Minggu, 16 Agustus 2015

Arnold J. Toynbee II (Kontak Antar Peradaban dan Runtuhnya Peradaban)



A.        Pendahuluan
          Peradaban menurut Spengler adalah tingkatan kebudayaan ketika tidak lagi memiliki sifat produktif, beku, dan mengkristal. Lebih lanjut lagi, ia menyatakan bahwa peradaban adalah sesuatu yang sudah selesai (it has been), sedangkan kebudayaan sebagai sesuatu yang menjadi (it becomes).[1] Sementara itu, Arnold Joseph Toynbee menyatakan bahwa peradaban adalah wujud daripada kehidupan suatu golongan kultur seluruhnya. Dengan mengacu pada pemikiran Spengler dapat diartikan bahwa peradaban merupakan tingkatan ketika masyarakat yang menjalankan sebuah kebudayaan berada pada suatu posisi yang telah mapan, telah menjadi. Peradaban dapat pula diartikan sebagai kebudayaan yang telah mencapai taraf yang tinggi dan kompleks. Dengan demikian, berarti peradaban berasal dari kebudayaan. Oleh karena itu sebelum membahas tentang peradaban perlu dibahas pula konsep dasar tentang kebudayaan.

Secara bahasa, kebudayaan berasal dari kata budaya ---dari bahasa sansakerta budhayyah, bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal---. Kebudayaan secara bahasa berarti hasil dari olah akal manusia. Kebudayaan tersusun dari tiga wujud yang tiap-tiap wujud saling berinteraksi dan mempengaruhi yang kemudian tersusun menjadi suatu sistem.[2]  Ia menyebutkan bahwa ada tiga gejala kebudayaan, yaitu ideas, activities dan artifacts. Selanjutnya gejala kebudayaan ini juga disebut sebagai wujud dari kebudayaan yaitu sistem budaya (ideas), sistem sosial (activities) dan kebudayaan fisik (artifacts). Dengan mengacu pada pemikiran di atas, Koentjaraningrat menyatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan serta hasil fisik yang dibuat oleh manusia dalam masyarakat melalui proses belajar.[3]
Setelah muncul kebudayaan dalam sebuah kelompok manusia, hal ini terus berkembang menjadi peradaban. Dalam Modern Dictionary of Sociology, peradaban yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan civilization, berarti kebudayaan yang telah mencapai taraf tinggi atau kompleks. Hal ini ditandai dengan beberapa gejala, antara lain pengenalan tulisan, kehidupan kota, pembagian kerja secara kompleks, teknologi yang telah maju, serta berkembangnya pranata-pranata politik, agama, filsafat, dan seni.[4]  
Dalam studi tentang peradaban, selalu dipertanyakan mengapa dan bagaimana peradaban itu muncul dari masyarakat yang primitif, bagaimana proses perkembangan peradaban manusia sehingga tetap mempertahankan eksistensinya, mengapa terjadi perpecahan dalam kebudayaan, serta mengapa sebuah peradaban itu bisa hancur. Upaya untuk menjelaskan gejala-gejala dalam peradaban telah dilakukan oleh para ahli. Antara lain yang terkenal adalah Ibnu Khaldun, Oswald Spengler, Julian H. Steward, dan Arnold Joseph Toynbee.
Salah satu tokoh yang sangat intens menyelediki permasalahan peradaban[5] yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah Arnold Joseph Toynbee. Toynbee adalah seorang sejarawan dari Inggris yang secara gamblang menerangkan tentang konsep peradaban mulai dari kemunculan sampai runtuhnya. Kesemua pemikiran itu muncul dalam karya-karyanya, terutama yang sangat monumental A Study of History.
B.        Kontak Antar Peradaban
Munculnya kebudayaan dalam sebuah kelompok manusia  terus berkembang menjadi peradaban. Dalam Modern Dictionary of Sociology, peradaban yang dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan civilization, berarti kebudayaan yang telah mencapai taraf tinggi atau kompleks. Hal ini ditandai dengan beberapa gejala, antara lain pengenalan tulisan, kehidupan kota, pembagian kerja secara kompleks, teknologi yang telah maju, serta berkembangnya pranata-pranata politik, agama, filsafat, dan seni.
Disaat peradaban mencapai puncaknya muncul salah satu sisinya adalah kontak peradaban. Kontak peradaban dimaknai sebagai bertemunya dua sisi kebudayaan yang berbeda di mana masyarakat yang sudah modern mengalami kegelisahan terutama kaum muda. Kebingungan, ketegangan, tekanan, komplikasi dan perubahan cepat kehidupan kontemporer telah membawa akibat-akibat bagi seluruh dunia. [6]
Dalam satu dunia dimana kepribadian individu maupun masyarakat sedang diancam perpecahan, pendidikan dalam arti seluas-luasnya dapat membantu manusia untuk menyatukan kembali kepribadiannya, menemukan kembali suatu norma perilaku etik bagai individu, membangun kembali suatu keserasian antara individu dan masyarakatnya, dan mempersatukan umat manusia di seluruh dunia.
Arnold dalam A Study of History menggambarkan sebuah pertentangan dalam sejarah yaitu, ketika wacana abad 15 dimana orang-orang Kristen Barat  pada saat itu menjadi penguasa teknologi permesinan di atas permukaan bumi ini. Secara perlahan dalam kehidupan sosial menjadi barometer kekuatan sosial. Di Barat  setelah adanya tekanan kebudayaan yang mencapai puncaknya menjadi kembali turun.[7]
Dominasi hukum dibeberapa departemen Barat dalam koalisi parlemen dinilai dalam sebuah cerita (novel) Barat sebagai suatu sejarah Barat mendatang. Di mulai saat keruntuhan Usmani kedua di Vienna tahun 1683, runtuhnya hegemoni Jerman pada perang dunia 1939. Bagaimanapun tahun 1945 monopoli kekuatan Baratpun berakhir. Akibatnya banyak konflik ditubuh Barat.
Kenyataan ini ditunjukkan dengan suatu fakta kebenaran seperti pertentangan antara Soviet dan idieologi Komunis pada peradaban Barat. Hegemoni kerajaan Soviet dilawan dengan faham komunis seperti yang dikembangkan liberalisme dan facisme sebagai ideologi sekuler yang muncul di Barat modern sebagai pengganti aliran dalam ajaran Kristen. Wal hasil, satu pandangan, bahwa ada persaingan antara Uni Soviet dan Amerika (US) dalam hegemoni kekuatan dunia dan antara komunis liberalisme untuk aliansi dalam, membangun peradaban sosial Barat.[8]
Dalam banyak hal kemajuan ilmu dan teknologi telah meningkatkan kekuasaan manusia untuk menentukan masa depannya. Manusia telah berhasi mengendalikan lingkungannya di planet ini  bahkan telah menginjakkan kakinya di angkasa luar terdekat. Komputer tidak hanya memungkinkan kemajuan besar dalam banyak bidang pengetahuan bahkan yang berkaitan dengan sistem-sistem informasi yang rumit, jika memungkinkan manusia menjajagi berbagai kemungkinan yang terbuka baginya dan membuat perencanaan secara efektif. Namun demikian kini manusia mampu membebaskan dirinya sekaligus memenjarakan dirinya sendiri. Pertanyaannya sekarang apakah manusia sudah dipertuan atau malah diperbudak oleh teknologi?
Menurut Arnold, manusia seharusnya hidup untuk mencintai, memahami sesama dan mencipta. Ia seharusnya menghabiskan seluruh kemampuan dan tenaganya  untuk mengejar tujuan hidup ini yakni untuk apa sebenarnya manusia hidup.
Arnold meyakini bahwa cinta memilki nilai mutlak yaitu memberi nilai kepada hidup manusia.[9]

C.        Runtuhnya Peradaban
Tak ada peradaban yang terus menerus tumbuh tanpa batas. Umumnya peradaban akan mengalami kehancuran bila elit kreatifnya tidak berfungsi secara memadai, mayoritas tak lagi memberikan kesetiaan kepada minoritas, dan menirunya; dan bila kesatuan sosial mengalami perpecahan. Kehancuran dan perpecahan adalah biasa, namun tak terelakkan. Mungkin pula terjadi proses pembatuan, seperti ditunjukkan oleh masyarakat mesir kuno dan timur jauh. Dalam keadaan membatu masyarakat hidup terus, meskipun sebenarnya sudah menamatkan perjalanan hidupnya.[10]
Dalam fase perpecahan dan kehancuran peradaban, minoritas kreatif behenti menjadi manusia kreatif. Peradaban binasa dari dalam karena kemampuan kreatif sangat menurun padahal tantangan baru semakin meningkat. Kehancuran peradaban disebabkan oleh kegagalan kekuatan kreatif kalangan minoritas dan karena lenyapnya kesatuan sosial dalam masyarakat sebagai satu kesatuan.[11]  Apabila minoritas menjadi lemah dan kehilangan daya menciptanya, maka tantangan-tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Minoritas menyerah, mundur dan pertumbuhan tidak akan berkembang lagi. Apabila keadaan sudah memuncak seperti itu, keruntuhan mulai nampak. Keruntuhan terjadi dalam tiga tahap, yaitu:
·         Kemerosotan kebudayaan. Masa ini tejadi karena minoritas kehilangan daya menciptanya dan kehilangan kewibawaannya, sehingga mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan alam dalam kebudayaan yang dibuat antara mayoritas dan minoritas pecah dan tunas-tunas kebudayaan menuju pada kematian.
·         . Kehancuran kebudayaan, masa ini mulai muncul setelah tunas-tunas kehidupan kebudayaan mati, sehingga pertumbuhannya terhenti. Akibatnya daya hidup kebudayaan membeku dan kebudayaan tesebut menjadi tidak berjiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification atau pembatuan (menjadi fosil) kebudayaan.
·         Lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur lebur dan lenyap.
Toynbee menyatakan bahwa uraian peradaban tidaklah disebabkan oleh hilangnya kendali terdiri atas lingkungan, yang terdiri atas lingkungan manusia, atau faktor yang menyerang dari luar. Kemunduran itu diakibatkan kemandulan dari "minoritas yang kreatif," kemudian menjadi " minoritas dominan" yang memaksa mayoritas untuk mematuhi tanpa pantas menerima ketaatan. Ia menyatakan minoritas kreatif itu memburuk dalam kaitan dengan suatu pemujaan. Mereka selalu bernostalgia tentang " diri yang dahulu," dengan mana mereka menjadi merasa bangga, dan gagal untuk cukup menunjuk tantangan yang berikutnya yang mereka hadapi.  
Lebih lanjut lagi, Toynbee menyatakan bahwa, keruntuhan peradaban bermula ketika terbentuk suatu "Kaum tani Internal" (internal proletariat) dan "Kaum tani Eksternal" (external proletariat). Protelariat yang internal berhasil ditundukkan oleh minoritas yang dominan di dalam peradaban, akan tetapi kaum proletariar eksternal yang ada di luar peradaban itu berada dalam kemiskinan dan kekacauan, dan pada akhirnya tumbuh cemburu dan dengki. Ia menyatakan bahwa hal itu sebagai bentuk kemunduran peradaban, proses ini disebut " perpecahan dalam badan sosial" (schism in the body social) di mana kebebasan yang tanpa kendali dan pengendalian-diri bersama-sama menggantikan kreativitas, dan kemangkiran dan kesyahidan/semangat martir bersama-sama menggantikan semangat untuk belajar seperti yang diajarkan oleh minoritas kreatif .[12]
Ia menyatakan bahwa di dalam lingkungan ini, orang-orang memilih archaism (kekolotan), futurisme, detasemen (penghilangan dirinya dari kenyataan kemunduran dunia), dan transenden. Ia menyatakan bahwa transendensi telah menyebabkan kelahiran bagi gereja sebagai upaya untuk pengalihan perhatian dari keterpurukan yang terjadi kepada hal yang lebih bersifat rohani dan menjadi manusia baru.
Peradaban itu hancur dan bila kehancuran terjadi, diikuti pula oleh khas seperti berikut. Terjadi perpecahan masyarakat, diikuti perpecahan peradaban menjadi tiga kelompok yang berlawanan, yaitu minoritas dominan, proletariat internal, dan proletariat eksternal. Masing-masing kelompok selanjutnya menciptakan institusi yang khas: suasana universal (universal state), gereja universal (universal chruch), dan peperangan biadab (heroic ages).[13]
Penciptaan suasana universal berarti bahwa elit memaksa rakyat dengan kekuatan; elit mengubah dirinya menjadi kalangan berkuasa. Ini dilakukan dengan sengaja untuk bersama-sama menghancurkan peradaban. Ia menyatakan bahwa tanda yang terakhir yang menandakan bahwa suatu peradaban telah pecah adalah ketika minoritas yang dominan membentuk "Status/suasana Universal," yang membuat tidak berdaya kreativitas politis.
Sebagai tanggapan dari status universal, proletariat internal mempersiakan “orang dalam” bukan “orang luar” masyarakat, berbalik menentang elit dan membentuk sebuah gereja universal. Toynbee menggunakan istilah gereja karena mengacu pada ikatan rohani yang kolektif yang melingkupi kepada suatu pemujaan umum atau kesatuan yang sama yang ditemukan dalam beberapa macam perilaku sosial.
Proletariat eksternal adalah orang yang secara kultural dipengaruhi oleh pertumbuhan peradaban, tetapi tidak terpengaruh ketika kehancuran terjadi, kemudian berhenti menirunya dan bahkan menjadi musuh peradaban itu. Batas antara peradaban dan proletariat eksternal menjadi garis demarkasi militer. Pemberontakan proletariat eksternal, yakni barbarian yang tak mau lagi menerima perlakuan sebagai orang taklukan segera setelah peradaban mulai mengalami keruntuhan menjadikan suatu peradaban pecah dan kacau.[14]
Seperti Ibn Khaldun, Toynbee memusatkan perhatiannya pada aspek sosio-psikologis perubahan sosial. Karena itu sebelum melukiskan pepecahan dalam tubuh masyarakat, ia telebih dahulu membahas perpecahan dalam jiwa masyarakat. Perpecahan tu berbagai cara perilaku, perasaan, dan kehidupan yang menandai peradaban sedang tumbuh digantikan oleh berbagai penggantinya yang berlawanan. Sebagai contoh bila dalam peradaban yang sedang berkembang orang hidup lebih dirasakan atau perasaan yang diliputi kebahagiaan dan bersemangat, di dalam peradaban yang mengalami perpecahan (di luar kehendaknya) orang berjuang dengan perasaan menerawang dan perasaan berdosa.[15]
Singkatnya, perpecahan peradaban itu diungkapkan dalam istilah mundur teratur. Sebagai contoh keadaan universal mencerminkan konsolidasi sesudah mundur teratur ketika berada dalam keadaan sukar. Terakhir mengingat peradaban yang tumbuh ditandai oleh peningkatan diferensiasi, sebaliknya peradaban yang sedang hancur ditandai oleh peningkatan standarisasi. Minortias dominan secara seragam menciptakan falsafah dan keadaan universal; proletariat internal secara seragam menemukan agama yang lebih agung, yang diungkapkan melalui sebuah gereja universal; proletariat eksternal secara serentak menghimpun pasukan untuk melancarkan serangan terhadap peradaban.
Berbeda dengan Spengler, Toynbee menyatakan bahwa kehancuran kebudayaan dapat ditahan. Usaha itu dipimpin oleh jiwa-jiwa besar yang bertindak seolah-olah sebagai Al Mahdi. Akan tetapi perjuangan itu tidak berhasil sama sekali. Suatu usaha untuk menghentikan keruntuhan suatu kebudayaan yang mungkin berhasil ialah penggantian dari suatu kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Hal ini dibuktikan dengan pada tingkat perpecahan dimunculkan juru selamat masyarakat. Secara khusus ada empat jenis juru selamat yang muncul  yaitu:
§  Juru selamat dengan pedang, yakni pencipta dan penegak ke adaan universal
§  Juru selamat dengan mesin waktu, yakni orang yang berpandangan kolot atau yang  berpandangan maju. Orang yang berpandangan kolot adalah yang merasa selamat dengan memulihkan zaman ke keemasa masa lalu. Sedangkan yang berpandangan maju, mereka yang selamat dengan melompat ke masa depan yang belum diketahui (dengan revolusi yang memutuskan hubungan masyarakat dengan masa lalu)
§  Falsafah yang menyatakan bahwa raja mencreminkan penyelesaian masalah tanpa menggunkan pedang dan mesin waktu. Hal ini dikemukakan oleh Plato. Penyelesaian ini memerlukan suatu kesatuan falsafah dan kekuatan politik, baik filsuf harus menjadi raja, atau raja harus menjadi filsuf. Toynbee menyatakan penyelesaian ini akan mengalami kegagalan karena kontradiksi ensternal antara sikap tak terpengaruh dari filsif dan campur tangan penggunaan kekuasaandan paksaan dari raja.
§  Penjelmaan tuhan dalam diri manusia. Ini seperti halnya yang ada pada diri juru selamat yang mencerminkan dirinya sendiri sebagai tuhan yang menawarkan harapan, atau tepatnya hanyalah isa almasih yang dapat membebaskan manusia dari kematian.[16]
Toynbee menyatakan adanya pola umum yang melandasi atau logika unik yang terjelma sendiri dalam jangka panjang dan belaku untuk semua peradaban. Pola umum itu adalah kemajuan spiritual dan agama. Peradaban adalah “tangan pelayan” dari agama. Fungsi historis peradaban adalah sebagai batu loncatan menuju wawasan keagamaan yang makin mendalam dan untuk bertindak berdasarkan wawasan itu
Pandangan Toynbee tentang gerak sejarah adalah bahwa dalam sejarah tidak terdapat suatu hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul-tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan dengan pasti. Toynbee menganjurkan bahwa sejarah harus dipelajari secara holistik. Mempelajari sejarah tidak dapat dipisah-pisahkan antara bagian-bagian yang ada di dalamnya. Mempelajari sejarah harus mempelajari suatu masyarakat secara keseluruhan, masyarakat secara utuh sebagai satu kesatuan unit dari proses sejarah.[17]
Oleh karena sejarah adalah studi tentang peradaban, Toynbee menyatakan bahwa ada kontinuitas dalam sejarah. Contoh kontinuitas tersebut adalah adanya orang tua dan anak. Kontinuitas sejarah bukan kontinuitas individu, melainkan kelangsungan generasi. Oleh karena itu kesalahan-kesalahan dalam mempelajari sejarah sebagai satu unit harus dihilangkan.[18]
Kaitannya dengan permasalahan yang terjadi pada masa ini yang menjadi permasalahan universal yang terjadi tidak hanya pada masa lalu, tetapi juga pada masa kini, Toynbee memusatkan perhatian pada kemungkinan perkembangan peradaban barat dan nasib peradaban masa lalu. Ia mengemukakan sejumlah masalah mendasar yang dihadapi dan harus diselesaikan yaitu:
Ø  Masalah perang yang telah menjadi penyebab utama perpecahan dan kehancuran peradaban masa lalu. Dengan ditemukannya bom nuklir, pengendalian perang menjadi semakin mendesak.
Ø  Masalah pertentangan kelas. Industrialisasi menyebabkan bagian terbesar barang kebutuhan material tidak lagi dimonopoli oleh segelintir orang yang memiliki hak istimewa. Rakyat takkan senang, kecuali kalau mereka sudah bebas dari kemiskinan. Paling tidak dalam kasus ini ada beberapa kelas, yaitu kaum buruh yang kemudian bergabung dalam serikat buruh.kemduian ada pula kelas menengah yang terperosok ke dalam pengekangan kehidupan dalam bentuk birokrasi..
Ø  Pertambahan penduduk dan kesejahteraan sosial.[19]

D.  Kesimpulan
            Setiap pertumbuhan pada akhirnya akan terjadi keruntuhan. Pertumbuhan peradaban diciptakan karena  sebuah kreatifitas. Dalam masyarakat manapun, orang-orang kreatif selalu menjadi minoritas Sebaliknyua mayoritas yang tidak kretaif dapat memperoleh banyak hal dengan hanya sekedar meniru dari yang minoritas dan bukan melaksanakan gagasan sendiri.
            Sama halnya kehancuran sebuah peradaban. Ketika masyarakat dibenturkan (kontak) dengan peradaban yang tidak dibarengi dengan makna solidaritas (dalam bahasa Toynbee disebut dengan cinta). Hal ini karena masyarakat semakin melupakan melupakan tujuan hidup. Kehancuran peradaban ditandai dengan pecahnya masyarakat karena kepentingan yang berbeda-beda.


[1]Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa; Dinamika Pranata Politik, Agama dan Ekonomi Jawa Kuno (Jakarta: Komunitas Jambu, 2002), h. 24
[2]Koentjoroningrat, Kebudayaan dan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1974), h. 186.
[3]Ibid., h. 199.
[4]Rahardjo, h. 27.
[5]Pembahasan Arnold dalam tulisan ini adalah menjabarkan pemikirannya tentang kontak dan runtuhnya peradaban yang sekaligus merupakan kelanjutan dari pemikiran dan perkenalannya dalam pertumbuhan peradaban.
[6]Arnold J. Toynbee, Menyelamatkan Kehidupan Umat Manusia terj. Nin Bakdi Sumanto (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1988), h. 3.
[7]Pemandangan ini dilihat Arnold sebagai pengamatan ketika ia mempelajari dalam studi ini. Lihat Arnold, A Study …. , h. 706.
[8] Ibid.
[9] Arnold, Kemajuan ….., h. 4
[10] Robert H. Lauer, Perspektif Tentang Perubahan Sosial (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 49
[11]Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 173
[12]Arnold, A Study of History jilid IV (New York: Oxford University, 1939), h. 5-6.
[13]Lauer, h. 49-57
[14]Ibid.
[15]Ibid.
[16]Lauer, h. 49-57
[17]Arif Purnomo, Pengantar Memahami Filsafat Sejarah (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2003)
[18]Ibid.
[19]Lauer, Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar