A.
Pendahuluan
Peradaban menurut Spengler adalah
tingkatan kebudayaan ketika tidak lagi memiliki sifat produktif, beku, dan
mengkristal. Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa peradaban adalah sesuatu
yang sudah selesai (it has been), sedangkan kebudayaan sebagai sesuatu
yang menjadi (it becomes).[1]
Sementara itu, Arnold Joseph Toynbee menyatakan bahwa peradaban adalah wujud
daripada kehidupan suatu golongan kultur seluruhnya. Dengan mengacu pada
pemikiran Spengler dapat diartikan bahwa peradaban merupakan tingkatan ketika
masyarakat yang menjalankan sebuah kebudayaan berada pada suatu posisi yang
telah mapan, telah menjadi. Peradaban dapat pula diartikan sebagai kebudayaan yang
telah mencapai taraf yang tinggi dan kompleks. Dengan demikian, berarti
peradaban berasal dari kebudayaan. Oleh karena itu sebelum membahas tentang
peradaban perlu dibahas pula konsep dasar tentang kebudayaan.
Secara bahasa, kebudayaan
berasal dari kata budaya ---dari bahasa sansakerta budhayyah, bentuk
jamak dari buddhi yang berarti akal---. Kebudayaan secara bahasa berarti hasil
dari olah akal manusia. Kebudayaan tersusun dari tiga wujud yang tiap-tiap
wujud saling berinteraksi dan mempengaruhi yang kemudian tersusun menjadi suatu
sistem.[2] Ia menyebutkan bahwa ada tiga gejala
kebudayaan, yaitu ideas, activities dan artifacts.
Selanjutnya gejala kebudayaan ini juga disebut sebagai wujud dari kebudayaan
yaitu sistem budaya (ideas), sistem sosial (activities) dan
kebudayaan fisik (artifacts). Dengan mengacu pada pemikiran di atas,
Koentjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem
gagasan, tindakan serta hasil fisik yang dibuat oleh manusia dalam masyarakat
melalui proses belajar.[3]
Setelah muncul kebudayaan
dalam sebuah kelompok manusia, hal ini terus berkembang menjadi peradaban.
Dalam Modern Dictionary of Sociology, peradaban yang dalam bahasa
Inggris diistilahkan dengan civilization, berarti kebudayaan yang telah
mencapai taraf tinggi atau kompleks. Hal ini ditandai dengan beberapa gejala,
antara lain pengenalan tulisan, kehidupan kota, pembagian kerja secara
kompleks, teknologi yang telah maju, serta berkembangnya pranata-pranata
politik, agama, filsafat, dan seni.[4]
Dalam studi tentang peradaban,
selalu dipertanyakan mengapa dan bagaimana peradaban itu muncul dari masyarakat
yang primitif, bagaimana proses perkembangan peradaban manusia sehingga
tetap mempertahankan eksistensinya, mengapa terjadi perpecahan dalam
kebudayaan, serta mengapa sebuah peradaban itu bisa hancur. Upaya untuk
menjelaskan gejala-gejala dalam peradaban telah dilakukan oleh para ahli.
Antara lain yang terkenal adalah Ibnu Khaldun, Oswald Spengler, Julian H.
Steward, dan Arnold Joseph Toynbee.
Salah satu tokoh yang sangat
intens menyelediki permasalahan peradaban[5]
yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah Arnold Joseph Toynbee. Toynbee
adalah seorang sejarawan dari Inggris yang secara gamblang menerangkan tentang
konsep peradaban mulai dari kemunculan sampai runtuhnya. Kesemua pemikiran itu
muncul dalam karya-karyanya, terutama yang sangat monumental A Study of
History.
B.
Kontak Antar Peradaban
Munculnya
kebudayaan dalam sebuah kelompok manusia
terus berkembang menjadi peradaban. Dalam Modern Dictionary of Sociology,
peradaban yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan civilization,
berarti kebudayaan yang telah mencapai taraf tinggi atau kompleks. Hal ini
ditandai dengan beberapa gejala, antara lain pengenalan tulisan, kehidupan
kota, pembagian kerja secara kompleks, teknologi yang telah maju, serta
berkembangnya pranata-pranata politik, agama, filsafat, dan seni.
Disaat
peradaban mencapai puncaknya muncul salah satu sisinya adalah kontak peradaban.
Kontak peradaban dimaknai sebagai bertemunya dua sisi kebudayaan yang berbeda
di mana masyarakat yang sudah modern mengalami kegelisahan terutama kaum muda.
Kebingungan, ketegangan, tekanan, komplikasi dan perubahan cepat kehidupan
kontemporer telah membawa akibat-akibat bagi seluruh dunia. [6]
Dalam
satu dunia dimana kepribadian individu maupun masyarakat sedang diancam
perpecahan, pendidikan dalam arti seluas-luasnya dapat membantu manusia untuk
menyatukan kembali kepribadiannya, menemukan kembali suatu norma perilaku etik
bagai individu, membangun kembali suatu keserasian antara individu dan
masyarakatnya, dan mempersatukan umat manusia di seluruh dunia.
Arnold
dalam A Study of History menggambarkan sebuah pertentangan dalam sejarah
yaitu, ketika wacana abad 15 dimana orang-orang Kristen Barat pada saat itu menjadi penguasa teknologi
permesinan di atas permukaan bumi ini. Secara perlahan dalam kehidupan sosial
menjadi barometer kekuatan sosial. Di Barat
setelah adanya tekanan kebudayaan yang mencapai puncaknya menjadi kembali
turun.[7]
Dominasi
hukum dibeberapa departemen Barat dalam koalisi parlemen dinilai dalam sebuah
cerita (novel) Barat sebagai suatu sejarah Barat mendatang. Di mulai saat keruntuhan Usmani kedua di Vienna tahun 1683, runtuhnya
hegemoni Jerman pada perang dunia 1939. Bagaimanapun tahun 1945 monopoli
kekuatan Baratpun berakhir. Akibatnya banyak konflik ditubuh Barat.
Kenyataan
ini ditunjukkan dengan suatu fakta kebenaran seperti pertentangan antara Soviet
dan idieologi Komunis pada peradaban Barat. Hegemoni kerajaan Soviet dilawan
dengan faham komunis seperti yang dikembangkan liberalisme dan facisme sebagai
ideologi sekuler yang muncul di Barat modern sebagai pengganti aliran dalam
ajaran Kristen. Wal hasil, satu pandangan, bahwa ada persaingan antara Uni
Soviet dan Amerika (US) dalam hegemoni kekuatan dunia dan antara komunis
liberalisme untuk aliansi dalam, membangun peradaban sosial Barat.[8]
Dalam
banyak hal kemajuan ilmu dan teknologi telah meningkatkan kekuasaan manusia
untuk menentukan masa depannya. Manusia telah berhasi mengendalikan lingkungannya
di planet ini bahkan telah menginjakkan
kakinya di angkasa luar terdekat. Komputer tidak hanya memungkinkan kemajuan
besar dalam banyak bidang pengetahuan bahkan yang berkaitan dengan
sistem-sistem informasi yang rumit, jika memungkinkan manusia menjajagi
berbagai kemungkinan yang terbuka baginya dan membuat perencanaan secara
efektif. Namun demikian kini manusia mampu membebaskan
dirinya sekaligus memenjarakan dirinya sendiri. Pertanyaannya sekarang
apakah manusia sudah dipertuan atau malah diperbudak oleh teknologi?
Menurut
Arnold, manusia seharusnya hidup untuk mencintai, memahami sesama dan mencipta.
Ia seharusnya menghabiskan seluruh kemampuan dan tenaganya untuk mengejar tujuan hidup ini yakni untuk
apa sebenarnya manusia hidup.
Arnold
meyakini bahwa cinta memilki nilai mutlak yaitu memberi nilai kepada hidup
manusia.[9]
C.
Runtuhnya Peradaban
Tak
ada peradaban yang terus menerus tumbuh tanpa batas. Umumnya peradaban akan
mengalami kehancuran bila elit kreatifnya tidak berfungsi secara memadai, mayoritas
tak lagi memberikan kesetiaan kepada minoritas, dan menirunya; dan bila
kesatuan sosial mengalami perpecahan. Kehancuran dan perpecahan adalah biasa,
namun tak terelakkan. Mungkin pula terjadi proses pembatuan, seperti
ditunjukkan oleh masyarakat mesir kuno dan timur jauh. Dalam keadaan membatu
masyarakat hidup terus, meskipun sebenarnya sudah menamatkan perjalanan
hidupnya.[10]
Dalam
fase perpecahan dan kehancuran peradaban, minoritas kreatif behenti menjadi
manusia kreatif. Peradaban binasa dari dalam karena kemampuan
kreatif sangat menurun padahal tantangan baru semakin meningkat. Kehancuran
peradaban disebabkan oleh kegagalan kekuatan kreatif kalangan minoritas dan
karena lenyapnya kesatuan sosial dalam masyarakat sebagai satu kesatuan.[11] Apabila minoritas menjadi lemah dan
kehilangan daya menciptanya, maka tantangan-tantangan dari alam tidak dapat
dijawab lagi. Minoritas menyerah, mundur dan pertumbuhan tidak akan berkembang
lagi. Apabila keadaan sudah memuncak seperti itu, keruntuhan mulai nampak. Keruntuhan
terjadi dalam tiga tahap, yaitu:
·
Kemerosotan
kebudayaan. Masa ini tejadi karena minoritas kehilangan daya menciptanya dan
kehilangan kewibawaannya, sehingga mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti
minoritas. Peraturan alam dalam kebudayaan yang dibuat antara mayoritas dan
minoritas pecah dan tunas-tunas kebudayaan menuju pada kematian.
·
. Kehancuran kebudayaan, masa ini mulai muncul setelah tunas-tunas kehidupan
kebudayaan mati, sehingga pertumbuhannya terhenti. Akibatnya daya hidup
kebudayaan membeku dan kebudayaan tesebut menjadi tidak berjiwa lagi. Toynbee
menyebut masa ini sebagai petrification atau pembatuan (menjadi fosil)
kebudayaan.
·
Lenyapnya
kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur lebur
dan lenyap.
Toynbee menyatakan bahwa
uraian peradaban tidaklah disebabkan oleh hilangnya kendali terdiri atas
lingkungan, yang terdiri atas lingkungan manusia, atau faktor yang menyerang
dari luar. Kemunduran itu diakibatkan kemandulan dari "minoritas yang
kreatif," kemudian menjadi " minoritas dominan"
yang memaksa mayoritas untuk mematuhi tanpa pantas menerima ketaatan. Ia
menyatakan minoritas kreatif itu memburuk dalam kaitan dengan suatu pemujaan.
Mereka selalu bernostalgia tentang " diri yang dahulu," dengan
mana mereka menjadi merasa bangga, dan gagal untuk cukup menunjuk tantangan yang
berikutnya yang mereka hadapi.
Lebih lanjut lagi, Toynbee
menyatakan bahwa, keruntuhan peradaban bermula ketika terbentuk suatu
"Kaum tani Internal" (internal proletariat) dan "Kaum
tani Eksternal" (external proletariat). Protelariat yang internal berhasil ditundukkan oleh
minoritas yang dominan di dalam peradaban, akan tetapi kaum proletariar
eksternal yang ada di luar peradaban itu berada dalam kemiskinan dan
kekacauan, dan pada akhirnya tumbuh cemburu dan dengki. Ia menyatakan bahwa hal
itu sebagai bentuk kemunduran peradaban, proses ini disebut " perpecahan
dalam badan sosial" (schism in the body social) di mana kebebasan
yang tanpa kendali dan pengendalian-diri bersama-sama menggantikan kreativitas,
dan kemangkiran dan kesyahidan/semangat martir bersama-sama menggantikan
semangat untuk belajar seperti yang diajarkan oleh minoritas kreatif .[12]
Ia menyatakan bahwa di dalam
lingkungan ini, orang-orang memilih archaism (kekolotan), futurisme,
detasemen (penghilangan dirinya dari kenyataan kemunduran dunia), dan
transenden. Ia menyatakan bahwa transendensi telah menyebabkan kelahiran bagi
gereja sebagai upaya untuk pengalihan perhatian dari keterpurukan yang terjadi
kepada hal yang lebih bersifat rohani dan menjadi manusia baru.
Peradaban itu hancur dan bila kehancuran terjadi,
diikuti pula oleh khas seperti berikut. Terjadi perpecahan masyarakat, diikuti
perpecahan peradaban menjadi tiga kelompok yang berlawanan, yaitu minoritas
dominan, proletariat internal, dan proletariat eksternal. Masing-masing
kelompok selanjutnya menciptakan institusi yang khas: suasana universal (universal
state), gereja universal (universal chruch), dan peperangan biadab (heroic
ages).[13]
Penciptaan suasana
universal berarti bahwa elit memaksa rakyat dengan kekuatan; elit mengubah
dirinya menjadi kalangan berkuasa. Ini dilakukan dengan sengaja untuk
bersama-sama menghancurkan peradaban. Ia menyatakan bahwa tanda yang
terakhir yang menandakan bahwa suatu peradaban telah pecah adalah ketika
minoritas yang dominan membentuk "Status/suasana Universal," yang
membuat tidak berdaya kreativitas politis.
Sebagai tanggapan dari status
universal, proletariat internal mempersiakan “orang dalam” bukan “orang luar”
masyarakat, berbalik menentang elit dan membentuk sebuah gereja universal. Toynbee menggunakan istilah gereja karena mengacu pada
ikatan rohani yang kolektif yang melingkupi kepada suatu pemujaan umum atau
kesatuan yang sama yang ditemukan dalam beberapa macam perilaku sosial.
Proletariat
eksternal adalah orang yang secara kultural dipengaruhi oleh pertumbuhan
peradaban, tetapi tidak terpengaruh ketika kehancuran terjadi, kemudian
berhenti menirunya dan bahkan menjadi musuh peradaban itu. Batas antara
peradaban dan proletariat eksternal menjadi garis demarkasi militer.
Pemberontakan proletariat eksternal, yakni barbarian yang tak mau lagi menerima
perlakuan sebagai orang taklukan segera setelah peradaban mulai mengalami
keruntuhan menjadikan suatu peradaban pecah dan kacau.[14]
Seperti Ibn Khaldun, Toynbee
memusatkan perhatiannya pada aspek sosio-psikologis perubahan sosial. Karena
itu sebelum melukiskan pepecahan dalam tubuh masyarakat, ia telebih dahulu
membahas perpecahan dalam jiwa masyarakat. Perpecahan tu berbagai cara perilaku,
perasaan, dan kehidupan yang menandai peradaban sedang tumbuh digantikan oleh
berbagai penggantinya yang berlawanan. Sebagai contoh bila dalam peradaban yang
sedang berkembang orang hidup lebih dirasakan atau perasaan yang diliputi
kebahagiaan dan bersemangat, di dalam peradaban yang mengalami perpecahan (di
luar kehendaknya) orang berjuang dengan perasaan menerawang dan perasaan
berdosa.[15]
Singkatnya,
perpecahan peradaban itu diungkapkan dalam istilah mundur teratur. Sebagai
contoh keadaan universal mencerminkan konsolidasi sesudah mundur teratur ketika
berada dalam keadaan sukar. Terakhir mengingat peradaban yang tumbuh ditandai
oleh peningkatan diferensiasi, sebaliknya peradaban yang sedang hancur ditandai
oleh peningkatan standarisasi. Minortias dominan secara seragam menciptakan
falsafah dan keadaan universal; proletariat internal secara seragam menemukan
agama yang lebih agung, yang diungkapkan melalui sebuah gereja universal;
proletariat eksternal secara serentak menghimpun pasukan untuk melancarkan
serangan terhadap peradaban.
Berbeda dengan
Spengler, Toynbee menyatakan bahwa kehancuran kebudayaan dapat ditahan. Usaha
itu dipimpin oleh jiwa-jiwa besar yang bertindak seolah-olah sebagai Al Mahdi.
Akan tetapi perjuangan itu tidak berhasil sama sekali. Suatu usaha untuk
menghentikan keruntuhan suatu kebudayaan yang mungkin berhasil ialah
penggantian dari suatu kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Hal ini
dibuktikan dengan pada tingkat perpecahan dimunculkan juru selamat masyarakat.
Secara khusus ada empat jenis juru selamat yang muncul yaitu:
§ Juru selamat dengan pedang, yakni
pencipta dan penegak ke adaan universal
§ Juru selamat dengan mesin waktu, yakni
orang yang berpandangan kolot atau yang berpandangan maju. Orang yang berpandangan
kolot adalah yang merasa selamat dengan memulihkan zaman ke keemasa masa lalu.
Sedangkan yang berpandangan maju, mereka yang selamat dengan melompat ke masa
depan yang belum diketahui (dengan revolusi yang memutuskan hubungan masyarakat
dengan masa lalu)
§ Falsafah yang menyatakan bahwa raja
mencreminkan penyelesaian masalah tanpa menggunkan pedang dan mesin waktu. Hal
ini dikemukakan oleh Plato. Penyelesaian ini memerlukan suatu kesatuan falsafah
dan kekuatan politik, baik filsuf harus menjadi raja, atau raja harus menjadi
filsuf. Toynbee menyatakan penyelesaian ini akan mengalami kegagalan karena
kontradiksi ensternal antara sikap tak terpengaruh dari filsif dan campur
tangan penggunaan kekuasaandan paksaan dari raja.
§ Penjelmaan tuhan dalam diri manusia.
Ini seperti halnya yang ada pada diri juru selamat yang mencerminkan dirinya
sendiri sebagai tuhan yang menawarkan harapan, atau tepatnya hanyalah isa
almasih yang dapat membebaskan manusia dari kematian.[16]
Toynbee menyatakan adanya pola umum yang melandasi
atau logika unik yang terjelma sendiri dalam jangka panjang dan belaku untuk
semua peradaban. Pola umum itu adalah kemajuan spiritual dan agama. Peradaban
adalah “tangan pelayan” dari agama. Fungsi historis peradaban adalah sebagai
batu loncatan menuju wawasan keagamaan yang makin mendalam dan untuk bertindak
berdasarkan wawasan itu
Pandangan Toynbee tentang gerak sejarah adalah
bahwa dalam sejarah tidak terdapat suatu hukum tertentu yang menguasai dan
mengatur timbul-tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan dengan pasti. Toynbee
menganjurkan bahwa sejarah harus dipelajari secara holistik. Mempelajari
sejarah tidak dapat dipisah-pisahkan antara bagian-bagian yang ada di dalamnya.
Mempelajari sejarah harus mempelajari suatu masyarakat secara keseluruhan,
masyarakat secara utuh sebagai satu kesatuan unit dari proses sejarah.[17]
Oleh karena sejarah adalah studi tentang peradaban,
Toynbee menyatakan bahwa ada kontinuitas dalam sejarah. Contoh kontinuitas
tersebut adalah adanya orang tua dan anak. Kontinuitas sejarah bukan
kontinuitas individu, melainkan kelangsungan generasi. Oleh karena itu
kesalahan-kesalahan dalam mempelajari sejarah sebagai satu unit harus
dihilangkan.[18]
Kaitannya dengan
permasalahan yang terjadi pada masa ini yang menjadi permasalahan universal
yang terjadi tidak hanya pada masa lalu, tetapi juga pada masa kini, Toynbee
memusatkan perhatian pada kemungkinan perkembangan peradaban barat dan nasib
peradaban masa lalu. Ia mengemukakan sejumlah masalah mendasar yang dihadapi
dan harus diselesaikan yaitu:
Ø Masalah perang yang telah menjadi
penyebab utama perpecahan dan kehancuran peradaban masa lalu. Dengan
ditemukannya bom nuklir, pengendalian perang menjadi semakin mendesak.
Ø Masalah pertentangan kelas.
Industrialisasi menyebabkan bagian terbesar barang kebutuhan material tidak
lagi dimonopoli oleh segelintir orang yang memiliki hak istimewa. Rakyat takkan
senang, kecuali kalau mereka sudah bebas dari kemiskinan. Paling tidak dalam
kasus ini ada beberapa kelas, yaitu kaum buruh yang kemudian bergabung dalam
serikat buruh.kemduian ada pula kelas menengah yang terperosok ke dalam
pengekangan kehidupan dalam bentuk birokrasi..
Ø Pertambahan penduduk dan kesejahteraan
sosial.[19]
D. Kesimpulan
Setiap pertumbuhan pada akhirnya akan terjadi keruntuhan.
Pertumbuhan peradaban diciptakan karena
sebuah kreatifitas. Dalam masyarakat manapun, orang-orang kreatif selalu
menjadi minoritas Sebaliknyua mayoritas yang tidak kretaif dapat memperoleh
banyak hal dengan hanya sekedar meniru dari yang minoritas dan bukan
melaksanakan gagasan sendiri.
Sama halnya kehancuran sebuah peradaban. Ketika
masyarakat dibenturkan (kontak) dengan peradaban yang tidak dibarengi dengan
makna solidaritas (dalam bahasa Toynbee disebut dengan cinta). Hal ini karena
masyarakat semakin melupakan melupakan tujuan hidup. Kehancuran peradaban
ditandai dengan pecahnya masyarakat karena kepentingan yang berbeda-beda.
[1]Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama dan
Ekonomi Jawa Kuno (Jakarta: Komunitas Jambu, 2002), h. 24
[2]Koentjoroningrat, Kebudayaan dan Mentalitas dan Pembangunan
(Jakarta: Gramedia, 1974), h. 186.
[3]Ibid., h. 199.
[4]Rahardjo, h. 27.
[5]Pembahasan Arnold dalam tulisan ini adalah menjabarkan pemikirannya tentang
kontak dan runtuhnya peradaban yang sekaligus merupakan kelanjutan dari
pemikiran dan perkenalannya dalam pertumbuhan peradaban.
[6]Arnold J. Toynbee,
Menyelamatkan Kehidupan Umat Manusia
terj. Nin Bakdi Sumanto (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1988), h. 3.
[7]Pemandangan ini
dilihat Arnold
sebagai pengamatan ketika ia mempelajari dalam studi ini. Lihat Arnold, A Study …. , h. 706.
[8] Ibid.
[9] Arnold, Kemajuan
….., h. 4
[11]Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media,
2004), h. 173
[12]Arnold, A Study of History jilid
IV (New York: Oxford University, 1939), h. 5-6.
[13]Lauer, h. 49-57
[14]Ibid.
[15]Ibid.
[16]Lauer, h. 49-57
[17]Arif Purnomo, Pengantar Memahami Filsafat Sejarah (Semarang:
Universitas Negeri Semarang, 2003)
[18]Ibid.
[19]Lauer, Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar