Makalah
A. Pendahuluan
Malik Bennabi (1905-1973
CE/ 1325-1393 H) merupakan salah satu pemikir kontemporer yang paling menonjol
di dunia Islam. Bahkan, jika dikaitkan dengan konsep sejarah dan peradaban, ia
bisa dianggap sebagai pemikir Muslim terpenting setelah Ibn Khaldun
(1332-1406). Muhammad Tahir al-Mesawi menganggapnya sebagai satu dari sedikit
pemikir Muslim orisinil yang telah dihasilkan oleh kaum Muslimin di abad dua
puluh.[1]
Ia mempunyai pengalaman pribadi yang menjengkelkan saat menjalani masa belajar di sebuah sekolah Perancis di Aljazair. Nilai-nilai tinggi yang berhasil dicapainya di sekolah itu tidak pernah membawanya pada peringkat kelas yang memuaskan. Apa yang dirasakannya sebagai perlakuan rasialis ini kemudian mendorong Bennabi untuk menantang Barat secara intelektual. Terlepas dari motivasi ini, Bennabi ternyata tidak muncul sebagai figur yang xenofobik atau anti terhadap orang asing (dalam hal ini orang Barat). Belakangan, ia mengkritik kalangan intelektual Muslim yang memandang Barat dari dua sudut pandang ekstrim: suci dan murni atau penuh korupsi. Ia sendiri tidak menganggap Barat sebagai sesuatu yang superior atau inferior. Unggulnya peradaban Barat dan mundurnya peradaban Islam hanyalah sesuatu yang normal dalam konteks perjalanan sejarah.[2]
B. BIOGRAFI MALIK BENNABI
Malik
Bennabi dianggap sebagai salah satu pemikir Islam terbesar abad kedua puluh. Malik
dilahirkan di kota
Konstantinus bagian timur Aljazair pada tanggal 1 November 1905, dari sebuah
keluarga miskin dan sangat konservatif budaya Aljazair.[3] Setelah
lahir, Malik dan keluarganya pindah ke Tébessa. Ia merupakan satu-satunya anak
laki-laki di keluarganya, orang tuanya sangat mendorong Bennabi dalam hal
pendidikan. Ia terdaftar di pendidikan dasar dan menengah pertama, dengan
gembira ia berhasil di 'Pemeriksaan Hibah' (ujian yang dibuat khusus untuk
siswa yang keluarganya tidak mampu membiayai pendidikan mereka) dan diberi
hibah untuk melanjutkan studi di kota
Konstantinus.
Di
Konstantinus ia menghabiskan tahun pertamanya untuk penelitian (1921-1922)
dalam lingkungan yang penuh patriotisme dan pikiran reformasi setelah Perang
Dunia Pertama. Malik belajar di sekolah yang sama perasaan nasionalis gurunya,
yang mengajar dalam bahasa Arab dan ditanamkan di dalam dirinya benih persatuan
nasional dan cinta. Setelah lulus dari sekolah menengah dan menyelesaikan studi
empat tahun, pada bulan Juni 1925, Malik mempunyai keinginan untuk pergi ke
Prancis dalam rangka untuk melanjutkan pendidikan dan memperluas
pengetahuannya.
Setelah
menyelesaikan masa belajarnya di Aljazair, Bennabi melanjutkan studinya di
Perancis.[4]
Perjalanan pendidikan yang serius, sebuah perjalanan di mana Malik memiliki
ambisi untuk belajar di "Institute of Oriental Studies di Paris" berharap
untuk lulus sebagai pengacara. Namun, Ia gagal dalam ujian masuk pada “School
of Oriental Language”, yang kemungkinan karena posisinya sebagai seorang Muslim
Aljazair, dan akhirnya mendorongnya untuk mendaftar di sebuah institut teknik,
sesuatu yang tampaknya sangat membantu pendekatan berpikirnya di masa-masa
mendatang. Bennabi mulai menulis dan mengembangkan gagasan-gagasannya pada
masa-masa ini.[5]
Malik
mulai dari awal dengan mengubah tujuannya, ia masuk ke Sekolah Fakultas Teknik
Wireless, tidak jauh dari (Institute of Oriental Language), yang akan membuat
niat murni berubah menjadi teknis dan
ilmiah bukannya peradilan dan politik. Pada tahun 1935 ia lulus sebagai
insinyur listrik membuatnya orang pertama Aljazair menjadi insinyur listrik. Pada
saat ini ia mulai mengejar impiannya untuk menulis dan mulai menulis artikel
tentang isu-isu seputar dunia Islam dan pada tahun (1946) ia menerbitkan buku
pertamanya "Fenomena Alquran". Antara tahun 1948 dan 1955, ia
menerbitkan artikel dalam "Republik Aljazair" dan Koran "Pemuda
Muslim".[6]
Dia
menikah dengan seorang wanita Perancis dan memilih untuk tinggal di Perancis,
tetapi sering mengunjungi Aljazair dengan istri Muslim Perancis (Khadijah). Selama
tahun-tahun itu ia juga menerbitkan dua buku, "Syarat-syarat untuk
kelahiran kembali" pada tahun 1948 dan "Masalah ide-ide di Dunia
Muslim" pada tahun 1954. Di Mesir,
ia mendapatkan rasa hormat dari
sesama pemikir dan filsuf. Sejak saat itu, karyanya mulai berkembang dan
memperoleh popularitas di Aljazair dan di dunia Arab.
Setelah
kemerdekaan Aljazair, ia kembali ke rumah dan diangkat menjadi Direktur
Pendidikan Tinggi, yang saat itu adalah terbatas (University of Algiers) sampai
ia mengundurkan diri pada tahun 1967, ingin fokus pada tulisannya.
Pada
akhir hidupnya, Malik menderita tekanan besar dan rasa sakit di mata dan
kepalanya setelah jatuh menuruni tangga di rumahnya. Meskipun dirawat di luar
negeri ia tetap dipengaruhi oleh kejadian ini dan pada 31 Oktober 1973 Malik
Bennabi, sarjana peradaban, dan pemikir muslim yang paling terkenal di zaman
kita, meninggal di Algiers meninggalkan pekerjaan yang dirancang khusus untuk
membantu para pemikir dari abad dua puluh satu menciptakan jalan baru menuju
konvergensi dari berbagai peradaban, termasuk pembentukan sebuah
"peradaban kemanusiaan".
C. Pemikiran
Malik Bennabi Tentang Peradaban
Sebagaimana telah
dipaparkan di atas, sepanjang hidupnya, Bennabi berusaha mencari sebab mendasar
dari kemunduran kaum Muslimin. Ia mengamati dan menganalisa sejarah untuk
memahami hukum di balik maju dan mundurnya berbagai peradaban. Dalam
mengembangkan gagasannya, Malik Bennabi banyak dipengaruhi Ibn Khaldun
(1332-1406) dan Arnold Toynbee (1889-1975), di samping pemikir-pemikir lainnya.
Namun, Bennabi bukan sekedar penerjemah dari para pemikir sebelumnya. Ia
mengembangkan gagasan-gagasan orisinilnya sendiri.
Dari seluruh gagasan Bennabi, ide tentang peradaban menempati posisi yang
sangat sentral dan mewarnai sebagian besar, kalau tidak dikatakan seluruhnya,
ide-ide yang dikembangkannya. Bagi Bennabi, “the problem of any people is
that of its civilization,” (inti) persoalan setiap orang adalah persoalan
peradabannya. Karenanya, setiap upaya untuk menyelesaikan persoalan manusia
harus diarahkan pada peradaban manusia tadi. Berbagai problem yang ada di dunia
Islam, misalnya, pada esensinya adalah satu, dan apa-apa yang biasa disebut
sebagai “problem orang Aljazair” atau “problem orang Jawa” pada kenyataannya
adalah sebuah problem keislaman.[7]
Seperti telah ditunjukkan di atas, peradaban merupakan inti persoalan yang
dihadapi manusia. Namun, apa yang dimaksud dengan peradaban itu sendiri menurut
Bennabi? Buat Bennabi, peradaban adalah hasil dari suatu ide yang dinamis dan
hidup yang menggerakkan suatu masyarakat yang belum beradab untuk memasuki
sejarah dan membentuk sistem ide-ide berdasarkan pola dasar yang dimilikinya.
Kemudian masyarakat tadi mengembangkan suatu miliu kebudayaan yang otentik,
yang pada gilirannya akan mengendalikan seluruh karakteristik yang membedakan
masyarakat tadi dengan kebudayaan dan peradaban lainnya. Ia juga menekankan
bahwa peradaban, dalam definisinya yang sederhana, bukanlah suatu tumpukan dari
beragam objek (a pile of different kinds of objects). Sebaliknya, ia
merupakan suatu keseluruhan yang harmonis dari benda-benda (things) dan
ide-ide (ideas) dalam beragam interaksinya. Peradaban juga dapat
didefinisikan sebagai “jumlah keseluruhan dari kondisi-kondisi moral dan
material yang memungkinkan masyarakat yang memilikinya untuk memfasilitasi
masing-masing anggotanya dengan seluruh jaminan sosial yang diperlukan bagi
perkembangannya.”[8]
Untuk bisa memecahkan persoalannya, adalah penting bagi kaum Muslimin untuk
menentukan posisinya pada siklus sejarah (historical cycle) dan
menghubungkan problem-problem yang mereka hadapi dengan konteks sejarahnya
secara khusus dan sejarah dunia secara umum, sehingga ia bisa bergerak ke arah
yang tepat. Sebagaimana Ibn Khaldun, Toynbee dan banyak sejarawan lainnya,
Bennabi juga mempercayai adanya rentang hidup peradaban (lifespan of
civilization). Masyarakat, sebagaimana halnya seorang individu, memiliki
rentang hidup tertentu yang dipengaruhi oleh hukum kelahiran, pertumbuhan, dan
kemunduran.[9]
Bennabi kemudian menawarkan gagasannya sendiri berkenaan dengan rentang hidup
peradaban ini. Ia membagi umur peradaban dalam tiga tahap: Tahap Spiritual (Spiritual
Stage), Tahap Rasional (Rational Stage), dan Tahap Instingtif (Instingtif
Stage).
Tahap spiritual terjadi ketika suatu ide spiritual atau agama muncul dan pada
gilirannya mengendalikan insting manusia. Insting ini akan diarahkan, atau
dilatih, ke suatu hubungan yang fungsional dengan agama. Sebagai dampaknya,
potensi spiritual mengontrol kehidupan individu dan masyarakat. Bennabi
menyarankan bahwa tahap spiritual pada sejarah Islam berlangsung sejak
dimulainya risalah Nabi Muhammad (saw) hingga terjadinya Perang Siffin (657 H).
Pada masa ini, kerangka berpikir dan perilaku masyarakat terhadap kehidupan
sangat bersifat spiritual. Bennabi percaya bahwa hanya spiritualitas yang
memberikan kemanusian peluang untuk tumbuh dan maju (rise and progress).
Ketika spiritualitas lenyap, peradaban jatuh (when the spirit loses, the
civilization falls).
Sementara masyarakat terus mempraktekkan prinsip-prinsip religius mereka serta
menjaga ikatan internal mereka, agama akan tersebar secara global. Peradaban
Islam, berangkat dari kedalaman jiwa, kemudian menyebar secara horizontal dari
pantai Atlantik ke perbatasan Cina. Namun, pada titik ini perubahan mulai
terjadi. Perkembangan ini menciptakan tantangan-tantangan baru yang memicu
munculnya kemampuan dan kreativitas baru masyarakat. Ini merupakan tahap
rasional. Ilmu pengetahuan dan seni berkembang pesat, akal (reason)
mulai menjadi kekuatan pengendali, sehingga masyarakat menanjak ke puncak kurva
peradaban. Walaupun demikian, akal tidak mampu mengontrol insting seefektif
spiritualitas pada tahap yang pertama. Hal ini menyebabkan insting mulai
terlepas bebas secara gradual dan kontrol masyarakat atas individu mulai
melemah.
Pada akhirnya peradaban akan memasuki tahap yang terakhir, yaitu tahap
instingtif. Tahap ini ditandai oleh terjadinya berbagai kelemahan dan
penyimpangan. Hal ini disebabkan insting telah terlepas bebas. Akal kehilangan
fungsi sosialnya sementara manusia kehilangan keyakinannya. Masyarakat pun
memasuki kegelapan sejarah ketika siklus peradabannya berakhir. Bennabi
memandang Ibn Khaldun sebagai figur intelektual yang menandai pergantian dari
fase rasional ke fase instingtif, dan ia menganggap gerakan Almohads
(al-Muwahidun) di Afrika Utara sebagai representasi terakhir dari era rasional.
Karenanya, ia menyebut kaum Muslimin yang hidup di era kemunduran sebagai
manusia pasca Almohads (the post-Almohads man/ insan ma ba’da
al-Muwahhidin).[10]
Walaupun peradaban Muslim tengah mengalami kemunduran, Benabi percaya bahwa
mereka tetap memiliki peluang untuk bangkit. Oleh karena itu, sebab-sebab
kejatuhan manusia pasca Almohads perlu dipelajari secara ilmiah dan dicari
penyelesaiannya. Bennabi menolak untuk memfokuskan perhatian pada sebab-sebab
eksternal. Inti permasalahannya harus dicari di dalam masyarakat yang mundur
itu sendiri, dalam hal ini masyarakat Muslim. Ia, misalnya, memandang sia-sia
tuntutan negeri-negeri Muslim yang dijajah untuk merdeka sekiranya persoalan
internal mereka, yaitu keadaan bisa dijajah (colonizability), masih ada
pada diri mereka. Selain itu, untuk memicu terjadinya kemajuan dalam peradaban
Islam, spiritualitas perlu dibangun kembali sehingga siklus ini bisa
dikembalikan lagi ke tahap awal.
Bennabi bukan hanya menawarkan gagasan
tentang siklus peradaban, ia juga merumuskan sebuah persamaan peradaban.
Bennabi merumuskan bahwa peradaban merupakan gabungan dari tiga komponen:
Manusia (Insan), Tanah (Turab), dan Waktu (Waqt). Tanah
dalam persamaan ini bermakna seluruh bahan mentah (raw materials) atau
tanah berikut segala hal yang dikandung dan dihasilkannya. Seluruh peradaban
bermula dengan pertanian dan pemanfaatan sumber daya alam yang sangat penting
bagi keberadaan manusia. Ia juga memiliki dimensi sosial-politik karena Tanah
dalam konsep ini mengimplikasikan kepemilikan, mensyaratkan kontrol secara
teknis, serta memberikan jaminan sosial dan keamanan. Menyintai tanah air (homeland)
dan mengharapkan kemakmurannya merupakan bagian dari makna Tanah di sini.
Agama sebagai katalisator
Man/
Insan + Soil/ Turab +
Time/ Waqt = Civilization/ Hadarah
Selain
Tanah (Turab), elemen Waktu (Waqt) juga tak bisa dabaikan karena
peradaban terentang pada kurun waktu tertentu. Bennabi menyatakan bahwa
masyarakat tidak hanya harus menggunakan waktu untuk menjalankan tugas, tetapi
mereka harus menjalankan tugas dalam waktu sesingkat mungkin untuk mendorong
terjadinya kemajuan.[11]
D. Agama sebagai katalisator peradaban
Malik
Bennabi merumuskan tiga faktor utama yang menentukan pembentukan sesuatu
peradaban, yaitu; manusia, tanah, dan masa. Manusia adalah faktor yang paling
penting; sebagai pencipta dan penggerak sejarah. Manusia memiliki dua jenis
identitas; pertama, identitas yang tetap dan tidak dapat dipengaruhi oleh
sejarah, yaitu kriteria-kriteria anatomi dan fisiologi yang membentuk wujud
luaran manusia, dan; kedua, yang dapat berubah dan dapat dipengaruhi oleh
sejarah, yaitu kewujudan manusia secara sosial yang merupakan keadaan mental
dan psikologi manusia yang ditangkap oleh struktur sejarah dan warisan sosial.
Manusia
sepanjang perjalanan sejarah berinteraksi dengan masa dan ruang tidak dalam
kedudukannya sebagai ciptaan alami, melainkan sebagai kepribadian-kepribadian
sosial. Tanah (turab), sebagai faktor
kedua, adalah sumber alam yang lebih berkaitan dengan konsep-konsep sosial.
Istilah tanah (turab) digunakan untuk
menjauhi istilah materi (madah), karena perkataan 'materi' dalam akhlak berarti
suatu konsep yang berlawanan dengan perkataan 'roh', dalam sains ia bermaksud
lawan dari perkataan 'energi' dan dalam filsafat perkataan 'materi' memberi
maksud yang berlainan dengan 'ide'.
Masa
adalah faktor ketiga dalam proses pembentukan peradaban. Yang dimaksudkan
dengan masa adalah nilainya dalam kehidupan manusia dan hubungannya dengan
sejarah, kebangkitan ilmu, produktivitas, dan pencapaian peradaban. Akan tetapi
menurut Malik Bennabi, wujudnya ketiga-tiga faktor tersebut tidak dapat secara
pasti dan secara otomatis dapat melahirkan suatu peradaban. Sebuah teka-teki
yang dapat dijawab oleh ilmu kimia.
Air
pada dasarnya adalah hasil dari hidrogen dan oksigen. Meskipun demikian
kewujudan kedua-dua unsur ini tidak menjamin secara langsung terciptanya air.
Menurut para ahli kimia, proses pembentukan air turut dipengaruhi oleh faktor
lain yang berupa katalisator yang dapat mempercepat proses penyusunan dua unsur
hidrogen dan oksigen yang seterusnya menyebabkan terciptanya air.
Demikian
juga, menurut Malik Bennabi, dengan proses pembentukan peradaban, walaupun
sudah tersedia tiga faktor utama; manusia, tanah, dan masa, masih diperlukan
faktor lain sebagai katalisator yang dapat mengolah dan menyusun ketiga-tiga
unsur tersebut dan menjadikannya suatu peradaban. Katalisator yang dimaksud
dalam konteks ini menurut Malik Bennabi adalah agama. Agama atau
"pemikiran agama inilah yang selalu wujud di balik kelahiran suatu
peradaban dalam sejarah." Agama menurut Malik Bennabi adalah katalisator
(catalyseur) yang menjadikan manusia, tanah, dan masa sebagai suatu kekuatan
dalam sejarah dan yang menyebabkan kelahiran suatu peradaban. Dalam pandangan
Malik Bennabi tidak hanya peradaban-peradaban besar dunia seperti peradaban
Islam, peradaban Kristen Eropa dan peradaban Buddha Cina, tetapi bahkan
"peradaban komunis" yang anti-agama adalah juga lahir dari pemikiran
agama.
Malik Bennabi memandang komunisme dari dua aspek; aspek
sejarah dan aspek psikologi yang berhubung-kait dengan keyakinan. Dilihat dari
aspek sejarah, komunisme atau marxisme adalah 'krisis' internal peradaban
Kristen, yaitu ketika agama itu tidak lagi memiliki nilai-nilai gaib, seperti
kata Gonzague de Reynol bahwa peradaban Rusia adalah peradaban Kristen Ortodok
yang 'tersalah tembak', atau seperti ungkapan Toynbee bahwa komunisme adalah
satu halaman buku Kristen yang terkoyak dan tersalah baca.
Dari aspek psikologi, komunisme atau marxisme adalah
sebagai pemikiran keagamaan yang berhubungan dengan keyakinan para penyokong
dan pengikutnya terahadap ide-ide dan doktrin-doktrin yang dicipta oleh Karl
Marx, sebagai ajaran yang memiliki tulisan-tulisan yang disucikan, memiliki
surga dan neraka, keselamatan dan kecelakaan, dan sebagai sebuah agama tanpa
Tuhan.
Di
antara semua elemen itu, tentu saja Manusia (Insan) menempati posisi
yang paling penting. Manusia merupakan faktor peradaban yang paling utama.
Dalam bahasa Bennabi, “jika ia bergerak maka masyarakat dan sejarah juga
bergerak, dan jika ia diam maka masyarakat dan sejarah juga diam.” Hubungan
antara manusia dan peradaban bersifat dua arah. Di satu sisi, manusia merupakan
pembentuk sejarah, tetapi di sisi lain ia juga merupakan produk sejarah.[12] Karena
posisi Manusia yang krusial, maka tantangan terbesar yang dihadapi oleh kaum
Muslimin adalah membentuk orang-orang yang mampu mengolah Tanah (Turab)
dam Waktu (Waqt) serta membangun kreatifitas mereka untuk mencapai
target-target besar sejarah. Bagaimanapun, Bennabi berargumen bahwa ketiga
elemen di atas, yaitu Manusia, Tanah, dan Waktu, memerlukan hal lain, sebuah
katalis, yang memungkinkan ketiganya untuk bereaksi dan membentuk peradaban.
Katalis tersebut adalah agama atau ide spiritual. Itulah sebabnya mengapa
banyak masyarakat yang memiliki ketiga unsur peradaban di atas tetapi tidak
juga berhasil membangun sebuah peradaban besar. Sebab utamanya adalah karena
mereka tidak memiliki katalis berupa agama yang mampu menggerakkan ketiga aspek
tersebut menuju ke puncak sejarah dan peradaban.
Lebih jauh Bennabi menjelaskan bahwa individu dan masyarakat mengembangkan
sejarahnya melalui tiga kategori sosial: alam benda (‘alam al-ashya‘/ the
realm of things or objects), alam persona (‘alam al-ashkhas/ the realm
of persons) dan alam ide (‘alam al-afkar/ the realm of ideas)[13]. Untuk
mengembangkan kebudayaan dan peradaban, manusia dan masyarakat perlu bergerak
dari alam benda ke alam ide, karena ide merupakan aspek terpenting dalam proses
pembentukan kedua hal tersebut. Kegagalan manusia pasca Almohads adalah karena
ia memiliki kecenderungan untuk mengarahkan kehidupan masyarakat pada kebendaan
(thingness) atau materialisme. Bennabi menjelaskan bahwa dilema yang
dialami oleh negara-negara terbelakang bukanlah ketiadaan atau minimnya materi,
melainkan karena miskinnya ide (poverty of ideas). Mereka terjebak ke
dalam apa yang disebut Bennabi sebagai peradaban kebendaan (hadara shahiyya/
thingness civilization) yang memfokuskan perhatian mereka pada
pengakumulasian (takdis) produk dan hal-hal material. Hal ini sayangnya
tidak akan membuat peradaban menjadi maju dan bergerak naik, karena produk
tidak pernah menciptakan sebuah peradaban. Peradaban lah yang menciptakan
produk-produk.
Ia menjelaskan betapa Jerman telah mengalami kehancuran dalam alam benda (‘alam
al-ashya‘) mereka pada masa Perang Dunia II, tetapi mereka mampu segera
bangkit dan membangun kembali apa-apa yang hancur dari alam benda tadi, karena
mereka mendasari peradaban mereka pada alam ide (‘alam al-afkar).[14] Hal
yang sama juga tentunya bisa dilihat pada Jepang yang juga mengalami kehancuran
saat perang tetapi mampu segera membangun kembali peradaban mereka. Ini menjadi
bukti bagaimana ide-ide memiliki kemampuan dalam mengembangkan peradaban dan
menciptakan produk.
Ketiadaan atau mandegnya ide akan mempengaruhi alam benda secara signifikan.
Namun, jika alam benda bisa hancur karena alasan-alasan tertentu, ide-ide yang
pada dasarnya merupakan kekayaan sesungguhnya dari suatu bangsa tidak akan
menderita kehancuran yang sama. Karena itu, setiap upaya dalam merekonstruksi kebudayaan
Muslim perlu dilakukan dengan menguji dan menyaring kumpulan ide yang dimiliki
oleh kaum Muslimin. Proses inilah yang memungkinkan kaum Muslimin untuk
menemukan kembali peradaban mereka.
E. Kesimpulan
Malik Bennabi, sebagaimana telah dipaparkan di atas dan juga telah diakui oleh
sebagian ilmuwan, telah melihat persoalan yang dihadapi kaum Muslimin, atau
juga persoalan suatu masyarakat yang mengalami keadaan yang sama, dengan sebuah
pandangan yang menarik. Ia menganggap bahwa inti persoalan setiap manusia
adalah pada peradabannya dan karenanya setiap usaha untuk menyelesaikan
persoalan itu harus diarahkan pada tingkat peradaban. Untuk itu, ia
mengembangkan sebuah kerangka peradaban yang bisa digunakan oleh kaum Muslimin
untuk memecahkan berbagai persoalan mereka dan memajukan kembali peradaban
mereka. Teori yang dikembangkan Bennabi ini bisa digunakan oleh kaum Muslimin
pada hari ini untuk menentukan posisi sejarah mereka, menentukan arah tujuan
mereka, dan membentuk alam ide mereka sehingga peradaban mereka bisa kembali
tegak di masa mendatang.
Daftar
Pustaka
[1] Bennabi, Malik. The Problem of
Ideas in the Muslim World. Budaya Ilmu Sdn. Bhd, Selangor Darul Ehsan.
1994.
[2] Joly, Daniele. The French
Communist Party and the Algerian War. Macmillan Press ltd., Hampshire.
1991.
[3] Ruedy, John. Modern Algeria: The
Origin and Development of a Nation. Indiana
University Press, Indianapolis. 1992.
[4] Bariun, Fawzia. Malik Bennabi:
His Life and Theory of Civilization. Muslim Youth Movement of Malaysia, Kuala
Lumpur. 1993.
[5] al-Quraisyiy, Ali. Malik Binnabi
dan Pergolakan Sosial, vol. 1. Yayasan Dakwah Islamiah Malaysia, Kuala
Lumpur. 1996.
[8] Bennabi, Malik. Islam dalam
Sejarah dan Masyarakat, (originally Vocation de l’Islam). Dewan
Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia,
Kuala Lumpur.
1991.
[1] Malik Bennabi, The Problem of Ideas in the
Muslim World (Selangor: Darul Ehsan, 1994), h. xiii.
[2] Fawzia
Bariun, Malik Bennabi: His Life and Theory of Civilization (Malaysia:
Kuala Lumpur, 1993), h. 156.
[3] Ammar Talibi, Malik Bennabi Wal Hadarah (Al-Thaqafa, Tahun III, 1974), h. 10
[4] Ali
al-Quraisyiy membagi biografi Bennabi sejak masa ini hingga akhir hidupnya
menjadi tiga periode: Periode Paris (1930-1956), Periode Kairo (1956-1963), dan
Periode Aljazair (1963-1973). Lihat Ali al-Quraisyiy, Malik Binnabi dan
Pergolakan Sosial, vol. 1. (Yayasan Dakwah Islamiah Malaysia, Kuala Lumpur,
1996), h. 18-28.
[5] Fawzia Bariun, Malik Bennabi: His Life and
Theory of Civilization (Malaysia: Kuala Lumpur, 1993), h. 78.
[6] Ibid,. Bariun,
Malik Bennabi, h. 88
[7]. Bariun. 1993. Malik Bennabi, h. 166.
[8] Bennabi. 1994. The Problem of Ideas ….,
26.
[9] Bariun. 1993. Malik Bennabi …, 122.
[10] Bariun. 1993. Malik Bennabi …, 116-118.
[11] Bariun, 1993. Malik Bennabi …, 178-179.
[12] Bennabi, Malik. 1998. On the Origin of
Human Society. The Open Press, London,h.
31.
[13] Ibid, Malik,
On the Origin, h. 27-28
[14] Bennabi, Malik. 2003. The Question of Culture,
Islamic Book Trust, Kuala Lumpur,h.
29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar