A.
PENDAHULUAN
Sebagai sumber ajaran Islam kedua
setelah Alquran, keberadaan Hadis di samping telah mewarnai masyarakat dalam
berbagai bidang kehidupan, juga telah menjadi bahan kajian yang menarik dan
tiada henti-hentinya. Kajian terhadap Hadis baik dari segi keotentikkannya,
kandungan makna dan ajaran yang terdapat di dalamnya, macam-macam tingkatannya,
maupun fungsinya dalam menjelaskan kandungan Alquran dan lain sebagainya telah
banyak dilakukan para ahli di bidangnya.
P enulisan Hadis ketika Rasul masih hidup mempunyai dua pendapat berupa
larangan dan perintah penulisan. Namun tidaklah
menjadi masalah pokok, hal penting terjadi ketika beliau telah wafat.
Selain itu ketika Rasul masih hidup, jika ada permasalahan yang kurang
dipahamai para sahabat, maka mereka bisa menanyakan langsung kepada Rasul.
Sehingga selagi Rasul hidup penulisan Hadis dikalangan sahabat ada yang terus
berjalan, namun sahabat lebih mengutamakan hapalan mereka.
Menurut Ajjaj al-Khathib meskipun
Rasul ada melarang sahabat untuk mencatat Hadis namun larangan tersebut
bukanlah tidak menulis seluruh Hadis beliau sama sekali. Karena larangan yang
dimaksud adalah larangan menulis Hadis di marjin-marjin lembaran Alquran,
karena dikhawatirkan tercampur dengan penulisan ayat-ayat Alquran. Karena
ketika itu Alquran juga masih dalam tahap penulisan. Hal Ini disampaikan Rasul
agar penulisan Alquran benar-benar murni merupakan wahyu dari Allah tidak tercampur dengan hal-hal
lain.
Ketika Rasul wafat, maka terjadilah perbedaan pendapat dalam memahami
Hadis dan sunnah Rasul. Sebenarnya ini merupakan suatu yang wajar saja, karena
memang masing-masing sahabat punya perbedaan dalam kemampuan analisis,
ketajaman, mempengaruhi pemahaman mereka tentang Hadis.
Pengetahuan, pengalaman dan pemahaman mengenai cara-cara Rasul menangani
kasus-kasus aktual inilah yang kemudian diinformasikam secara “verbal”
kepada generasi sesudahnya
(tabi’in) dan seterusnya
1
“ Refortase verbal” Ini pulalah yang
diistilahkan dengan kumpulan sunnah
atau hadis.[1]
Oleh karena itu ditinjau dari segi
sedikit banyaknya rawi yang menjadi sumber berita, maka diantara para Ulama
Hadis, terdapat perbedaan pendapat dalam
membagi Hadis tersebut. Jika ditinjau dari banyaknya rawi yang
menjadi sumber berita, antara lain:
I.
Menurut M. Fatwa Dhahiriah (suatu kitab madzhab Hanafi), bahwa
Hadis-hadis tersebut terbagi kepada tiga bagian, yaitu:
- Hadis Mutawatir
Orang yang
mengingkarinya, dikafirkan
- Hadis Masyhur.
Orang yang
mengkafirkannya, dikafirkan juga. Demikian faham kebanyakan ulama. ‘Isa Ibnu
Aban (221 H) mengatakan, bahwa yang menolak Hadist Manyhur tiada dikafirkan.
- Hadist Ahad.
Orang yang
mengingkarinya, tiada dikafirkan, hanya dipandang berdosa, karena tidak mau
mencari ketetapan tentang khabar itu.[2]
II.
Menurut para Ulama yang membagi Hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada
dua, yaitu Mutawatir dan Ahad, mereka memasukkan Hadis Mansyhur
ke dalam kelompok Hadis Ahad. Sehingga Hadis jika ditinjau dari
kwantitas perawinya terbagi menjadi dua, yaitu:
- Hadis Mutawatir
- Hadis Ahad.[3] (Lampiran 1 Skema pembagian Hadis terlampir h. 17)
Namun kali ini Penulis akan
mengkaji, Hadis berdasarkan kwantitas
perawinya (jumlah periwayatnya), yang
dibagi atas dua hal yaitu: Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad. Hadis Mutawatir
meliputi: penjelasan mengenai pengertian Hadis Mutawatir, kriterianya, dan
macam-macamnya. Sementara Hadis Ahad meliputi: penjelasan mengenai pengertian
Hadis Ahad, macam-macamnya serta kedudukannya dalam pendangan Fuqaha.
B.
HADIS MUTAWATIR
1.
Pengertian Hadis Mutawatir.
Oleh karena rawi terakhir yang
mendewankan (mengkodifikasikan) Hadis
secara tidak resmi ke dalam dewan Hadis itu, tidak hidup sezaman dengan
Rasulullah saw, maka sudah barang tentu Hadis Rasulullah yang sampai kepadanya
untuk didewankan itu melalui rawi-rawi setiap generasi yang diperlukan sebagai
sumber pemberita. Jika jumlah para sahabat yang menjadi rawi pertama suatu
Hadis itu banyak sekali, kemudian rawi dalam generasi tabi’in yang menerima
Hadis dari rawi-rawi generasi pertama (sahabat) juga banyak jumlahnya, bahkan
mungkin lebih banyak, demikian seterusnya dalam keadaan yang sama, sampai
kepada rawi-rawi yang mendewankan Hadist, maka Hadis tersebut dinamakan Hadis Mutawatir.[4]
Mutawatir, secara kebahasaan adalah isim fa’il dari kata
al-tawatur, yang berarti al-tatabu’, [5]
yaitu berturut-turut. Selain itu ada juga yang mengartikan: yang
berturut-turut, yang beriring-iring.[6]
Secara definitif Hadis Mutawatir itu
ialah:
هوَخبرٌعن
محسوس رواه عددَجم يجب في العاده احاله اجتماعهم وتواطءهم على الكذب.
Artinya:
“Suatu Hadis hasil tanggapan dari
panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut adat
kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.” [7]
Menurut istilah Ulama Hadis, Mutawatir
berarti:
ما ر وا ه عد د كثير تحيل العا ده تو ا طو هم علي ا لكذ ب
Artinya:
“Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak yang
mustahil menurut adat bahwa mereka sepakat untuk berbuat dusta”.[8]
Dari
beberapa pendapat diatas dapatlah dikatakan bahwa Hadis Mutawatir
ialah suatu Hadis yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad
hingga akhirnya, tidak dapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan. Tidak
dapat dikategorikan dalam Hadis Mutawatir, yaitu segala berita yang
diriwayatkan dengan tidak bersandarkan pancaindera, seperti meriwayatkan
tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala
berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk
bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
2.
Kreteria Hadis Mutawatir
Dengan
melihat kepada pengertian istilah Hadis Mutawatir, apabila telah memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
- Hadist itu diperoleh dari Nabi atas dasar pancaindera yang yakin. Maksudnya, bahwa Perawi dalam memperoleh Hadis Nabi, haruslah benar-benar dari hasil pendengaran atau penglihatan sendiri. Jadi bukanlah atas dasar pemikiran, atau perkiraan, atau hasil istimbath dari suatu dalil dengan dalil yang lain.[9] Seperti saya dengar, saya lihat bukan kalimat saya pikir, saya kira dan lain-lain.
- Bilangan perawinya, dilihat dari segi banyaknya, telah mencapai jumlah yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Dengan demikian, walaupun suatu berita telah memfaidahkan yakin tetapi tidak diriwayatkan oleh orang banyak, maka tidaklah dapat dikategorikan sebagai Hadis Mutawatir.[10] Sekurang-kurangnya menurut sebahagian ulama Hadis,
adalah
sepuluh orang. Namun, ada yang berpendapat minimal empat orang dalam setiap tabaqat,
sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu al-Thayyib, karena dianalogikan kepada
saksi dalam qadzf, ada yang mengharuskan lima orang, dianalogikan kepada
jumlah nabi yang memperoleh gelar Ulul Azmi, ada yang mengharuskan 20
orang, karena diqiyaskan kepada Alquran surat 8, Al-Anfal: 65, dan bahkan ada
yang mensyaratkan minimal 40 orang, karena diqiyaskan kepada Alquran surat 8,
Al-Anfal: 64. Penentuan jumlah tersebut sebenarnya adalah relatif, karena yang menjadi tujuan utamanya adalah
terpenuhinya syarat mustahilnya mereka untuk bersepakat melakukan berdusta atas berita yang mereka riwayatkan.[11].
Namun yang jelas bahwa Hadis ini adalah Hadis yang tidak mungkin para
periwayatnya melakukan dusta.
- Ada keseimbangan jumlah perawi antara thabaqah pertama sekitar 10 orang, maka pada thabaqah lainnya juga harus sekitar 10 orang. Bila thabaqah pertama misalnya 10 orang, lalu thabaqah kedua 12 orang, kemudian di thabaqah lainnya sekitar 2 orang saja, ataupun sebaliknya, maka Hadist yang demikian ini tidak termasuk Mutawatir.[12]
- Jumlah tersebut harus terdapat pada setiap lapisan atau tingkatan sanad.[13]
3.
Macam-Macam Hadis Mutawatir
Hadis
Mutawatir ini menurut para ahli Ushul
Hadis terbagi atas:
- Mutawatir Lafzhi
- Mutawatir Maknawi [14]
a.
Hadis Mutawatir Lafzhi ialah:
مَا تَوَاتَرَ لفظه
ومَعْنَا هُ
Artinya:
“Hadis yang mutawatir lafaz dan
maknanya” [15]
Yaitu,
Hadis yang diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi dengan susunan redaksi dan
semua maknanya sama. Contoh Hadis Mutawatir Lafzhi adalah:
قال
رسول ا لله صلعم : من كذب علىّ متعمّدًا فليتبواءمقعدَهُ منَ النا رِ.
Artinya:
“Barangsiapa
yang berbuat dusta terhadapku dengan sengaja, maka berarti ia menyediakan
tempatnya di neraka”.[16]
(Lampiran 2, h. 18)
Contoh lain Hadis Mutawatir Lafzhi :
Hadis yang menerangkan tentang terbelahnya rembulan, atau yang membangun Mesjid
karena Allah, atau mengenai syafa’at, atau cerita tentang korma yang merintih,
atau tentang keluarnya air dari jari-jari beliau, atau dikembalikannnya mata Qatadah, dan mengenai pemberian makan
pasukan besar dengan perbekalan terbatas.[17]
Diantara yang berpendapat seperti itu termasuk
Imam As-Suyuthi[18]
dalam Al-Azhar al-Mutanatsirat fi al-Akhbar al-Mutawatirat.[19]
b.
Hadis Mutawatir Maknawi
ما تواترمعنا ه د ون لفظهِ
Artinya:
“Hadist yang mutawatir maknanya saja, tidak pada lafaznya”.[20]
Hadis mutawatir Maknawi ialah: yang
perawinya banyak, tetapi susunan redaksinya berlainan, yang pada prinsipnya
terdapat persesuaian. Adapun Mutawatir Maknawi dalam riwayatnya jelas tidak
diisyaratkan adanya kecocokan lafaz. Jadi cukup berupa penyampaian makna,
sekalipun riwayat berbeda-beda dari banyak orang yang menurut pengalaman
mustahil berkomplot untuk berdusta. Hal itu banyak sekali terjadi dan susah
dipungkiri oleh siapapun. Misalnya beberapa Hadis yang menerangkan perlunya
mengangkat tangan pada waktu berdo’a. oleh As-Suyuthi hal itu dihimpun dalam
satu zuz.[21]
مارَ فع صلى ا للهُ عليه و سلّم يد يه حتى رو ى بيا ضُ ا بطَيه
فى شيءمن د عا ىه ا لا فى الاِستسقاءِ.متفق عليه
Artinya:
“Konon Nabi Muhammad saw tidak
mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doa beliau, selain dalam doa sholat
Istisqa’. Dan beliau mengangkat tanggannya, hingga nampak putik-putih
ketiaknya”. (Riwayat Bukhory-Muslim).[22]
C. HADIST AHAD
a. Pengertian Hadis Ahad
Kata ahad berarti “satu”. Khabar al-Wāhid
adalah kabar yang diriwayatkan oleh satu orang.[23]
Sedangkan menurut istilah Ilmu Hadis, Hadis Ahad berarti :
هو ما لم يجمع
شروط المتواتر.
Artinya:
“Hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir”.[24]
Jumlah
rawi-rawi dalam thabaqat (lapisan) pertama, kedua dan ketiga dan seterusnya
pada Hadis Ahad itu, mungkin terdiri dari tiga orang atau lebih, dua orang atau
seorang. Para Muhaddisin memberikan
nama-nama tertentu bagi Hadis Ahad mengingat banyak sedikitnya rawi-rawi yang
berada pada thabaqat dengan Hadis Masyhur, Hadis ‘Aziz dan Hadis Gharib.[25]
b. Macam-macam Hadis Ahad
Sesuai
keterangan para Muhaddisin diatas maka jenis-jenis Hadis Ahad terbagi kepada tiga
macam, yaitu: Masyhur, ‘Aziz dan Gharib.
1.
Hadis
Masyhur.
Kata مشهوْ رٌ berarti
ُمنْتَشِرٌ , yakni
sesuatu yang sudah tersebar atau sudah populer [26]
Dari segi istilah Ilmu Hadis
adalah:
مَا رواه ثلا ثة – في كل طبقة – ما لم يبلغ حدّ التواتر
Artinya:
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang
perawi atau lebih, pada setiap tingkatan
sanad, selama tidak sampai kepada tingkat Mutawatir”.[27]
Hukum Hadis Masyhur tidak ada hubungannnya
dengan shahih atau, tidaknya suatu hadis, karena di antara Hadis Masyhur
terdapat hadis yang mempunyai status Shahih, Hasan atau Dha’if dan bahkan ada
yang Maudhu’. Akan tetapi, apabila suatu hadis masyhur tersebut berstatus
shahih, maka Hadis masyhur tersebut hukumnya lebih kuat daripada Hadis ‘Aziz
dan Gharib.[28]
Apabila
dilihat dari segi di kalangan mana Hadis tersebut menjadi Masyhur (populer),
maka Hadis Mansyhur dapat dibedakan
kepada:
1.
Hadis
Masyhur di kalangan Ulama Hadis saja.
2.
Hadis
Masyhur di kalangan Ulama Hadis dan Ulama lainnya
3.
Hadis
Masyhur di kalangan Ulama yang bukan Ulama Hadis (misalnya Ulama Fiqih, Ulama
Ushul, dan sebagainya).
4.
Hadis
Masyhur di kalangan masyarakat awam.[29]
Berikut
ini dikemukakan beberapa contoh:
1.
Contoh Hadis Masyhur di kalangan Ulama Hadis saja.[30]
Artinya:
“Bahwa Nabi saw melakukan qunut
selama sebulan sesudah ruku’,
Untuk mendo’akan keluarga Ri’il
dan Dzakwan.” [31](Mutafakum
Alaih
dari anas Ibnu Malik)
2.
Contoh Hadis Masyhur di kalangan Ulama Hadis dan Ulama lainnya:[32]
Artinya:
“Rasulullah bersabda: “Yang
dimaksud dengan orang Islam (Muslim) ialah orang yang tidak mengganggu
orang-orang Islam lainnya, baik dengan lidahnya maupun dengan tangannya, dan
yang dimaksud dengan orang yang berhijrah (Muhajir) adalah orang yang pindah
dari apa yang dilarang oleh Allah”.(Mutafakum Alaih).
Hadis
ini, juga termasuk masyhur di kalangan masyarakat awam.
3.
Contoh Hadis Masyhur di kalangan Ulama Fiqih saja.[33]
Artinya:
“ Perbuatan halal yang dimurkai
Allah adalah thalaq Hadis ini, di
kalangan
Ulama non –fiqih tidaklah masyhur, bahkan ada yang mendha’ifkannya”.
4. Contoh Hadis Masyhur di kalangan
Ulama Ushul Fiqih saja.[34]
Artinya:
“Diangkat (tidak dituntut dari
umatku terhadap perbuatan yang dilakukan
karena kesalahan (tidak sengaja), karena lupa dan karena terpaksa”.
5.
Contoh riwayat yang Masyhur di kalangan ulama sufi.[35]
Artinya:
“Barang siapa yang kenal akan dirinya,
maka sungguh dia kenal akan Tuhannya”.
6. Contoh riwayat yang dianggap
sebagai hadis Masyhur oleh sebagian Ulama/Muballigh dan masyarakat awam.[36]
Artinya:
“Bekerjalah untuk duniamu
seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu
seakan-akan kamu akan mati besok pagi”.
2.
Hadis
‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa adalah shifah
musyabbahat dari kata ‘azza – ya ’izzu yang berarti qalla dan
nadara, yaitu “sedikit” dan “jarang”; atau berasal dari kata ’azza –
ya ’azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu “kuat” dan “sangat”.[37]
Menurut istilah Ilmu Hadis, ’Aziz
berarti:
أن لا يقبل رواته
عن اثنين في جميع طبقا ت السند .
Artinya:
“Bahwa tidak kurang perawinya dari dua
orang pada seluruh tingkatan sanad”.
Adapun pengertian istilahnya, kalangan ulama
berpendapat sebagai berikut:
1.
Sebahagian
ulama menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan
Hadis Aziz ialah Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang.
Maksudnya, sanad Hadis tersebut pada thabaqah petama sampai terakhir terdiri
dari dua orang.
Terhadap
defnisi ini, Ibnu Hibban berkomentar, bahwa Hadis yang sanadnya pada setiap
thabaqah terdiri dari dua orang, sangat sulit ditemukan. Secara teori, memang
dimungkinkan adanya, tetapi secara fakta sulit dicarinya. Pendapat Hibban ini
dibenarkan oleh Ibnu Hajar.[38]
2.
Sebahagian
ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan Hadis Aziz adalah Hadis yang
diriwayatkan oleh dua orang pada sebahagian thabaqahnya dan pada thabaqah
lainnya ada yang lebih dari dua orang.[39]
Berdasarkan pengertian yang yang kedua ini, maka dapat saja terjadi suatu
Hadis tertentu di satu pihak dapat disebut Hadis Aziz dan dilain pihak dapat
disebut sebagai Masyhur. Contohnya:
: لا يؤمن أحدكم
حتى أكون أحبّ اليه من والده ولده
Artinya:
“Tidak
(sesungguhnya) beriman salah seorang dari kamu, sehingga adalah aku (nabi) lebih tercinta kepadanya daripada
ia (mencintai) bapaknya dan anaknya”.
Hadis tersebut di atas diriwayatkan oleh
Bukhori dan Muslim, dengan sanad-sanad yang tidak sama: dari jalan Anas dan Abi
Hurairah. Susunan sanad dari dua jalan.[40]
3. Hadis
Gharib
Menurut
bahasa, kata gharib adalah shifah musyabbahat yang berarti al- munfarid
atau al- ba’id ‘an aqaribihi, yaitu “yang menyendiri” atau jauh dari
kerabatnya”. [41]
Gharib menurut istilah Ilmu Hadis:
هو ما ينفرد
بروايته راو واحد.
Artinya:
“Yaitu: Hadis yang menyendiri seorang
perawi dalam periwayatannya”[42]
Jadi yang dimaksud dengan Hadis Gharib ialah
penyendirian rawi dalam meriwayatkan Hadis itu, dapat mengenai personalianya,
yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga
dapat mengenai sifat atau keadaan si rawi . Artinya sifat atau keadaaan
rawi berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga
meriwayatkan hadis tersebut.
Ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi
seperti tertera di atas, maka hadis Gharib itu terbagi kepada dua macam. Yaitu Gharib-Mutlak
dan Gharib-Nisbi
a. Gharib Muthlak
Gharib Muthlak yaitu apabila keghariban perawi yang
seseorang itu terjadi pada ashal sanad (Tabi’i) atau Tabi’it-tabi’in, atau
dapat juga pada seluruh rawinya di setiap thabaqah.
Contoh Hadis Gharib Mutlak, yang
hampir tiap thabaqahnya, rawinya
sendirian.
قال ا لنبىّ صلى الله عليهِ و
سلمَ:الا يما نُ بضعٌ و سبعو ن شعبهً والحياء شعبه منَ الا ء يما نِِِ.
Artinya:
“Nabi saw, bersabda: “Iman itu
berbilang 70 cabang. Dan rasa malu, merupakan salah satu cabang iman.”[43]
Hadis ini tersebut di
atas hampir seluruh rawinya menyendiri, ialah hadis Bukhari-Muslim.(Lihat:
Lampiran III, h. 19)
b. Gharif Nisbi
Gharib Nisbi, yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada asal sanad (perawi pada
tingkat sahabat), namun dipertengahan sanadnya terdapat tingkat yang perawinya
hanya sendiri (satu orang ).[44]
Contoh Hadis Gharib Nisbi, yaitu:
ما رواه ما لك عن الزهري عن أنس رضى الله عنه أنّ النبي صلى الله عليه
و سلّم دخل مكة وعلى رأسه المغفر. أخرجه الشيخان {
Artinya:
“Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari
al- Zuhri dari anas r.a., bahwasanya
Nabi SAW memasuki kota Mekkah dan di
atas kepalanya terdapat al-mighfar (alat penutup kepala)”. (HR Bukhari dan
Muslim).[45]
Pada Hadis di atas, hanya Malik sendiri yang
menerima Hadis tersebut dari Al-Zuhri. [46]
c.
Hadis Ahad Kedudukannya dalam Pandangan Fuqaha
Hadis Ahad yang
maqbul {antara lain yang berkualitas Shahih[47]).
apabila berhubungan dengan masalah
hukum, maka menurut jumhur Ulama, wajib diamalkan.
Untuk masalah yang berkaitan dengan
soal aqidah, maka Ulama berselisih pendapat. Diantara mereka ada yang
menyatakan:
- Bahwa Hadis Ahad dapat saja digunakan sebagai dalil untuk menetapkan masalah Aqidah. Alasannya, karena Hadis Ahad yang Shahih, memfaidahkan ilmu. Dan yang yang memfaedahkan ilmu, wajib diamalkan. Karena wajib diamalkan, maka antara yang soal aqidah dengan dengan soal yang bukan aqidah, tidaklah dapat dibedakan.
- Pendapat kedua, menyatakan Hadis Ahad, walaupun memenuhi syarat, tetap tidak dapat dijadikan landasan (dalil) pokok terhadap penetapan aqidah. Alasannya, Hadis Ahad berstatus memfaedahkan dhanny. Sedangkan soal aqidah adalah soal keyakinan. Maka, yang yakin tak dapat didasarkan dengan petunjuk yang masih dhanny atau dugaan.[48]
Selain dua pendapat diatas, ada golongan yang agak
moderat yang menyatakan bahwa Hadis Ahad yang telah memenuhi syarat, dapat saja
dijadikan hujjah untuk masalah aqidah,
sepanjang Hadis tersebut tidak bertentangan Alquran dan Hadis-hadis lain yang
lebih kuat, serta tidak bertentangan dengan akal yang sejahtera.
Jumhur Ulama di kalangan Ulama Ushul,
seperti Asy- Syafi’i dan kebanyakan para Ulama Hadis memandang bahwa
diterimanya Hadis tersebut jika keberadaan sanad-nya shahih. Abu Hasan
al-Kharakhie dari kalangan Hanafiyah dan kebanyakan ulama Mutaakhirin
dari kalangan Hanafiyah menolak hadis tersebut dan tidak beramal dengannya.
Orang-orang
yang mengatakan bahwa beramal dengan Hadis Ahad tersebut meliputi beberapa
unsur, antara lain:
1.
Harus
mengetahui sebab sebab turunnya suatu hadis secara muthlak, baik dari segi
perbedaan dalam konteks umum atau tidak.
2.
Menurut
kesepakatan para sahabat beramal dengan Hadis Ahad selama dalam pembahasan
universal. Para sahabat setelah terjadi perbedaan pendapat antara mereka dalam
hal wajib mandi, jika bertemu dua
kemaluan tanpa keluar mani. Mereka meruju’ kepada Hadis ’Aisyah r.a.: Apabila
bertemu dua kemaluan, maka ia wajib mandi baik dalam keadaan keluar ataupun
tidak, adapun dasarnya: “saya (’Aisyah) dan Rasulullah kami mandi bersama”.
3.
Hal-hal
yang rasional. Artinya keberadaan perawi dalam sebuah hadis harus mempunyai
kreteria ’adil dan shiqhat [49]
Hal ini mesti diriwayatkan terhadap apa yang memungkinkan kebenaran tentang
sasaran suatu hadis tersebut. Kebiasaan demikian menunjukkan kepada kebenaran
yang bersifat dhanni, maka itu merupakan pembenaran yang muthlak, seperti
berita yang menyangkut hal-hal yang umum. Ini menunjukkan bahwa Qiyas itu
diterima di dalam Hadis Ahad, namun Qiyas lebih lemah dari Khabar Wahid. Mereka
menerima Khabar Wahid lebih utama dari Qiyas.
Eksistensi
perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama banyak terkait pada hal-hal
yang bersifat furu’, khususnya pada bab figh, seperti : perkara wudhu’
dengan menyentuh kemaluan, persoalan al-Fatihah dibaca dengan jahar
(terang) pada waktu shalat yang mesti jahar, mengangkat kedua tangan
ketika ruku’ dan sebagainya. Adapun pendapat Muhaddisin Hadis Ahad baru dapat diterima apabila berkwalitas
Shahih.
D. KESIMPULAN
- Hadis Mutawatir ialah suatu Hadis yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya. Tidak dapat dikategorikan dalam Hadis Mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandarkan pancaindera, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
- Para Ulama yang membagi Hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada dua, yaitu Mutawatir dan Ahad, mereka memasukkan Hadis Mansyhur ke dalam kelompok Hadis Ahad. Sehingga Hadis jika ditinjau dari kwantitas perawinya terbagi menjadi dua, yaitu: Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.
·
Hadis
Ahad adalah Hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat
pada Hadis Mutawatir. Sedangkan Jumhur Ulama Hadis mengelompokkan Hadis Masyhur
kepada Hadis Ahad.
·
Di
kalangan Ulama Hanafiyah. Hadis Ahad hukumnya adalah zhanni, yaitu mendekati
yakin sehingga wajib beramal dengannya. Akan tetapi karena kedudukannya tidak
sampai kepada derajat Mutawatir, maka tidaklah dihukumkan kafir bagi orang yang
menolaknya atau tidak beramal dengannya.
·
Menyangkut
hal-hal yang bersifat umum, Imam asy- Syafi’I dan Para Ulama Ushul berpendapat
bahwa boleh beramal selama sanad-nya shahih
15
BIBLIOGRAFI
Baharuddin
dan Buyung Ali Sihombing. Metode Studi Islam. Bandung: Cita Pustaka
Media, 2005.
Hassan,
A. Qadir. Ilmu Mushthalah Hadits, cet.III. Bandung: CV Diponegoro, 1987
Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadist.
Bandung: Angkasa, 1987 .
Al-Khatib, M. ‘Ajjaj. Ushul al-Hadits. Beirut: Dar al-Fikr,
1409 H/1989 M.
Rahman,
Fatchur. Ikhtisar Mushthalahul Hadits. Bandung: PT Alma’arif, 1974.
As-Shalih,
Subhi. Penerjemah: Tim Pustaka Pirdaus, Membahas
Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Ash-Shiddieqy,
Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jilid I. Jakarta: Bulan
Bintang, 1981.
Al-
Thahhan, Mahmud. Taisir Musthalah al- Hadits. Beirut: Dār al-Qur’an
al-Karim, 1399 H/1979 M.
Yuslem, Nawir.
Ulumul Hadis. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1997.
Zahri,
Mustafa. Kunci Memahami Mustalahul Hadis. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995.
[3]Mahmud
al-Thahhan, Tafsir Mushthalah al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Quran al-Karim,
1399H/1979), h. 18.
2
[47] Menurut
ta’rif muhaddisitsin tersebut, bahwa suatu Hadis dapat dinilai shahih, apabila
telah memenuhi lima syarat: 1. Rawinya bersifat adil, 2. Sempurna ingatan, 3. Sanadnya tiada putus, 4. Hadis itu tidak ber’illat dan 5. Tiada janggal . Lihat : Fatchur Rahman, Ikhtisar
Mushthalahul Hadits, h. 118.
[49] Shiqhat
artinya : macam, bentuk, maksud di sini, lafazh-lafazh. Sinqat isnad ialah
“lafazh-lafazh yang ada dalam sanad yang digunakan oleh rawi-rawi waktu
menyampaikan Hadis atau Riwayat”. Shinqat Isnad mempunyai martabat. Ada 8
martabat. Diawali martabat pertama (سَمِعْتُ
):
saya telah
mendengar, dll dan diakhiri martabat ke
delapan (عن): dari, dari pada, dll.
Lihat : A. Qadir Hasan, Ilmu Musthalah Hadits, h. 351-357.
14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar