Makalah
Pendahuluan
Perkembangan
sejarah kalangan kaum muslimin sejalan dengan perkembangan ilmu-ilmu keagamaan
lainnya. Ilmu pengetahuan keagamaan yang pertama kali berkembang adalah ilmu
hadis. Perkembangan ilmu hadis inilah sebagai cikal bakal penulisan sejarah.
Dari penulisan hadis-hadis Nabi itu para sejarawan memperluas cakupannya
sehingga membentuk sastu tema sejarah tersendiri.
Salah
satu aliran penulisan sejarah yang munsul di Madinah yang kemudian disebut
dengan aliran Madinah, yaitu aliran sejarah ilmiah yang mendalam, yang banyak
memperhatikan al-maghazi dan al-sirah al- Nabawiyah yang berjalan
diatas pola metode ilmu hadis yang sangat memperhatikan sanat.
Makalah ini akan mengulas tentang tokoh-tokoh yang menulis sejarah yang beraliran Madinah dan cirri-ciri penulisannya.
Aliran Madinah
1. ‘Abdullah ibn al-Abbas, Sa’id ibn al-Musayyab,
Aban Ibn ‘Usman ibn ‘Affan, Syurahbil ibn Sa’ad dan ‘Ashim ibn ‘Umar ibn
Qatadah al-Zhafari.
Jasa tiga tokoh pertama dalam bidang penulisan sejarah dalam Islam, pada
dasarnya, terletak pada riwayat-riwayatnya yang masih merupakan embrio dari
kajian sejarah dalam Islam. ‘Abdullah ibn Al-Abbas (w. 78 H) dalam lapangan
ilmu keagamaan, di samping dikenal sebagai ahli hadis, fiqih dan tafsir yang
sangat luas pengetahuannya, dia juga dikenal sebagai memiliki pengetahuan
tentang sejarah, ayyam al-arab, nasab, syair dan bahasa. Al-thabari
meriwayatkan daripadanya peristiwa-perisriwa yang berkenaan dengan Bangsa Arab al-Ba’idah
(yang sudah punah), al-Isra’iliyyat, dan tentang al-maghazi (perang-perang
yang dipimpin Rasulullah saw.). dia tidak meninggalkan karya tulis, tetapi
ucapan-ucapannya banyak dicatat oleh murid-muridnya. Oleh karena itulah,
penulisan riwayat-riwayat ibn ‘Abbas ini dapat dikatakan sebagai awal penulisan
sejarah dikalangan Bangsa Arab.[1]
Sama dengan ibn ‘Abbas, Sa’id ibn al-Musayyab (13 – 94 H/634 – 713 M)
adalah juga seorang ahli fiqih yang mempunyai banyak pengetahuan tentang
sejarah. Pengetahuannya yang luas tentang sejarah diakui oleh al-Zuhri. Konon
dia telah menulis beberapa makalah lepas tentang kehidupan Nabi Muhammad saw.
Dan tentang ekspansi Islam. Hal itu diketahui melalui kutipan-kutipan
al-Thabari di dalam karya sejarahnya yang terkenal.[2]
Sedangkan Aban ibn “Ustman ibn ‘Affan (wafat antara tahun 95 – 105H/713 – 723
M) dinilai sebagai lambang dari pemisahan antara ilmu hadis dan kajian al-maghazi,
tema pertama sejarah Islam.[3]
Syurahbil ibn Sa’ad (w. 123 H)[4],
di samping dikenal sebagai seorang perawi hadis, juga dikenal sebagai sejarawan
muslim generasi pertama, yang banyak memiliki pengetahuan tentang al-sirah dan
al-maghazi. Sebagaimana para pendahulunya, dia tidak meninggalkan karya
sejarah, tetapi keterangan tentang sejarah yang berasal dari padanya diperoleh
dari para ahli ahli dan peraawi hadis. Namun, berbeda dengan Ibn ‘Abbas dan
Sa’ad ibn al-Musayyab, Syurahbil ibn Sa’ad lebih dikenal sebagai sejarawan dari
pada sebagai perawi hadis. Dia dianggap sebagai orang yang tahu tentang perang-perang
Nabi saw. (al-maghazi), orang-orang yang hijrah dari Mekah ke
Madinahbersama Nabi Muhammad saw., dan orang-orang yang terlibat dalam Perang
Badar dan Perang Uhud. Dia juga menulis nama-nama para sahabat yang hijrah dari
Mekah ke Habasyah (Ethiopia)
pada tahun 615 M. Meskipun karyanya tidak ditemukan lagi, kandungannya sudah
dilestarikan oleh para sejarawan yang mengutipnya.
Sebagaimana Syurahbil ibn Sa’ad, ‘Ashim ibn ‘Umar ibn Qatadah al-Zhafari
(w. 120 H/737 M) adalah seorang tokoh sejarah aliran Madinah yang memiliki
pengetahuan luas tentang al-maghazi dan al-sirah.
Riwayat-riwayatnya dalam hal itu banyak dikutip oleh para sejarawan sesudahnya,
seperti ibn Ishaq dan al-Waqidi. Demikian luasnya pengetahuannya dalam hal
tersebut, sampai-sampai ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz, khalifah Bani Umayyah
memerintahkannya untuk mendirikan majelis ilmu di Maslid Damaskus dimana dia
memberikan kuliah tentang al-maghazi dan riwayat hidup para sahabat.[5]
2. ‘Urwah ibn
Zubayr ibn al-‘Awwam
‘Urwah ibn Zubayr ibn al-‘Awwam[6]
adalah satu generasi dengan Syurahbil ibn Sa’ad dan ‘Aban ibn ‘Utsman ibn
‘Affan. Dibandingkan dengan sahabat segenerasinya itu, menurut ‘Abd al-‘Aziz
al-Duri, perannya dalam menumbuhkan ilmu sejarah dalam Islam lebih mendasar.
‘Urwah adalah seorang tokoh suku Quraisy. Ayahnya bernama al-Zubayr ibn
al-‘Awwam dan ibunya bernama Asma’ bint Abi Bakr. ‘Aisyah adalah bibinya dari
garis ibunya. Khadijah binti Khuwaylid adalah neneknya. Ia bersaudara dengan ‘Abdullah
ibn al-Zubayr. Dan istrinya, Umm Yahya adalah puteri bungsu dari al-Hakam ibn
Abi al-‘Ash, tokoh terpandang bangsa Quraisy pada masanya. ‘Urwah sangat bangga
dengan garis keturunannya, baik dari garis ayahnya maupun garis ibunya. Garis
keturunan itu mempunyai pengaruh terhadap pembawaan dirinya serta hubungannya
dengan riwayat-riwayat yang dihasilkannya.
Terdapat perbedaan mengenai tahun kelahirannya. Beberapa kalangan yang
berwewenang mengatakan bahwa dia dilahirkan pada tahun 22 atau 26 atau 29 H.
Salah satu riwayat mengatakan bahwa dia dilahirkan pada tahun 23 H/643 M. Hal
ini tampaknya merupakan perhitungan yang lebih seksama, sesuai dengan riwayat
lain yang menyatakan bahwa dia berusia tigabelas tahun pada waktu terjadinya
perang Jamal (Unta) pada tahun 36 H. Hal tersebut ditunjang dengan pernyataan
‘Urwah sendiri yang menyatakan bahwa dalam perjalanannya menuju pertempuran,
waktu itu ia kembali karena usianya masih belia. Tentang tahun wafatnya
terdapat beberapa riwayat. Al-Thabari menetapkan bahwa ia meninggal tahun 94 H,
demikian pula ibn Sa’ad dan rekan-rekannya. Menurut ibn Qutaybah dan ibn
Khalikan, dia meninggal tahun 93 H. Namun riwayat yang paling tua dan paling
dapat dipercaya adalah tahun 94 H/712 M.
‘Urwah tumbuh dewasa dan belajar di Madinah. Dia kemudian tinggal di
Mesir selama 7 tahun antara tahun 58 dan tahun 65 H, dan menikah di sana. Dia sering
mengunjungi Damaskus. Aspirasinya berbeda dengan ayah dan dua orang saudaranya,
‘Abdullah dan Mush’ab. Dalam hal ini dia berkata, “saya ingin bersikap zuhud
terhadap dunia, agar memperoleh surga di akhirat. Saya juga ingin menjadi ulama
tempat orang menimba ilmu”.[7]
Hal ini tercermin juga dalam kehidupannya. ‘Urwah menghabiskan seluruh hidupnya
untuk belajar dan mengajar. Dia meriwayatkan hadis dan ilmu dari ilmuan-ilmuan
besar Madinah. Dia adalah salah seorang dari tujuh pakar fiqih di Madinah pada
masanya dan salah seorang yang paling menonjol dalam bidang hadis.[8]
Sebelum mendalami tentang sejarahnya, perlu dijelaskan bahwa ia memiliki
hubungan dengan Bani Umayyah. Dia mengenal ‘Abd al-Malik pada masa mudanya di
Madinah dan sudah biasa bertemu dengannya di Masjid Nabawi. ‘Urwah mengunjungi
‘Abd al-Malik di Damaskus, ketika yang terakhir ini sudah menjadi khalifah.
Setelah saudaranya, ‘Abdullah ibn al-Zubair meninggal, dia datang mengunjungi
Khalifah al-Walid. Dia menemui kesulitan untuk menghadap penguasa-penguasa Bani
Umayyah yang berkedudukan di Damaskus. Riwayat menunjukkan bahwa tidak ada
tanda-tanda orang-orang Damaskus menghormati ilmunya dan dia sangat hati-hati
waktu berhubungan dengan mereka. Hal ini dibuktikan oleh kenyataan ketika pihak
penguasa Bani Umayyah bertanya kepadanya tentang peristiwa-peristiwa yang
berhubungan dengan tugas Nabi. Dia menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut
dalam bentuk sejarah. Sebagaian di antaranya telah sampai kepada kita melalui
al-Thabari. Risalah-risalah itu merupakan bahan sejarah yang paling tua yang
sampai kepada kita dan merupakan bagian-bagian yang paling dipercaya.
‘Urwah tidak membatasi bahasannya pada al-maghazi, tetapi juga
mengangkat masa al-Khulafa’ al-Rasyidun. Hal ini sangat jelas dalam
berbagai kutipan dari karyanya yang sampai kepada kita.
Dari tulisan-tulisannya, sulit untuk merekontruksi gagasannya tentang
sejarah masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, karena dia tidak menuangkan
peristiwa-peristiwa secara rinci, kecuali tentang Perang Riddah. Berkenaan tentang
Perang Riddah sendiri, ia tampaknya tetap menggunakan pola penulisan al-machazi.
Yang mungkin dilakukan adalah usaha merekonstruksi gagasannya tentang al-maghazi.
Dari tulisan-tulisannya itu tampaknya ‘Uewah menulis tentang al-maghazi-nya
secara berurutan mulai dari turunnya wahyu, mulainya dakwah, hijrah ke
Habasyah, hijrah ke Madinah kemudian dilanjutkan dengan aktivitas-aktivitas di
Madinah seperti ekspedisi ‘Abdullah ibn Jahsy, Perang Badar, Perang Qainuqa’,
Perang Khandaq, Perang Bani Quraizhah, Perjanjian Hudaibiyah, ekspedisi Mu’tah,
penaklukan kota Makah, Perang Hunayn, Perang al-Tha’if, beberapa surat yang
dikirim Nabi, dan hari-hari terakhir hayat Rasulullah.[9]
Riwayat-riwayatnya itu tampaknya hanya terperinci dalam hal-hal yang
berhubungan dengan peristiwa-peristiwa penting. Beberapa peristiwa hanya
disinggung dalam isyarat belaka. Pada bagian lain, dapat disaksikan bahwa
antara satu peristiwa dengan peristiwa lain disajikan secara berhubungan,
seperti hubungan antara penaklukan kota
Makah dengan perjanjian Hudaybiyah. Sementara itu, Perang Uhud sendiri tidak
diriwayatkannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ‘Urwah sudah memulai
karya tentang al-maghazi. Bahkan karyanya itu tidak terbatas pada
persoalan-persoalan al-maghazi (perang), tetapi juga sudah memasuki
aspek-aspek al-sirah (riwayat hidup Nabi), sejak turunnya wahyu sampai
wafatnya Nabi.
Oleh karena itulah, al-Sakhawi[10]
di dalam karyanya mengisyaratkan adanya kajian tentang al-maghazi oleh
‘Urwah. Pendapat ini dikuatkan oleh Haji Khalifah yang mengatakan bahwa ‘Urwah
adalah sejarawan muslim pertamayang mengarang al-maghazi. Namun yang
jelas adalah bahwa ‘Urwah sudah melakukan kajian tentang al-maghazi akan
tetapi gagasannya tentang al-sirah belum jelas.
‘Urwah adalah seorang perawi hadis yang dapat dipercaya, dan dia dalam
menuliskan berita-berita sejarah itu menggunakan metode hadis. Kedudukan
sosialnya telah memudahkan untuk mendapatkan riwayat-riwayat dari sumbernya.
Kita juga mendapatkan adanya isnad dalam riwayat-riwayatnya, tetapi
dalam riwayat-riwayatnya yang lain tidak digunakan isnad. Dalam
surat-suratnya kepada ‘Abd al-Malik ibn Marwan, ‘Urwah menggabungkan sejumlah
hadis kedalam bentuk ringkasan tunggal bersambung dan bentuk laporannya itu
tidak menyajikan isnad. Pada masa itu kaidah-kaidah isnad memang
belum dirumuskan dengan jelas dan riwayat yang langsung diriwayatkan oleh
tabi’in, khususnya dalam peristiwa sejarah, dinilai sebagai riwayat yang dapat
dipercaya.
Di samping laporan lisan, ‘Urwah juga mempunyai perhatian terhadap
dokumen tertulis, terbukti dengan ditulisnya beberapa surat Rasul ke berbagai tempat dan ini
merupakan aspek penting dalam penulisan sejarah. Dia juga mengaitkan
peristiwa-peristsejarah dengan nash-nash alquran yang berisi atau ada kaitannya
dengan peristiwa sejarah itu.
Riwayat ‘Urwah dinilai otentik, karena diriwayatkan dari sumbernya yang dapat dipercaya, seperti
‘Aisyah, keluarga al-Zubayr, Usamah ibn Zayd, ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash,
Abu Dzar.
Dalam beberapa riwayatnya, ‘Urwah menampilkan beberapa syair yang
diucapkan oleh orang-orang yang terlibat di dalam peristiwa bersangkutan. Hal
ini dianggap wajar, sesuai dengan lingkungan kota Madinah, karena syair adalah unsure
asasi dalam kebudayaan dan penulisan Arab.
Gaya
tulisan ‘Urwah mudah dimengerti, hidup dan runtut, jauh dari sikap berlebihan (mubalaghah)
atau usaha mempengaruhi pembaca. Ketika memulai suatu riwayat, dia biasanya
menuliskan tentang latar belakang peristiwa itu dengan mengaitkan dengan
peristiwa-peristiwa sebelumnya atau yang sedang terjadi. Demikianlah, ketika ia
menulis tentang Perang Badar ia menyebutkannya sebagai awal peperangan antara
kaum muslimin dan kaum quraisy, dan ketika ia menulis tentang hijrah ke
Habasyah ia juga menyebutkan perkembangan hubungan antara kaum muslimin dengan
kaum quraisy sejak awal dakwah dilakukan Nabi, dan ketika ia menuliskan tentang
hijrah ke Madinah dia juga menggambarkan dengan hidup tentang hubungan
peristiwa itu dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya secara runtut dan tidak
terpitus.[11]
Sangat jelas bahwa penulisan sejarah bermula dan sangat erat hubungannya
dengan ilmu hadis, bahkan dapat dikatakan bahwa sejarah merupakan cabang atau
bagian dari ilmu hadis tersebut. Langgamnya juga menggunakan langgam hadis.
Dari tulisan-tulisannya, gagasan sejarah dibalik kajian ini adalah pemaparan
tantang keadaan, peristiwa-peristiwa penting sejarah dalam kehidupan Nabi dan
kaum muslimin pertama. Dalam hal ini ada gagasan tentang pentingnya pengetahuan
tentang al-sirah dan tentang pengalaman-pengalaman umat Islam. Dapat
disimpulkan pula bahwa pertanyaan-pertanyaan penguasa Bani Umayyah tentang al-maghazi
tidak terbatas menjadi perhatian penuntut ilmu, tetapi juga menjadi cerminan
akan kecendrungan social dan budaya.
Apa yang dilakukan ‘Urwah ini sangat besar nilainya, karena dia telah
menegakkan tonggak kajian sejarah, ketika dia mengumpulkan sejumlah besar hadis
sejarah dalam al-maghazi. Dia telah meletakkan dasar-dasar kajian ini
dan telah pula mencetuskan gagasan sejarah yang sangat berpengaruh. Apa yang
sudah dimulai ‘Urwah ini kemudian disempurnakan oleh al-Zuhri.
3. Muhammad ibn Muslim ibn ‘Ubaidillah ibn Syihab
al-Zuhri (w. 124 H/742 M)
Kebangkitan aliran sejarah di Madinah, menurut ‘Abd al-‘Aziz al-Duri,
bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dari Abu Bakr Muhammad ibn Muslim ibn
‘Ubaydillah ibn Syihab al-Zuhri (selanjutnya disebut al-Zuhri), karena dialah
yang menempatkan sejarah pada landasan yang jelas dan menggambarkan orientasi
studi sejarah.[12] Di
samping itu, kajian tentang al-Zuhri ini semakin penting untuk menentukan
apakah prinsip-prinsip al-maghazi berasal dari cerita-cerita rakyat
sebagaimana dipandang oleh sebagian orang ataukah berasal dari kajian yang
sesungguh-sungguhnya yang dilakukan oleh para ahli hadis dan murid-muridnya.
Al-Zuhri wafat pada 17 Ramadhan 123 H/742 M. para sejarawan berbeda
pendapat tentang kelahirannya. Menurut al-Wakidi dan al-Zubayr ibn Bakar, dia
wafat dalam usia 72 tahun. Oleh karena itu diperkirakan dia lahir pada tahun 51
H/671 M.[13]
Al-Zuhri adalah salah seorang tokoh besar ilmu hadis dan ilmu fiqih. Di
antara guru-gurunya adalah Sa’id ibn al-Musayyab, Aban ibn ‘Utsman, ‘Udaydillah
ibn ‘Abdillah ibn Qutaybah dan ‘Urwah ibn al-Zubayr. Dia dikenal sebagai orang
yang sangat kuat ingatannya. Yang lebih penting lagi adalah bahwa ia menuliskan
riwayat-riwayat yang diterimanya dari guru-gurunya, yang dimaksudkan untuk
membantu menguatkan ingatannya itu. Tulisan-tulisannya itulah yang mnyebabkan
ia dipandang lebih tinggi dari ulama generasinya.
Dalam bidang al-maghazi, al-Zuhri terutama bersandar pada
riwayat-riwayat yang diterimanya dari guru yang lama digaulinya, ‘Urwah ibn
al-Zubayr. Dia membahas wilayah kajian yang sangat luas di Madinah dari
hadis-hadis Rasulullah dan para sahabat Nabi saw. Hal itu sangat dimungkinkan
oleh kedudukan sosialnya yang tinggi, di samping kekuatan ingatannya dan
tulisannya tersebut. Dia tidak hanya membatasi diri untuk manggali hadis dari
para muhaddisin, tetapi dia juga mengorek pengetahuan dari siapa pun yang
menurutnya dapat memberikan informasi yang dapat dipercaya tentang suatu hal,
baik kaum tua maupun kaum muda. Oleh karena itulah mendatangi banyak sekali
forum pengkajian dan mendatangi para ulama ke rumahnya masing-masing. Demikian
tekunnya dalam menuntut ilmu, sampai-sampai para ulama sezaman dan yang datang
sesudahnya memujinya sebagai lautan ilmu keislaman yang tak pernah kering
ditimba.
Al-Thabari menyatakan bahwa al-Zuhri adalah orang pertama yang meletakkan
dasar ilmu maghazi (perang-perang Rasulullah), sejarah Quraisy dan
Anshar, yang mengarang sejarah Rasulullah dan para sahabatnya.
Jelas bahwa kajian al-Zuhri berkenaan dengan kehidupan Rasulullah. Dia
memulai dengan sebagian peristiwa sebelum Islam dan sebagian lagi berhubungan
dengan Rasulullah di Makah dan sesudahnya di Madinah. Dalam tulisannya itu, ia
sudah menggunakan istilah al-maghazi untuk menyebut perang-perang
Rasulullah dan al-sirah untuk menyebut riwayat hidup Nabi Muhammad saw.
Namun, hal itu belum tentu menunjukkan bahwa dialah yang pertama kali
menggunakan kata tersebut.
Informasi tentang maghazi (perang-perang Nabi) yang ditulis oleh
al-Zuhri tidak ditemukan lagi, kecuali kutipan-kutipan yang terdapat di dalam
kitab-kitab sejarah karya ibn Ishaq, al-Waqidi, al-Thabari, al-Baladzuri dan
Ibn Sayyid al-Nas.
Al-Zuhri adalah orang pertama yang membuat kerangka jelas bagi penulisan al-sirah
(riwayat hidup Nabi saw), dia telah menggariskan dengan jelas sehingga para
sejarawan yang datang sesudahnya tinggal menyempurnakan kerangka itu dengan
terinci. Dalam hal ini dia juga memulai penulisan al-maghazi atau al-sirah
dengan materi-materi yang berhubungan dengan kehidupan Muhammad sebelum
diangkat menjadi Nabi atau Rasul dan ada kemungkinan dia juga memberikan
silsilah keturunannya. Setelah menyebutkan tanda-tanda kenabian, dia beralih
kepada turunnya wahyu pertama kemudian tentang peristiwa-peristiwa penting pada
periode Makah dan setelah itu hijrah dan peristiwa-peristiwa penting pada
periode Madinah sampai wafatnya Rasulullah.[14]
Tampaknya al-Zuhri memperhatikan rangkaian dan kronologis sejarah dan dia
juga sudah mencantumkan tahun kejadian sejarah itu. Pencantuman tahun kejadian
ini sangat membantu untuk merekontruksi kerangka buku karangan al-Zuhri.
Pada dasarnya, pendekatan al-Zuhri dalam penulisan sejarah ini adalah
pendekatan ilmu hadis. Perhatiannya adalah terletak pada usahanya untuk
mendapatkan riwayat hadis, termasuk di dalamnya riwayat sejarah. Dia
berpendapat bahwa mempelajari dan mengajarkan ilmu merupakan kepentingan social
dan agama, selain merupakan perbuatan taqwa. Dengan aktivitas ilmiahnya itu ia
mendapatkan posisi social yang tinggi.
Adapun metode yang digunakannya dalam menilai hadis dan riwayat
disandarkan pada metode isnad. Dalam hal isnad ini, dia dipandang
sebagai seorang yang sangat kuat, tetapi kadang-kadang ia merasa cukup dengan
meriwayatkan hanya dari satu orang tabi’in. langkah penting al-Zuhri dalam
periwayatan peristiwa-peristiwa sejarah ini adalah penggunaan isnad kolektif,
yaitu dengan mengumpulkan beberapa riwayat dalam kisah yang runtut, yang
dikemukakan oleh para perawi. Di samping itu, dia juga banyak menyebutkan
ayat-ayat al-quran yang berhubungan dengan peristiwa sejarah.
Dalam riwayat-riwayat sejarahnya, tampak sekali bahwa al-Zuhri
berpandangan dinamis ketika membahas tentang perang-perang Nabi. Gagasan
fatalistik tidak dominant. Demikianlah yang terlihat ketika ia berusaha
menguraikan pandangannya tentang Perjanjian Hudaybiyah. Sehingga dapat
dikatankan bahwa riwayat-riwayat al-Zuhri, umumnya memberikan informasi faktual
dengan langgam yang jelas, sederhana dan terfokus. Tidak banyak dalam
tulisannya itu unsur-unsur mubalaghah, melebih-lebihkan. Umumnya
informasi sejarahnya itu bersumber dari hadis-hadis. Sementara itu, ia
berpendapat bahwa cerita rakyat hanyalah hiburan belaka. Meskipun demikian, unsur-unsur
cerita rakyat juga tersisipkan di dalam tulisan-tulisan sejarahnya itu, seperti
simpatinya Heraklius terhadap agama Islam, peringatan yang didengar olek Kisra dan
rincian tentang peristiwa Suraqah. Sementara dalam tulisannya tentang para Nabi
sebelum Muhammad, terlihat bahwa unsure Israilliyat banyak mempengaruhinya dan
itu bersumber dari Ka’ab al-Ahbar. Sebagai mana halnya gurunya ‘Urwah ibn
al-Zubayr, al-Zuhri juga kadang-kadang menyisipkan syair di dalam
tulisan-tulisan sejarahnya dan itu dianggap wajar pada masanya, karena syair
merupakan unsure penting dalam budaya Arab ketika itu. Namun syair-syairnya
tidak menunjukkan bahwa ia terpengaruh pada syair-syair yang termuat dalam al-ayyam.
Kajian sejarah al-Zuhri tidak terbatas pada al-maghazi, tetapi
juga meliputi al-ansab (nasab, garis keturunan). Dia juga menulis
tentang nasab Mudhar, tetapi tidak sampai selesai. Dia juga menulis tentang
peristiwa-peristiwa pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, seperti pemilihan Abu
Bakr sebagai khalifah, kebijaksanaan politik ‘Umar ibn al-Khattab, kekhalifahan
‘Ustman ibn ‘Affan, pengumpulan dan penulisan al-Quran, kritik-kritik terhadap
‘Utsman, pengaruh buruk dari Marwan ibn al-Hakam, akhir masa kekhalifahan
‘Utsman, pemilihan ‘Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah, peristiwa perang
Jamal, perang Shiffin antara ‘Ali dan Mu’awiyyah, tahkim (arbitrase), kekuasaan
Mu’awiyah, hubungan Hasan ibn ‘Ali dengan penduduk Kufah, dan mundurnya Hasan
dari kekhalifahan. Namun, al-Zuhri tidak membahas tentang masa Bani Muawiyah. Tentang
pemerintahan Bani Umayyah ini hanya sedikit sekali menjadi perhatiannya.
Bagian dari kajian al-Zuhri ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap
pengalaman umat merupakan faktor lain yang menentukan dalam pertumbuhanpenulsan
sejarah. Prinsip musyawarah mufakat, munculnya kekuatan politik dan polemic
tentang kejadian masa lalu, khususnya tentang “fitnah” , masalah khilafah
(apakah melalui pemilihan atau pewarisan), problema administrasi, khususnya
penataan gaji dan perkantoran, semuanya menuntut kejelasan melalui
kajian-kajian sejarah. Dalam hal ini, misalnya al-Zuhri menjelaskan kepada umat
bahwa Nabi tidak menunjuk seseorang yang akan menjadi pemimpin penggantinya
setelah Nabi Muhammad wafat, yang menunjukkan bahwa kepemimpinan ditentukan
oleh pemilihan dan bukan dengan pewarisan. Demikian pula halnya dengan
persoalan-persoalan lain seperti peristiwa terbunuhnya ‘Utsman ibn ‘Affan,
Perang Jamal dan Perang Shiffin adalah persoalan lain yang perlu diambil
hikmahnya. Dalam kajian-kajian terhadap peristiwa ini, tampak bahwa al-Zuhri
bersikap netral dan objektif, tidak berpihak pada salah satu golongan yang
bertikai. Meskipun ia untuk beberapa lama bekerja di istana Bani Umayyah di
Damaskus, pandangan-pandangan sejarahnya tidak terpengaruh oleh perkembangan politik
pada masa itu. Ia tetap merupakan seorang cendikiawan yang kritis.
4. Musa ibn
‘Uqbah (w. 141 H/758 M)
Musa ibn ‘Uqbah adalah murid al-Zuhri. Dia adalah seorang ulama yang
menguasai banyak ilmu keagamaan Islam, tetapi dia lebih terkenal sebagai seorang
yang banyak memiliki pengetahuan tentang al-maghazi.[15]
Imam malik ibn Anas[16]
berkata: “Kalau ingin menimba ilmu tentang al-maghazi, maka timbalah
dari Musa ibn ‘Uqbah, karena al-maghazi yang paling shahih pada masa itu
adalah al-maghazi-nya Musa ibn ‘Uqbah”. Pujian senada juga dinyatakan
oleh al-Sakhawi. Sebagaimana gurunya, al-Zuhri, dia dengan ketat berpegang pada
metode isnad dan penanggalan kronologis peristiwa. Karyanya tidak
ditemukan lagi, tetapi beberapa bagian daripadanya dapat dijumpai dalam karya-karya
Muhammad ibn Sa’ad (al-Thabaqat) dan karya al-Thabari yang banyak
mengutip daripadanya tentang al-sirah, Khulafa’ Rasyidun dan Bani
Umayyah.
Penutup
Umat
Islam telah mengalami kemajuan dalam penulisan sejarah, bahkan tidak ada bangsa
lain yang menulis sejarah seperti halnya kaum muslimin. Para
sejarawan muslim telah menulis ribuan buku dengan variasi judul dan isinya.
Jumlah karya sejarah banyak sekali, sehingga tidak mungkin bisa dihitung.
Suburnya penulisan sejarah menimbulkan aliran-aliran penulisan di awal masa
kebangkitan Islam. Setiap aliran menggunakan metode dan tema yang berbeda.
Aliran Madinah, misalnya mengembangkan penulisan sejarah bertolak dari
penggumpulan hadits-hadits Nabi SAW.
Daftar Pustaka
Tarhini, Muhammad Ahmad, al-Mu’arrikhul wa al-Tarikh ‘ind al-Arab, Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991
al-Silmi, Muhammad ibn Shamil al-‘Alyani, Manhaj Kitabah
al-Tarikh al-Islam Ma’a Dirasat li Tathawwur wa Manahij al- Mu’arrikhin Riyadh: Dar Thibah, 1986
Ibn Sa’ad, Syurahbil” dalam HA Hafizh Dasuki (Ed.), Ensiklopedi
Islam, Suplemen 1 Jakarta:
PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, cetakan pertama
al-Duri, ‘Abd al-Aziz, Bahs fi Nasy’ah ‘Ilm al-Tarikh ‘ind al-Arab, Beirut:
Dar al-Masyriq, 1986
Yatim, Badri, Historiografi Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
al-Sakhawi, Syams al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman, al-I’lan
bi al-Tawbikh li Man Dzamm al-Tarikh, Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun.
[1]
Muhammad Ahmad Tarhini, al-Mu’arrikhul wa al-Tarikh ‘ind al-Arab (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1991), h. 42
[2] Ibid.,
h. 42 – 43
[3] Ibid.,
h. 43
[4]
Muhammad ibn Shamil al-‘Alyani al-Silmi, Manhaj Kitabah al-Tarikh al-Islam
Ma’a Dirasat li Tathawwur wa Manahij al- Mu’arrikhin (Riyadh: Dar Thibah,
1986), h. 298-299; dan “Ibn Sa’ad, Syurahbil” dalam HA Hafizh Dasuki (Ed.), Ensiklopedi
Islam, Suplemen 1 (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1996, cetakan
pertama), h. 215-216
[5]
Muhammad Ahmad Tarhini, al-Mu’arrikhul wa al-Tarikh ‘ind al-Arab (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1991), h. 47
[6]
‘Abd al-Aziz al-Duri, Bahs fi Nasy’ah ‘Ilm al-Tarikh ‘ind al-Arab (Beirut: Dar al-Masyriq,
1986), h. 61-77
[7]
Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
60
[8] Ibid.,
h. 60
[9]
Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
61
[10]
Syams al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman al-Sakhawi, al-I’lan bi al-Tawbikh
li Man Dzamm al-Tarikh (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun), h. 159.
[11]
Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
63
[12]
‘Abd al-Aziz al-Duri, Bahs fi Nasy’ah ‘Ilm al-Tarikh ‘ind al-Arab (Beirut: Dar al-Masyriq,
1986), h. 78-102
[13]
Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
64
[14]
Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.
66
[15]
Muhammad Ahmad Tarhini, al-Mu’arrikhul wa al-Tarikh ‘ind al-Arab (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, 1991), h. 49-50
[16]
Pendiri Mazhab Maliki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar