A. Pendahuluan
Hadis
sebagai sumber kedua ajaran Islam telah mendapat perhatian yang serius dan para
Ulama dalam upaya memelihara keotentikannya. Hadis telah dibukukan di dalam
berbagai kitab dan penulis kitab Hadis disebut periwayat sekaligus penghimpun
hadis. Sebagian penghimpun Hadis telah berupaya untuk menyeleksi hadis-hadis
yang sahih di dalam kitabnya, namun sebagian lain menghimpun Hadis sebanyak
mungkin tanpa membedakan antara yang sahih dan yang tidak sahih, seperti musnad Imam Ibn Hanbal dan kitab-kitab musnad lainnya.
Para Ulama
memperhatikan para periwayat hadis dalam upaya membedakan antara hadis yang
dapat diterima dan hadits yang ditolak, yakni dengan memperhatikan kesalehan,
kekuatan ingatan, kecermatan dan akhlak setiap periwayat hadis. Pengalaman para
Ulama dalam mengkaji keadaan periwayat hadis ini berkembang dan melahirkan
kaidah-kaidah yang pada akhirnya menjadi sebuah ilmu, disebut ‘ilmu al-jarh
wa at-ta’dil.
Dalam
makalah ini, akan dijelaskan pengertian al-jarh wa at-ta’dil, dalil disyariatkan
al-jarh wa al-ta’dil, lafal-lafal yang dipergunakan dalam al-jarh dan
al-ta’dil, syarat-syarat al-jarh dan al-ta’dil, prosedur
penetapan al-jarh dan al-ta’dil, cara mengetahui keadilan seorang
perawi, pertentangan antara al-jarh dan al-ta’dil.
|
B. Pengertian
al-Jarh dan al-Ta’dil
Kata al-Jarh
adalah bentuk masdar dari jaraha-yajrahu yang secara etimologi berarti
“luka”.[1] Keadaan
luka di sini dalam bentuk fisik maupun non fisik, seperti luka badan terkena benda
tajam sehingga darah mengalir (fisik) atau seperti luka hati karena mendengar
kata-kata yang kasar dari seseorang (non fisik).
Apabila kata
jaraha dipakai dalam bentuk kesaksian dalam pengadilan, seperti “jaraha
al-hakim asy-syahid”, maka kalimat ini berarti “Hakim menggugurkan keadilan
saksi”.[2] Kalimat
ini muncul karena pada diri saksi terdapat cacat atau kekurangan yang
menggugurkan keabsahan saksi yang diberikannya.
Secara
terminologi, al-Jarh didefenisikan oleh para Ulama, sebagai berikut:
ظهور وصف في الراوى يثلم عد الته او يخل بحفظه وضبطه مما يترتب
عليه سقوط روايته اوضعفها ورد ها.[3]
Artinya:
“Munculnya sifat pada seseorang periwayat yang merusak keadilannya atau
hafalannya dan kecermatannya yang keadaan ini menyebabkan gugurnya atau
lemahnya atau tertolaknya riwayat yang disampaikannya”.
Al-Jazari
mengemukakan defenisi lain, sebagai berikut:
وصف متى التحق بالراوى والشاهد سقط الاعتبا ربقوله وبطل العمل به.[4]
Artinya:
“Suatu sifat yang apabila terdapat (melekat) pada periwayat hadis atau saksi, maka
perkataannya tidak dapat diterima dan batal beramal dengannya”.
Sedang dalam
istilah ilmu hadis, al-jarh berarti
terdapatnya suatu sifat pada seorang perawi yang menyebabkan ternodainya
keadilannya, atau merusak hafalan dan kecermatannya dalam memelihara Hadis
sehingga mengakibatkan riwayat yang disampaikannya menjadi gugur, lemah atau
ditolak.[5]
Dari kedua
defenisi yang dikemukakan di atas, dapat memberikan gambaran tentang pengertian
al-Jarh, sekalipun redaksi pengertian di atas berbeda, namun menurut hemat
penulis defenisi tersebut memberikan pengertian yang sama, yaitu terdapatnya
sifat-sifat yang jelek (tercela) pada diri periwayat yang menyebabkan hadisnya
tidak dapat diterima.
Adapun kata at-ta’dil
berasal dari kata ‘adalah, dari bentuk masdar ‘addala yang
artinya mengemukakan sifat-sifat baik (adil) yang dimiliki seseorang.[6] Kata at-ta’dil
secara etimologi berarti tazkiyah yaitu membersihkan atau memberi
rekomendasi.[7]
Atau bisa juga diartikan bahwa ta’dil itu adalah pernyataan sifat adil oleh
seorang kritikus Hadis terhadap seorang perawi sehingga riwayat yang
disampaikannya diterima dan dinyatakan sahih.[8]
Secara terminologi, kata
at-ta’dil berarti:
هومن
لم يظهرفي امرد ينه ومر وء ته ما يخل بهما.[9]
Artinya:
“Seseorang yang tidak terlihat pada dirinya sesuatu yang merusak urusan agama
dan muruahnya”.
Maka jarh
wa at-ta’dil adalah pengungkapan keadaan periwayat tentang sifat-sifatnya
yang tercela dan terpuji sehingga dapat diambil keputusan apakah riwayat yang
disampaikan itu dapat diterima atau ditolak. Pengetahuan tentang pembahasan ini
disebut dengan istilah ‘ilm jarh wa at-ta’dil.
Muhammad
‘Ajjaj al-Khatib memberikan defenisi ‘ilm jarh wa at-ta’dil sebagai
berikut:
هوالعلم الذي يبحث في احوال الر واة من حيث قبول روايتهم اورد هم.[10]
Artinya:
“Suatu seperti ilmu yang membicarakan tentang para periwayat dari segi diterima
atau ditolaknya riwayat mereka”.
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa ‘ilm jarh wa at-ta’dil
adalah ilmu yang membicarakan tentang hal ihwal (keadaan) para periwayat dari
segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka dalam meriwayatkan hadis.
C. Dalil
Disyariatkan al-Jarh wa al-Ta’dil
Dalil yang
menjadi disyariatkannya al-jarh wa al-ta’dil adalah firman Allah yang
terdapat dalam surat
al-Hujarat ayat 6:
يأ يها الذ ين امنوا ان جاء كم فا سق بنبا فتبينوا ان تصيبوا قوما
بجها لة فتصبحوا على ما فعلتم ند مين.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatanmu itu”.[11]
Selain itu
juga surah al Baqarah ayat 282:
وا ستشهد وا شهيد ين من رجا لكم فا ن لم يكو
نا رجلين فرجل وامرا تن ممن تر ضو ن من الشهدﺁء ان
تضل ا حدا هما فتذ كرا حدا هما الاخرى ولا يأب الشهدء اذا ماد عوا.
Artinya: ”Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua
orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi
mengingatkannya”.[12]
Yang
dimaksud saksi yang diridhai adalah orang yang kita ridhai agama dan
kejujurannya. Pengutipan dan periwayatan hadits tidak kurang dari kesaksian
itu, yang berarti hadits tidak diterima kecuali dari orang-orang yang tsiqah.
Berkenaan
dengan al-jarh, Rasulullah saw. besabda:
بئس أ
خوالعشيرة.
Artinya: “Seburuk-buruk
saudara adalah dia”.
Dan yang berkenaan dengan ta’dil,
beliau bersabda:
نعم
عبد الله خالد ابن الوليد سيف من سيوف الله.
Artinya: ”Sebaik-baik hamba Allah
adalah Khalid Ibn al-Walid, sebilah pedang dari pedang-pedang Allah”.[13]
D. Lafal-lafal
yang Dipergunakan dalam al-Jarh dan
al-Ta’dil
Ada beberapa lafaz yang
digunakan untuk menta’dil dan menjarh periwayat dan derajatnya berbeda-beda.[14] Menurut
Ibn Hajar al-Asqalany, ada enam tingkatan lafaz-lafaz al-jarh wa at-ta’dil.[15]
Adapun
lafaz-lafaz at-ta’dil dan tingkatan penggunaannya masing-masing adalah
sebagai berikut:
1. Lafaz
atau ungkapan yang menunjukkan kepercayaan kepada periwayat secara berlebihan (mubalaghah)
atau dengan af’al tafdhil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian
yang sejenis, seperti:
اوثق النا س اثبت النا س حفظا وعدالة.[16]
2. Lafaz
atau ungkapan yang menunjukkan kuatnya kepercayaan kepada periwayat dengan
pengulangan lafaz tsiqah dua kali, baik pengulangan itu dengan lafaz
yang sama maupun dengan lafaz yang berbeda, seperti:
ثبت ثبت ثقة ثقة.[17]
3. Lafaz
yang menunjukkan kepercayaan dan mengandung arti kuatnya ingatan periwayat,
seperti: حا فظ ضا بط.[18]
4. Lafaz
atau ungkapan yang menunjukkan keadilan dan hafalan serta kecermatan periwayat
tetapi tidak dalam arti keadilan atau ingatan yang kuat, seperti: صد و ق محله الصد ق.[19]
5. Lafaz
atau ungkapan yang menunjukkan kejujuran periwayat, tapi tidak menggambarkan
hafalan atau kecermatan, seperti: جيد الحد يث حسن الحد يث.[20]
6. Lafaz
at-ta’dil yang menunjukkan ketidakyakinan penilaian akan keadilan dan
dhabit periwayat sehingga ia tidak menggunakan lafaz at-ta’dil secara
mutlak melainkan dengan mengaitkannya dengan pengharapan. Tingkatan ini sudah
mendekati tingkatan al-jarh, seperti:
صا
لح الحد يث صد و ق ان شا ء الله.[21]
Para Ulama menerima
hadits yang diriwayatkan dengan lafaz-lafaz pada tingkat pertama sampai tingkat
keempat sebagai hujjah. Sementara hadis yang dita’dil pada tingkat
kelima dan keenam hanya ditulis dan dapat digunakan apabila mendapat dukungan
yang kuat dari periwayat lain.
Adapun
mengenai lafaz al-jarh dan pembagian tingkatannya,[22] sebagai
berikut:
1. Memberi
sifat kepada periwayat dengan sifat-sifat yang menunjukkan kelemahannya, tetapi
mendekati sifat adil, seperti: ضعيف حد يثه فلا ن فيه خلا ف
2. Lafaz
yang menunjukkan kelemahan dan kekacauan hafalan periwayat, seperti:فلا ن مجهول فلا ن منكرالحد
يث.
3. Lafaz
yang menunjukkan sangat lemahnya riwayat yang disampaikan oleh si periwayat,
seperti: فلا ن مرد ود الحد يث
4. Lafaz
yang mengandung tuduhan dusta, seperti: فلا ن متهم بالكذ ب
5. Lafaz
yang menunjukkan cacat periwayat dalam bentuk mubalaghah, seperti:
كذ ا ب وضاع.
6. Lafaz
yang menunjukkan cacat yang keterlaluan pada periwayat dengan menggunakan
lafaz-lafaz yang berbentuk af’al at-tafdhil, seperti: ا كذ ب النا س
E. Syarat-syarat
al-Jarh dan al-Ta’dil
Al-jarh wa at-ta’dil
mempunyai dua macam syarat, yaitu: pertama, syarat Ulama yang boleh melakukan jarh
dan ta’dil dan kedua, syarat diterimanya jarh dan ta’dil.
Adapun
syarat Ulama yang akan melakukan jarh dan ta’dil itu, sebagai
berikut:
1. Berilmu,
bertaqwa, warak dan jujur.
2. Mengetahui
sebab-sebab jarh dan ta’dil.
3. Mengetahui
penggunaan lafaz dan ungkapan bahasa Arab sehingga lafaz yang digunakan tidak
terpakai kepada selain maknanya yang tepat dan tidak menjarh dengan lafaz yang
sebenarnya tidak digunakan untuk jarh.
4. Penilaian
jarh dan ta’dil dari setiap orang yang adil, baik laki-laki
maupun perempuan, merdeka maupun budak diterima.
5. Penilaian
jarh dan ta’dil dari satu orang dapat dipadakan selama ia
memenuhi syarat sebagai penilai. Inilah pendapat kebanyakan Ulama.[23]
Sementara
syarat-syarat diterimanya jarh an ta’dil itu, sebagai berikut:
1. Jarh tidak dapat diterima
kecuali dijelaskan sebab-sebabnya.
2. Penilaian
jarh secara umum tanpa menjelaskan sebab-sebabnya terhadap periwayat
yang sama sekali tidak ada yang menta’dilnya dapat diterima.
F. Prosedur
Penetapan al-Jarh dan al-Ta’dil
Ada beberapa teori yang
dikemukakan oleh para Ulama ahli al-jarh wa al-ta’dil yang
digunakan sebagai prosedur penetapan al-jarh wa al-ta’dil, yaitu:
- Jujur dan tuntas dalam memberikan penilaian. Mereka akan menyebutkan sifat positif maupun negatif perawi. Sebagai contoh perkataan Muhammad ibn Sirin: “Sungguh engkau berbuat zalim kepada saudaramu, bila engkau hanya menyebutkan keburukan-keburukannya tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikannya”.
- Kecermatan dalam meneliti dan menilai. Dengan mencermati pernyataan-pernyataan Ulama tentang al-jarh wa al-ta’dil kita bisa menemukan kecermatan mereka dalam meneliti dan kedalaman pengetahuan mereka tentang seluk beluk perawi yang mereka kritik.
- Mematuhi etika al-jarh wa al-ta’dil dalam menyatakan penilaian tidak akan keluar dari etika penelitian ilmiah. Ungkapan paling keras yang mereka kemukakan adalah “Fulan Wadhdha” (Fulan tukang palsu), “Fulan kadzdzb” (Fulan tukang dusta), “Fulan Yaftari al-Kadziba Ala ash-Shahabat ra.” (Fulan membuat kedustaan atas diri sahabat ra.) atau ungkapan-ungkapan lain yang mereka berikan untuk orang yang memalsukan hadits.
- Secara global menta’dil dan secara rinci dalam mentajrih. Dari ungkapan-ungkapan Imam-Imam al-jarh wa al-ta’dil kita bisa melihat bahwa mereka tidak menyebutkan sebab-sebab ta’dil mereka terhadap para perawi. Karena sebab-sebab ta’dil sangat banyak, sehingga sulit bagi seseorang untuk menyebut seluruhnya. Berbeda dengan al-jarh yang umumnya mereka menjelaskan sebabnya, seperti sering lupa, menerima secara lisan saja, sering salah, kacau hafalannya, tidak kuat hafalannya, dusta, fasik dan lain-lain. Karena dianggap cukup menyebut satu sebab untuk mengkritik sifat adilnya atau daya hafalannya. Mayoritas Ulama menerapkan prinsip semacam ini. Karena jarh hanya diperbolehkan demi kepentingan membedakan antara yang tsiqah dan yang dha’if.
G. Cara
Mengetahui Keadilan Seorang Perawai
Keadilan
seorang rawi dapat mengetahui dengan salah satu dari dua ketetapan berikut:
1. Dengan
kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang
adil. Seperti dikenalnya sebagai orang yang adil di kalangan ahli ilmu bagi
Anas bin Malik, sufyan al-Sauri, Sya’ban bin al-Hajjaj, ash-Syafi’iy, Ahmad dan
lain-lain.[25]
Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli
ilmu, maka mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya.
2. Dengan
pujian dari seseorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagai
rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang dita’dilkan
itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan
keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh:
a. Seorang
rawi yang adil. Jadi tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang menta’dilkan.
Sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat. Oleh karena
itu, jumlah tersebut tidak menjadi syarat pula untuk menta’dilkan
seorang rawi.
Demikian
pendapat kebanyakan muhadditsin, berlainan dengan pendapat para fuqaha yang
mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang
rawi.
b. Setiap
orang yang dapat diterima periwayatannya, baik ia laki-laki maupun perempuan,
baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang
dapat mengadilkannya.[26]
Selain
dari ketetapan keadilan seorang rawi, ketetapan tentang kecacatannya juga dapat
ditempuh dengan dua jalan:
a) Berdasarkan
berita tentang ketenaran seorang rawi dalam ke’aibannya. Seorang rawi yang
sudah dikenal sebagai orang yang fasiq atau pendusta di kalangan masyarakat,
tidak perlu lagi dipersoalkan.
Cukuplah
kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
b) Berdasarkan
pentajrihan dari seorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya
dia cacat.
Demikian
ketetapan yang dipegangi oleh para muhadditsin, sedang menurut para
fuqaha sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang
adil.[27]
H. Pertentangan
antara al-Jarh dan al-Ta’dil
Kadang-kadang
pernyataan-pernyataan tentang tajrih dan ta’dil terhadap orang
yang sama bisa saling bertentangan. Sebagian mentajrihkannya, sedang sebagian
lain menta’dilkannya. Jika hal demikian tersebut terjadi, maka sebagai
solusinya ada beberapa pendapat Ulama yang dapat dipegangi yakni:
1. Mendahulukan
jarh dari pada ta’dil, meski yang menta’dil lebih banyak
dari pada yang mentajrih. Karena yang mentajrih mengetahui apa
yang tidak diketahui oleh yang menta’dil.
2. Ta’dil
didahulukan
dari pada jarh, bila yang menta’dil lebih banyak. Karena
banyaknya yang menta’dil bisa mengukuhkan keadaan perawi-perawi yang
bersangkutan. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab yang menta’dil
meski lebih banyak jumlahnya, tidak memberitakan apa yang bisa menggah pernyataan
yang mentajrih.
3. Bila
jarh dan ta’dil bertentangan, maka salah satunya tidak bisa
didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya. Yakni
keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara
keduanya.[28]
I. Penutup
Dalam upaya
memelihara keautentikan hadits sebagai sumber kedua dari ajaran Islam, maka
para Ulama terus berusaha dalam menghimpun hadis-hadis Nabi saw. dengan cara
menilai para periwayat secara jarh atau ta’dil.
Ilm al-Jarh
wa at-Ta’dil merupakan suatu ilmu untuk menyeleksi para periwayat hadis,
apakah ia cacat atau adil sehingga hadits yang diriwayatkannya itu dapat
diterima atau ditolak.
Melalui
syarat-syarat al-jarh wa at-ta’dil, lafal-lafal dan kaidah-kaidah
tertentu, para Ulama hadis menilai para periwayat dari segi jarh (cacat)
dan ta’dil (bersihnya)nya.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan,
Abdul Aziz. et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Van Hoeve 1996, Jilid III.
Depag.
RI., Alquran dan Terjemahannya, Jakarta:
Proyek Pengadaan Kitab Suci Alquran Depag. Ri., 1984/1985.
Husain,
Abu Lubabah. al-Jarh wa at-Ta’dil, Riyadh:
Dar al-Liwa’ li an-Nasyr at-Tauzi’ 1394 H/1974 M.
‘Itr,
Nur ad-Din. Manhaj an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Beirut: Dar al-Fikr t.t.
Al-Jazari,
Jami’ al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., Jilid I.
Al-Khatib,
Muhammad ‘Ajjaj. Ushul al-Hadis: ‘Ulumuh wa Mustalahuh, Beirut: Dar al-Fikr 1979.
Manzur,
Ibn. Lisan ‘Arab, Beirut: Dar al-Fikr, 1990,
Jilid III.
Manzur,Ibn.
Lisan ‘Arab, Beirut:
Dar al-Fikr 1990, Jilid XIII.
Al-Nawawi,
Dasar-dasar Ilmu Hadis, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001.
Rahman,
Fatchur. Ikhtisar Masthalah Hadis Bandung:
al-Ma’arif 1991.
Ath-Thahanawy,
Zafar Ahmad al-‘Ustmani. Qawa’id ‘Ulum al-Hadis, Halan: Maktabah
al-Mathbu’at al-Islamiyah 1404 H/1984 M.
Thahhan,
Mahmud. Tafsir Musthalah al-Hadis, terj. Zainul Muttaqin, Ulumul
Hadis: Studi Kompleksitas Hadis Nabi, Yogyakarta:
Titian Ilahi, 1997.
Yuslem,
Nawir. Sembilan Kitab Induk Hadis, Jakarta: Hijri Pustaka
Utama, 2006.
[1] Ibn Manzur, Lisan
‘Arab (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), Jilid III, h. 422.
[2] Abu Lubabah Husain, al-Jarh
wa at-Ta’dil (Riyadh:
Dar al-Liwa’ li an-Nasyr at-Tauzi’ 1394 H/1974 M), h. 19.
[3] Muhammad ‘Ajjaj
al-Khatib, Ushul al-Hadis: ‘Ulumuh wa Mustalahuh (Beirut: Dar al-Fikr
1979), h. 260.
[4] Al-Jazari, Jami’
al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul (Beirut:
Dar al-Fikr, t.t.), Jilid I, h. 126.
[5] Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadis (Jakarta:
Hijri Pustaka Utama, 2006), h. 170.
[6] Ibn Manzur, Lisan
‘Arab (Beirut: Dar al-Fikr 1990) Jilid XIII, h. 456.
[7] al-Khatib, Ushul
al-Hadis, h. 261.
[8] Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk, h. 171.
[9]al-Khatib, Ushul
al-Hadis, h. 261.
[11]Depag. RI., Alquran
dan Terjemahannya (Jakarta:
Proyek Pengadaan Kitab Suci Alquran Depag. Ri., 1984/1985), h. 846.
[13]al-Khatib, Ushul
al-Hadis, h. 234-235.
[14]Menurut Ibn Abi Hatim,
Ibn as-Salah dan Imam an-Nawawi, lafaz-lafaz tersebut disusun menjadi empat
tingkatan. Sementara menurut al-Hafiz az-Zahani dan al-Iraqy, lafaz-lafaz
tersebut ada lima
tingkatan. Namun pendapat Ulama kontemporer, seperti Mahmud ath-Thahab, Abu
Luanah Husain dan Abd Maujud Muhammad And al-Latif, mereka cenderung menyusun
dalam enam tingkatan seperti yang dipaparkan oleh Ibn Hajar di atas.
[15] Fatchur Rahman, Ikhtisar
Masthalah Hadis (Bandung: al-Ma’arif 1991), h. 273.
[16] Zafar Ahmad al-‘Ustmani
ath-Thahanawy, Qawa’id ‘Ulum al-Hadis (Halan: Maktabah al-Mathbu’at
al-Islamiyah 1404 H/1984 M), h. 242.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20]ath-Thahanawy, Qawa’id
‘Ulum al-Hadis, h. 242.
[21]al-Khatib, Ushul
al-Hadis, h. 277.
[22]ath-Thahanawy, Qawa’id
‘Ulum al-Hadis, h. 251-253.
[23] Nur ad-Din ‘Itr, Manhaj
an-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis (Beirut:
Dar al-Fikr t.t.), h. 84-85.
[24] Ibid., h. 87-91.
[25] Fatchur Rahman, Iktishar
Musthalah al-Hadis (Bandung: al-Ma’arif,
19995), h. 270, lihat juga al-Nawawi, Dasar-dasar Ilmu hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2001), h. 39, lihat juga Mahmud Thahhan, Tafsir Musthalah al-Hadis,
terj. Zainul Muttaqin, Ulumul Hadis: Studi Kompleksitas Hadis Nabi
(Yogyakarta: Titian Ilahi, 1997), h. 158.
[26] Abdul Aziz Dahlan
et.al., Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve 1996), Jilid
III, h. 805.
[27] Fatchur Rahman, Iktishar
Musthalah al-Hadis …., h. 270-271, lihat juga ‘Ajaj al-Khatib, Ushul
al-Hadis …., h. 240-241.
[28] ‘Ajjaj al-Khatib,
Ushul al-Hadis …., h. 241.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar