Makalah
A. PENDAHULUAN
Al-Jam’iyatul Washliyah adalah
sebuah organisasi Islam yang bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan.
Organisasi ini sangat aktif menyiarkan agama Islam melalui pendidikan, termasuk
madrasah dan sekolah, untuk meningkatkan pendidikan masyarakat. Organisasi ini
lahir pada tanggal 30 November 1930, sebelum Indonesia merdeka. Pada awalnya
organisasi ini kurang berkembang, namun setelah Indonesia
merdeka perkembangannya sangat pesat hampir menjangkau seluruh pelosok
kepulauan di Indonesia.
Semua keberhasilan organisasi ini
merupakan hasil aktivitas Al-Jam’iyatul Washliyah yang digerakkan dengan penuh
semangat dan keuletan oleh pelajar-pelajar Maktab Islamiyah Tapanuli, suatu
pendidikan agama di Medan.
Kemajuan Al-Jam’iyatul Washliyah pada masa selanjutnya adalah hasil jerih payah
dan perjuangan pada masa lalu.
B. LATAR BELAKANG
Sejak perkebunan karet dan teh
dibuka di Sumatera Timur pada abad ke-19, daerah ini menjadi daerah migrasi. Para migran ini dapat dibagi atas 2 kelompok, yakni
bangsa asing dan pribumi. Migran asing 12,2%, sedangkan migran pribumi terdiri
dari suku jawa 52,3%; mereka ini sebagai pekerja kuli di perkebunan, suku batak
toba 4,4%, Mandailing 3,5%, Minangkabau 3,0%, suku lainnya 1,0% - 2,0% dan
prnduduk asli 34%[1].
Sekalipun jumlah migran dari Mandailing dan Minangkabau tidak begitu besar bila
dibandingkan dengan migrant suku Jawa, tetapi ternyata mereka ini lebih
terampil dan mempunyai bekal pengetahuan sekurang-kurangnya untuk hidup mereka sendiri,
sehingga pengaruh mereka lebih menonjol daripada penduduk asli.
Adapun motivasi migran ini semuanya
untuk mencari nafkah di tempat baru, karena daerah Sumatera Timur merupakan
daerah yang lebih membuka kemungkinan bagi mereka dalam mencari nafkah hidup. Para migran tersebut di atas ada yang berperan sebagai
ulama. Pada mulanya mereka ini mengajar terbatas pada kalangan sendiri,
kemudian meluas pada penduduk setempat.
Pada tahun 1918 di Medan berdiri sebuah Maktab/Madrasah yang
diberi nama Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT)[2].
Maktab ini didirikan atas inisiatif masyarakat Mandailing (Tapanuli Selatan)
yang bertempat tinggal di Medan.
Maktab ini merupakan lembaga pendidikan agama Islam yang bersifar formal, yang
pertama di Medan.
Sebelum ini lembaga pendidikan hanya bersifat non-formal[3].
Sistem belajar di MIT hampir sama
dengan sistem belajar di pesantren yakni lebih mengutamakan perkembangan daya
ingatan karena setiap pelajaran harus dihafal[4].
Setelah MIT berjalan 10 tahun yaitu pada tahun 1928 murid-murid MIT dari kelas
tertinggi membentuk sebuah perhimpunan pelajar yang disebut “Debating Club” dipimpin oleh
Abdurrahman Syihab[5]. Tujuan
perhimpunan pelajar ini mula-mula mengadakan diskusi mengenai
pelajaran-pelajaran saja. Kemudian juga membicarakan masalah sosial bahkan
mengenai masalah adanya paham baru yang muncul di kalangan masyarakat, yaitu
paham Muhammadiyah yang berdiri di Medan
pada tahun 1928. Pada umumnya masyarakat di Sumatera Timur bermazhab Syafi’i,
tetapi muncul golongan masyarakat yang tidak terikat pada salah satu mazhab,
yang dikenal dengan Kaum Muda. Golongan ini hanya memakai sumber hukum dari
Alquran dan Hadis. Mereka menolak taqlid (mengikuti
pendapat dari ulama fiqih)[6].
“Debating
Club” ingin berperanserta untuk menghadapi masalah tersebut di atas dan
mencoba menjadi penengah. Oleh karena itu mereka memperluas bentuk
perhimpunannya, dengan melebur dirinya menjadi sebuah organisasi yang disebut
Al-Jam’iyatul Washliyah. Organisasi ini bermazhab Syafi’i[7],
berdiri tahun 1930. Sekalipun Al-Jam’iyatul Washliyah berpegang pada mazhab
syafi’i, namun bermazhab bukan penghambat untuk maju. Hal ini tercermin dari
aktivitas organisasi yang mengutamakan pendidikan, baik formal yang membuka
madrasah dan sekolah, maupun non-formal melalui tabligh. Organisasi ini aktif terutama di Sumatera Utara dalam
memasukkan orang-orang Batak menjadi Islam dan dipandang sebagai organisasi
yang mampu bersaing dengan kalangan missionaries Kristen di daerah tersebut[8].
Jika melihat aktivitas Al-Jam’iyatul
Washliyah seperti diuraikan di atas, walaupun ia berpegang teguh dan mengikuti
salah satu mazhab (syafi’i), namun juga mau menerima model pendidikan Barat
agar dapat mengikuti perkembangan zaman.
C. SIMBUL AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Bulan dan Lima Bintang
1. Bulan Terbit
Artinya:
Mengisyaratkan bulan purnama raya yang selagi memancarkan cahayanya di alam
dunia ini yaitu peringatan kepada sekalian alam ini bahwa agama Islam akan
berkembang meratai seluruh penjuru alam
2. Lima Bintang Bersatu
Artinya:
Sebagai sinar yang merupakan sendi kebenaran agama Islam dengan rukun yang lima, terutama sekali sembahyang yang lima waktu, sebagai fondamen yang kokoh
menyinari rohani dan jasmani untuk menunaikan perintah Ilahi mencapai kemuliaan
dunia dan akhirat.
3. Warna Putih
Arinya:
Keimanan orang yang mukmin itu, sebagai cahaya bulan yang baru terbit: warnanya
bersinarkan cahaya yang terang benderang; dan apa bila ia timbul mulai
memancarkan cahayanya meskipun hujan dan awan serta angin badai yang keras,
cahayanya itu tidak akan lenyap tetap bersinar sehingga sampai kepada saat yang
penghabisan.
4. Dasar yang Berwarna Hijau
Artinya:
Tiap-tiap orang mukmin itu wajib suci; hati, rohani, jasmani serta budi
pekertinya; lemah lembut mencapai kemuliaan dan perdamaian yang kekal dimuka
bumi ini.
Adakah
tidak engkau lihat sesungguhnya Allah telah menurunkan dari langit akan air,
maka jadilah bumi hijau?
5. Cahaya Bulan dan Bintang
Artinya:
Agama Islam dan kaum Muslimin, sebagai pedoman petunjuk keselamatan di daerah
dan di lautan, dengan jalan lemah lembut; cahaya mana? Ialah cahaya yang tak
dapat dilindungi dan ditutupi oleh apapun juga. Ibarat air yang berjalan
meratai bumi, lambat laun ia akan meratai bumi seluruhnya.
Dan
ialah Allah yang telah menjadikan bagi kamu akan beberapa bintang supaya kamu
dapat petunjuk dalam kegelapan darat dan laut[9].
Visi Al-Jam’iyatul Washliayh adalah cara
pandang yang jauh ke depan organisasi ini harus dibawa agar dapat eksis,
antisipatif dan inovatif. Sedangkan misi
organisasi ini adalah (1) untuk meningkatkan iman, ilmu dan amal. (2)
menjalin kerjasama dengan setiap organisasi Islam untuk memajukan Islam. (3)
melindungi anggota dimanapun ia berada dari keterbelakangan di segala bidang,
gangguan dan ancaman. (4) memberikan kontribusi dalam upaya menciptakan
ketertiban bangsa dan umat Islam dengan damai, adil dan sejahtera. (5)
menyelenggarakan koordinasi dan kerjasama dengan sesama warga Al-Washliyah dan
dengan organisasi lainya termasuk pemerintah[10].
Tujuannya adalah untuk
melaksanakan tuntutan agama Islam sekuat tenaga.
Para pendiri Al-Jam’iyatul
Washliyah, mereka dikenal sebagai orang-orang yang bekerja keras, wara’,
memiliki pengetahuan Islam secara mendalam dan memiliki semangat juang yang
tinggi serta keikhlasan rela berkorban sebagai mana dianjurkan dalam ayat
Alquran surat
ash-Shaff: 11. nama-nama para pendiri tersebut adalah: (1) H. Abdurrahman
Syihab, (2) H. Muhammad Arsyad Thalib Lubis, (3) H. Ismail Banda, (4) H. Adnan
Nur Lubis[11].
D. ANGGARAN
DASAR DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
v
ANGGARAN DASAR AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Fasal 1. NAMA DAN KEDUDUKAN
Fasal 2. AZAS
Fasal 3. TUJUAN
Fasal 4. USAHA
Fasal 5. ANGGOTA
Fasal 6. HAK SUARA
Fasal 7. BERHENTI JADI ANGGOTA
Fasal 8. SUSUNAN PIMPINAN
Fasal 9. MUKTAMAR
Fasal 10. CABANG DAN RANTING
Fasal 11. PENGHASILAN
Fasal 12. MENGUBAH ANGGARAN DASAR
Fasal 13. ANGGARAN RUMAH TANGGA
Fasal 14. HAK PENGURUS BESAR
Fasal 15. MEMBUBARKAN
Fasal 16. PUSAKA.
v
ANGGARAN RUMAH TANGGA AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Fasal 1. ANGGOTA DAN KEWAJIBAN
Fasal 2. PENGURUS BESAR DAN DEWAN FATWA
Fasal 3. AL-WASHLIYAH PUTRI
AL-WASHLIYAH PEMUDA
Fasal 4. PIMPINAN TERTINGGI
Fasal 5. MAJELIS PENGURUS BESAR
Fasal 6. PERATURAN TIAP-TIAP MAJELIS
Fasal 7. PIMPINAN
Fasal 8. KEWAJIBAN PIMPINAN
Fasal 9. RANTING
Fasal 10. MUKTAMAR
Fasal 11. MUSYAWARAT
PENURUP[12]
E. AWAL
BERDIRINYA AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Berdirinya Al-Jam’iyatul Washliyah
merupakan perluasan dari sebuah perkumpulan pelajar. Pada awal pertumbuhannya
ia banyak mengalami rintangan, terutama dalam hal keuangan dan penataan
organisasi. Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT) merupakan sebuah lembaga pendidikan
agama yang didirikan pada tahun 1918 oleh orang-orang Tapanuli Selatan. MIT
sebagai madrasah dianggap modern pada zamannya, namun masih tetap mempunyai
cirri-ciri tradisional. Pelajar-pelajar MIT inilah yang kemudian mendirikan
suatu kelompok diskusi yang diberi nama “Debating Club” pada tahun 1928[13].
Perkumpulan pelajar merupakan hal
yang umum di kalangan pelajar-pelajar sekolah umum. Di Medan, misalnya saat itu
terdapat perkumpulan pemuda Jong Islamieten Bond (JIB) cabang Medan, yang
didirikan oleh pelajar-pelajar Indonesia yang belajar di sekolah Belanda pada
tahun 1926[14]. Tetapi
pelajar-pelajar MIT tidak bergabung dalam perkumpulan ini, karena belum mampu
berkomunikasi dalam bahasa Belanda, yang
sering kali dipergunakan JIB.
Debating Club dalam perkembangannya
bukan hanya mengadakan diskusi pelajaran, tetapi juga membahas persoalan di
masyarakat, terutama mengenai perbedaan faham di antara golongan-golongan. Agar
bisa bergerak lebih luas, mereka bermaksud mendirikan sebuah organisasi Islam,
yang kemudian berhasil mereka dirikan setelah mengadakan pertemuan sebanyak
tiga kali membahas hal tersebut, di ujung tahun 1930. Pemberian nama organisasi
tersebut mereka serahkan kepada guru kepala MIT, Syekh Muhammad Yunus[15].
Beliau memberikan nama perhimpunan ini, Al-Jam’iyatul Washliyah (Perhimpunan
yang menghubungkan dan Mempertalikan). Kemudian para pelajar membentuk panitia
persiapan untuk merumuskan dan menyusun Anggaran Dasar. Duduk sebagai ketua dan
sekretaris dalam panitia tersebut adalah Ismail Banda dan Arsyad Talib Lubis. Sehingga
pada tanggal 30 November 1930 Al-Jam’iyatul Washliyah secara resmi berdiri[16].
Duduk sebagai pengurus I adalah
Ismail Banda (Ketua), Abdurrahman Syihab (Wakil Ketua), Arsyad Talib Lubis
(Sekretaris) dan Syekh Muhammad Yunus (Penasehat). Anggota pengurus seluruhnya
berasal dari suku Tapanuli Selatan. Dalam pembentukan pengurus disepakati
pergantian pengurus setiap enam bulan sekali[17].
Sebenarnya masa kerja pengurus untuk satu periode ini relatif terlalu singkat,
tetapi organisasi ini ingin lebih cepat mengadakan evaluasi kerja. Ternyata
dalam periode pertama organisasi ini tidak dapat bergerak banyak, hanya
maengadakan tabligh yang bersifat
insidentil saja.
Setelah enam bulan kepengurusan
pertama berjalan, sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan, maka
Al-Jam’iyatul washliyah membentuk pengurus baru sebagai berikut:
Ketua I : H. Ilyas (qadhi), (suku Mandailing)
Ketua II : Ismail Banda, (suku Mandailing)
Penulis I : H. Mahmud (qadhi) (suku Mandailing)
Penulis II : Adnan Nur, (suku Mandailing)
Bendahara : H.M. Ya’cub, (suku Mandailing)
Pembantu : Abdurrahman Syihab, (suku Mandailing)
Penasehat : Syekh Hasan Maksum, (mufti) (suku Melayu)
Syekh Muhammad Junus, (suku Mandailing)[18]
Pada periode kedua ini muncul ide
baru untuk menggerakkan Al-Jam’iyatul washliyah dengan mengikut sertakan qadhi
(ulama kerajaan). Qadhi mempunyai pengaruh atas Sultan, kare ia adalah aparat
kerajaan dan mera bermazhab sama. Pada periode ini Al-Jam’iyatul washliyah
diminta oleh masyarakat Firdaus dekat Rampah untuk membuka madrasah. Madrasah
tersebut diberi nama Hasaniyah. Nama ini dipakai karena nama Syekh Hasan Maksum
sangat terkenal di Sumatera Timur.
Pada akhir tahun 1931, Al-Jam’iyatul
washliyah kembali mengadakan pergantian pengurus untuk periode ketiga. Dalam
periode III ini, Ismail Banda mantan ketua Al-Jam’iyatul washliyah pada periode
I, berangkat ke Makkah untuk melanjutkan belajarnya. Mantan penulis II Adnan
Nur, masuk menjadi anggota Gerindo (gerakan Indonesia). Oleh karena kedua orang
tersebut mempunyai pengalaman lebih banyak dalam bidang oraganisasi, maka
kepergian mereka melemahkan penataan kegiatan Al-Jam’iyatul washliyah. Pada
tahun 1932 Al-Jam’iyatul washliyah kembali mengadakan pemilihan pengurus untuk
periode IV dengan susunan sebagai berikut:
Ketua I : T.M. Anwar (bangsawan), suku melayu.
Ketua II : Abdurrahman Syihab, suku Mandailing
Sekretaris I : Udin Syamsuddin (aktivis muda), suku Mandailing.
Sekretaris II : H. Yusuf Ahmad Lubis (qadi) suku Mandailing
Penasehat : Syekh Hasan Maksum (Imam Paduka Tuan) suku melayu
H. Ilyas (qadhi) suku Mandailing
Syekh Muhammad Yunus (Kepala MIT) suku
Mandailing[19].
Pada masa ini Al-Jam’iyatul washliyah
lebih aktif bergerak karena ada dua pendatang baru dalam kepengurusan
organisasi yakni T.M. Anwar seorang bangsawan berasal dari Tanjung Balai, ia
dikenal ramah, dermawan dan tergolong kaya. Abdurrahman Syihab mengajak T.M.
Anwar untuk turut bersama membina dan membantu Al-Jam’iyatul washliyah dengan
membiayai sewa rumah untuk kantor organisasi. Bantuan tersebut hanya setahun,
namun sangat berarti bagi organisasi ini. Dalam masa 7 tahun Al-Jam’iyatul
washliyah berpindah-pindah kantor sebanyak 10 kali. Pendatang kedua adalah Udin Syamsuddin. Dengan
dana yang kecil, sekretaris ini berusaha menata organisasi dengan baik.
Al-Jam’iyatul washliyah berhasil
membuka cabang di daerah Bedagai pada tahun 1931, di wilayah kerajaan Asahan
didirikan cabang di Tanjung Balai pada akhir tahun 1932, cabang Aek Kanopan
didirikan pada awal tahun 1933, dan membentuk berbagai ranting di sekitar kota
Medan (Kampung Baru, Titi Kuning, Sungai Kerah dan Pulau Brayan). Pada tahun
1934 menyusul di daerah Porsea, tapanuli Utara dan Simalungun, juga di daerah
Deli yakni Belawan dan Labuhan[20].
Jumlah cabang Al-Jam’iyatul washliyah terus bertambah. Oleh karena itu dirasa
perlu membentuk Pengurus Besar agar kegiatan organisasi dapat berjalan dengan
baik dan terkoordinasi.
Pada tahun 1934 seluruh cabang
Al-Jam’iyatul washliyah menghadiri rapat pembentukan Pengurus Basar, sehingga hasil
rapat tersebut menentukan kepengurusan besar; Ketua I Abdurrahman Syihab, Ketua
II Arsyad Talib Lubis, Sekretaris Udin Syamsuddin, Bendahara M. Ali.
F. AKTIVITAS AL-JAM’IYATUL WASHLIYAH
Pada tahun 1930 Al-Jam’iyatul
Washliyah menyusun beberapa majelis, namun belum dapat terlaksana. Setelah
Pengurus Besar terbentuk pada tahun 1934 organisasi ini dapat menggerakkan majelis-majelis
yang telah disusun tersebut.
Adapun majelis-majelis yang
digerakkan untuk intensifikasi kerja adalah; majelis tabligh, yaitu majelis yang mengurus kegiatan dakwa Islam dalam
bentuk ceramah; majelis tarbiyah, yaitu
majelis yang mengurus masalah pendidikan dan pengajaran; majelis studie fonds, yaitu majelis yang
mengurus beasiswa untuk pelajar-pelajar di luar negeri; majelis fatwa, yaitu majelis yang mengeluarkan
fatwa mengenai masalah sosial yang belum jelas status hukumnya bagi masyarakat;
majelis hazanatul islamiyah, yaitu
majelis yang mengurus bantuan sosial untuk anak yatim piatu dan fakir miskin;
dan majelis penyiaran Islam di daerah Toba[21].
Majelis
Tabligh, Al-Jam’iyatul Washliyah
seperti semua organisasi Islam lainnya, sangat mementingkan agar ajaran Islam
dapat dipahami oleh masyarakat dengan baik. Agar maksud ini tercapai, maka
organisasi ini memberikan dakwah dengan tabligh
dalam pendidikan non-formal. Al-Jam’iyatul Washliyah mengadakan tabligh intern, dengan tujuan untuk
meningkatkan pengetahuan para anggota dan keluarganya serta yang bukan anggota.
Pada umumnya isi tabligh intern
berpusat pada masalah fiqih seperti bersuci, shalat, puasa dan hal-hal yang
berhubungan dengan ibadah praktis. Khusus kepada para anggota pengurus
Al-Jam’iyatul Washliyah di cabang-cabang, ditambahkan penerangan mengenai
maksud dan tujuan organisasi serat langkah-langkah kebijaksanaan yang harus
diambil sesuai dengan kondisi daerah.
Tabligh
ekstern sifatnya lebih terbuka untuk
masyarakat luas, dan umumnya dilakukan pada waktu memperingati hari-hari besar
Islam, umpamanya pada perayaan Maulid, Isra’ Mi’raj, Idul Fitri dan Idul Adha. Tabligh intern lazimnya diselenggarakan
di masjid atau di madrasah, sedangkan tabligh
ektern ada yang diadakan di gedung bioskop atau lapangan terbuka, karena
mengharapkan jumlah pengunjung yang besar. Di daerah yang penduduknya belum
beragama, seperti di Porsea, Tapanuli Utara, tabligh ini diadakan lebih intensif, kadang-kadang diiringi dengan
kesenian (tarian dan gendang) di pekarangan masjid. Tabligh merupakan alat yang penting bagi organisasi ini dalam
pendidikan non-formal[22].
Madrasah,
Al-Jam’iyatul Washliyah mendirikan madrasah pertama di jalan Sinagar,
Petisah, Medan
pada tahun 1932. Banguna yang dijadikan madrasah adalah sebuah rumah yang
disewa f 8,- per bulan. Madrasah ini sudah mekakai sistem kelas, seperti
sekolah model Barat, di samping itu juga dalam kurikulumnya terdapat pelajaran
Tafsir dan Hadis, sesuai dengan madrasah modern Islam. Hal ini menunjukkan
bahwa madrasah Al-Jam’iyatul Washliyah berorientasi kepada pendidikan model
barat dan pendidikan modern Islam, kendati masih sangat sederhana[23].
Pada tanggal 28 Februari 1933 beberapa madrasah milik perseorangan
anggota di Medan
menggabungkan diri ke dalam madrasah Al-Jam’iyatul Washliyah. Madrasah-madrasah
tersebut antara lain:
1.
Madrasah kota Ma’sum, pimpinan M. Arsad Taib Lubis
2.
Madrasah Sei Kerah, pimpinan
Baharuddin Ali
3.
Madrasah kampong Sekip, pimpinan
Usman Deli
4.
Madrasah Gelugur, pimpinan
Sulaiman Taib
5.
Madrasah Tanjung Mulia, pimpinan
Suhailuddin[24]
Demikianlah madrasah-madrasah Al-Jam’iyatul Washliyah berdiri di Sumatera
Timur, baik di Medan maupun di luar kota Medan
seperti di Labuhan Deli dan Simalungun. Madrasah tersebut berdiri sebelun
maupun sesudah cabang organisasinya berdiri di tempat tersebut. Sehingga pada
tahun 1940 organisasi ini mempunyai madrasah sebanyak 242 buah dengan jumlah
murid 12.000 orang[25].
Majelis Penyiaran Islam, majelis
ini mempunyai kegiatan khusus dengan tujuan menyiarkan Islam untuk memperluas
pengetahuan tentang islam di daerah-daerah yang telah beragama Islam; kegiatan
umum dengan tugas menyiarkan Islam ke daerah non-Islam terutama di daerah Toba
(Batak Landen). Pada tanggal 5 April 1933, Al-Jam’iyatul Washliyah untuk
pertama kalinya melangkah ke Porsea dengan mengirim beberapa mubaligh
diantaranya adalah: H. Abd Qadir, H. Yusuf Ahmad Lubis, H. Hasyim dan
Abdurrahman Syihab. Kedatangan para mubaligh itu bertepatan pada bulan Syawal.
Kesempatan ini dipergunakan untuk bersilaturrahmi sambil memperhatikan keadaaan
masyarakat untuk mengetahui langkah selanjutnya dalam menyiarkan Islam di
daerah itu. Kontak pertama diadakan dengan para mubaligh di daerah itu adalah
Guru Kitab Siberani, Sutan Bengar dan Sutan Porsea[26]. Kemudian
mereka bersama-sama memberikan dakwah ke beberapa kampung selama tiga hari.
Ternyata kunjungan mereka mendapat sambutan masyarakat Islam di Porsea.
Masyarakat Batak Toba mayoritas pelbegu dan masih
kuat memegang adat. Walaupun mereka beragama Islam atau
Kristen.kepercayaan tradisional tetap masih mewarnai tingkah laku mereka dalam
kehidupan sehari-hari. Usaha yang terpenting adalah bagaimana menarik penduduk
yang belum Islam menjadi Islam. Guru Kitab sebagai seorang penduduk asli daerah
Batak Toba juga pernah menganut kepercayaan asli sangat mengenal tradisi kehidupan
masyarakat Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba, bila seorang raja menukar
agamanya, maka seluruh seluruh rakyat di kampong itu akan turut pula menukar
agamanya. Tradisi ini dimanfaatkan oleh Guru Kita dalam usahanya menggerakkan
Al-Jam’iyatul Washliyah untuk mengadakan propaganda Islam, jadi sasaran
utamanya adalah mengislamkan seorang raja adat, kegemaran masyarakat akan
kesenian jiga dimanfaatkan sebagai alat propaganda, misalnya tortor.
Dalam mengembangkan tradisi Islam Al-Jam’iyatul Washliyah mendapat
tantangan dari kepala adat Porsea. Namun sedikit demi sedekit tantang tersebut
dapat dilaluinya. Untuk mengurangi pengaruh Kristen, Al-Jam’iyatul Washliyah
memakai metode Zending dalam kegiatan sosial. Nama Zending dipakai organisasi
ini dengan menghilangkan Kristen menjadi Islam, jadi “Zending Islam”. Zending
Islam di Porsea mempunyai tugas menyaingi Zending Kristen di Tapanuli dan
berusaha menarik orang non Muslim menjadi Muslim.
Dengan keberhasilan Al-Jam’iyatul Washliyah mendirikan Zending Islam di
Porsea, maka pada Kongres Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI[27])
yang ke III tahun 1938, Al-Jam’iyatul Washliyah ditunjuk sebagai pemegang tugas
Zending Islam di Indonesia. Dengan keputusan MIAI tersebut, maka pandangan
terhadap Al-Jam’iyatul Washliyah menjadi berubah agak mengejutkan, sehingga
kehadiran Al-Jam’iyatul Washliyah mulai diperhitungkan untuk mengembangkan
ajaran Islam. Keberhasilan tersebut juga merupakan kebanggaan masyarakat Muslim
Sumatera Timur.
G. PERAN AL-WASHLIYAH DALAM MASYARAKAT
Al-Washliyah adalah salah satu
organisasi Islam yang besar dan telah banyak memberikan hal-hal terbaik buat
pembangunan bangsa Indonesia.
Tidak sedikit, dari lembaga ini terlahir tokoh-tokoh yang kharismatik dan
disegani serta telah memberikan sumbangsih pemikiran dan karya nyata. Di awal
berdirinya Al-Washliyah pada tanggal 9 Rajab 1349 H/30 November 1930 M, diawali
dengan niat perjuangan yang suci untuk mempersatukan umat yang terpecah dan
memupuk rasa tanggung jawab (sense of responsibility) terhadap keadaan yang
terjadi. Tokoh-tokoh kharismatik seperti Syeikh H. Muhammad Yunus, H. A.
Rahman Syihab, H. Ismail Muhammad Banda, H. M. Arsyad Thalib Lubis dan
lain-lain merupakan ulama-ulama yang masyhur karena ilmunya, ketauladanannya
(qudwah), dan komitmennya untuk memperbaiki moralitas umat dan memajukan
bangsa. Perjuangan mereka benar-benar didasarkan kepada cita-cita yang suci
bukan karena interest pribadi (individu) atau kelompok tertentu. Akhirnya,
mereka berhasil mewujudkan mimpinya.
Ada beberapa point yang
bisa kita renungkan untuk menghidupkan kembali ghirah perjuangan Al-Washliyah
ke depan. Paling tidak, Al-Washliyah lebih mampu lagi menunjukkan kiprah dan
karya nyatanya membenahi moralitas umat dan mengisi pembangunan bangsa ini di
berbagai bidang, yang meliputi: pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, keagamaan
dan lain-lain. Akhirnya, Al-Washliyah tidak akan lagi berada di persimpangan
jalan. Point-point itu merupakan pengejawantahan dari cita-cita the
founding fathers kita, antara lain adalah:
Pertama, perjuangan suci. Membangun
Al-Washliyah memang harus dengan perjuangan. Dalam setiap perjuangan harus ada
pengorbanan. Bersedia berkorban (tenaga, pikiran, materi bahkan jiwa) adalah
indikasi kesucian perjuangan. Mengikhlaskan hati semata-mata hanya karena Allah
adalah pintu gerbang dalam perjuangan. Ikhlash itu bukanlah endingpasivitas
(akhir dari kemandegan) umat Islam. Ikhlash adalah totalitas pengabdian kepada
Allah SWT. Konsekuensinya: jalan kemudahan, terbukanya pintu rizki dan indikasi
kebahagiaan lainnya.
Kedua,
jangan suka melupakan sejarah. Hari ini banyak orang yang besar (popular)
karena Al-Washliyah, tapi ia sendiri lupa kepada Al-Washliyah yang telah
membesarkannya. Ketika seseorang memasuki wilayah politik praktis untuk menjadi
eksekutif atau pun legislatif maka ia akan mengatakan bahwa "ia adalah
salah satu kader Al-Washliyah untuk mendapatkan dukungan dari keluarga
besar Al-Washliyah yang telah tersebar di seluruh penjuru negeri ini".
Namun, setelah ia duduk di kursi yang diidamkan "apa yang sudah diberikan
untuk kemajuan Al-Washliyah?". Jangankan memberikan bantuan malah
"merongrong" dengan mengembangkan sikap otoriter, sewenang-wenang dan
lain-lain. Pengurus Al-Washliyah sudah seharusnya melakukan restrukturisasi
agar roda Al-Washliyah itu kembali berjalan secara baik.
Ketiga,
membina moralitas ukhuwah. Paling tidak, ada beberapa langkah yang harus kita
tempuh: a) Berangkat dari kepentingan umat (mashlahatul ummat) bukan
kepentingan pribadi atau kelompok. Sehingga siapapun yang memimpin organisasi
akan disikapi secara lapang dada selagi capabilitas-nya terpenuhi dan sesuai
dengan rambu-rambu organisasi; b) Saling bahu membahu (cooperate) antara satu
dengan lainnya dengan mengedepankan persamaan dan arif dalam menyikapi
perbedaan yang muncul; c) Bersikap terbuka terhadap kritik yang konstruktif; d)
Beranjak dari tekad dan tujuan yang sama untuk membangun Al-Washliyah.
Keempat,
menumbuhkan sense of belonging (rasa
memiliki) dan sense of responsibility
(rasa tanggung jawab). Bila sudah tertanam rasa memiliki maka akan mewujudkan
tanggung jawab. Jikalau kita punya sesuatu maka kita akan menjaga,
memeliharanya agar tidak rusak, diganggu dan hal-hal yang mafsadat lainnya.
Bila kita merasa memiliki Al-Washliyah maka kita akan memeliharanya.
Kelima,
mewujudkan yang terbaik. "Apa yang sudah saya berikan untuk
Al-Washliyah?". Berbuat dengan karya nyata sesuai dengan bidang
masing-masing. Kader Al-Washliyah yang di lembaga eksekutif, legislatif,
yudikatif, tenaga profesi: guru/dosen, dokter dan lain-lain harus memberikan
yang terbaik dengan menebar kemanfaatan buat umat Islam. Paling tidak, menjadi
qudwah (ketauladanan moral) di lingkungan kerja kita masing-masing.
Keenam,
warga Al-Washliyah harus satu langkah dalam mengoptimalkan kekuatan ummat Islam
demi terwujudnya kemaslahatan ummat Islam itu sendiri. Ke depan, umat Islam
harus lebih cerdas, lebih dewasa, lebih tegas, lebih arif dalam menentukan arah
kehidupan dan menyikapinya.
H. PENUTUP
Sumatera
Timur sebagai kawasan perkebunan pada awal abad ke 19, menjadi ajang migran
dari luar negeri dan daerah-daerah sekitarnya. Migran Tapanuli Selatan,
Mandailing dengan bekal keterampilan dan pengetahuan yang mereka miliki dapat
membuka lembaga pendidikan yang diberi nama Maktab Islamiyah Tapanuli (MIT),
pada tahun 1918.
AL-Jam’iyatul Washliyah merupakan
perluasan dari Debating Club, sebuah perkumpulan pelajar MIT yang didirikan
pada tahun 1928. Al-Jam’iyatul Washliyah didirikan pada tahun 1930, bermazhab
Syafi’i. Pada awal berdirinya organisasi ini tidak dapat mengembangkan
programnya karena kekurangan dana. Barulah pada tahun 1934 organisasi ini dapat
mengegrakakn majelis-majelis yang sudah disusun pada awal berdirinya.
Majelis yang paling berhasil adalah
majelis Tarbiyah dan majelis Tabligh. Dalam mensyiarkan Islam Al-Jam’iyatul
Washliyah menggunakan metode Tabligh, sehingga dapat menyaingi Zending Kristen
di daerah Tapanuli. Dengan prestasinya itu maka Al-Jam’iyatul Washliyah patut
diperhitungkan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat nasional dan khususnya
di Sumatera Utara.
DAFTAR PUSTAKA
Broegmans, Oostkust van Sumatera, Groningen: 1919.
Hasanuddin, Chalijah, Al-Jam’iyatul Washliyah
1930-1942; Api Dalam Sekam di Sumatra Timur. Bandung: Pustaka, 1988.
Noer,Deliar Gerkan
Modern Islam di Indonesia, Jakarta:
LP2ES, 1980.
Pengurus Besar Al-Djamijatul Washlijah. Al-Djamijatul
Washlijah ¼ Abad, Medan:
Pengurus Besar Al-Djamijatul Washlijah. 1956
Proyek Penerbitan Buku 70 Tahun Al-Washliyah, Al-Jam’iyatul
Washliyah Memasuki Millenium III Kado Ulang Tahun AL-Washliyah ke-69; Membangun
Kejayaan Dunia Melalui Kejayaan Islam di Indonesia, Jakarta: Proyek
Penerbitan Buku 70 Tahun Al-Washliyah. 1999.
Sulaiman, Nukman, AL-Washliyah.
Medan: Majlis Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Pengurus Besar
Al-Jam’iyatul Washliyah, 1967,
Ya’cubM Abu bakar, Sejarah Maktab Islamiyah Tapanuli, Medan: 1975.
[1]
Chalijah Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah 1930-1942;
Api Dalam Sekam di Sumatera Timur (Bandung: Pustaka, 1988), h. 1-2.
[2]
Abu bakar Ya’cub, Sejarah Maktab
Islamiyah Tapanuli (Medan:
1975), h. 7.
[3] Chalijah, Al-Jam’iyatul. h. 2
[4]
Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah. Al Djamijatul Washlijah ¼ Abad, (Medan:
Pengurus Besar Al Djamijatul Washlijah, 1956) h. 35
[5]
Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad,
h. 36
[6]
Deliar Noer, Gerkan Modern Islam di
Indonesia (Jakarta: LP2ES, 1980), h. 21.
[7]
Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad,
h. 37 dan 342.
[8]
Deliar Noer, Gerkan. h. 266.
[9]
Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad,
h. 3
[10] Proyek
Penerbitan Buku 70 Tahun Al-Washliyah, Al-Jam’iyatul Washliyah Memasuki
Millenium III Kado Ulang Tahun AL-Washliyah ke-69; Membangun Kejayaan Dunia
Melalui Kejayaan Islam di Indonesia (Jakarta:
Proyek Penerbitan Buku 70 Tahun Al-Washliyah, 1999), h. 18
[11] Proyek,
Al-Jam’iyatul ke-69, h. 26
[12]
Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad,
h. 342-348
[13] Chalijah, Al-Jam’iyatul, h. 34
[14]
Broegmans, Oostkust van Sumatera (Groningen: 1919), h. 86.
[15]
Beliau adalah seorang tokoh ulama bermazhab Syafi’i yang independent berada du
luar birokrasi kerajaan. Lihat Chalijah Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah 1930-1942;
Api Dalam Sekam di Sumatera Timur (Bandung: Pustaka, 1988), h. 35
[16] Chalijah, Al-Jam’iyatul, h. 36
[17]
Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad,
h. 39
[18]
Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad,
h. 39
[19] Chalijah, Al-Jam’iyatul, h. 39
[20] Chalijah, Al-Jam’iyatul, h. 41
[21] Chalijah, Al-Jam’iyatul, h. 62
[22]
Pentingnya tabligh sering dikemukakan
dalam ceramah, umpamanya dalam rapat umum di Bagan Asahan, Sinar Deli 17 Februari 1934.
[23] Chalijah, Al-Jam’iyatul, h. 76
[24]
Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad,
h. 41
[25] Chalijah, Al-Jam’iyatul, h. 77-88
[26]
Pengurus Besar, Washlijah ¼ Abad,
h. 54
[27]
MIAI didirikan di Surabaya,
tujuan oraganisasi ini menghimpun semua organisasi Islam tanpa memperhatikan
perbedaan paham. Lihat, Chalijah Hasanuddin, Al-Jam’iyatul Washliyah 1930-1942;
Api Dalam Sekam di Sumatera Timur (Bandung: Pustaka, 1988), h. 147
Tidak ada komentar:
Posting Komentar