Selasa, 23 Februari 2016

PEMBAGIAN HADIS DARI SUDUT KWANTITAS PERIWAYATNYA (JUMLAH PERAWINYA)



A.  PENDAHULUAN

          Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Alquran, keberadaan Hadis di samping telah mewarnai masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, juga telah menjadi bahan kajian yang menarik dan tiada henti-hentinya. Kajian terhadap Hadis baik dari segi keotentikkannya, kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya, macam-macam tingkatannya, maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Alquran dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli di bidangnya.
         P enulisan Hadis ketika Rasul masih hidup mempunyai dua pendapat berupa larangan dan perintah penulisan. Namun tidaklah  menjadi masalah pokok, hal penting terjadi ketika beliau telah wafat. Selain itu ketika Rasul masih hidup, jika ada permasalahan yang kurang dipahamai para sahabat, maka mereka bisa menanyakan langsung kepada Rasul. Sehingga selagi Rasul hidup penulisan Hadis dikalangan sahabat ada yang terus berjalan, namun sahabat lebih mengutamakan hapalan mereka.
           Menurut Ajjaj al-Khathib meskipun Rasul ada melarang sahabat untuk mencatat Hadis namun larangan tersebut bukanlah tidak menulis seluruh Hadis beliau sama sekali. Karena larangan yang dimaksud adalah larangan menulis Hadis di marjin-marjin lembaran Alquran, karena dikhawatirkan tercampur dengan penulisan ayat-ayat Alquran. Karena ketika itu Alquran juga masih dalam tahap penulisan. Hal Ini disampaikan Rasul agar penulisan Alquran benar-benar murni merupakan wahyu  dari Allah tidak tercampur dengan hal-hal lain.

         Ketika Rasul wafat, maka terjadilah perbedaan pendapat dalam memahami Hadis dan sunnah Rasul. Sebenarnya ini merupakan suatu yang wajar saja, karena memang masing-masing sahabat punya perbedaan dalam kemampuan analisis, ketajaman, mempengaruhi pemahaman mereka tentang Hadis.
         Pengetahuan, pengalaman dan pemahaman mengenai cara-cara Rasul menangani kasus-kasus aktual inilah yang kemudian diinformasikam secara   “verbal”   kepada   generasi   sesudahnya    (tabi’in)  dan  seterusnya           

1
“ Refortase verbal” Ini pulalah yang diistilahkan dengan kumpulan sunnah   atau hadis.[1]
          Oleh karena itu ditinjau dari segi sedikit banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, maka diantara para Ulama Hadis, terdapat perbedaan pendapat dalam  membagi Hadis tersebut. Jika ditinjau dari banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, antara lain:
I.   Menurut M. Fatwa Dhahiriah (suatu kitab madzhab Hanafi), bahwa Hadis-hadis tersebut terbagi kepada tiga bagian, yaitu:
  1. Hadis Mutawatir
Orang yang mengingkarinya, dikafirkan
  1. Hadis Masyhur.
Orang yang mengkafirkannya, dikafirkan juga. Demikian faham kebanyakan ulama. ‘Isa Ibnu Aban (221 H) mengatakan, bahwa yang menolak Hadist Manyhur tiada dikafirkan.
  1. Hadist Ahad. 
Orang yang mengingkarinya, tiada dikafirkan, hanya dipandang berdosa, karena tidak mau mencari ketetapan tentang khabar itu.[2]
II.  Menurut para Ulama yang membagi Hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada dua, yaitu Mutawatir dan Ahad, mereka memasukkan Hadis Mansyhur ke dalam kelompok Hadis Ahad. Sehingga Hadis jika ditinjau dari kwantitas perawinya terbagi menjadi dua, yaitu:
  1. Hadis Mutawatir
  2. Hadis Ahad.[3] (Lampiran 1 Skema pembagian Hadis terlampir h. 17)
           Namun kali ini Penulis akan mengkaji, Hadis berdasarkan  kwantitas perawinya  (jumlah periwayatnya), yang dibagi atas dua hal yaitu: Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad. Hadis Mutawatir meliputi: penjelasan mengenai pengertian Hadis Mutawatir, kriterianya, dan macam-macamnya. Sementara Hadis Ahad meliputi: penjelasan mengenai pengertian Hadis Ahad, macam-macamnya serta kedudukannya dalam pendangan Fuqaha.

B.  HADIS  MUTAWATIR
1.   Pengertian Hadis Mutawatir.
          Oleh karena rawi terakhir yang mendewankan (mengkodifikasikan)  Hadis secara tidak resmi ke dalam dewan Hadis itu, tidak hidup sezaman dengan Rasulullah saw, maka sudah barang tentu Hadis Rasulullah yang sampai kepadanya untuk didewankan itu melalui rawi-rawi setiap generasi yang diperlukan sebagai sumber pemberita. Jika jumlah para sahabat yang menjadi rawi pertama suatu Hadis itu banyak sekali, kemudian rawi dalam generasi tabi’in yang menerima Hadis dari rawi-rawi generasi pertama (sahabat) juga banyak jumlahnya, bahkan mungkin lebih banyak, demikian seterusnya dalam keadaan yang sama, sampai kepada rawi-rawi yang mendewankan Hadist, maka Hadis tersebut dinamakan  Hadis  Mutawatir.[4]
          Mutawatir, secara  kebahasaan adalah isim fa’il dari kata al-tawatur, yang berarti al-tatabu’, [5] yaitu berturut-turut. Selain itu ada juga yang mengartikan: yang berturut-turut, yang beriring-iring.[6]
          Secara definitif Hadis Mutawatir itu ialah:
هوَخبرٌعن محسوس رواه عددَجم يجب في العاده احاله اجتماعهم وتواطءهم على الكذب.
Artinya:
         “Suatu Hadis hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.” [7]
          Menurut  istilah Ulama Hadis, Mutawatir berarti:                                   
ما ر وا ه عد د كثير تحيل العا ده تو ا طو هم علي ا لكذ ب
Artinya:  
         Hadis  yang diriwayatkan oleh orang banyak yang mustahil menurut adat bahwa mereka sepakat untuk berbuat dusta”.[8]
          Dari  beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa Hadis Mutawatir ialah suatu Hadis yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak dapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan. Tidak dapat dikategorikan dalam Hadis Mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandarkan pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.      
2.   Kreteria   Hadis Mutawatir    
          Dengan melihat kepada pengertian istilah Hadis Mutawatir, apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Hadist itu diperoleh dari Nabi atas dasar pancaindera yang yakin. Maksudnya, bahwa Perawi dalam memperoleh Hadis Nabi, haruslah benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Jadi bukanlah atas dasar pemikiran, atau perkiraan, atau hasil istimbath dari suatu dalil dengan dalil yang lain.[9] Seperti  saya dengar, saya lihat bukan kalimat saya pikir, saya kira dan lain-lain.
  2. Bilangan perawinya, dilihat dari segi banyaknya, telah mencapai jumlah yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Dengan demikian, walaupun suatu berita telah memfaidahkan yakin tetapi tidak diriwayatkan oleh orang banyak, maka tidaklah dapat dikategorikan sebagai Hadis Mutawatir.[10] Sekurang-kurangnya menurut sebahagian ulama Hadis,
adalah sepuluh orang. Namun, ada yang berpendapat minimal empat orang dalam setiap tabaqat, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu al-Thayyib, karena dianalogikan kepada saksi dalam qadzf, ada yang mengharuskan lima orang, dianalogikan kepada jumlah nabi yang memperoleh gelar Ulul Azmi, ada yang mengharuskan 20 orang, karena diqiyaskan kepada Alquran surat 8, Al-Anfal: 65, dan bahkan ada yang mensyaratkan minimal 40 orang, karena diqiyaskan kepada Alquran surat 8, Al-Anfal: 64. Penentuan jumlah tersebut sebenarnya adalah relatif,  karena yang menjadi tujuan utamanya adalah terpenuhinya syarat mustahilnya mereka untuk bersepakat melakukan  berdusta atas berita yang mereka riwayatkan.[11]. Namun yang jelas bahwa Hadis ini adalah Hadis yang tidak mungkin para periwayatnya melakukan dusta.
  1. Ada keseimbangan jumlah perawi antara thabaqah pertama sekitar 10 orang, maka pada thabaqah lainnya juga harus sekitar 10 orang. Bila thabaqah pertama misalnya 10 orang, lalu thabaqah kedua 12 orang, kemudian di thabaqah lainnya sekitar 2 orang saja, ataupun sebaliknya, maka  Hadist yang demikian ini tidak termasuk Mutawatir.[12]
  2. Jumlah tersebut harus terdapat pada setiap lapisan atau tingkatan sanad.[13]
3.   Macam-Macam Hadis Mutawatir
          Hadis Mutawatir  ini menurut para ahli Ushul Hadis terbagi atas:
  1. Mutawatir Lafzhi
  2. Mutawatir Maknawi [14]
a.   Hadis Mutawatir Lafzhi ialah:                                                          
مَا تَوَاتَرَ لفظه ومَعْنَا هُ                                                                 
Artinya:
           Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya[15]
          Yaitu, Hadis yang diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi dengan susunan redaksi dan semua maknanya sama. Contoh Hadis Mutawatir Lafzhi adalah:
قال رسول ا لله صلعم : من كذب علىّ متعمّدًا فليتبواءمقعدَهُ منَ النا رِ.
Artinya:
Barangsiapa yang berbuat dusta terhadapku dengan sengaja, maka berarti ia menyediakan tempatnya di neraka”.[16] (Lampiran 2, h. 18)
Contoh lain Hadis Mutawatir Lafzhi : Hadis yang menerangkan tentang terbelahnya rembulan, atau yang membangun Mesjid karena Allah, atau mengenai syafa’at, atau cerita tentang korma yang merintih, atau tentang keluarnya air dari jari-jari beliau, atau dikembalikannnya  mata Qatadah, dan mengenai pemberian makan pasukan besar dengan perbekalan terbatas.[17] Diantara yang berpendapat seperti itu termasuk  Imam As-Suyuthi[18] dalam Al-Azhar al-Mutanatsirat fi al-Akhbar al-Mutawatirat.[19]

b.  Hadis Mutawatir Maknawi
ما تواترمعنا ه د ون لفظهِ
Artinya:
         Hadist yang mutawatir maknanya saja, tidak pada lafaznya”.[20]
          Hadis mutawatir Maknawi ialah: yang perawinya banyak, tetapi susunan redaksinya berlainan, yang pada prinsipnya terdapat persesuaian. Adapun Mutawatir Maknawi dalam riwayatnya jelas tidak diisyaratkan adanya kecocokan lafaz. Jadi cukup berupa penyampaian makna, sekalipun riwayat berbeda-beda dari banyak orang yang menurut pengalaman mustahil berkomplot untuk berdusta. Hal itu banyak sekali terjadi dan susah dipungkiri oleh siapapun. Misalnya beberapa Hadis yang menerangkan perlunya mengangkat tangan pada waktu berdo’a. oleh As-Suyuthi hal itu dihimpun dalam satu zuz.[21] 
  
مارَ فع صلى ا للهُ عليه و سلّم يد يه حتى رو ى بيا ضُ ا بطَيه فى شيءمن د عا ىه ا لا فى الاِستسقاءِ.متفق عليه


Artinya:
         Konon Nabi Muhammad saw tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doa beliau, selain dalam doa sholat Istisqa’. Dan beliau mengangkat tanggannya, hingga nampak putik-putih ketiaknya”. (Riwayat Bukhory-Muslim).[22]
     
C.  HADIST AHAD
a.     Pengertian Hadis Ahad

Kata ahad berarti “satu”. Khabar al-Wāhid adalah kabar yang diriwayatkan oleh satu orang.[23] Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadis, Hadis Ahad berarti :
هو ما لم يجمع شروط المتواتر.
Artinya:
“Hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir”.[24]
          Jumlah rawi-rawi dalam thabaqat (lapisan) pertama, kedua dan ketiga dan seterusnya pada Hadis Ahad itu, mungkin terdiri dari tiga orang atau lebih, dua orang atau seorang. Para  Muhaddisin memberikan nama-nama tertentu bagi Hadis Ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang berada pada thabaqat dengan Hadis Masyhur, Hadis ‘Aziz dan Hadis Gharib.[25]
b.    Macam-macam Hadis Ahad
Sesuai keterangan para Muhaddisin diatas maka  jenis-jenis Hadis Ahad terbagi kepada tiga macam, yaitu: Masyhur, ‘Aziz dan Gharib.
1.   Hadis Masyhur.   Kata مشهوْ رٌ  berarti  ُمنْتَشِرٌ , yakni sesuatu yang sudah tersebar atau sudah populer [26]
        Dari segi istilah Ilmu Hadis  adalah:
مَا رواه  ثلا ثة – في كل طبقة – ما لم يبلغ حدّ التواتر
Artinya:  
 Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap  tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat Mutawatir”.[27]
   Hukum Hadis Masyhur tidak ada hubungannnya dengan shahih atau, tidaknya suatu hadis, karena di antara Hadis Masyhur terdapat hadis yang mempunyai status Shahih, Hasan atau Dha’if dan bahkan ada yang Maudhu’. Akan tetapi, apabila suatu hadis masyhur tersebut berstatus shahih, maka Hadis masyhur tersebut hukumnya lebih kuat daripada Hadis ‘Aziz dan Gharib.[28]
          Apabila dilihat dari segi di kalangan mana Hadis tersebut menjadi Masyhur (populer), maka  Hadis Mansyhur dapat dibedakan kepada:
1.    Hadis Masyhur di kalangan Ulama Hadis saja.
2.    Hadis Masyhur di kalangan Ulama Hadis dan Ulama lainnya
3.    Hadis Masyhur di kalangan Ulama yang bukan Ulama Hadis (misalnya Ulama Fiqih, Ulama Ushul, dan sebagainya).
4.    Hadis Masyhur di kalangan masyarakat awam.[29]
Berikut ini dikemukakan beberapa contoh:
1.   Contoh Hadis Masyhur di kalangan Ulama Hadis saja.[30]
Artinya: 
           Bahwa Nabi saw melakukan qunut selama sebulan sesudah ruku’,
             Untuk mendo’akan keluarga Ri’il dan Dzakwan.” [31](Mutafakum Alaih
              dari anas Ibnu Malik)
2. Contoh Hadis Masyhur di kalangan Ulama Hadis dan Ulama lainnya:[32]

Artinya:
           Rasulullah bersabda: “Yang dimaksud dengan orang Islam (Muslim) ialah orang yang tidak mengganggu orang-orang Islam lainnya, baik dengan lidahnya maupun dengan tangannya, dan yang dimaksud dengan orang yang berhijrah (Muhajir) adalah orang yang pindah dari apa yang dilarang oleh Allah”.(Mutafakum Alaih).

Hadis ini, juga termasuk masyhur di kalangan masyarakat awam. 
3. Contoh Hadis Masyhur di kalangan Ulama Fiqih saja.[33]

Artinya:
             Perbuatan halal yang dimurkai Allah adalah thalaq Hadis ini, di
kalangan Ulama non –fiqih tidaklah masyhur, bahkan ada yang mendha’ifkannya”.     
4. Contoh Hadis Masyhur di kalangan Ulama  Ushul Fiqih saja.[34]
Artinya:
              Diangkat (tidak dituntut dari umatku terhadap perbuatan yang  dilakukan karena kesalahan (tidak sengaja), karena lupa dan  karena terpaksa”.    
5. Contoh riwayat yang Masyhur di kalangan ulama sufi.[35]
Artinya:
             Barang siapa yang kenal akan dirinya, maka sungguh dia kenal akan Tuhannya”.
6. Contoh riwayat yang dianggap sebagai hadis Masyhur oleh sebagian Ulama/Muballigh dan masyarakat awam.[36]
Artinya:
              Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok pagi”.
2.   Hadis ‘Aziz

  ‘Aziz menurut bahasa adalah shifah musyabbahat dari kata ‘azza – ya ’izzu yang berarti qalla dan nadara, yaitu “sedikit” dan “jarang”; atau berasal dari kata ’azza – ya ’azzu yang berarti qawiya dan isytadda,  yaitu “kuat” dan “sangat”.[37]
  Menurut istilah Ilmu Hadis, ’Aziz berarti:
أن لا يقبل رواته عن اثنين في جميع طبقا ت السند .
Artinya:
   Bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan  sanad”.
   Adapun pengertian istilahnya, kalangan ulama berpendapat sebagai berikut:
1.    Sebahagian ulama menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan  Hadis Aziz ialah Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang. Maksudnya, sanad Hadis tersebut pada thabaqah petama sampai terakhir terdiri dari dua orang.
Terhadap defnisi ini, Ibnu Hibban berkomentar, bahwa Hadis yang sanadnya pada setiap thabaqah terdiri dari dua orang, sangat sulit ditemukan. Secara teori, memang dimungkinkan adanya, tetapi secara fakta sulit dicarinya. Pendapat Hibban ini dibenarkan oleh Ibnu Hajar.[38]
2.    Sebahagian ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan Hadis Aziz adalah Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang pada sebahagian thabaqahnya dan pada thabaqah lainnya ada yang lebih dari dua orang.[39]
   Berdasarkan pengertian yang  yang kedua ini, maka dapat saja terjadi suatu Hadis tertentu di satu pihak dapat disebut Hadis Aziz dan dilain pihak dapat disebut sebagai  Masyhur. Contohnya:
: لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحبّ اليه من والده ولده
Artinya:
“Tidak (sesungguhnya) beriman salah seorang dari kamu, sehingga adalah  aku (nabi) lebih tercinta kepadanya daripada ia (mencintai) bapaknya dan anaknya”.
          Hadis tersebut di atas diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, dengan sanad-sanad yang tidak sama: dari jalan Anas dan Abi Hurairah. Susunan sanad dari dua jalan.[40]
  3.   Hadis Gharib
Menurut bahasa, kata gharib adalah shifah musyabbahat yang berarti al- munfarid atau al- ba’id ‘an aqaribihi, yaitu “yang menyendiri” atau jauh dari kerabatnya”. [41]
  Gharib menurut istilah Ilmu Hadis:
هو ما ينفرد بروايته راو واحد.
Artinya:
   Yaitu: Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya”[42]
 Jadi yang dimaksud dengan Hadis Gharib ialah penyendirian rawi dalam meriwayatkan Hadis itu, dapat mengenai personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan si rawi . Artinya sifat atau  keadaaan  rawi berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadis tersebut.
    Ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi seperti tertera di atas, maka hadis Gharib itu terbagi kepada dua macam. Yaitu Gharib-Mutlak dan Gharib-Nisbi

a. Gharib Muthlak
            Gharib Muthlak  yaitu apabila keghariban perawi yang seseorang itu terjadi pada ashal sanad (Tabi’i) atau Tabi’it-tabi’in, atau dapat juga pada seluruh rawinya di setiap thabaqah.
Contoh Hadis Gharib Mutlak, yang hampir tiap thabaqahnya, rawinya  sendirian.
قال ا لنبىّ صلى الله عليهِ و سلمَ:الا يما نُ بضعٌ و سبعو ن شعبهً والحياء شعبه منَ الا ء يما نِِِ.
Artinya:
              “Nabi saw, bersabda: “Iman itu berbilang 70 cabang. Dan rasa malu, merupakan salah satu cabang iman.”[43]

     Hadis ini tersebut di atas hampir seluruh rawinya menyendiri, ialah hadis Bukhari-Muslim.(Lihat: Lampiran III, h. 19)

b. Gharif  Nisbi
          Gharib Nisbi, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada asal sanad (perawi pada tingkat sahabat), namun dipertengahan sanadnya terdapat tingkat yang perawinya hanya sendiri (satu orang ).[44]
Contoh Hadis Gharib Nisbi, yaitu:
ما رواه ما لك عن الزهري عن أنس رضى الله عنه أنّ النبي صلى الله عليه و سلّم دخل مكة وعلى رأسه المغفر. أخرجه الشيخان {
Artinya:
    Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari al- Zuhri dari anas r.a.,    bahwasanya Nabi SAW memasuki kota Mekkah  dan di atas kepalanya terdapat al-mighfar (alat penutup kepala)”. (HR Bukhari dan Muslim).[45]
  Pada Hadis di atas, hanya Malik sendiri yang menerima Hadis tersebut dari Al-Zuhri. [46]

c.  Hadis Ahad Kedudukannya dalam Pandangan Fuqaha
            Hadis Ahad yang maqbul {antara lain yang berkualitas Shahih[47]).  apabila berhubungan dengan masalah hukum, maka menurut jumhur Ulama, wajib diamalkan.  
          Untuk masalah yang berkaitan dengan soal aqidah, maka Ulama berselisih pendapat. Diantara mereka ada yang menyatakan:
  • Bahwa Hadis Ahad dapat saja digunakan sebagai dalil untuk menetapkan masalah Aqidah. Alasannya, karena Hadis Ahad yang Shahih, memfaidahkan ilmu. Dan yang yang memfaedahkan ilmu, wajib diamalkan. Karena wajib diamalkan, maka antara yang soal aqidah dengan dengan soal yang bukan aqidah, tidaklah dapat dibedakan.
  • Pendapat kedua, menyatakan Hadis Ahad, walaupun memenuhi syarat, tetap tidak dapat dijadikan landasan (dalil) pokok terhadap penetapan aqidah. Alasannya, Hadis Ahad berstatus memfaedahkan dhanny. Sedangkan soal aqidah adalah soal keyakinan. Maka, yang yakin tak dapat didasarkan dengan petunjuk yang masih dhanny atau dugaan.[48]
Selain dua pendapat diatas, ada golongan yang agak moderat yang menyatakan bahwa Hadis Ahad yang telah memenuhi syarat, dapat saja dijadikan hujjah  untuk masalah aqidah, sepanjang Hadis tersebut tidak bertentangan Alquran dan Hadis-hadis lain yang lebih kuat, serta tidak bertentangan dengan akal yang sejahtera.
          Jumhur Ulama di kalangan Ulama Ushul, seperti Asy- Syafi’i dan kebanyakan para Ulama Hadis memandang bahwa diterimanya Hadis tersebut jika keberadaan sanad-nya shahih. Abu Hasan al-Kharakhie dari kalangan Hanafiyah dan kebanyakan ulama Mutaakhirin dari kalangan Hanafiyah menolak hadis tersebut dan tidak beramal dengannya.
Orang-orang yang mengatakan bahwa beramal dengan Hadis Ahad tersebut meliputi beberapa unsur, antara lain:
1.    Harus mengetahui sebab sebab turunnya suatu hadis secara muthlak, baik dari segi perbedaan dalam konteks umum atau tidak.
2.    Menurut kesepakatan para sahabat beramal dengan Hadis Ahad selama dalam pembahasan universal. Para sahabat setelah terjadi perbedaan pendapat antara mereka dalam hal wajib mandi,  jika bertemu dua kemaluan tanpa keluar mani. Mereka meruju’ kepada Hadis ’Aisyah r.a.: Apabila bertemu dua kemaluan, maka ia wajib mandi baik dalam keadaan keluar ataupun tidak, adapun dasarnya: “saya (’Aisyah) dan Rasulullah kami mandi bersama”.
3.    Hal-hal yang rasional. Artinya keberadaan perawi dalam sebuah hadis harus mempunyai kreteria ’adil dan shiqhat [49] Hal ini mesti diriwayatkan terhadap apa yang memungkinkan kebenaran tentang sasaran suatu hadis tersebut. Kebiasaan demikian menunjukkan kepada kebenaran yang bersifat dhanni, maka itu merupakan pembenaran yang muthlak, seperti berita yang menyangkut hal-hal yang umum. Ini menunjukkan bahwa Qiyas itu diterima di dalam Hadis Ahad, namun Qiyas lebih lemah dari Khabar Wahid. Mereka menerima Khabar Wahid lebih utama dari Qiyas.
Eksistensi perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama banyak terkait pada hal-hal yang bersifat furu’, khususnya pada bab figh, seperti : perkara wudhu’ dengan menyentuh kemaluan, persoalan al-Fatihah dibaca dengan jahar (terang) pada waktu shalat yang mesti jahar, mengangkat kedua tangan ketika ruku’ dan sebagainya. Adapun pendapat Muhaddisin Hadis Ahad  baru dapat diterima apabila berkwalitas Shahih.

D. KESIMPULAN
  • Hadis Mutawatir ialah suatu Hadis yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya. Tidak dapat dikategorikan dalam Hadis Mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandarkan pancaindera, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
  • Para Ulama yang membagi Hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada dua, yaitu Mutawatir dan Ahad, mereka memasukkan Hadis Mansyhur ke dalam kelompok Hadis Ahad. Sehingga Hadis jika ditinjau dari kwantitas perawinya terbagi menjadi dua, yaitu: Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.
·         Hadis Ahad adalah Hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadis Mutawatir. Sedangkan Jumhur Ulama Hadis mengelompokkan Hadis Masyhur kepada Hadis Ahad.
·         Di kalangan Ulama Hanafiyah. Hadis Ahad hukumnya adalah zhanni, yaitu mendekati yakin sehingga wajib beramal dengannya. Akan tetapi karena kedudukannya tidak sampai kepada derajat Mutawatir, maka tidaklah dihukumkan kafir bagi orang yang menolaknya atau tidak beramal dengannya.
·         Menyangkut hal-hal yang bersifat umum, Imam asy- Syafi’I dan Para Ulama Ushul berpendapat bahwa boleh beramal selama sanad-nya shahih
15


BIBLIOGRAFI


Baharuddin dan Buyung Ali Sihombing. Metode Studi Islam. Bandung: Cita Pustaka Media, 2005.

Hassan, A. Qadir. Ilmu Mushthalah Hadits, cet.III. Bandung: CV Diponegoro, 1987

Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadist. Bandung: Angkasa, 1987 .

Al-Khatib, M. ‘Ajjaj.  Ushul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif, 1974.

As-Shalih, Subhi.  Penerjemah: Tim Pustaka Pirdaus, Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.


Ash-Shiddieqy, Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid I. Jakarta: Bulan Bintang,  1981.

Al- Thahhan, Mahmud. Taisir Musthalah al- Hadits. Beirut: Dār al-Qur’an al-Karim, 1399 H/1979 M.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1997.

Zahri, Mustafa. Kunci Memahami Mustalahul Hadis.  Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995.


             [1] Baharuddin dan Buyung Ali Sihombing, Metode Studi Islam, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2005), h. 83.
             [2] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang,  1981), h. 102-103.
             [3]Mahmud al-Thahhan, Tafsir Mushthalah al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Quran al-Karim, 1399H/1979), h. 18.
2
             [4] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung:  PT Alma’arif:  1974), h. 78.
             [5] M. ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/1989 M), h. 301-302.
             [6] A. Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadits, cet. III, (Bandung: CV Diponegoro, 1987), h. 43
             [7] Rahman, Ikhtisar Mushthalahul, h. 78.
3
             [8] Al-Thahhan, Taisir, h. 18.
             [9]  M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadist, (Bandung: Angkasa, 1987), h. 135.
             [10] Ibid, h. 135-136.
4

              [11] Nawir Yuslim, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT Mutiara Sumber Media, 1998), h.203-204.
              [12] Ismail, Pengantar Ilmu, h. 136-137.
              [13] Yuslim, Ulumul Hadis, h. 204.
              [14] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Mustalahul Hadis, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), h. 5-6
5
              [15] Al-Thahhan, Taisir, h. 19.
              [16]  Rahman, Ikhtisar Mushthalahus, h. 82.
              [17] Detail terdapat dalam Al-Tadrib 190, dalam Subhi As-Shalih,  Penerjemah: Tim Pustaka Pirdaus, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, (Jakarta:  Pustaka Firdaus, 1993), h. 135.
              [18] As-Suyuthi  banyak menulis mengenai tafsir, hadis dan bahasa, nama lengkapnya: Al-Allamah Abdurrahman Jalaj as-Suyuth (91 H).
              [19] Lihat Al-Tadrib 190, dalam Subhi, Membahas Imu-ilmu Hadis, h. 135.
              [20] Al-Thahhan, Taisir, h. 19.
6
              [21] Subhi As-Shalih,  Penerjemah: Tim Pustaka Pirdaus, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, h. 136.
              [22] Rahman, Ikhtisar Mushthalahus, h. 83.
              [23] Al-Thahhan, Taisir,  h. 19.
              [24] Ibid.
7
              [25] Rahman, Ikhtisar Mushthalahul, h. 86.
              [26] Ismail, Pengantar Ilmu, h. 141.
              [27] Al-Thahhan, Taisir, h. 22.
         [28] Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1997), h. 210.
              [29]  Ismail, Pengantar Ilmu, h. 143

8
              [30]  Ibid, h. 143-144
              [31] Ri’il dan Dzakwan, adalah qabilah-qabilah dari bani Sulaim. Mereka melanggar fana terhadap utusan Rasul yang bertugas ke penduduk Najed. Pelanggaran itu terjadi di Bi’i  Ma’unah yang terletak antara Mekkah-Madinah, pada bulan Shafar tahun 4 H.
              [32] Ibid, h. 144
              [33] Ibid, h. 145
              [34] Ibid
              [35] Ibid
9
               [36] Ibid
               [37] Al- Thahhan, Taisir, h. 25.
               [38] Ismail, Pengantar Ilmu, h. 150-151.
10
            [39] Ibid, h. 151.
            [40] Dua jalan dimaksud, bahwa dalam sanad Bukhori sama sekali tidak ada yang sama dengan rawi-rawi imam Muslim. Dari Nabi, jalannya  1,  melalui Abu Hurairah, Al-‘A’raj, Abuz-Zinad, Syu’aib, Abul Yaman dan ke Bukhari. Adapun jalan 2, melalui Anas, Qatadah, Muhammad bin Mutsanna, dan ke Muslim.
            [41] Muslim, Ulumul Hadis, h. 215.
            [42] Al-Thahhan, Taisir, h. 27.
11
            [43] Ismail, Pengantar Ilmu, h. 155.
            [44] Yuslim, Ulumul Hadis, h. 217.
12
                [45] Al-Thahhan, Taisir, h. 28
                [46] Yuslim, Ulumul Hadis, h. 217.
                [47] Menurut ta’rif muhaddisitsin tersebut, bahwa suatu Hadis dapat dinilai shahih, apabila telah memenuhi lima syarat: 1. Rawinya bersifat adil,  2. Sempurna ingatan, 3. Sanadnya tiada putus,  4. Hadis itu tidak ber’illat dan  5. Tiada janggal . Lihat : Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, h. 118.
                [48] Ismail, Pengantar Ilmu, h. 159
13
             [49] Shiqhat artinya : macam, bentuk, maksud di sini, lafazh-lafazh. Sinqat isnad ialah “lafazh-lafazh yang ada dalam sanad yang digunakan oleh rawi-rawi waktu menyampaikan Hadis atau Riwayat”. Shinqat Isnad mempunyai martabat. Ada 8 martabat. Diawali martabat pertama (سَمِعْتُ ):
saya telah mendengar, dll  dan diakhiri martabat ke delapan (عن): dari, dari pada, dll. Lihat : A. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, h. 351-357.
14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar