Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
Muktazilah
adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat rasional dan
liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam
lainnya adalah pandangan-pandangan teologisnya yang lebih banyak ditunjang oleh
dalil-dalil 'aqliah (akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering
disebut aliran rasionalis Islam. Muktazilah didirikan oleh Wasil bin Atha' pada
tahun 100H/718M.
Munculnya aliran Muktazilah
sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah
mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang
mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah
menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang
berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir.
Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir. Demikianlah pendapat Wasil bin Atha' yang kemudian menjadi salah satu doktrin Muktazilah yakni al manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
Demikian hebat dan luasnya
jangkauan konsep teologis Muktazilah. Namun, dalam tulisan kali ini penulis
akan memfokuskan kajian pada masalah (1.) latar belakang munculnya Muktazilah,
(2.) Tokoh-tokohnya, (3.) Ajaran asas muktazilah. Berikut penulis sajikan
pembahasan tentang ketiga hal tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Istilah Mu’tazilah
Perkataan mu’tazilah dalam
bahasa Arab termasuk wazan –bentuk atau pola kata- mufta’ilun, yaitu
isim fail dari kata kerja I’tazala – ya’tazilu - I’tizâlan, yang berarti memisahkan
diri, menjauhkan diri atau mengundurkan diri. Istilah mu’tazilah kemudian berkembang
menjadi nama sebuah aliran dalam bidang aqidah atau ilmu kalam di dalam islam.[1]
Menurut Syahristani, dari
kata i'tazala 'anna itulah lahirnya istilah Muktazilah. Ada lagi yang berpendapat, Muktazilah memang
berarti memisahkan diri, tetapi tidak selalu berarti memisahkan diri secara
fisik. Muktazilah dapat berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang
berkembang sebelumnya, karena memang pendapat Muktazilah berbeda dengan
pendapat sebelumnya. Selain nama Muktazilah, pengikut aliran ini juga sering
disebut kelompok Ahl al-Tauhid (golongan pembela tauhid), kelompok Ahl al-Adl
(pendukung faham keadilan Tuhan), dan kelompok Qodariyah. Pihak lawan mereka
menjuluki kelompok ini sebagai golongan free will dan free act, karena mereka
menganut prinsip bebas berkehendak dan berbuat. Ketika pertama kali muncul,
aliran Muktazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan
masyarakat awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Muktazilah yang
bersifat rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang
mendapatkan dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak
teguh dan istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
B. Latar Belakang Timbulnya
Mu’tazilah
Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Munculnya aliran Muktazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.
Pendapat Wasil bin Atha' yang
kemudian menjadi salah satu doktrin Muktazilah yakni al manzilah bain
al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Setelah mengeluarkan pendapatnya
ini, Wasil bin Atha' pun akhirnya meninggalkan perguruan Hasan al Basri dan
lalu membentuk kelompok sendiri. Kelompok itulah yang menjadi cikal bakal
aliran Muktazilah. Setelah Wasil bin Atha' memisahkan diri, sang guru yakni
Hasan al Basri berkata: ''I'tazala 'anna Wasil (Wasil telah menjauh dari diri
kita).
C. Tokoh-Tokoh Mu’tazilah
Tokoh utama yang sekaligus juga
pendiri paham Muktazilah adalah Wasil bin Atha’. Bahkan jumhur berpendapat,
bahwa memang sebutan Muktazilah muncul sebagai akibat dari reaksi Wasil yang
memisahkan diri (I’tazala) dari majlis pengkajian gurunya, Hasan Basri.
Setidak-tidaknya al-Mas’udi lah orang yang mendukung argument ini, bahkan
al-Masudi dalam fii Ilmi Kalam, sebagaimana dikutip Harun Nasution, menyebut
Wasil bin Atha’ sebagai Syaikhul Muktazilah wa Qadlimuha, yang berarti kepala
Muktazilah dan tetuanya.
Wasil lahir pada tahun 81 Hijriah di Madinah dan meninggal pada tahun 131 Hijriah. Di Madinah Wasil nyantri (belajar) di tempat Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiah. Pertemuannya dengan Abu Hasyim inilah yang pada akhirnya memperkenalkan Wasil dengan konsep-konsep teologi Ma’bad dan Gailan yang nota bene adalah penggiat faham Qadariyah. Setelah beberapa tahun, ia kemudian hijrah ke Basrah untuk menimba ilmu di majlis pengkajiannya Hasan al-Basri. Dari hasil dialektinya dengan Hasan al-Basri inilah yang kemudian mengantarkan Wasil bin Atha’ mendirikan aliran teologi yang kemudian lebih dikenal dengan Muktazilah. Konsep yang diperdebatkannya dengan Hasan al-Basri adalah tentang pelaku dosa besar. Perdebatan seputar masalah inilah yang akhirnya melahirkan doktrin al manzilatu baina al manzilatain, yang sekaligus menjadi konsep teologi paling awal bagi muktazilah.
Wasil lahir pada tahun 81 Hijriah di Madinah dan meninggal pada tahun 131 Hijriah. Di Madinah Wasil nyantri (belajar) di tempat Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad bin al-Hanafiah. Pertemuannya dengan Abu Hasyim inilah yang pada akhirnya memperkenalkan Wasil dengan konsep-konsep teologi Ma’bad dan Gailan yang nota bene adalah penggiat faham Qadariyah. Setelah beberapa tahun, ia kemudian hijrah ke Basrah untuk menimba ilmu di majlis pengkajiannya Hasan al-Basri. Dari hasil dialektinya dengan Hasan al-Basri inilah yang kemudian mengantarkan Wasil bin Atha’ mendirikan aliran teologi yang kemudian lebih dikenal dengan Muktazilah. Konsep yang diperdebatkannya dengan Hasan al-Basri adalah tentang pelaku dosa besar. Perdebatan seputar masalah inilah yang akhirnya melahirkan doktrin al manzilatu baina al manzilatain, yang sekaligus menjadi konsep teologi paling awal bagi muktazilah.
Dalam perkembangannya, menurut
Malatti, Wasil bin Atha’ kemudian memiliki dua orang murid, masing-masing
bernama Bisyr Ibn Said dan Abu Utsman al-Za’farani. Dari kedua murid inilah
paham Muktazilah kemudian dianut juga oleh Abu Huzail al- Allaf, salah seorang
yang juga termasuk tokoh terkemuka Muktazilah di kemudian hari. Serta seseorang
bernama Bisyr Ibn Mu’tamar yang pada akhirnya menjadi pimpinan Muktazilah
cabang Baghdad.
Sementara Bisyr Mu’tamar memutuskan membawa faham Muktazilah ke Baghdad, Abu Huzail lebih
memilih tinggal dan mengembangkan Muktazilah di Basrah bersama dengan Wasil.
Abu Huzail lahir pada tahun 135 H dan meninggal tahun 235 H, di usianya yang
ke-100. Abu Huzail terkenal sebagai tokoh yang ahli filsaat Yunani. Dengan
berbekal kelebihan inilah Abu Huzail menyusun konsep teologi Muktazilah dan
alur logika berpikirnya secara teratur. Kemahirannya dalam ilmu logika inilah
yang menjadikannya pendebat mahir dalam melawan golongan Majusi, Atheis dan
musuh-musuh teologi Islam lainnya kala itu.
Ajaran Abu Huzail yang terkenal
adalah uraiannya tentang berdayanya akal manusia. Menurutnya, manusia dengan
mempergunakan akalnya dapat dan wajib mengetahui Tuhan. Oleh karena itu, jika
manusia lalai mengenali dan mengabdi pada Tuhan maka tidak ada alasan baginya
untuk tidak mendapatkan balasan. Manusia dengan akalnya, juga wajib mengetahui
perbuatan yang baik dan buruk. Dengan pertimbangan akalnya, manusia wajib
mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan menjauhi perbuatan-perbuatan buruk,
meskipun tanpa adanya tuntunan berupa wahyu Tuhan. Abu Huzail juga memiliki
seorang murid yang juga menjadi pemuka Muktazilah. Dia adalah Ibrahim Ibn
Sayyar Ibn Hani al-Nazzam, yang lahir di Basrah pada tahun 185 H dan meninggal
pada tahun 221 H. Literatur mengenai dirinya menyebutkan bahwa ia adalah
seorang yang mempunyai kecerdasan luar biasa, ia juga memiliki kedekatan dan
bahkan menguasai filsafat Yunani. Al-Nazzam berbeda pendapat dengan gurunya
dalam masalah keadilan Tuhan. Menurutnya, mustahil bagi Tuhan untuk berbuat
dzalim. Bahkan tidak hanya itu, ia menambahkan bahwa Tuhan tidak berkuasa untuk
berbuat dzalim.
Pemimpin Muktazilah yang lainnya
adalah Mu’ammar Ibn Abbad. Ia hidup semasa dengan Wasil. Pendapatnya yang
terkenal adalah bahwa yang diciptakan oleh Tuhan adalah benda-benda materi.
Adapun a’radh atau ketimpangan adalah kreasi dari benda-benda itu sendiri.
Secara natural misalnya, pembakaran oleh api dan pemanasan oleh materi atau
dalam bentuk Ikhtiary seperti, antara gerak dan diam serta berkumpul dan
berpisah yang biasa dilakukan oleh binatang. Pemimpin Muktazilah lainnya yang
tak kalah masyhur adalah Abu Ali Muhammad Ibn Abdul Wahab al jubba’I dan
anaknya, Abu Hasyim Abdu Salam. Mereka berpendapat bahwa yang disebut dengan kalam
adalah sesuatu yang tersusun dari huruf dan suara. Oleh karena itu, mereka
menyebut Tuhan sebagai Mutakallim, yang berarti Pencipta kalam. Yang perlu
digaris bawahi menurut mereka adalah bahwa Mutakallim tidak selalu mengandung
arti berbicara. Selain pendapat tentang kalam Tuhan itu, mereka juga
berpendapat bahwa manusia tidak akan bisa melihat Tuhan di akhirat kelak.
Tokoh-tokoh Muktazilah lainnya adalah Abu Musa al- Murdar (w. 226 H) di Baghdad, Hisyam Ibn Amr Al Fuwati dan Abu Hussain al-Khayyat (w. 300 H) serta Sumamah Ibn Asyras (w. 213 H). Demikian sekelumit bahasan tentang tokoh-tokoh Muktazilah. Sudah barang tentu, sebetulnya masih banyak tokoh Muktazilah lain yang tidak tercover oleh literature-literatur sejarah. Namun yang jelas, tokoh-tokoh di atas sudah mampu merepresentasikan Muktazilah.
Tokoh-tokoh Muktazilah lainnya adalah Abu Musa al- Murdar (w. 226 H) di Baghdad, Hisyam Ibn Amr Al Fuwati dan Abu Hussain al-Khayyat (w. 300 H) serta Sumamah Ibn Asyras (w. 213 H). Demikian sekelumit bahasan tentang tokoh-tokoh Muktazilah. Sudah barang tentu, sebetulnya masih banyak tokoh Muktazilah lain yang tidak tercover oleh literature-literatur sejarah. Namun yang jelas, tokoh-tokoh di atas sudah mampu merepresentasikan Muktazilah.
Adapun tokoh-tokoh di Bashrah adalah
sebagai berikut:
Washil bin Atha' (Washiliyah);
'Amr bin Ubaid (Amriah);
Abu al-Hudzail al-Allaf
(Hidzailiah);
Ibrahim al-Nadzzam (Nadzamiah);
Mu'ammar bin Abadi al-Sulami Hawali
(Muammariah);
Hisyam al-Fauthi (Hisyamiah);
Abbad bin Sulaiman (Abbadiah);
Amr bin Bahr al-Jahidz (Jahidziah);
Abu Ya'qub al-Syahham (Syahhamiah);
Abu Ali al-Jubba'i (Jubbaiyah);
Abu Hasyim al-Jubba'i
(al-Bahsyamiah).
Sedangkan tokoh-tokoh Muktazilah di Baghdad
adalah sebagai berikut:
Bisyr bin al-Mu'tamar;
Abu Musa al-Mirdar;
Ja'far bin Harb;
Muhammad bin Abdillah al-Iskafi;
Abu Bakr al-Akhsyidi;
Abu al-Hasan al-Khayyath.
Dari sekian banyak
tokoh-tokoh Muktazilah ini dua di antaranya memiliki hubungan erat dengan
al-Asy'ari yaitu Abu Hasyim dan al-Jubbai'. Kedua tokoh itulah yang banyak
mempengaruhi al-Asy'ari sebelum ia menemukan metode barunya.
D.
Pokok-pokok Ajaran Mu’tazilah
Hampir semua aliran teologi memiliki
doktrin yang membedakannya dengan yang lain. Bahkan tak jarang, karena
perbedaan doktrin itulah sebuah aliran teologi muncul. Teologi Asyariyah
misalnya, muncul karena memiliki tujuan mengimbangi doktrin Muktazilah yang
dianggap mulai meresahkan. Doktrin merupakan ideology pokok yang diyakini
kebenarannya oleh faham-faham teologi setelah mengadakan pembacaan yang
mendalam terhadap teks dan konteks. Begitu juga di kalangan Muktazilah,
sedemikian rupa sudah ditetapkan doktrin-doktrin yang dijadikan manhaj dalam
berteologi. Muktazilah memiliki manhaj teologi yang sangat terkenal dengan
sebutan al-Ushul al-Khamsah atau lima
ajaran dasar yang menjadi pegangan kaum Muktazilah. Bahkan menurut al-Khayyat,
orang tersebut tidak diakui sebagai penganut atau pengikut Muktazilah, sebelum
mengakui dan menerima kelima dasar tersebut. Orang yang hanya menerima sebagian
dasar tersebut, masih belum dapat dikatakan sebagai penganut Muktazilah,
berikut kelima dasar tersebut sesuai dengan urutan pentingnya kedudukan tiap dasar:
Pertama,
At-Tauhid التوحيد, atau keMaha Esaan Tuhan. Tuhan, dalam pandangan mereka, akan
benar-benar Maha Esa jika Dia merupakan Dzat yang unik, yang tidak ada serupa
bagi-Nya. Oleh karena itu, wajar jika golongan Muktazilah sangat menentang
paham antropomorphisme, yakni sebuah paham yang menggambarkan Tuhan dekat
menyerupai makhluk-Nya. Mereka juga menolak beatific vision yang berarti Tuhan
dapat dilihat dengan mata kepala manusia. Tuhan di alam akhirat kelak tak
terlihat oleh mata manusia. Mereka berdalil dalam firman Allah Ta’ala :
" قال رب أرنى أنظر إليك قال لن ترانى "
Artinya :
“Maka Nabi Musa berkata: Wahai Tuhan
ku perlihatkanlah kepadaku dzat Mu yang Maha Suci supaya aku dapat memandang
kepada Mu, Allah menjawab: Engkau tidak sekali-kali dapat melihat Ku”. Mereka
menafikan penglihatan itu berdasarkan kepada tafsiran mereka akan perkataan “لن”
yang menafikan masa sekarang dan akan datang.
Kedua, Al-'Adl العدل - Keadilan Tuhan. Prinsip ini memiliki kedekatan
secara teologis dengan asas yang pertama. Kalau dengan at-Tauhid Muktazilah
ingin mensucikan diri Tuhan dengan makhluk, maka dengan al-‘Adalah Muktazilah
ingin mensucikan perbuatan Tuhan dengan perbuatan makhluk. Mereka menandaskan
bahwa hanya Tuhanlah yang berbuat adil, karena Tuhan tidak bisa berbuat zalim.
Perbuatan adil makhluk tidak akan pernah sama dengan perbuatan adil Tuhan,
karena dalam perbuatan makhluk masih terkandung unsure-unsur kedzaliman. Kalau
disebut Tuhan adil, maka menurut Abdul Jabbar, berarti bahwa semua perbuatan
Tuhan bersifat baik; Tuhan tidak berbuat buruk dan tidak melupakan apa yang
wajib dikerjakan-Nya. Dalam pandangan kaum Muktazilah, Tuhan tidak berbuat
buruk bahkan tidak bisa berbuat buruk, karena perbuatan yang demikian muncul
dari orang yang tidak sempurna, padahal Tuhan adalah Maha Sempurna. Tuhan,
menurut Muktazilah, juga wajib mendatangkan kebaikan, bahkan yang terbaik bagi
manusia.
Ketiga, Al -Wa'du wal -Wa'id الوعد و الوعيد atau janji dan ancaman. Dasar ini merupakan lanjutan
dari prinsip yang kedua tadi. Bagi Muktazilah, Tuhan tidak akan disebut adil
jika ia tidak memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan tidak meghukum
orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki orang yang berbuat kesalahan
diberikan hukuman kepadanya dan diberikan pahala kebaikan kepada orang yang
telah berbuat baik, hal ini sebagaimana telah diajanjikan oleh Tuhan.
Keempat, Al-Manzilah bayna
al-Manzilatayn المنزلة بين المنزلتين - Posisi pertengahan secara
leterlik dapat dimaknai sebagai tempat di antara dua tempat. Prinsip ini
diadopsi oleh Muktazilah dari pendapat pribadi Wasil Ibn Atha’ yang juga
merupakan Syaikhul Muktazilah. Prinsip tersebut menjelaskan seorang mukmin yang
berdosa besar yang meninggal sebelum bertaubat. Menurut Muktazilah orang mukmin
yang berbuat dosa besar bukanlah kafir, karena dia masih percaya Allah dan
Muhammad. Tetapi, ia juga bukan mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna
setelah berbuat dosa besar. Karena bukan mukmin, maka ia tidak berhak masuk
surga dan juga karena ia bukan khair maka tidak selayaknya ia masuk neraka.
Bagi Muktazilah, orang yang seperti ini seharusnya dilokalisir di luar surga
dan neraka. Oleh karena di akhirat tidak ada tempat selain surga dan neraka,
maka Muktazilah dalam keyakinan teologisnya berpendapat bahwa orang yang
seperti ini masuk neraka, namun derajat siksanya lebih ringan daripada
orang-orang kafir.
Kelima, al-Amru bi al-Ma’ruf wa
al-Nahyu a’n al-Munkar, الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر – melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. menyeru
kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sebenarnya prinsip ini dianut oleh
seluruh aliran teologi. Hanya saja, yang berbeda adalah tentang perwujudannya
apakah dilakukan dengan hanya menyerukan saja ataukah boleh dengan menggunakan
kekerasan. Aliran Khawarij misalnya, dalam mewujudkan prinsip tersebut
memperbolehkan penggunaan unsure kekerasan. Namun bagi kaum Muktazilah kalau
bisa cukup dengan seruan saja, tapi kalau perlu, kekerarasan diperbolehkan.
Sejarah membuktikan bahwa Muktazilah juga pernah menggunakan kekerasan dalam
menyebarkan doktrin-doktrin mereka.
E. Mihnah
Ketika pertama kali muncul, aliran
Muktazilah tidak mendapat simpati umat Islam, terutama di kalangan masyarakat
awam karena mereka sulit memahami ajaran-ajaran Muktazilah yang bersifat
rasional dan filosofis. Alasan lain mengapa aliran ini kurang mendapatkan
dukungan umat Islam pada saat itu, karena aliran ini dianggap tidak teguh dan
istiqomah pada sunnah Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Aliran Muktazilah
baru mendapatkan tempat, terutama di kalangan intelektual pada pemerintahan
Khalifah al Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M).
Kedudukan Muktazilah semakin kokoh
setelah Khalifah al Ma'mun menyatakannya sebagai mazhab resmi negara. Hal ini
disebabkan karena Khalifah al Ma'mun sejak kecil dididik dalam tradisi Yunani
yang gemar akan filsafat dan ilmu pengetahuan. Dan pada masa kejayaan itulah
karena mendapat dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan alirannya yang
dikenal dalam sejarah dengan peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa
Alquran itu makhluk Allah, jadi tidak qadim). Jika Alquran dikatakan qadim,
berarti ada yang qadim selain Allah, dan ini hukumnya syirik.
BAB III
KESIMPULAN
Kaum Muktazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi
yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan-persoalan yang
dibawa kaum khawarij dan murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal
sehingga mereka mendapat nama ”kaum rasionalis Islam”.
Secara harfiyah muktazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti
berpisah. Aliran muktaziliyah (memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak pada
abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha’ (700-750 M)
berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Basri karena perbedaan pendapat. Wasil bin
Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang
berarti ia fasik. Aliran ini
menyebut dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua
posisi).
Perlawanan terhadap muktazilah tetap berlangsung, yaitu mereka (yang
menentang) muktazilah dan kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang di
gagas oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang muktazilah.
Aliran ini lebih dikenal denagn al- Asy’ariah. Di Samarkand muncul pula
penentang muktazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi (994
M). Aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak
setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Muktazilah.
Pada masa pemerintahan Khalifah al
Ma'mun, penguasa Abbasiyah (198-218 H/813-833 M). Kaum Muktazilah mendapat
dukungan dari penguasa, kelompok ini memaksakan alirannya yang dikenal dalam
sejarah dengan peristiwa Mihnah (Pengujian atas paham bahwa Alquran itu makhluk
Allah, jadi tidak qadim). Jika Alquran dikatakan qadim, berarti ada yang qadim
selain Allah, dan ini hukumnya syirik. Berdasarkan
uraian pembahasan di bab II bahwa sejarah munculnya aliran muktazilah ini tidak
lepas dari pengaruh perbedaan-perbedaan paham dan dalam hal sejarah
perkembangan teologi, pemikiran, doktrin-doktrin keagamaan dan lainnya.
[1]
…………….Tim Penyusun, ENSIKLOPEDI MINI SEJARAH & KEBUDAYAAN ISLAM, Jakarta, Logos Wacana
Ilmu, 1996; hlm. 93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar