A.
PENDAHULUAN
Imam
al-Ghazali (1058-111 M) dikenal sebagai ulama yang banyak mengkritik pendapat
para filosof pendahulunya, seperti Aristoteles (382-322 SM), Al-Farabi (874-999
M), Ibn Sina (980-1037) dan lain-lain. Adapun pendapat mereka yang ia kritik
adalah 20 masalah metafisika. Tiga diantaranya Al-Ghazali mengatakan bahwa filsafat
mereka membawa kepada kekufuran yaitu :
1.
Bahwa aliran alam tidak bermula
(qadim).
2.
Bahwa Tuhan tidak mengetahui
perincian segala sesuatu (juz’iyat)
yang terjadi
di alam.
3.
Pengingkaran terhadap kebangkitan
jasmani (hasyr al-jasad) di akhirat.1
Sedang masalah
metafisika yang lainnya Al-Ghazali mengidentifikasikan mereka dengan
Mu’tazilah.
Sebagai
pembelaan atas kaum filosof terhadap serangan-serangan Al-Ghazali, Ibn Rusyd
(1126-1198 M) menulis buku yang berjudul “Tahafut al-Tahafut” (kekacauan
diatas kekacauan), sebagai bantahan dan jawaban terhadap buku Al-Ghazali yang
berjudul “Tahafut al-Falasifah” (kekacauan pemikiran filosof-filosof).
B.
PERBEDAAN
PENDAPAT AL-GHAZALI DAN IBNU RUSYD
Al Ghazali2
berpendapat bahwa pemikiran para filosof tentang metafisika bertentangan dengan
ajaran Islam. Untuk itu, ia mengecam secara langsung dua tokoh Neo-Paltonisme
muslim (Al-Farabi dan Ibn Rusyd), yaitu
1 Al Ghazali, Al-Munqidz Min al Dhalal (Kairo:Al-Matba’ah)
al-Islamiyah, 1977), hlm. 26
2 Nama lengkapnya Abu Hamid Ibn Muhammad ibn
Ahmad al-Ghazali, digelar Hujjah
al-Islam. Ia lahir di Thus, bagian dari kota
Khurasan, Iran
pada 450 H (1056 M). Ayahnya tergolong orang yang hidup sangat sederhana
sebagai pemintal benang, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tingi seperti
terlihat simpatiknya kepada ulama, dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu
memberi nasehat kepada ummat. Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan
anaknya, Al-Ghazali dan saudaranya Ahmad yang ketika itu masih kecil, kepada
seorang ahli Tasyauf untuk mendapatkan didikan dan bimbingan. Diperkirakan
Al-Ghazali, hidup dalam suasana kesederhanaan sufi tersebut sampai usia 15
tahun (450-465 H). lihat Dr.Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, hlm. 77.
Dalam masalah alam tidak
bermula (qadim), Tuhan tidak mengetahui perincian dalam dan pembangkitan
jasmani tidak ada.3
1.
A. Tentang Qadimnya
Alam Menurut Al-Ghazali
Dikalangan
pemikir Yunani seperti Aristoteles, mengatakan bahwa alam ini qadim dalam arti
kata tidak ada awalnya.4 Dan faham ini juga dianut para filosof
muslim seperti Al Farabi dan Ibn Rusyd, mereka membuat beberapa alasan yaitu :
·
Mustahil secara mutlak yang baharu
muncul dari yang qadim.
·
Tuhan lebih dahulu daripada alam.
Tuhan lebih
dahulu daripada alam bukan dari segi zaman melainkan dari segi zat (tingkata),
seperti terdahulunya bilangan satu dari dua, atau dari segi kausalitasnya,
seperti dahulunya gerakan seseorang atas
gerakan bayangannya, sedang gerakan tersebut sebenarnya sama-sama mulai dan
sama-sama berhenti, artinya sama dari segi zaman. Berarti Tuhan lebih dahulu
daripada alam dan zaman, dari segi zaman, bukan dari segi zat, maka artinya
sebelum wujud alam dan zaman tersebut, sudah terdapat suatu zaman dimana (tidak
ada) murni terdapat didalamnya sebagai hal yang mendahului wujud alam.
·
Tiap-tiap yang baru didahului oleh
bendanya.
Tiap-tiap yang
didahului oleh bendanya untuk didapat dikatakan bahwa benda itu baru. Yang baru
hanyalah form, sifat-sifat dan peristiwa-peristiwa yang mendatangkan kepada
benda.5
Al-Ghazali menjawab
alasan-alasan para filosof tersebut dengan membedakan antara iradat yang qadim
dengan apa yang dikehendakinya. Kehendak Allah yang azali adalah mutlak,
artinya bisa memilih sewaktu-
3 Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, Jld II (Jakarta: UI-Press,1979) Hal.65
4 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Sulaiman Duya,
(ed) (Kairo: Dar al Ma’arif,tt.), Hal 88.
5 Ibid, Hal.118.
waktu tertentu, bukan
waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya karena sebab tersebut adalah
kehendakNya sendiri. Kalau masih ditanya sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan
itu terbatas tidak lagi bebas.6
Menurut
Al-Ghazali, terdahulunya tuhan dari alam dan zaman ialah maksudnya adalah bahwa
tuhan sudah ada sendirian pada saat alam belum ada, kemudian Ia menciptakan
alam, hingga pada saat itu tuhan ada beserta alam. Pada keadaan pertama adanya
zat Tuhan zat alam, sedangkan alam hanyalah gerakan alam yang berarti sebelum
ada benda (alam) tentu saja belum ada alam.
Selanjutnya
menurut Al-Ghazali, alam itu bukanlah suatu sistem yang berdiri sendiri, bebas
dari lainnya, bergerak, berubah, tumbuh dan berkembang dengan dirinya, dengan
hukum-hukumnya. Tetapi wujud, sistem dan hukum-hukumnya bertopang pada Allah.
Dia lah yang mencipta, menahan, mengendalikan, menghidupkan, dan mematikan
segala sesuatu.7
Dengan
demikian menurut Al-Ghazali bahwa alam qadim dalam arti tidak bermula tidak
dapat diterima dalam theologi Islam. Sebab, menurut theology Islam Tuhan adalah
pencipta, yang dimaksud dengan pencipta adalah yang menciptakan sesuatu dari
tiada (creation ex nihilo). Kalau alam dikatakan qadim, berarti alam tidak
diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta, sedangkan Al-Qur’an
menyebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Menurut Al-Ghazali alam
haruslah hadits (Bermula).8 Jika alam qadim berarti ada banyak yang
qadim, hal ini mengindikasikan kesyirikan atau justru tidak ada perlu adanya
Tuhan sang pencipta.9
6 Ibid, Hal.96. A.Ahmadi, Filsafat Islam (Semarang: Toha Putra,
1988), hlm.216.
A.Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), hlm. 114
7 A.Ahmadi, Ibid, Hal.217-219. A.Hanafi, Ibid, hlm. 147.
8 Harun
Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai
Aspeknya, hlm.38.
9 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm.85
1.
B. Tentang Qodimnya Alam Menurut Ibn Rusyd
Pendapat para
filosof bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima kalangan
teologi Islam, sebab menurut konsep teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang
dimaksud pencipta ialah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula berarti
alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat
seperti ini membawa kekufuran. Demikian gugatan Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah.
Ibnu Rusyd,
begitu pula para filosof lainnya berpendapat bahwa creatio ex nihilio tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada atau
kekosongan tidak mungkin berubah menjadi ada. Yang mungkin terjadi ialah “ada”
yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain.10
Pernyataan
bahwa creatio ex nihilio tidak
didukung oleh dasar syari’at yang kuat, disanggah oleh Ibn Rusyd. Tidak ada
ayat yang mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada
wujud selain dari dirinya, dan kemudian dijadikanlah alam ini. Ini kata Ibn
Rusyd hanyalah merupakan pendapat dan Interpretasi kaum teolog.11
Pendapat Ibn
Rusyd ini didukung oleh beberapa ayat Al-Qur’an yang mengandung pengertian
bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari sesuatu yang sudah ada, bukan dari tiada,
seperti ayat berikut ini :
qèdur Ï%©!$#
t,n=y{ ÏNºuq»yJ¡¡9$#
uÚöF{$#ur Îû
ÏpGÅ 5Q$r&
c%2ur
¼çmä©ötã
n?tã
Ïä!$yJø9$# öNà2uqè=ö7uÏ9 öNä3r& ß`|¡ômr& WxyJtã 3
úÈõs9ur
|Mù=è% Nä3¯RÎ)
cqèOqãèö6¨B .`ÏB Ï÷èt/ ÏNöqyJø9$# £`s9qà)us9
tûïÏ%©!$#
(#ÿrãxÿ2 ÷bÎ) !#x»yd
wÎ) ÖósÅ ×ûüÎ7B
ÇÐÈ
10 De
Boer, T.J., Tarikh al-Falsafah fi
al-Islam, terjemahan Arab oleh Abd. Al-Hadi Abu Raidah. Kairo: Lajnah
al-Ta’lif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1938. hlm. 260.
11 Nasution, Falsafah dan Misticisme, hlm. 44.
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah
di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu Berkata (kepada penduduk
Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya
orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir
yang nyata". ( Q.S. Hud; 11:7 )
Ayat ini
menurut Ibn Rusyd mengandung arti bahwa sebelum adanya wujud langit-langit dan
bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di atasnya terdapat tahta
kekuasaan Tuhan, dan adanya masa sebelum masa diciptakannya langit dan bumi. Tegasnya
sebelum langit dan bumi diciptakan telah ada air, tahta, dan masa.12
§NèO
#uqtGó$# n<Î)
Ïä!$uK¡¡9$#
}Édur ×b%s{ß
tA$s)sù
$olm;
ÇÚöF|Ï9ur $uÏKø$#
%·æöqsÛ
÷rr& $\döx.
!$tGs9$s%
$oY÷s?r&
tûüÏèͬ!$sÛ
ÇÊÊÈ
Kemudian dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu
masih merupakan asap, lalu dia Berkata kepadanya dan kepada bumi:
"Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau
terpaksa". keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati". (Q.S. Fushlihat; 41:11).
Ayat-ayat
sebelum ayat ini menyatakan bahwa Tuhan menciptakan bumi dalam dua hari (masa),
dihiasinya dengan gunung-gunung dan diisinya berbagai macam makanan kemudian
barulah Tuhan naik ke langit yang pada waktu itu masih merupakan uap. Ibn Rusyd
menafsirkan ayat ini mengandung arti bahwa langit dijadikan dari sesuatu yaitu
uap.
Dari ayat-ayat
diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum bumi dan langit dijadikan telah
ada benda lain. Dalam sebagian ayat benda itu diberi nama air, dan dalam ayat
lain disebut uap. Selanjutnya dapat pula ditarik kesimpulan bahwa bumi dan
langit dijadikan dari air atau uap sesuatu yang ada bukan dijadikan dari tiada.
Sementara itu tidak pernyataan dalam Al-Qur’an yang secara eksplisit menegaskan
“Tuhan ada bersama-sama dengan non-wujud (tiada) dan kemudian mewujud setelah
ia tiada”.13
12
Al-Ahwani, Al-Falsafah, hlm.
144.
13 Fakhry, hlm. 314.
2.
A. Tentang
Pengetahuan Tuhah Menurut Al-Ghazali
Misalnya pada peristiwa
gerhana matahari, sedangkan sebelumnya tidak gerhana dan gerhana akan hilang.
Sebelumnya kita mengetahui gerhana itu tidak ada dan ketika terjadi gerhana
pengetahuan kita berubah jadi mengetahui adanya gerhana, lalu ketika gerhana
berlalu, pengetahuan kita berubah jadi mengetahui tidak ada gerhana lagi. Dari
contoh ini bisa menunjukkan pengetahuan yang satu bisa menggantikan pengetahuan
yang lain.
Tuhan
mengetahui gerhana dengan segala sifat-sifatNya, pengetahuan yang azali, abadi
dan tidak berubah-ubah seperti hukum alam yang menguasai terjadinya gerhana.
Jadi Ilmu Tuhan mengetahui sejak azali karena sebab-sebab yang ditimbulkan oleh
sebab-sebab lain yang sifatnya juz’i.
Menurut
Al-Ghazali, Ilmu adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain
dari zat. Kalau terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap
dalam keadaan-Nya yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada yang berdiri di
sebelah kanan kita kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka sebenarnya
yang berubah adalah kita bukan Dia.
Argumentasi
Al-Ghazali ini juga berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi petunjuk bahwa
Tuhan mengetahui yang juz’iyah seperti firmanNya dalam Surah Al-Hujurat Ayat 16
:
cqßJÏk=yèè?r&
©!$#
öNà6ÏZÏÎ/
ª!$#ur
ãNn=÷èt
$tB
Îû
ÏNºuq»yJ¡¡9$#
$tBur
Îû
ÇÚöF{$#
4 ª!$#ur
Èe@ä3Î/
>äóÓx«
ÒOÎ=tã
ÇÊÏÈ
Artinya : 16.
Katakanlah: “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang
agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu ?”
Dalam Surah Yunus Ayat 61
:
4
$tBur
Ü>â÷èt `tã
y7Îi/¢
`ÏB
ÉA$s)÷WÏiB ;o§s Îû
ÇÚöF{$# wur Îû
Ïä!$yJ¡¡9$#
Iwur ttóô¹r& `ÏB
y7Ï9ºs
Iwur uy9ø.r& wÎ) Îû
5=»tGÏ.
AûüÎ7B
ÇÏÊÈ
Artinya : “Tidak luput dari pengetahuan Tuhan biarpun sebesar
Zarrah di bumi ataupun di langit, tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula
yang besar dari itu.”
2. B. Tentang
Pengetahuan Tuhah Menurut Ibn Rusyd
Masalah kedua
yang digugat Al-Ghazali dan dianggapnya membawa kepada kekufuran ialah masalah
Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Kalau
Al-Ghazali mengatakan, menurut para filosof Tuhan tidak mengetahui perincian
yang terjadi di alam, maka oleh Ibn Rusyd menjawab, Al-Ghazali dalam hal ini
salah paham, sebab para filosof tidak ada pernah mengatakan demikian, yang ada
ialah pendapat mereka bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam
tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu. Jadi menurut Ibn
Rusyd pertentangan antara Al-Ghazali dan para filosof timbul dari penyamaan
pengetahuan Tuhan dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia tentang
perincian diperoleh melalui panca indra dan dengan panca indra ini pulalah
pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan
penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan
sifatnya berhubungan langsung dengan rincian-rincian (juziyah) yang materi itu.
Selanjutnya,
Ibn Rusyd menjelaskan bahwa pengetahuan Tuhan merupakan sebab (bagi wujudnya
perincian) yang tidak berubah oleh perubahan yang dialami juziyah. Tuhan mengetahui apa-apa yang akan terjadi dan sesuatu
yang telah terjadi. Pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu yang telah
lampau, sekarang, dan akan datang. PengetahuanNya bersifat qadim yaitu semenjak
azali Tuhan mengetahui segala hal-hal yang terjadi di alam, betapa pun
kecilnya.14 Meskipun demikian pengetahuan Tuhan tidak dapat diberi
sifat kulliyah atau juziyah. Sebab kedua sifat itu merupakan
kategori-kategori manusia, bukan merupakan kategori Ilahi. Sebenarnya bentuk
pengetahuan Tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh Tuhan sendiri.15
3.
A. Tentang
Kebangkitan Jasmani Menurut Al-Ghazali
Pada intinya
menurut mereka mustahil manusia dibangkitkan kembali dengan jasad yang semula,
sebab jasad tersebut telah hancur dan terurai menjadi bahan makanan dan menjadi
bagian dari tubuh makhluk lain seperti hewan, tumbuhan atau bahkan manusia
lainnya.
Al-Ghazali
berpendapat bahwa jika manusia tetap wujud sesudah mati, karena ia merupakan
subtansi yang berdiri sendiri. Pendirian tersebut tidak berlawanan dengan
syara’, bahkan ditunjukkan seperti disebutkan dalam Al-Qur’an dalam Surah Yasin
ayat 78 dan 79 :
z>uÑur
$oYs9
WxsWtB
zÓŤtRur
¼çms)ù=yz
( tA$s%
`tB
ÄÓ÷Õã
zN»sàÏèø9$#
}Édur
ÒOÏBu
ÇÐÑÈ
ö@è%
$pkÍósã
üÏ%©!$#
!$ydr't±Sr&
tA¨rr&
;o§tB
( uqèdur
Èe@ä3Î/
@,ù=yz
íOÎ=tæ
ÇÐÒÈ
Artinya : “ ia berkata: "Siapakah yang dapat
menghidupkan tulang belulang, yang Telah hancur luluh?, Katakanlah : "Ia
akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan dia Maha
mengetahui tentang segala makhluk.
14
Musa, Bain, hlm. 215.
15
De Boer, hlm. 261.
16
Al-Ghazali,
Tahafut al-Falasifah, hlm.213
3. B. Tentang
Kebangkitan Jasmani Menurut Ibn Rusyd
Dalam
membantah gugatan dan vonis Al-Ghazali, Ibn Rusyd menandaskan bahwa filosof
tidak menolak adanya kebangkitan bahkan semua agama samawi mengakui adanya
kebangkitan ukhrawi. Hanya saja sebagian berpendapat bahwa kebangkitan tersebut
dalam bentuk rohani dan sebagian yang lain berpendapat bahwa dalam bentuk
rohani dan jasmani sekaligus.
Meskipun Ibn
Rusyd cenderung berpendapat bahwa kebangkitan diakhirat nanti dalam wujud
rohani saja, ia tidak menafikan kemungkinan kebangkitan jasmani bersama-sama
rohani. Kalaupun kebangkitan ukhrawi tersebut dalam bentuk fisik, di mana
roh-roh akan menyatukan kembali dengan jasad sebagaimana keadaannya semula di
dunia, tetap jasad tersebut bukanlah jasad yang ada di dunia itu sendiri, sebab
jasad yang ada di dunia telah hancur dan lenyap disebabkan kematian, sedangkan
yang telah hancur mustahil dapat kembali seperti semula.17
Ibn Rusyd
sendiri melihat bahwa adanya pertentangan didalam pendapat Al-Ghazali. Dalam
bukunya Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali
mengatakan bahwa kebangkitan tidak hanya dalam bentuk rohani, tetapi dalam
tulisannya yang lain pada buku yang berbeda, ia mengatakan bahwa kebangkitan
bagi kaum sufi akan terjadi hanya dalam bentuk rohani, tidak dalam bentuk
jasmani.19 Karena itu Al-Ghazali telah membatalkan sendiri gugatan
dan vonisnya terhadap para filosof. Sejarah kehidupan Al-Ghazali menunjukkan
bahwa ia terakhir adalah sebagai tokoh sufi.
17 Musa, Bain, hlm. 223
18 Musa, Bain, hlm. 221
19 Nasution, Falsafat dan Misticisme, hlm. 47.
Sungguhpun
demikian, Ibn Rusyd berpendapat bahwa bagi orang awam soal pembangkitan itu
perlu digambarkan dalam bentuk jasmani, dan tidak hanya dalam bentuk rohani,
karena pembangkitan jasmani lebih mendorong bagi kaum awam untuk melakukan
pekerjaan baik dan meninggalkan perbuatan jahat.
C. PENUTUP
Dari penjelasan
diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat antara
Al-Ghazali dan kaum filosof tentang arti baru dan qadim. Baru menurut
Al-Ghazali berarti mewujudkan dari tiada, sedangkan menurut kaum filosof kata
itu berarti mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan qadim
menurut Al-Ghazali ialah suatu yang berwujud tanpa sebab, sedangkan menurut
kaum filosof adalah tidak selalu tanpa sebab bisa juga berarti sesuatu yang
berwujud dengan sebab.
Al-Ghazali
telah salah memahami pendapat para filosof, bahwa sebenarnya para filosof tidak
mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang sifatnya particular, namun
untuk mengetahui hal itu Tuhan dapat mengetahuinya dengan pengetahuan tuhan
yang sifatnya Kully.
Dalam
persoalan jasmani, Ibn Rusyd dan Al-Ghazali tidak jauh berbeda karena Ibn Rusyd
tidak menafsirkan adanya kebangkitan jasmani dan ruhani, tetapi itu
dipergunakan untuk penjelasan bagi orang awam karena hal-hal yang bersifat
ruhani jauh lebih tinggi daripada hal-hal yang bersifat materil.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, A., Filsafat Islam, Semarang :
Toha Putra, 1988.
Al-Ghazali, Al-Munqidz Min al Dhalal. Kairo:Al-Matba’ah al-Islamiyah, 1977.
_____________, Tahafut al-Falasifah, Sulaiman Duya,
(ed). Kairo: Dar al Ma’arif,tt.
Daudi, Ahmad Kuliah Filsafat Islam. Jakarta :
Bulan Bintang, 1992.
Hanafi, A., Pengantar Teologi Islam. Jakarta :
Al-Husna Zikra, 1995.
Hasbullah, H., Disekitar Filsafat Skolastik Islam. Jakarta : Tintamas, 1984.
Musa, Mhd. Yusuf, Bain al-Din wa al-Falsafah. Kairo:
Dar Ma’arif, 1971.
Nasution, Harun, Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jld II. Jakarta :
UI-Press, 1979.
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam. Jakarta :
Gaya Media
Pratama, 1999.
Syarif, M.M (ed), History
of Muslim Philosofhy, vol Ibn Rusyd-II,. Wesbaden: Otto Harrowits,
1963.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar