A.
Pendahuluan
Menurut para pakar sejarah Islam,
Daulat Abbasiyah (750-1258 M) telah berjasa dalam memajukan umat Islam. Hal ini
ditandai dengan kemajuan di bidang Ilmu pengetahuan, peradaban, kesenian, dan
filsafat. Data monumental dari kebesaran Daulat Abbasiyah, yaitu berdirinya kota Baghdad yang megah, kota yang didirikan atas
prakarsa raja-raja dinasti ini. Menurut Philip K.Hitti, kota
Baghdad adalah kota terindah yang dialiri sungai dan
benteng-benteng yang kuat serta pertahanan militer yang cukup kuat[1]. Sekalipun demikian, dinasti
ini tidak mampu mempertahankan integritas negerinya, karena setelah Khalifah
Harun Ar-Rasyid, daerah kekuasaan dinasti ini mulai goyah baik daerah yang ada
di bagian Barat naupun yang ada di bagian Timur Baghdad. Di bagian Timur,
menurut J.J Saunder berdiri dinasti-dinasti kecil yaitu Thahiriyah, Saffariah,
dan Samaniyah[2].
Faktor-faktor yang mendorong
berdirinya dinasti-dinasti kecil ini, yaitu adanya persaingan jabatan khalifah
di antara keluaraga raja dan munculnya sikap ashabiyah antara keturunan Arab
dan non Arab, tepatnya persaingan Arab dan Persia[3]. Tumbuhnya dinasti-dinasti
yang memisahkan diri dari kekuasaan pemerintahan pusat di Baghdad itu tidak
terlepas dari persaingan kekuasaan antara Bani Hasyim dan Bani Umayah dan
munculnya Bani Ali, yang merupakan pecahan dari Bani Hasyim. Perpecahan dan
tersebarnya kekuasaan tersebut disatu segi dapat dipandang sebagai suatu
kemunduran dan perpecahan, namun di segi lain dapat dipandang sebagai suatu
kemunduran persaingan di antara dinasti untuk berlomba mempertahankan kekuasaan
dan kemajuan yang dicapainya. Seperti persaingan antara Baghdad yang Abbasiyah dengan Cordova yang
dijadikan tempat Umawiyah II dalam memajukan Ilmu Pengetahuan. Dilihat dari
segi ini barangkali tidak salah kalau dikatakan merupakan penyumbang dan
sekaligus pemacu tersendiri bagi perkembangan
di bidang kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan dalam alam Islami[4].
Akan tetapi perkembangan
dinasti-dinasti kecil di Timur tampaknya mempunyai corak dan latar belakang
yang berlainan dengan sifat dan tujuan timbulnya dinasti-dinasti kecil di
Barat. Bila yang kemudian dilatari oleh keinginan melepaskan diri dari ikatan
Baghdad dan berdiri sebagai satu kekuatan[5], yang terdahulu kalau boleh
disebut sebagai dinasti yang mempunyai sifat dan tujuan yang berbeda, yakni
bukan persaingan antara Bani Hasyim dan Bani Umayah dengan Alawiyah. Namun, dinasti-dinasti kecil di
Timur itu merupakan gejalah perkembangan yang baru yang berada di luar persaingan
utama di atas. Mereka berdiri bukan untuk melepaskan atau memisahkan diri dari
kekuasaan Baghdad,
tetapi justru mereka pada umumnya tidak ada keinginan untuk membuat kekuasaan
yang lepas dari pemerintahan pusat, apalagi menentangnya dan menandingi kekhalifahannya.
Dinasti-dinasti kecil di Timur ini tetap mempertahankan ikatan dan struktur
lama dengan pemerintahan pusat di Baghdad
dan menyatakan tunduk pada kekuasaan Khalifah[6].
Perbedaan sifat kemunculan itu tidak
bisa begitu saja dilepaskan dari latar belakang masing-masing. Pada masa
Abbasiyah, kaum Umawiyah mencoba bangkit lagi dengan mendirikan dinasti
Andalusia di Sepanyol. Sementara itu, para Gubernur yang banyak mendapat
dukungan dari keluarga Alawiyyin tidak memberikan reaksi menentang atau menumbuhkan
gerakan revolusi untuk memisahkan diri dari Baghdad. Mereka yang berasal dari Persia
maupun Turki yang tetap memperoleh kekuasaan dalam pemerintahan Abbasiyah telah
memberikan kesempatan secara timbal balik kepada mereka dan hal itu merupakan
keuntungan untuk menaikkan jenjang yang lebih baik. Dengan latar belakang
sejarah tersebut, secara Psikologis, mereka lebih menaruh hormat dan merasa
berhutang budi kepada dinasti Abbasiyah[7].
Pendapat lainnya bahwa kemungkinan
munculnya dinasti-dinasti kecil pada abad ke 3 Hijriah ini, disebabkan
banyaknya goncangan politik[8], yang timbul dalam dunia
Islam, yang dimanfaatkan oleh para keluarga yang sudah mempunyai kekuasaan di daerah.
Namun, itu merupakan faktor lain yang boleh jadi bukan merupakan faktor penentu
dalam memunculkan mereka, terutama dinasti-dinasti di Timur. Yang jelas, satu
perkembangan pada zaman sesudahnya adalah terdapat perubahan kendali politik
dalam pemerintahan Abbasiyah. Otoritas politik berpindah ketangan keluarga
Buwaihi dan sultan-sultan Turki. Khalifah Abbasiyah hanya memegang kekuasaan
yang bersifat spiritual semata-mata.
B.
Sejarah pembentukan Dinasti Thahiriah
Setelah wafatnya Khalifah Harun
Al-Rasyid daerah kekuasaan Daulah Abbasiyah mulai goyah dikarenakan
factor-faktor internal antara lain karena terlalu luasnya khalifah memberi
otonomi kepada kawasan yang ditaklukkannya sehingga kekuasaan-kekuasaan daerah
yang seharusnya memperkuat pemerintahan pusat malah menjadikan desentralisasi
sebagai cara untuk memperkuat kekuasaannya sendiri. Demikian juga dari segi
factor eksternal dengan adanya invasi dari bangsa Mongol atau Tar-tar yang
demikian dahsyat sebagai senjata pamungkas yang meluluhlantakkan kota Baghdad[9].
Karena adanya berbagai kepentingan
dari masyarakat di bagian Barat maupun di bagian Timur Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan tidak
dapat lagi mengakomudir dan mewujudkan kepentingan pemerintahan di
daerah-daerah. Beberapa diantara kelompok kecil ini mengadakan perlawanan
sehingga pada akhirnya berdiri dinasti-dinasti kecil di Barat seperti dinasti
Thulun, Ikhsidiyah, dan dinasti Hamdaniyyah. Demikian juga di bagian Timur
berdiri dinasti-dinasti kecil seperti dinasti Thahiriyah, dinasti Shafariyah,
dinasti Ghaznawi, dan dinasti Samaniyah serta dinasti Buwaihi dan dinasti Seljuk[10].
Dinasti Thahiriyah ini didirikan oleh
Thahir Ibn Husain (150-207 H/820-872M)[11], seorang yang berasal
dari Persia, lahir di desa Musanj dekat Marw di Khurasan. Ia adalah seorang Jenderal
dengan jabatan Panglima tentara pada masa pemerintahan Al-Makmun Khalifah ke-7
yang berkuasa antara tahun 198-218H/813-833M. Beliau ini terkenal dengan
sebutan Jenderal bermata satu tapi lihai menggunakan pedangnya karena Ia
dijuluki oleh Khalifah Al-Makmun dengan gelaran Dzu Al-Yaminan, dan ada yang
menggambarkannya bermata satu tetapi bertangan kanan dua[12]. Khalifah Al-Makmun memberi
kesempatan kepada Thahir Ibn Al-Husayn untuk memegang jabatan gubernur di Mesir
pada tahun 205 H, Kemudian dipercaya pula untuk mengendalikan wilayah Timur.
Thahir Ibn Al-Husayn yang memerintah tahun 205-207H menjadikan kota Marw sebagai tempat
kedudukan kegubernuran[13].
Thahir muncul ketika pada masa
pemerintahan Abbasiyah terjadi perselisihan antara kedua pewaris tahta
kekhalifahan antara Muhammad Al-Amin yang memerintah tahun 194-198H/808-813M
anak dari Harun Al-Rasyid dari istrinya yang keturunan Arab yang bernama
Zubaidah sebagai pemegang kekuasaan di Baghdad dengan Abdullah Al-Makmun anak
dari Harun Al-Rasyid dari Istrinya yang berketurunan Persia sebagai pemegang
kekuasaan di wilayah sebelah Timur Baghdad[14]. Dalam perselisihan itu
Thahir yang terkenal sebagai ahli perang bermata satu berada dipihak Al-Makmun.
Ia diutus oleh Al-Makmun memimpin pasukan sebanyak empat puluh ribu personel
pasukan menghadapi pasukan dari pihak Al-Amin yang dipimpin oleh Ali bin Isa
yang berkekuatan Lima
puluh ribu personel. Pada peperangan ini pasukan Thahir mendapat kemenangan
tepatnya di Rey kota
dekat Teheran pada tahun 811M. Thahir juga dapat mengalahkan pasukan Al-Amin
yang dikirim berikutnya dibawah kepemimpinan Ar-Rahman Al-Jabal. Melihat
peluang yang baik ini Thahir mengarahkan pasukannya ke Baghdad, dengan bantuan
Harsamah dan Zubair yakni dua Panglima yang dikirim oleh Al-Makmun, akhirnya
Thahir dapat menaklukkan Baghdad setelah selama dua bulan dalam pengepungan
pasukannya. Al-Amin sendiri terbunuh
oleh salah seorang pasukan Thahir. Atas
Kemenangan dan kemahiran Thahir
dalam berperang Ia mendapat hadiah jabatan dari Al-Makmun Menjadi Gubernur di
kawasan Timur Baghdad
yakni Tahun 205H-207H/820-822M. Pada tahun 207H/822M Thahir meninggal dunia
dengan tiba-tiba karena penyakit demam yang dideritanya. Persi lain menyatakan
bahwa Ia meninggal karena keracunan[15].
C.
Perkembangan Dan Kemajuan Dinasti Thahiriyah
Setelah Thahir Ibnu Al-Husyein Wafat
jabatan Gubernur dilimpahkan oleh Khalifah kepada anaknya yaitu Thallhah Ibnu
Thahir yang memerintah selama enam tahun, yaitu tahun 207-213H. Pada masa
pemerintahan Thalhah bin Thahir ini Ia berupaya meningkatkan hubungan kerja
sama dengan pemerintah pusat.
Didalam pemerintahan selanjutnya
dapat digambarkan gubernur-gubernur yang berkuasa di daerah Khurasan selama
dinasti Thahiriyah berkuasa sebagai berikut:
1.
Tahun 820-822M Gubernurnya Emir Thahir Ibn Al-Husayn.
2.
Tahun 822-817M Gubernurnya Emir Thalhah Ibn Thahir
3.
Tahun 827-844M Gubernurnya Emir Abdullah Bin Thahir
4.
Tahun 844-862M Gubernurnya Emir
Thahir Ibn Abdullah
5 Tahun 862-872M Gubernurnya Emir Muhammad Ibn Thahir[16].
Pada era pemerintahan gubernur di
Khurasan di jabat oleh Abdullah Ibn Thahir telah berhasil mempertahankan
hubungan baik dan setia dengan pemerintah Daulah Abbasiyah di Baghdad bahkan
daerah Mesirpun diserahkan kepada penguasaan Abdullah Ibn Thahir pada tahun
210H yang pada masa itu sempat menimbulkan gejolak karena hubungan dekat dan
kepercayaan yang diberikan oleh Al-Makmun yang cukup besar dan luas menjadi
wilayah kekuasaan Abdullah Ibn Thahir bahkan sampai ke daerah Syria.
Para
ahli sejarah mengakui pada zaman Thahiriyah adalah dinasti yang telah
memberikan sumbangan dalam memajukan ekonomi,
kebudayaan, dan Ilmu pengetahuan Dunia
Islam. Kota Naisabur berhasil bangkit menjadi salah satu pusat perkembangan
ilmu dan kebudayaan di Timur bahkan pada masa ini negeri khurasan menjadi dalam
keadaan makmur dengan pertumbuhan ekonomi yang baik sehingga mendukung kegiatan
ilmu dan kebudayaan pada umumnya[17].
D.
Masa Kemunduran Dinasti Thahiriyah
Ada masa puncak tentu ada masa surut atau
suatu era yang tidak selamanya lestari, karena kenaikan atau kemunduran sesuatu
kekuasaan adalah sunnatullah. Maka pada tahun 213 H, wilayah kekuasaan Abdullah
Ibn Thahir mulai dipereteli, khalifah Al-Ma’mun setelah Ia menguji kesetiaan
Abdullah Ibn Thahir yang ternyata telah cenderung memihak musuh abadi Daulah
Abbasiyyah, keturunan Ali Ibn Abi Thalib.
Sesudah Abdullah Ibn Thahir, maka
jabatan gubernur khurasan dipegang oleh saudaranya Muhammad Ibn Thahir, yang
merupakan gubernur terakhir dari Daulah Thahiriyyah. Selanjutnya kekuasaannya
menjadi lebih lemah, karena daerah kekuasaannya kawasan khurasan diambil alih
(dianeksasi) oleh Bani Saffari melalui perjuangan bersenjata, adapu Dinasti
Saffarimerupakan saingan Bani Thahiriyah di Sijistan.
Walaupun beberapa kekuasaan atas
wilayah-wilayahnya telah dikurangi oleh khalifah, namun Daulah Thahiriyyah ini
terus juga memperluas wilayahnya dengan cara mempertahankan hubungan baik
dengan Daulah Abbasiyyah serta saling membantu dalam menjalankan dan
mengendalikan wilayah kekuasaannya. Akan tetapi Daulah Thahiriyyah di Khurasan
mendekati masa masa kemunduran, tampaknya Bani Abbasiyyah mulai menunjukkan
perubahan sikap. Kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Banu Saffari yang
sudah menggerogoti dan melakukan infiltrasi, melancarkan intervensi dan
invasinya untuk menguasai Khurasan.
Dalam keadaan Daulah Thahiriyyah
melemah, maka Bani Alawiyin dan pengikutnya di Tabaristan menggunakan peluang
dengan melakukan gerakan perlawanan. Bersamaan pula dengan gerakan dari Bani
Saffari yang terus mendesak kekuasaan Tahbari dari Selatan, maka pada tahun 259H
Jatuh dan berakhirnya Daulah Thahiriyyah.
Setelah kejatuhan Dinasti Thahiriyah
Khalifah Abbasiyah tetap mengandalkan mereka untuk menjaga ketentraman dan
kemajuan dunia Islam. Bahkan dengan pemanfaatan kekuatan yang ada pada Dinasti
Thahiriyah yang tidak punya otonomi dalam kekuasaan mereka masih berhasil
secara bersama-sama dengan Khalifah Bani Abbasiyah menguasai dan mengamankan
wilayah sampai ke Turki yang para sultannya telah menyatakan kesetiaan dan
ketaatan sebagai umat Islam yang tunduk di bawah kekuasaan Khalifah Abbasiyah.
E.
P e n u t u p
Sekalipun Dinasti Thahiriyah mencapai puncak
kegemilangan dalam pemerintahannya sekaligus merupakan salah satu disegani oleh
lawan Thahiriyah tidak terlepas dari kekurangan selain persoalan biasa yang
muncul dari pergolakan Aritokrasi militer dan situasi sulit menyangkut suksesi
pemerintahan juga Thahiriyah telah membawa andil yang sangat besar dalam
perkembangan ekonomi, social, budaya, dan Ilmu pengetahuan demi kepentingan
umat Islam umumnya.
Selain itu dapat ditelusuri kembali
sejarah perkembangan, pertumbuhan, dan kemunduran yang dialami oleh dinasti
Thahiriyah di Khurasan, maka dapat diajukan beberapa catatan yang menjadi
uraian penutup makalah dengan ikhtisar sebagai berikut:
1)
Bahwa
Daulah Abbasiyah pada masa Khalifah Al-Ma’mun pada dasarnya berniat baik dalam memberikan sebagian
dari otoritasnya kepada Thahir Ibn Al-Husayn, menimbulkan minat baginya
mendirikan Dinasti Thairiyah yang memanfaatkan jabatan gubernur di Khurasan, pemerintahan merupakan bagian integral dari khilafah
Daulah Abbasiyah, hanya diberi otonomi yang luas mengatur penyelenggaraan di
kawasannya.
2)
Jabatan
yang diberikan kepada Thahir Ibn Al-Husayn bukan sekedar menjalankan
pemerintahan di Khurasan suatu political will dari Daulah Abbasiyah,
selanjutnya jabatan gubernur Khurasan dapat dilakukan pada turunannya
sesungguhnya hal yang tidak lazim, karenanya Bani Thahiriyah dilaimpahkan kekuasaan semi-independent di bagian Timur
Baghdad serta malah diberikan kekuasaan untuk mengendalikan Syria, Mesir, dan
Jazirah yang berada di bagian Barat Baghdad.
3)
Masa
kemunduran yang dialami oleh Dinasti Thahiriyah sebenarnya sesuatu yang mesti
terjadi, hanya disebabkan karena keserakahan untuk memperluas territorial
sehingga lalai dalam mempertahankan eksistensinya, sehingga tak mampu
menghadapi infiltrasi, intervensi, dan invasi dari saingan antara lain kelompok
Alawiyin dan pengikutnya di Tabaristan serta gerakan perlawanan dari Bani
Shafariyah yang terus mendesak kekuasaan Tahbari dari Selatan, maka pada tahun
872 M jatuh dan berakhirnya Dinasti Thahiriyah.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas,
Ensklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hove ,2002 Jilid 5.
Hitti,
Philip K. History of the Arabs, London: The Macmillan
Press LTD, 1974.
Ibn
Al-Atsir, Al-Kamil fi At-Tarikh, Beirut:
Dar Ash-Shader Dar Al-Beirut, 1965.
J.J Saunders. A History of Mediveal Islam,
London:
Rotledge and Kegan Paul, 1965.
Mahmud.
Hasan Ahmad, dan Ahmad Ibrahim Syarib, Al-Islam li Al-Ashr Al-Abbasi,
Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1977.
Mahmudunnaseer,
Syed. Islam Its Consept and History. New Delhi: Kitab Bavhan, 1980.
Nasution,Harun.
Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta: UI-Press 1985, Jilid 1.
Supriadi,Dedi.
Sejarah Peradaban Islam, Bandung:
Pustaka Setia, 2006.
Surur,Jamaludin,
Tarikh Al-Hazharah Al-Islamiyah Al-Masyriq. Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi,
1976.
[5]Seperti Dinasti Fatimiah di Mesir
yang menentang dinasti Abbasiyah di Baghdad. Lihat misalnya penjelasan Syed Mahmudunnasir,
Islam Its Consepts and History New Delhi: Kitab Bayan 1981 h 240, yang menyatakan bahwa
dinasti Fatimiyah ingin independent dari kekuasaan Baghdad. Bahkan menurut pernyataan Harun
Nasution, berdirinya dinasti Fatimiyah di Mesir yang beraliran Syiah tersebut
menjadi saingan dinasti Abbasiyah di Baghdad yang beraliran Suni, Lihat Islam
ditinjau dari berbagai Aspeknya, (Jakarta : UI-Press 1985 Jilid 1),
h 78.
[17]Ibn Al-Atsir, Al-Kamil
fi At-Tarikh, Beirut:
Dar Ash-Shader Dar Al-Beirut,1965 h 457
Tidak ada komentar:
Posting Komentar