegangan (al-Mu'tamad). Surat utang yang berfungsi
sebagai pegangan untuk menagihnya kembali disebut sanad. Secara istilah, dalam
ilmu hadis sanad berarti jajaran orang-orang yang menyampaikan seseorang kepada
matan hadis atau silsilah urutan orang-orang yang membawa hadis dari Rasul,
sahabat, tabiin, tabi’ at- tabiin,
dan seterusnya sampai kepada orang yang membukukan hadis tersebut .[4]
Jadi penelitian sanad adalah an-naqd
al-kharaja (kritik ekstern) hadis yang merupakan tela’ah atas prosedur
periwayatan dari sejumlah rawi yang secara runtun menyampaikan matan hingga
rawi terakhir.[5]
b.
Pengertian
Matan
Dalam
makalah hadis yang singkat ini, penulis mencoba mengupas tentang kritik matan
hadis dalam artian bahwa matan sebagai materi hadis ( nafs al-hadis) yang
merupakan materi ungkapan yang di dalamnya mengandung makna-makna tertentu.
Kajian ini akan mengungkapkan bagaimana kritik matan sebagai bukti perkembangan
ilmu hadis dalam mencari dan menemukan validitas hadis.
Kata
Matan menurut bahasa berarti ma
shalaha wa irtifa’a min al-ardi ( tanah yang meninggi) secara
terminology istilah matan memiliki beberapa defenisi yang pada dasarnya
maknanya sama yaitu materi atau lafadh hadis itu sendiri. Pada salah-satu
defenisi yang sangat sederhana, misalnya di sebutkan bahwa matan itu ialah
ujung atau tujuan sanad (ghayah as-sanad). Dari defenisi ini memberikan
pengertian bahwa apa yang tertulis setelah silsilah sanad, adalah matan hadis[6].
Pada
defenisi lain, seperti di katakan oleh ibnu al-Jama`ah di sebutkan, bahwa matan
ialah : ما ينتهي اليه السند من الكلا م
“Sesuatu kalimat tempat berakhirnya sanad”[7]
Sedangkan menurut ath-Thibi mendefenisikan
matan adalah :
الفا ظ الحديث التئ تتقوم بها معا نيه
“ Lafadh-lafadh hadis yang di dalamnya
mengandung ma’na-ma’na tertentu”[8]
Maka matan
adalah essensi
dari sebuah hadis Rasul yang terletak sesudah sanad dan sebelum rawi.
2. Sejarah
Penelitian Sanad dan Matan
Apabila
kritik diartikan hanya untuk membedakan yang benar dari yang salah maka dapat
dikatakan bahwa kritik Hadis sudah dimulai sejak pada masa Nabi Muhammad, tapi
pada tahap ini , arti kritik tidak lebih dari menemui Nabi saw dan mengecek
kebenaran dari riwayat (kabarnya) berasal dari beliau, dan pada tahap ini juga,
kegiatan kritik hadis tersebut sebenarnya hanyalah merupakan konfirmasi dan
suatu proses konsolidasi agar hati menjadi tentram dan mantap.[9]
Oleh karena itu kegiatan kritik hadis
pada masa nabi sangat simple dan mudah, karena keputusan tentang otentisitas
suatu hadis ditangan nabi sendiri.
Lain halnya
dengan masa sesudah nabi wafat maka kritik Hadis tidak dapat dilakukan dengan
menanyakan kembali kepada nabi melainkan dengan menanyakan kepada orang atau
sahabat yang ikut mendengar atau melihat bahwa Hadis itu dari nabi seperti :
Abu Bakar al-Shidiq, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Yhalib, Aisyah dan Abdullah
Ibn Umar.
Pada masa
Sahabat, kegiatan kritik Hadis dilakukan oleh Abu Bakar al shidiq. Seperti yang
dikatakan oleh Al Dzahabi bahwa “ Abu Bakar adalah orang pertama yang
berhati-hati dalam menerima riwayat hadis” dan juga yang dikatakan oleh Al
Hakim bahwa “ Abu Bakar adalah orang pertama yang membersihkan kebohongan dari
Rasul SAW”.
Sikap dan
tindakan kehati-hatian Abu Bakar telah membuktikan begitu pentingnya kritik dan
penelitian Hadis.
Diantara
wujud penerapannya yaitu dengan melakukan perbandingan di antara beberapa
riwayat yang yang ada seperti contohnya :
“Pengalaman Abu Bakar tatkala mengahadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika ada seorang
nenek menghadap kepada khalifah Abu
Bakar yang meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar
menjawab, bahwa kami tidak melihat petunjuk al Quran dan praktik nabi yang
memberikan bagian harta waris kepada nenek. Kemudian Abu Bakar bertanya kepada
para sahabat, al Mughirah Ibn Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi
telah memberikan bagian harta waris kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al
Mughirah mengaku hadir pada waktu Nabi menetapkan kewarisan nenek tersebut.
Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al Mughirah menghadirkan
saksi tentang riwayat yang sama dari rasul SAW, maka Muhammad Ibn Maslamah
memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al Mughirah dan akhirnya Abu
Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan
hadis nabi yang disampaikan oleh al Mughirah”
Setelah periode Abu Bakar, maka Umar bin Khattab melanjutkan
upaya yang dirintis pendahulunya dengan membakukan kaidah-kaidah dasar dalam
melakukan kritik dan penelitian Hadis. Ibn Khibban menyatakan bahwa
sesungguhnya Umar dan Ali adalah sahabat yang pertama membahas tentang para
perawi Hadis dan melakukan penelitian tentang periwayatan Hadis, yang kegiatan
tersebut kemudian dilanjutkan para ulama setelah mereka.
Demikian pula
Aisyah, Abdullan ibn Umar Abu ayyub al Anshari serta sahabat lainnya juga
melakukan kritik Hadis, terutama ketika menerima riwayat dari sesama sahabat,
seperti yang dilakukan Abu Ayyub al Anshari dengan melakukan perjalanan ke
Mesir hanya dalam rangka mencocokkan sebuah Hadis yang berasal dari ‘Uqbah ibn
Amir.
Seiring dengan
perluasan daerah Islam, Hadis pun mulai tersebar luas ke daerah-daerah di luar
Madinah sehingga mendorong lahirnya pengkajian dan penelitian Hadis seperti di
Madinah dan Irak. Kegiatan itu pasca sahabat dilanjutkan para tabi’in yang
berkonsentrasi pada kedua daerah tersebut.[10]
Menurut
Ibn Khibban yang dikutip oleh M.M.Azamai[11]bahwa
setelah Umar dan Ali di Madinah pada abad pertama Hijrah muncul tabi’in
kritikus Hadis antara lain : Ibn al Musayyab (w.93H), al Qasim bin Muhammad bin
Umar (W.106H), Salim bin Abdullah bin Umar (w.106H), Ali bin Husain bin Ali
(w.93H), Abu Sulamah bin Uthbah , Kharidjah bin Zaid bin Tsabit (w.100H), Urwah
bin az Zubair (w.94H), Abu Bakar bin Abdurrahman bin al Harist (w.94H) dan
Sulaiman bin Yasir (w.100 H). Setelah mereka muncul murid-muridnya di Madinah
pada abad kedua yaitu tiga ulama kritikus hadis yaitu : az Zuhri, Yahya bin
Said dan Hisyam bin Urwah.
Sedangkan
di Irak, yang terkemuka antara lain adalah : Said bin Jubair, asy sya’bi,
thawus, Hasan al Bashri (w.110H) dan ibn Sirrin (w.110H), setelah itu muncul
Ayyub as Sakhtiyani dan ibn ‘Aun.
Setelah
berakhirnya periode Tabi’in, maka kegiatan kritik dan penelitian Hadis memasuki
era perluasan dan perkembangannya ke berbagai daerah yang tidak terbatas.
Sehubungan dengan itu muncul beberapa ulama kritik Hadis, antara lain : Sufyan
ats Tsuri dari Kuffah (97-161H), Malik bin Anas dari Madinah (93-179H), Syu’bah
dari Wasith (83-100H), al Auza’I dari Beirut (88-158H), hamad bin salamah dari
Bashrah(w.167H), Al laits bin Sa’ad dari Mesir (w.175H), Ibn Uyaianah dari
Mekah (107-198H), Abdullah bin al Mubarak dari marw(118-181H), Yahya bin Sa’id
al Qathan dari Basrah (w.192H), Waki’ bin al Jarrah dari Kuffah (w.196H),
Abdurrahman bin Mahdi dari Basrah (w.198H) dan Asy Syafi’I dari Mesir (w.204H).
Ulama-ulama
tersebut di atas pada gilirannya melahirkan banyak ulama mashur di bidang
kritik Hadis, antara lain : Yahya bin Ma’in dari Baghdad (w.233H), Ali bin al
Madini dari Basrah (w.234H), Ibn Hanbal dari Baghdad (w.241H), Abu Bakar bin
Abu Syaibah dari Wasith (w.235H), Ishak bin Rahawaih dari Marw (w.238H) dan
lain-lain. Murid-murid dari mereka itu yang tersohor adalah antara lain : Adz
Dzuhali, Ad Darimi, Al Bukhari, Abu Zur’ah ar Razi, Abu Hatim ar Razi, Muslim
bin al Hajjaj an Nisaburi dan Ahmad bin Syu’aib.
C. Tujuan dan
Manfaat Penelitian Sanad dan Matan
Tujuan
pokok dari penelitian sanad dan matan Hadis adalah untuk
mengetahui kualitas suatu Hadis, karena hal tersebut sangat fungsional
berhubungan dengan kehujjahan Hadis. Suatu Hadis dapat dijadikan hujjah (dalil)
dalam menetapkan hukum apabila Hadis tersebut telah memenuhi syarat-syarat
diterimanya (maqbul) suatu Hadis.[12]Adapun
Hadis yang perlu diteliti adalah Hadis yang berkategori ahad, yaitu yang
tidak sampai kepada derajat mutawatir, karena Hadis kategori tersebut
berstatus Zhanni al Wurud.[13]
Sedangkan terhadap Hadis mutawatir,
para ulama tidak menganggap perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut,
karena Hadis kategori tersebut telah menghasilkan keyakinan yang pasti bahwa Hadis
tersebut berasal dari Nabi SAW, meski demikian tidaklah berarti bahwa terhadap Hadis
mutawatir tidak dapat dilakukan penelitian lagi. Jika hal itu dilakukan
hanya bertujuan untuk membuktikan bahwa benar Hadis tersebut berstatus mutawatir,
bukan untuk mengetahui kualitas sanad dan matan nya
sebagaimana yang dilakukan terhadap Hadis ahad.
D. Faktor-faktor
Yang Mendorong Penelitian Sanad dan Matan
Adapun
faktor-faktor yang mendorong perlunya penelitian sanad dan matan
diantaranya adalah[14]:
1.
Kedudukan Hadis sebagai
salah satu sumber ajaran Islam
Diterimanya
Hadis sebagai salah satu sumber ajaran Islam merupakan keniscayaan, karena begitu
luas ruang lingkup Alquran di satu sisi dan keterbatasan manusia manusia dalam
memahami Alquran di sisi yang lain. Maka terhadap hal ini Nabi Muhammad SAW
bertugas menjelaskan secara rinci dan juga mendapat legitimasi dari Allah dan
umat pengikutnya berkewajiban mengikutinya. Ayat Alquran yang berkaitan dengan
perintah tersebut antara lain :
a.Q.S. al Hasyr
ayat 7
… apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.
dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
b. Q.S. al Imran ayat 32
Katakanlah: "Ta'atilah Allah
dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir".
2. Tidak seluruh Hadis ditulis pada
masa nabi SAW
Bahwa
Hadis nabi lebih sedikit yang ditulis dibanding dengan yang diriwayatkan secara
hafalan di kalangan para sahabat dan itu pun belum mendapat pengujian (cek
ulang) di hadapan Nabi SAW, sehingga Hadis Nabi, baik yang telah maupun yang
belum di tuliskan pada masa Nabi SAW perlu di lakukan penelitian lebih lanjut
terhadap para perawi dan periwayatannya sehingga tingkat validitasnya suatu
riwayat dapat dibuktikan.
3. Munculnya Pemalsuan Hadis
Berbagai
faktor yang mendorong pemalsuan Hadis menyebabkan banyak bermunculan
Hadis-hadis palsu, akhirnya umat Islam mengalami kesulitan untuk mengetahui
Hadis yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan dan yang asli berasal dari
Nabi SAW. Oleh karena itu mendorong kegiatan penelitian Hadis semakin penting.
Dalam
kaitan ini, ulama Hadis bekerja keras dan dengan kesungguhan menyelamatkan
Hadis-hadis Nabi SAW, yaitu berupa penyusunan beberapa kaidah dan ilmu Hadis
secara ilmiah untuk dapat di pergunakan penelitian Hadis. Sehingga sanad
Hadis menjadi sanngat penting, begitu juga dengan penelitian terhadap pribadi para
perawi yang telah memperoleh suatu Hadis adalah bagian terpokok dalam
penelitian Hadis. Oleh Karena itu kegiatan penting yang dilakukan para ulama
Hadis, selain penghimpunan Hadis adalah juga pengkajian sejarah para perawi
Hadis itu sendiri.
4. Lamanya Masa Pengkodifikasian
Hadis.
Pengkodifikasian
Hadis secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd
Aziz (99 – 101 H). Muhammad ibn Muslim ibn Syihab az Zuhri adalah satu diantara
ulama yang berhasil melaksanakan perintah khalifah Umar ibn Abd Aziz dalam
penghimpunan Hadis, dan hasil karyanya tersebut selanjutnya di kirim oleh
Khalifah ke berbagai daerah untuk dijadikan bahan penghimpunan Hadis
selanjutnya.
Jarak
waktu antara masa penghimpunan Hadis dengan masa Nabi SAW yang cukup lama,
mengakibatkan Hadis-hadis yang terhimpun dalam berbagai kitab menuntut
penelitian yang seksama dari Hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan ke shahihan
nya.
5. Beragamnya Metode Penyusunan
Kitab-Kitab Hadis.
Tidak
seragamnya metode dan sistimatika penyusunan kitab-kitab Hadis pada masa
penghimpunan , maka para ulama Hadis menilai dan membuat kreteria tentang
peringkat kualitas kitab-kitab Hadis, seperti : al Kutub al Khamsah, al
Khutub al Sittah dan al Kutub al Sab’ah, yaitu berupa kita-kitab Hadis
yang standar.
Kreteria yang tidak seragam
tersebut selanjutnya akan menghasilkan kualitas Hadis-hadisnya tidak selalu
sama. Oleh karena itu untuk mengetahui kesahihan suatu Hadis yang termuat dalam
kitab-kitab tersebut maka diperlukan adanya penelitian. Kegiatan penelitian
tersebut akan dapat menentukan kualitas para periwayat yang termuat dalam
berbagai sanad, apakah memenuhi syarat atau tidak.
6. Adanya Periwayatan Hadis Secara
makna
sebagian
sahabat ada yang membolehkan periwayatan Hadis secara makna, seperti Ali ibn
Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Mas`ud, Anas ibn Malik, Abu
Hurairah dan Aisyah serta sahabat yang lain secara ketat melarang periwayatan
hadis secara makna, seperti : Umar ibn al Khattab, Abdullah ibn Umar dan Zaid
ibn Arqam.
Kalangan
sesudah sahabat terdapat juga para ulama yang membolehkan periwayatan Hadis
secara makna, namun dengan syarat-syarat tertentu, seperti perawi yang
bersangkutan harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentanng bahasa Arab,
Hadis yang diriwayatkan bukan bacaan yang bersifat ta’abbudi seperti bacaan shalat dan
periwayatan secara makna mengindikasikan bahwa Hadis tersebut memiliki matan
tertentu dari Rasul SAW. Sementra itu untuk mengetahui kandungan petunjuk dari
suatu Hadis, terutama Hadis Qauli, terlebih dahulu harus mengetahui
redaksi Hadis yang bersangkutan. Sehingga sangat perlu dilakukan penelitian
Hadis.
E. Bagian-Bagian Yang
Harus Diteliti : Sanad dan Matan
Adapun
yang menjadi obyek penelitian Hadis adalah sanad Hadis dan matan
Hadis ;
1.Sanad Hadis
Keadaan
dan kualitas sanad merupakan
hal yang pertama sekali diperhatikan dan dikaji oleh para ulama Hadis, terutama
yang menyangkut nama-nama perawi yang terlibat dalam periwayatan Hadis dan
lambang-lambang periwayatan Hadis yang telah digunakan oleh masing-masing
perawi dalam meriwayatkan Hadis, seperti : sami’tu, akhbarani, ‘an
dan ‘anna. Oleh karena itu apabila sanad suatu Hadis tidak memiliki kreteria yang telah
ditentukan seperti tidak adil maka riwayat tersebut langsung ditolak dan
selanjutnya penelitian terhadap matan Hadis tidak diperlukan lagi,
karena salah satu prinsip yag dipedomani oleh para ulama Hadis adalah bahwa
suatu Hadis tidak akan diterima meskipun matan nya kelihatan shahih kecuali disampaikan oleh
orang-orang yang adil akan tetapi apabila sanad nya telah memenuhi
persyaratan ke shahih an, maka barulah kegiatan penelitian dilanjutkan
kepada matan Hadis itu sendiri. Prinsip ulama Hadis itu adalah :
“ Ke
shahih an sanad tidak mengharuskan ke shahihan matan suatu hadis “
Agar
suatu sanad dapat dinyatakan shahih dan diterima maka harus
memiliki syarat-syarat seperti : bersambung ( muttashil), adil
dan dhabit. Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi oleh suatu sanad
maka sanad tersebut secara lahir telah dapat dinyatakan shahih.
Akan tetapi para ulama hadis menambahkan lagi dua syarat lain guna memperkuat
status ke shahih an, yaitu bahwa sanad tersebut tidak syadz
dan tidak ber ‘illat.[15]
a.
Kebersambungan Sanad (Ittishal
al Sanad)
Yang
dimaksud sanad bersambung adalah bahwa masing-masing perawi yang
terdapat dalam rangkaian sanad tersebut menerima Hadis secara langsung
dari perawi sebelumnya, dan selanjutnya dia menyampaikan kepada perawi yang
dating sesudahnya. Hal tersebut harus berlangsung dan dapat dibuktikan dari
sejak perawi pertama - generasi sahabat yang menerima hadis tersebut
langsung dari Rasul Allah SAW ,- samapai kepada perawi terakhir – yang
mencatat dan membukukan hadis itu, seperti Bukhari dan lain-lain.
Demikian
pula, bahwa di dalam sanad tidak ada perawi yang gugur (munqathi’),
tersembunyi (mastur), tidak dikenal (majhul) ataupun samara-samar
(mubham). Selain itu, anatara satu perawi dengan perawi lainnya harus
dapat dibuktikan bahwa mereka adalah semasa (al mu’asharah) dan telah
terjadi pertemuan langsung diantara mereka (al liqa’).
Dalam
hal penelitian mengenai kebersambungan sanad, maka ada dua hal yang
harus dikaji oleh peneliti Hadis yaitu : sejarah hidup masing-masing perawi dan
sighat al tahammul wa al ‘addad. Dalam hal meneliti sejarah hidup
perawi, langkah yang dilakukan adalah pencatatan nama-nama seluruh perawi yang
terdapat pada sanad, yang selanjutnya dituliskan dalam bentuk rangking
yang saling berkaitan sehingga dapat digambarkan peringkat masing-masing perawi
seperti ; sahabat, tabi’in, tabi’i al tabi’in dan seterusnya. Dan langkah
selanjutnya barulah diteliti riwayat hidup masing-masing perawi dengan
memperhatikan hubungan satu perawi dengan perawi lainnya yaitu masa hidupnya,
tempat lahir dan daerah-daerah yang pernah dikunjunginya, sumber Hadis yang
diterimanya dan muridnya yaitu yang meriwayatkan Hadis, dan selanjutnya
meneliti lambang-lambang periwayatan Hadis yang telah digunakan masing-masing
perawi.
b.
Keadilan Perawi
Yang
dimaksud dengan sifat ‘adil disini adalah suatu sifat yang tertanam di dalam
diri seseorang yang mendorongnya untuk senantiasa memelihara ketakwaan, muru’ah
(moralitas), sehingga menghasilkan jiwa yang percaya dengan kebenarannya yang
ditandai dengan sikap menjahui dosa-dosa besar dan dari sejumlah dosa kecil.
Adapun
untuk mengetahui keadilan seorang perawi Hadis, dapat dilakukan dengan cara :
-
Melalui pemeberitahuan para
kritikus Hadis atau dalam istilah ibn Shalah dan al Nawawi adalah melalui pernyataan dua orang mu’addil.
-
Melalui popularitas yang
dimiliki seorang perawi bahwa dia adalah seorang adil, sepertio Malik ibn Abbas
atau Sufyan al Tsuri
- Apabila terdapat berbagai pendapat para ulama mengenai status
keadilan seorang perawi, seperti ada yang menyatakan adil dan ada juga yang
menyatakan jarh maka permasalahan ini harus diselesaikan dengan
mempedomani kaidah dalam ‘Ilm al jarh wa al Ta’dl sehingga dapat ditarik
kesimpulan mengenai keadilannya.
c.
Kedhabitan Perawi
Al
dhabit atau ke dhabit an seorang perawi dalam terminologi ulama
Hadis adalah ingatan (kesadaran) seorang perawi hadis semenjak dia menerima
Hadis, melekat (setia) nya apa yang dihafalnya di dalam ingatannya dan
pemeliharaan tulisan (kitab) nya dari segala macam perubahan sampai dia
menyampaikan (meriwayatkan) Hadis tersebut. Untuk mengetahui ke dhabit
an dapat dilakukan melalui cara-cara berikut:
- Berdasarkan
kesaksian atau pengakuan ulama yang sezaman dengannya.
-
Berdasarkan kesesuaian riwayat yang disampaikan dengan riwayat dengan riwayat
para perawi lain yang tsiqat
atau yang telah dikenal ke dhabit annya.
- Apabila dia
sekali-kali mengalami kekeliruan, hal tersebut tidaklah merusak ke dhabit
annya, namun apabila sering maka dia tidak lagi disebut sebagai seorang dhobit
dan riwayatnya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.[16]
Tingkat
ke dhabit an yang dimiliki oleh para perawi tidaklah sama, hal ini
disebabkan oleh perbedaan kesetiaan daya ingat dan kemampuan pemahaman yang
dimiliki oleh masing-masing perawi
Setelah
dilakukan langkah-langkah penelitian di atas
dan diperoleh kesimpulan bahwa sanad suatu Hadis adalah shahih,
maka langkah penelitian selanjunya adalah penelitian terhadap matan
Hadis yang bersangkutan.
2. Matan Hadis
Suatu
matan Hadis yang sampai ke tangan kita sangat berkaitan dengan sanad
nya, sementara keadaan sanad itu sendiri memerlukan penelitian secara
cermat. Oleh karena itu penelitian terhadap matan juga diperlukan,
karena tidak hanya adanya keterkaitan dengan sanad, tetapi karena adanya
periwayatan Hadis secara makna.
Penelitian
matan, pada dasarnya dapat dilakukan dengan pendekatan semantik dan dari
segi kandungan Hadis.[17]
Bahwa penelitian matan dengan pendekatan semantik tidak mudah untuk kita
lakukan, karena matan Hadis yang sampai ke tangan mukharrij nya
masing-masing telah melalui sejumlah perawi yang berbeda generasi dan latar belakang
budaya serta kecerdasan, sehingga selanjunya adalah menyebabkan terjadinya
perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata ataupun istilah. Meskipun
demikian, pendekatan bahasa juga sangat diperlukan, karena bahasa Arab lah yang
digunakan oleh Nabi SAW dalam menyampaikan berbagai Hadis selalu dalam susunan
yang baik dan benar.
Dan
dari segi kandungan Hadis memerlukan pendekatan rasio, sejarah dan
prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Oleh karenanya ke shahih an matan
Hadis dapat di lihat dari sisi rasio, sejarah dan prinsip-prinsip pokok ajaran
Islam disamping dari sisi bahasa.
Namun
pada umumnya, dalam penelitian (kritik matan) dilakukan
perbandingan-perbandingan, seperti : memperbandingkan antara Hadis dengan Alqur`an,
Hadis dengan Hadis dan sebagainya.[18]
a. Perbandingan antara Hadis dengan Alqur`an
Dalam
hal ini yang diteliti adalah kesesuaian antara matan Hadis dengan
Alquran. Apabila matan suatu Hadis bertentangan dengan ayat Alquran dan
keduanya tidak mungkin dikompromikan, dan tidak dapat pula diketahui kronologi
datangnya, seperti, mana yang datang duluan dan mana yang kemudian sehingga
dapat dijadikan dasar dalam penetapan nash, serta keduanya juga tidak
mengandung takwil, maka Hadis tersebut tidak dapat diterima dan dinyatakan
sebagai Hadis dhaif.[19]
Hadis-hadis
yang berkemungkinan mengandung pertentangan dengan Alquran meliputi
bidang-bidang ketuhanan, kenabian, tafsir, pembalasan amal perbuatan manusia
dan masalah-masalah ke akhiratan. Contoh Hadis tersebut adalah yang diriwayatkan Abu Dawud dari Shalih:
و لد الزنا شر
الثلا ثة “ Anak zina adalah salah satu dari tiga keburukan “
Hadis tersebut
ditolak karena karena kandungan hadis tersebut bertentangan dengan firman Allah
SWT dalam al Quran surat
al An’am ayat 164 :
“
Seorang yang
membuat dosa kemudharatannya tidak lain hanyalah kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa
tidak akan memikul dosa orang lain
“
Sehingga para ulama Hadis sepakat menyatakan bahwa Hadis Abu Hurairah diatas adalah
tidak shahih.
b. Perbandingan
Beberapa Riwayat Tentang Suatu Hadis, Yaitu Perbandingan Suatu Riwayat dengan
Riwayat Lain
Caranya adalah dengan membandingkan
antara beberapa riwayat yang berbeda mengenai suatu Hadis. Dengan cara ini
seorang kritikus akan dapat mengetahui beberapa hal, yaitu :
1.
Adanya idraj, yaitu lafadz Hadis yang bukan berasal dari Nabi SAW, yang
disisipkan oleh salah satu dari perawinya, baik perawi yang berasal dari
kalangan sahabat atau yang lainnya
2.
Adanya idhthirab, yaitu pertentangan antara dua
riwayat yang sama kuatnya sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukan tarjih
terhadap salah satunya.
3.
Adanya al Qalb, yaitu pemutarbalikan matan
Hadis, hal ini terjadi karena tidak dhabit nya salah seorang perawi dalam hal matan
Hadis. Sehingga dia mendahulukan atau mengakhirkan lafadz yang seharusnya tidak
demikian atau ada pengubahan (tashif dan tahrif) yang merusak matan
Hadis.
4.
Adanya penambahan lafaz dalam sebagian riwayat atau
disebut dengan ziyadah al tsiqat.[20]
c. Perbandingan
Matan Hadis dengan Hadis Yang lainnya.
Para ulama Hadis telah sepakat
bahwa tidak diterimanya suatu Hadis yang bertentangan dengan Hadis yang telah
mempunyai status yang tetap dan jelas (al Sharihah al Tsabithah), bahwa sabda
Nabi SAW tidak bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, oleh karena
itu apabila ditemukan pertentangan antara satu sabda Nabi SAW dengan sabda
beliau yang lain maka dalam hal ini pasti terjadi suatu kekeliruan dalam
penukilannya atau kurang sempurnanya para perawi dalam meriwayatkan sabda atau
perbuatan Nabi tersebut, atau karena periwayatan dengan makna yang jauh
menyimpang dari teks aslinya atau karena perawi merafa`kan (menyandarkan
kepada Nabi SAW) sesuatu yang bukan merupakan sabda Nabi SAW.
Untuk mengatasi (menolak ) riwayat
seperti tersebut di atas maka terlebih dahulu terpenuhi dua syarat berikut[21] :
1.Apabila kedua Hadis tersebut
dapat dikompromikan tanpa adanya kesan pemaksaan
maka keduanya dapat dijadikan hujjah. Apabila tidak dapat dikompromikan
maka harus dilakukan tarjih, dengan menentukan mana Hadis yang kuat (marjuh)
dan mana yang lemah (rajih).
2.Melihat salah satu Hadis yang
sifat periwayatannya mutawatir, apabila telah jelas status Hadis
tersebut maka dapat dijadikan sebagai sandaran dibandingkan Hadis yang status
periwayatannya kurang jelas.
d. Perbandingan
Matan Hadis Dengan Berbagai Peristiwa Yang Dapat Diterima Akal Sehat, Panca
Indera atau Berbagai Peristiwa Sejarah
Apabila matan Hadis
bertentangan dengan akal sehat, pengamatan panca indera dan berbagai fakta
sejarah yang kejadiannya tidak jelas
maka matan Hadis tersebut tidak dapat dijadikan hujjah. Contoh
hadis yang bertentangan dengan akal sehat, dirawikan adalah :
عن ابي هر يرة قال : قال رسول الله لا
يد خل الفقر بيتا فيه اسمى
Contoh
Hadis yang bertentangan dengan pengamatan panca indera, dirawikan at Tirmidz
adalah :
عن ابن عباس ان رسول
الله قال الحجر السود من الجنة وهوا اشد بياصا من اللبن فسودته خطايا بنى ادم
Contoh Hadis yang
bertentangan dengan fakta sejarah, dirawikan al Hakim adalah :
عن على رضى الله
عنه قال عبدت ا لله مع رسول الله سبع سنين قبل ان يعبده احد من هذه الامة
Para
ulama Hadis sepakat menolak matan Hadis tersebut karena bertentangan
dengan fakta sejarah sebagaimana yang dinyatakan oleh ad Dzahabi, bahwa setelah
Nabi SAW menerima wahyu kemudian beliau langsung menyampaikannya kepada
Khadijah, Abu Bakar, Zaid ibn Haritsah dan juga Ali. Oleh Karena itu mereka
semuanya masuk Islam dalam waktu yang hampir berdekatan, tidak hanya seorang
Ali sendiri saja yang menerimanya pada waktu itu.
e. Kritik Hadis Yang Tidak Menyerupai Kalam Nabi
Kadang-kadang
kita akan temukan matan Hadis yang maknanya secara eksplisit tidak bertentangan
dengan Alquran, Sunnah Nabi yang telah berkedudukan tetap, akal, pengamatan
panca indera atau fakta sejarah. Namun setelah diteliti lebih lanjut ternyata
matan dan makna Hadis tersebut tidak menyerupai kalam Nabi. Dalam hal ini, para
Ulama Hadis telah memberikan patokan dalam menentukan bahwa suatu riwayat itu
tidak menyerupai kalam Nabi, yaitu :
-
Riwayat yang memuat
spekulasi tinggi yang tidak ada ukuran dan pertimbangannya (mujazafah)
-
Riwayat yang memuat susunan
kata yang kacau, tidak sempurna atau tidak beraturan (rakakah)
-
Riwayat yang memuat
istilah-istilah yang dipergunakan oleh generasi yang dating jauh setelah masa
Rasul Allah SAW atau pada masa modern ini.[22]
f. Kritik Hadis yang Bertentangan Dengan dasar Syari’ah Dan Kaidah
yang Telah Tetap (baku)
Matan
Hadis yang bertentangan dengan syari’ah dan kaidah yang telah baku dalam Islam maka statusnya tidak shahih dan tidak boleh
disandarkan kepada Rasulullah, misalnya matan Hadis :
لا يد خل الجنة ولد
زنى ولا وا لده ولا ولد ولده “
Tidak
akan masuk surga anak zina, ayahnya, dan cucunya “
Matan Hadis tersebut bertentangan
dengan ayat Alquran yang menyatakan tentang
seorang tidak berhak menanggung dosa orang lain atau dengan kata lain
ada dosa warisan dalam Islam.
g. Kritik Hadis Yang Mengandung Hal-Hal Yang Munkar Atau Mustahil
Yang
dimaksud dengan munkar disini adalah suatu kalimat atau pernyataan yang tidak
mungkin lahir dan berasal dari Nabi SAW atau para Nabi yang lain. Sedangkan hal
yang mustahil adalah mustahil pada dzat Allah dan hubungannya dengan manusia
meski tidak mustahil apabila dikaitkan dengan kekuasaan Allah. Contoh riwayat
tersebut adalah :
قيل يا رسول الله مما ربنا قال
لا من الارض ولا من
السماء خلق خيلا فا خبراها فعرقت فخلق نفسه من
ذالك العرق
“Rasul ditanya
seseorang tentang dari mana Tuhan kita berasal? Rasul menjawab (Tuhan kita) tidak berasal dari bumi dan juga
tidak dari langit. Dia menciptakan
seekor kuda maka kuda itu dijalankannya sehingga berkerinngat, maka
dijadikan dirinya dari keringat itu
“
A.
Kesimpulan
Sanad dan matan ibarat dua sisi mata
uang yang tak terpisahkan apabila membicarakan hadis sebagaimana dari
pengertian keduanya yakni; sanad merupakan silsilah atau urutan orang-orang
yang membawa hadis dari Rasul, sahabat dan tabi`in hingga sampai pada orang
yang membukukan hadis, matan adalah sebuah hadis Rasulullah yang merupakan
essensi dan terletak setelah akhir sanad sebelum rawi yang mengandung makna
tertentu.
Penelitian(kritik) sanad dan
matan terhadap Hadis adalah sebuah
keharusan, mengingat bahwa Hadis di samping sebagai perkataan Nabi dan sebagai
landasan hukum, juga merupakan sebuah penafsir terhadap ayat-ayat Al-qur`an
yang sifatnya ambivalen, yang tidak menjelaskan secara terperinci bagaimana
tatacara pelaksanaan ibadah mahdho khususnya.
Melalui penelitian sanad dan matan
akan diketahui, mana hadis yang shahih baik dari segi sanad maupun matannya,
sekaligus dapat melihat kelemahan dan kecacatan sebuah hadis dari segi
periwatannya dan lafaznya yang tidak sesuai dengan Al-qur`an maupun rasional.
Oleh sebab itu, penelitian sanad dan
matan memerlukan kemampuan dan ketelitian serta keluasan pengetahuan tentang
sejarah dan analisa yang cermat apabila ingin mengetahui keshahihan sanad dan
matan dalam sebuah Hadis.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
‘Azami, M.M. Manhaj al Naql ‘inda al Muhadditsin :
Nasy’atuhu wa Tarikhutuhu. (Riyadh: Maktabat al Kautsar, Cet, III, 1990)
------- Studies in Hadith, Methodology and Literature,
terj (Jakarta : Lentera, cet.III, 2003).
Bustamin dan M.Isa
H.A.Salam. Metodologi Kritik Hadis. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
cet, I, 2004).
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. (Jakarta:
Bulan Bintang,1992)
---------, Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis. (Jakarta
:Bulan Bintang,cet.III,1995).
Khatib, Ajjaj. Ushul al Hadist (terj)
oleh Qadirun Nur dan Akhmad Musyafiq , ( Jakarta : Gaya
Media Pratama, cet, I, 1998).
Thahan, Mahmud. Ulumul Hadis. (Jakarta
: Titian Ilahi Press, cet.VII, 1997).
Yuslem,Nawir. Ulumul Hadis. ( Jakarta
: Mutiara Sumber Widya, cet.I, 2001).
Al Munjid fi al-Lughat wa al-A’la.
(Beirut : Dar al Masyriq, cet.34,1994).
Ramli
Abdul Wahid, Studi Ilmu Hadis, (Bandung: Citapustaka Media, cet.1
2005)
Husein Yusuf, Kriteria Hadis Sahih, Kritik Sanad dan Matan,
(Yokyakarta: Universitas Muhammadiyah, 1996)
[1] Lonis Ma`laf, Al Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam ( Beirut : Dar
al Masyriq, cet 34 , 1994), h.830.
[5]Husein Yusuf, Kriteria Hadis
Sahih, Kritik Sanad dan Matan (Yokyakarta: Universitas Muhammadiyah, 1996), h. 30-35.
[8] Ramli Abdul Wahid,Studi ilmu Hadist,( Bandung: cita pustaka, 2005),h.
25.
[9] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h.330.
[10] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 329.
[11]M.M.Azami, Studies in Hadith ,
Metodologi and Literatur Hadis,terjemah, (Jakarta: Lentera, cet 3, 2003),
h.89-91.
[12] Bustamin dan M.Isa H.A.Salam, Metodologi Kritik Hadis
(Jakarta:Raja Grafindo Persada, Cet.I, 2004), h.7.
[13] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan
Bintang,1992), h. 29.
[15]Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 354.
[16] Ibn as Shalah, Al Suyuti, Ajjaj al Khatib, Al Jawabi dalam Nawir
Yuslem, Ulumul Hadis, h. 362.
[17] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 364.
[19] Musfir ‘Azm Allah al Damini dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h.366.
[20] Ad Damini dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h. 368.
[22] Al Adabi dalam Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, h.376 .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar