Jumat, 20 Januari 2012

MU'TAZILAH


Makalah

BAB I
PENDAHULUAN

            Muktazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya yang lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil 'aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Muktazilah didirikan oleh Wasil bin Atha' pada tahun 100H/718M.
            Munculnya aliran Muktazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir.
          
Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir. Demikianlah pendapat Wasil bin Atha' yang kemudian menjadi salah satu doktrin Muktazilah yakni al manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
            Demikian hebat dan luasnya jangkauan konsep teologis Muktazilah. Namun, dalam tulisan kali ini penulis akan memfokuskan kajian pada masalah (1.) latar belakang munculnya Muktazilah, (2.) Tokoh-tokohnya, (3.) Ajaran asas muktazilah. Berikut penulis sajikan pembahasan tentang ketiga hal tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Istilah Mu’tazilah
            Perkataan mu’tazilah dalam bahasa Arab termasuk wazan –bentuk atau pola kata- mufta’ilun, yaitu isim fail dari kata kerja I’tazala – ya’tazilu  - I’tizâlan, yang berarti memisahkan diri, menjauhkan diri atau mengundurkan diri. Istilah mu’tazilah kemudian berkembang menjadi nama sebuah aliran dalam bidang aqidah atau ilmu kalam di dalam islam.[1]
            Menurut Syahristani, dari kata i'tazala 'anna itulah lahirnya istilah Muktazilah. Ada lagi yang berpendapat, Muktazilah memang berarti memisahkan diri, tetapi tidak selalu berarti memisahkan diri secara fisik. Muktazilah dapat berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya, karena memang pendapat Muktazilah berbeda dengan pendapat sebelumnya. Selain nama Muktazilah, pengikut aliran ini juga sering disebut kelompok Ahl al-Tauhid (golongan pembela tauhid), kelompok Ahl al-Adl (pendukung faham keadilan Tuhan), dan kelompok Qodariyah. Pihak lawan mereka menjuluki kelompok ini sebagai golongan free will dan free act, karena mereka menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat. Ketika pertama kali muncul, aliran Muktazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Muktazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
B. Latar Belakang Timbulnya Mu’tazilah

            Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik.
Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Munculnya aliran Muktazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
            Pendapat Wasil bin Atha' yang kemudian menjadi salah satu doktrin Muktazilah yakni al manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Setelah mengeluarkan pendapatnya ini, Wasil bin Atha' pun akhirnya meninggalkan perguruan Hasan al Basri dan lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal aliran Muktazilah. Setelah Wasil bin Atha' memisahkan diri, sang guru yakni Hasan al Basri berkata: ''I'tazala 'anna Wasil (Wasil telah menjauh dari diri kita).

C. Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
            Tokoh utama yang sekaligus juga pendiri paham Muktazilah adalah Wasil bin Atha’. Bahkan jumhur berpendapat, bahwa memang sebutan Muktazilah muncul sebagai akibat dari reaksi Wasil yang memisahkan diri (I’tazala) dari majlis pengkajian gurunya, Hasan Basri. Setidak-tidaknya al-Mas’udi lah orang yang mendukung argument ini, bahkan al-Masudi dalam fii Ilmi Kalam, sebagaimana dikutip Harun Nasution, menyebut Wasil bin Atha’ sebagai Syaikhul Muktazilah wa Qadlimuha, yang berarti kepala Muktazilah dan tetuanya.
            Wasil lahir pada tahun 81 Hijriah di Madinah dan meninggal pada tahun 131 Hijriah. Di Madinah Wasil nyantri (belajar) di tempat Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiah. Pertemuannya dengan Abu Hasyim inilah yang pada akhirnya memperkenalkan Wasil dengan konsep-konsep teologi Ma’bad dan Gailan yang nota bene adalah penggiat faham Qadariyah. Setelah beberapa tahun, ia kemudian hijrah ke Basrah untuk menimba ilmu di majlis pengkajiannya Hasan al-Basri. Dari hasil dialektinya dengan Hasan al-Basri inilah yang kemudian mengantarkan Wasil bin Atha’ mendirikan aliran teologi yang kemudian lebih dikenal dengan Muktazilah. Konsep yang diperdebatkannya dengan Hasan al-Basri adalah tentang pelaku dosa besar. Perdebatan seputar masalah inilah yang akhirnya melahirkan doktrin al manzilatu baina al manzilatain, yang sekaligus menjadi konsep teologi paling awal bagi muktazilah.
            Dalam perkembangannya, menurut Malatti, Wasil bin Atha’ kemudian memiliki dua orang murid, masing-masing bernama Bisyr Ibn Said dan Abu Utsman al-Za’farani. Dari kedua murid inilah paham Muktazilah kemudian dianut juga oleh Abu Huzail al- Allaf, salah seorang yang juga termasuk tokoh terkemuka Muktazilah di kemudian hari. Serta seseorang bernama Bisyr Ibn Mu’tamar yang pada akhirnya menjadi pimpinan Muktazilah cabang Baghdad. Sementara Bisyr Mu’tamar memutuskan membawa faham Muktazilah ke Baghdad, Abu Huzail lebih memilih tinggal dan mengembangkan Muktazilah di Basrah bersama dengan Wasil. Abu Huzail lahir pada tahun 135 H dan meninggal tahun 235 H, di usianya yang ke-100. Abu Huzail terkenal sebagai tokoh yang ahli filsaat Yunani. Dengan berbekal kelebihan inilah Abu Huzail menyusun konsep teologi Muktazilah dan alur logika berpikirnya secara teratur. Kemahirannya dalam ilmu logika inilah yang menjadikannya pendebat mahir dalam melawan golongan Majusi, Atheis dan musuh-musuh teologi Islam lainnya kala itu.
            Ajaran Abu Huzail yang terkenal adalah uraiannya tentang berdayanya akal manusia. Menurutnya, manusia dengan mempergunakan akalnya dapat dan wajib mengetahui Tuhan. Oleh karena itu, jika manusia lalai mengenali dan mengabdi pada Tuhan maka tidak ada alasan baginya untuk tidak mendapatkan balasan. Manusia dengan akalnya, juga wajib mengetahui perbuatan yang baik dan buruk. Dengan pertimbangan akalnya, manusia wajib mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menjauhi perbuatan-perbuatan buruk, meskipun tanpa adanya tuntunan berupa wahyu Tuhan. Abu Huzail juga memiliki seorang murid yang juga menjadi pemuka Muktazilah. Dia adalah Ibrahim Ibn Sayyar Ibn Hani al-Nazzam, yang lahir di Basrah pada tahun 185 H dan meninggal pada tahun 221 H. Literatur mengenai dirinya menyebutkan bahwa ia adalah seorang yang mempunyai kecerdasan luar biasa, ia juga memiliki kedekatan dan bahkan menguasai filsafat Yunani. Al-Nazzam berbeda pendapat dengan gurunya dalam masalah keadilan Tuhan. Menurutnya, mustahil bagi Tuhan untuk berbuat dzalim. Bahkan tidak hanya itu, ia menambahkan bahwa Tuhan tidak berkuasa untuk berbuat dzalim.
            Pemimpin Muktazilah yang lainnya adalah Mu’ammar Ibn Abbad. Ia hidup semasa dengan Wasil. Pendapatnya yang terkenal adalah bahwa yang diciptakan oleh Tuhan adalah benda-benda materi. Adapun a’radh atau ketimpangan adalah kreasi dari benda-benda itu sendiri. Secara natural misalnya, pembakaran oleh api dan pemanasan oleh materi atau dalam bentuk Ikhtiary seperti, antara gerak dan diam serta berkumpul dan berpisah yang biasa dilakukan oleh binatang. Pemimpin Muktazilah lainnya yang tak kalah masyhur adalah Abu Ali Muhammad Ibn Abdul Wahab al jubba’I dan anaknya, Abu Hasyim Abdu Salam. Mereka berpendapat bahwa yang disebut dengan kalam adalah sesuatu yang tersusun dari huruf dan suara. Oleh karena itu, mereka menyebut Tuhan sebagai Mutakallim, yang berarti Pencipta kalam. Yang perlu digaris bawahi menurut mereka adalah bahwa Mutakallim tidak selalu mengandung arti berbicara. Selain pendapat tentang kalam Tuhan itu, mereka juga berpendapat bahwa manusia tidak akan bisa melihat Tuhan di akhirat kelak.
Tokoh-tokoh Muktazilah lainnya adalah Abu Musa al- Murdar (w. 226 H) di Baghdad, Hisyam Ibn Amr Al Fuwati dan Abu Hussain al-Khayyat (w. 300 H) serta Sumamah Ibn Asyras (w. 213 H). Demikian sekelumit bahasan tentang tokoh-tokoh Muktazilah. Sudah barang tentu, sebetulnya masih banyak tokoh Muktazilah lain yang tidak tercover oleh literature-literatur sejarah. Namun yang jelas, tokoh-tokoh di atas sudah mampu merepresentasikan Muktazilah.
            Adapun tokoh-tokoh di Bashrah adalah sebagai berikut:
            Washil bin Atha' (Washiliyah);
            'Amr bin Ubaid (Amriah);
            Abu al-Hudzail al-Allaf (Hidzailiah);
            Ibrahim al-Nadzzam (Nadzamiah);
            Mu'ammar bin Abadi al-Sulami Hawali (Muammariah);
            Hisyam al-Fauthi (Hisyamiah);
            Abbad bin Sulaiman (Abbadiah);
            Amr bin Bahr al-Jahidz (Jahidziah);
            Abu Ya'qub al-Syahham (Syahhamiah);
            Abu Ali al-Jubba'i (Jubbaiyah);
            Abu Hasyim al-Jubba'i (al-Bahsyamiah).
    Sedangkan tokoh-tokoh Muktazilah di Baghdad adalah sebagai berikut:
            Bisyr bin al-Mu'tamar;
            Abu Musa al-Mirdar;
            Ja'far bin Harb;
            Muhammad bin Abdillah al-Iskafi;
            Abu Bakr al-Akhsyidi;
            Abu al-Hasan al-Khayyath.
Dari sekian banyak tokoh-tokoh Muktazilah ini dua di antaranya memiliki hubungan erat dengan al-Asy'ari yaitu Abu Hasyim dan al-Jubbai'. Kedua tokoh itulah yang banyak mempengaruhi al-Asy'ari sebelum ia menemukan metode barunya.

D. Pokok-pokok Ajaran Mu’tazilah
            Hampir semua aliran teologi memiliki doktrin yang membedakannya dengan yang lain. Bahkan tak jarang, karena perbedaan doktrin itulah sebuah aliran teologi muncul. Teologi Asyariyah misalnya, muncul karena memiliki tujuan mengimbangi doktrin Muktazilah yang dianggap mulai meresahkan. Doktrin merupakan ideology pokok yang diyakini kebenarannya oleh faham-faham teologi setelah mengadakan pembacaan yang mendalam terhadap teks dan konteks. Begitu juga di kalangan Muktazilah, sedemikian rupa sudah ditetapkan doktrin-doktrin yang dijadikan manhaj dalam berteologi. Muktazilah memiliki manhaj teologi yang sangat terkenal dengan sebutan al-Ushul al-Khamsah atau lima ajaran dasar yang menjadi pegangan kaum Muktazilah. Bahkan menurut al-Khayyat, orang tersebut tidak diakui sebagai penganut atau pengikut Muktazilah, sebelum mengakui dan menerima kelima dasar tersebut. Orang yang hanya menerima sebagian dasar tersebut, masih belum dapat dikatakan sebagai penganut Muktazilah, berikut kelima dasar tersebut sesuai dengan urutan pentingnya kedudukan tiap dasar:
            Pertama, At-Tauhid التوحيد, atau keMaha Esaan Tuhan. Tuhan, dalam pandangan mereka, akan benar-benar Maha Esa jika Dia merupakan Dzat yang unik, yang tidak ada serupa bagi-Nya. Oleh karena itu, wajar jika golongan Muktazilah sangat menentang paham antropomorphisme, yakni sebuah paham yang menggambarkan Tuhan dekat menyerupai makhluk-Nya. Mereka juga menolak beatific vision yang berarti Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala manusia. Tuhan di alam akhirat kelak tak terlihat oleh mata manusia. Mereka berdalil dalam firman Allah Ta’ala :
" قال رب أرنى أنظر إليك قال لن ترانى "
Artinya :
            “Maka Nabi Musa berkata: Wahai Tuhan ku perlihatkanlah kepadaku dzat Mu yang Maha Suci supaya aku dapat memandang kepada Mu, Allah menjawab: Engkau tidak sekali-kali dapat melihat Ku”. Mereka menafikan penglihatan itu berdasarkan kepada tafsiran mereka akan perkataan لن yang menafikan masa sekarang dan akan datang.
            Kedua, Al-'Adl العدل - Keadilan Tuhan. Prinsip ini memiliki kedekatan secara teologis dengan asas yang pertama. Kalau dengan at-Tauhid Muktazilah ingin mensucikan diri Tuhan dengan makhluk, maka dengan al-‘Adalah Muktazilah ingin mensucikan perbuatan Tuhan dengan perbuatan makhluk. Mereka menandaskan bahwa hanya Tuhanlah yang berbuat adil, karena Tuhan tidak bisa berbuat zalim. Perbuatan adil makhluk tidak akan pernah sama dengan perbuatan adil Tuhan, karena dalam perbuatan makhluk masih terkandung unsure-unsur kedzaliman. Kalau disebut Tuhan adil, maka menurut Abdul Jabbar, berarti bahwa semua perbuatan Tuhan bersifat baik; Tuhan tidak berbuat buruk dan tidak melupakan apa yang wajib dikerjakan-Nya. Dalam pandangan kaum Muktazilah, Tuhan tidak berbuat buruk bahkan tidak bisa berbuat buruk, karena perbuatan yang demikian muncul dari orang yang tidak sempurna, padahal Tuhan adalah Maha Sempurna. Tuhan, menurut Muktazilah, juga wajib mendatangkan kebaikan, bahkan yang terbaik bagi manusia.
            Ketiga, Al -Wa'du wal -Wa'id الوعد و الوعيد atau janji dan ancaman. Dasar ini merupakan lanjutan dari prinsip yang kedua tadi. Bagi Muktazilah, Tuhan tidak akan disebut adil jika ia tidak memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan tidak meghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki orang yang berbuat kesalahan diberikan hukuman kepadanya dan diberikan pahala kebaikan kepada orang yang telah berbuat baik, hal ini sebagaimana telah diajanjikan oleh Tuhan.
            Keempat, Al-Manzilah bayna al-Manzilatayn المنزلة بين المنزلتين - Posisi pertengahan secara leterlik dapat dimaknai sebagai tempat di antara dua tempat. Prinsip ini diadopsi oleh Muktazilah dari pendapat pribadi Wasil Ibn Atha’ yang juga merupakan Syaikhul Muktazilah. Prinsip tersebut menjelaskan seorang mukmin yang berdosa besar yang meninggal sebelum bertaubat. Menurut Muktazilah orang mukmin yang berbuat dosa besar bukanlah kafir, karena dia masih percaya Allah dan Muhammad. Tetapi, ia juga bukan mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna setelah berbuat dosa besar. Karena bukan mukmin, maka ia tidak berhak masuk surga dan juga karena ia bukan khair maka tidak selayaknya ia masuk neraka. Bagi Muktazilah, orang yang seperti ini seharusnya dilokalisir di luar surga dan neraka. Oleh karena di akhirat tidak ada tempat selain surga dan neraka, maka Muktazilah dalam keyakinan teologisnya berpendapat bahwa orang yang seperti ini masuk neraka, namun derajat siksanya lebih ringan daripada orang-orang kafir.
            Kelima, ­al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu a’n al-Munkar, الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sebenarnya prinsip ini dianut oleh seluruh aliran teologi. Hanya saja, yang berbeda adalah tentang perwujudannya apakah dilakukan dengan hanya menyerukan saja ataukah boleh dengan menggunakan kekerasan. Aliran Khawarij misalnya, dalam mewujudkan prinsip tersebut memperbolehkan penggunaan unsure kekerasan. Namun bagi kaum Muktazilah kalau bisa cukup dengan seruan saja, tapi kalau perlu, kekerarasan diperbolehkan. Sejarah membuktikan bahwa Muktazilah juga pernah menggunakan kekerasan dalam menyebarkan doktrin-doktrin mereka.

E. Mihnah
            Ketika pertama kali muncul, aliran Muktazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Muktazilah yang bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Muktazilah baru mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan Khalifah al Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M).
            Kedudukan Muktazilah semakin kokoh setelah Khalifah al Ma'mun menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini disebabkan karena Khalifah al Ma'mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani yang gemar akan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dan pada masa kejayaan itulah karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa Alquran itu makhluk Allah, jadi tidak qadim). Jika Alquran dikatakan qadim, berarti ada yang qadim selain Allah, dan ini hukumnya syirik.



BAB III
KESIMPULAN

Kaum Muktazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama ”kaum rasionalis Islam”.
Secara harfiyah muktazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran muktaziliyah (memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha’ (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Basri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Aliran ini menyebut dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Perlawanan terhadap muktazilah tetap berlangsung, yaitu mereka (yang menentang) muktazilah dan kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang di gagas oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang muktazilah. Aliran ini lebih dikenal denagn al- Asy’ariah. Di Samarkand muncul pula penentang muktazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi (994 M). Aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Muktazilah.
            Pada masa pemerintahan Khalifah al Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M). Kaum Muktazilah mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa Alquran itu makhluk Allah, jadi tidak qadim). Jika Alquran dikatakan qadim, berarti ada yang qadim selain Allah, dan ini hukumnya syirik. Berdasarkan uraian pembahasan di bab II bahwa sejarah munculnya aliran muktazilah ini tidak lepas dari pengaruh perbedaan-perbedaan paham dan dalam hal sejarah perkembangan teologi, pemikiran, doktrin-doktrin keagamaan dan lainnya.
             



[1] …………….Tim Penyusun, ENSIKLOPEDI MINI SEJARAH & KEBUDAYAAN ISLAM, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1996; hlm. 93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar