A.
Pendahuluan
Perkembangan penulisan
sejarah dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari perkembangan budaya secara
umum.[1]
Puncak dari perkembangan budaya itu terjadi pada dinasti Abbasiyah, tepatnya
pada abad ke-9 dan ke-10 M. Seiring dengan perkembangan budaya dan peradaban
Islam itulah penulisan sejarah dalam Islam yang sudah dimulai bersamaan dengan perkembangan
penulisan hadis semakin mengalami perkembangan pesat.
Mulai dari masa awal
pertumbuhan historiografi Islam hingga masa munculnya sejarawan-sejarawan besar
seperti Ibn Qatadah al-Dinawari (w.276/889), Al-Baladzuri (w.279/892),
Al-Ya’qubi (w.284/897), Abu Hanifah al-Dinawari (w.282/895), Abu Ja’far
Muhammad ibn Jarir al-Thabari (w.310/922) dan lain-lain, corak penulisan
sejarah dalam karya-karya sejarah mereka, dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian
yaitu corak khabar, corak halwiyat (kronologi berdasarkan tahun)
dan corak maudhu’iyat (tematik).
B.
Khabar
Sejarawan muslim pada
mulanya menulis sejarah disandarkan pada riwayat,
sebagaimana dalam penulisan hadis, dengan menggunakan sanad, ciri berkenaan dengan riwayat-riwayat itu[2]
antara lain:
1. Antara satu
riwayat dan riwayat lain tidak ada hubungan masing-masing berdiri sendiri.
2. Riwayat itu
ditulis dalam bentuk cerita (kisah) yang biasanya dalam bentuk dialog.
3. Riwayat-riwayat
itu diselang-selingi dengan syair yang seringkali digunakan sebagai penguat
kandungan khabar itu.
Setengah abad setelah
wafatnya Rasulullah saw. kaum muslimin belum melahirkan tradisi menulis. Pada
masa itu riwayat berpindah dari satu orang atau dari satu generasi ke generasi
berikutnya melalui tradisi lisan.
Tradisi lisan yang
mengambil bentuk riwayat inilah yang pertama kali muncul. Para
sejarawan mengumpulkan riwayat-riwayat itu dan menulisnya dengan bersumber dari
ingatan dan hafalan yang memang orang Arab dikenal kuat dari segi ingatan dan
hafalan. Baru pada abad ke-2 H, para sejarawan ada yang menulis karya sejarah
dengan bersumber kepada tulisan-tulisan para penulis sebelummnya. Pada masa
awal-awal kebangkitan sejarah ini, para sejarawan muslim secara
berangsur-angsur melepaskan diri dari pengaruh penulisan hadis yang sangat kuat
menggunakan sanad. Pada waktu itu para
sejarawan tidak lebih dari sekedar pemberi riwayat
(perawi) dan menuliskannya dalam tulisan. Riwayat yang berdiri sendiri
itulah dalam sejarah yang dinamakan khabar.[3]
Al-Thabari dan para
sejarawan sebelumnya sangat memperhatikan persoalan sanad, persambungan para penyampai khabar. Setelah masa at-Thabari muncul para sejarawan yang
meninggalkan penyebutan sanad dalam
penulisan sejarah.
Mereka merasa cukup
dengan hanya menyebutkan matan (teks)
khabar-khabar itu di dalam tulisan
mereka. Di antara mereka adalah al-Ya’qubi (w.2844H) dan al-Mas’udi (w.246H).
mereka ini menganggap adalah cukup apabila disebutkan sumber-sumber pengambilan
data-data sejarah itu di pendahuluan karya-karya mereka, yang kadang-kadang
juga diikuti dengan kajian-kajian kritis terhadap sumber-sumber itu,
sebagaimana yang dilakukan oleh al-Mas’udi di dalam bukunya yang berjudul Muruj al-Dzahab.[4]
Dalam pendahuluan bukunya itu Ia memuji karya sejarah at-Thabari dan mengkritik
pedas Sinan bin Tsabit bin Qurrah al-Harani. Ketika memuji at-Thabari,
al-Mas’udi menulis:
Karya sejarah Abu Ja’far
Muhammad ibn Jarir at-Thabari, sebuah karya cemerlang melebihi karya-karya
sejarah yang lain, telah menghimpun bermacam-macam khabar, meliputi berbagai peninggalan, berisi berbagai ilmu. Kitab
ini adalah sebuah karya yang mempunyai faidah besar, sangat bermanfaat.
Bagaimana tidak, pengarangnya adalah seorang ahli fikih, ahli hukum Islam pada
masanya, yang sangat rajin beribadah, yang dapat dikatakan bahwa ia adala orang
yang paling menguasai ilmu pada masanya, dan lebih dari itu ia adalah seorang
ahli hadis.[5]
Ketika mengkritik Sinan
bin Tsabit bin Qurrah al-Harani, al-Mas’udi berkata:
Saya melihat bahwa Sinan
bin Tsabit bin Qurrah al-Harani, ketika menjiplak karangan orang lain (plagiat), dan menggunakan metode orang
lain juga, dia telah mengarang tulisan yang dijadikan surat kepada bebrapa orang temannya yang juga
para penulis.[6]
C.
Hawaliyat
Kalau sebelumnya para
sejarawan Islam menulis peristiwa-peristiwa sejarah itu secara acak dan tidak
berurutan (kronologis), dalam
perkembanga seterusnya para sejarawan kemudian menggunakan dua metode penulisan
yaitu, (1) metode penulisan sejarah berdasarkan urutan tahun (al-Tarikh al-hawli, atau al-tarikh ‘ala al-Sinin) atau yang lebih
singkat Hawliyat, annalistic form, dan
(2) metode penulisan sejarah berdasarkan tema (tematik).[7]
Maksud penulisan dengan
metode hawliyat adalah metode
penulisan sejarah yang menggunakan pendekatan tahun demi tahun. Dalam metode
ini bermacam-macam peristiwa sejarah dihimpun di bawah “tema’ tahun. Dalam
metode ini peristiwa-peristiwa yang banyak terjadi pada tahun tertentu
dihubungkan dengan kata-kata wafihai (dan
pada tahun itu juga). Apabila peristiwa-peristiwa pada tahun itu dipaparkan
sejarawan beralih ke-tahun berikutnya dengan mengunakan kata-kata tsumma dakhalat sanah… (kemudian masuk
tahun….) atau tsumma ja’a… fi sanah… (kemudian terjadi
peristiwa…pada tahun…).
At-Thabari salah seorang
tokoh besar dan rujukan sejarawan Islam, oleh banyak pemerhati historiografi Islam sering dipandang sebagai
sejarawan muslim pertama yang menghasilkan metode hawliyat yang menulis di dalam karya sejarahnya tarikh al-Rasul wa al-Muluk (sejarah Para
Rasul dan Para Raja) yang juga dikenal dengan judul lain Tarikh al-Umam wa al-Muluk (sejarah Umat-umat dan Taja-Raja), sejak
tahun pertama Hijirah sampai tahun 302 H.[8]
Namun, Rosenthal
meragukan bahwa at-Thabari adalah sejarawan pertama yang menggunakan metode hawliyat dalam menulis sejarah. Hal ini
karena besarnya karya sejarahnya dari satu sisi, dan pada sisi lain, karena
menurut Rosenthal, ada isyarat bahwa para sejarawan muslim sebelum at-Thabari
sudah ada yang menggunakan metode hawliyat,[9]
diantaranya adalah Abu Isa ibn al-Munajjim (w.279H) yang menulis karya
sejarahnya sebelum at-Thabari dengan judul Tarikh
Sinin al-‘Alam (sejarah Dunia berdasarkan Tahun). Sesuai dengan judulnya,
ada kemungkinan peristiwa-peristiwa
sejarah itu disusun berdasasrkan tahun. Sejarawan lainnya adalah Muhammad bin
Yazdad yang sejauh disebutkan oleh anaknya ‘Abdullah, samapai tahun 300 H. dari
ibn Nadim, Rosenthal memahami bahwa buku Muhammad ibn Yazdad telah menggunakan
metode hawliyat.[10]
Untuk menggunakan
pendapatnnya itu, Rosenthal mengatakan bahwa Muhammad ibn Musa al-Khawarizni
yang hidup pada pertengahan pertama abad ke-4 H juga sudah menggunakan metode
ini. Hal itu, menurutnya terlihat pada karya sejarah Hamzah al-Ashfahani dan
Ilyas an-Nushaybi yang keduanya mengandung beberapa kandungan dari karya
sejarah Muhammad ibn Musa al-Khawarizni tersebut.
Lebih jauh Rosenthal
berpendapat bahwa metode penulisan sejarah berdasarkan tahun ini bukanlah
temuan sejarah muslimin. Metode ini menurutnya sudah dikenal di dalam
karya-karya sejarah Yunani. Metode hawliyat
Yunani ini banyak kesamaan dengan metode yang digunakan sejarawan muslim. Di
antara karya sejarah Yunani yang menggunakan metode hawliyat adalah karya Ioanes Malalas, sebagaimana juga karya
sejarah Siryani yang mengunakan metode itu diwakili oleh karya yang ditulis
oleh Ya’qub al-Rahawi (pada abad pertama Hijirah). Metode hawliyat seperti ini masuk pertama kali dan dipergunakan oleh
sejarawan muslim yang pertama melalui hubungan mereka para ilmuwan Kristen asal
Siryani dan kemudian di susul oleh bacaan mereka terhadap sumber-sumber asli
Yunani secara langsung.[11]
Menurut Rosenthal tidak
penting untuk mengetahui buku apa yang secara langsung mempengaruhi sejarawan
Arab tentang metode hawliyat ini,
karena metode ini memang sangat mudah berpindah dan di ikuti oleh orang lain,
misalnya melalui bacaan dan bisa juga melalui dialog atau diskusi antara
sejarawan Muslim dengan sejarawan Kristen. Komunikasi budaya antara kaum
muslimin dengan penganut agama Kristen cukup kuat khususnya di Syiria, karena
mereka disana hidup bersama dan di ikat oleh ikatan-ikatan sosial yang kuat.
Singkatnya dalam pandangan
Rosenthal sejarawan muslim mendapat inspirasi tentang metode hawliyat dalam penulisan sejarah dari
sejarawan Yunani dan Siryani, padahal menurut ‘Abd al-‘Aziz Salaim, karya-karya
tulis Yunani dan Siryani pada waktu itu belum mempengaruhi sejarawan muslim,
apa yang mereka kutip dari mereka terbatas dalam masalah-masalah yang berkaitan
dengan ilmu filsafat, matematika, falaq, geografi, kimia, kedokteran dan
obat-obatan.[12]
Kemudian
sejarawan-sejarawan Arab menciptakan metode ini dan mengembangkannya melebihi
yang mereka temukan dari sumber-sumber aslinya. Perkembangan itu dipermudah
oleh banyaknya materi sejarah sepanjang masa kekuasaan Islam. Orang-orang Islam
banyak mengambil manfaat dari bangsa-bangsa yang mereka kalahkan.
Meskipun demikian Rosenthal
sendiri meragukan adanya hubungan yang kuat antara ilmu sejarah Yunani Siryani
dengan ilmu sejarah Arab, dan kita kata ‘Abd ‘Aziz Salim tidak yakin bahwa ilmu
sejarah Arab Islam yang mengunakan metode hawliyat
diambil langsung dari karya-karya sejarah Yunani, karma karya-karya sejarah
orang Yunani itu diketahui sejarawan muslim melalui Siryani dengan perantaraan
orang-orang Kristen, dan karya-karya itu tidak ada hubungannya dengan metode hawliyat.[13]
‘Abd al-Hamid al-Ibadi
yakin betul bahwa penulisan materi sejarah berdasarkan tahun, bulan, dan hari,
jelas hanya digunakan oleh sejarawan muslim, tidak ada hubungan dengan
sejarawan Yunani, Romawi, atau Erofa pada abad pertengahan. Sayyidah Kasim juga
berpendapat demikian.
Menurut hintoriografi Siryani sama sekali tidak
berpengaruh terhadap sejarawan muslim, meskipun di Raha, Nisbin, dan
Jundishapur terdapat sekolah-sekolah yang menerjemahkan karya-karya Yunani.
Kalaupun ada pengaruh dari luar terhadap sejarawan muslim, pengaruh itu
menurutnya datang dari karya-karya sejarah Persia
khususnya tentang sejarah klasik Iran.[14]
Yang jelas, setelah
at-Thabari metode hawliyat ini banyak
digunakan oleh sejarawan muslim yang terpenting diantaranya adalah Miskawayh,
ibn al-Jawzi, ibn al-Atsir, Abu al-Fida, dan al-Dzahabi.
Pada masa-masa berikutnya
penulisan sejarah Islam yang menggunakan metode hawliyat itu mengalami perkembangan, yaitu ketika para sejarawan
muslim merasa membutuhkan bentuk susunan materi sejarah yang baru sebagai
tambahan yaitu disusun dalam urutan masa yang lebih lama dan panjang.
Oleh karena itulah Abu ‘Abdillah
Muhammad Ibn Ahmad al-Dzahabi (637-748) dalam karya besarnya yang berjudul Tarikh al-Islam yang terdiri atas 21
jilid besar, yang dimulai dengan sejak awal kebangkitan Islam sampai awal abad
ke-2 H, peristiwa-peristiwa sejarah disusun berdasarkan sepuluh tahunan (system
berdasarkan dekade/ dasawarsa). Pembabakan berdasarkan dasawarsa ini banyak
berhutang budi pada sejarah al-Sirah.
Dalam hal ini, al-Dzahabi mengaitkan sejarahnya dengan corak penulisan at-Tabaqat dan at-Tarajjim.[15]
Bahkan pembabakan berdasarkan abad (at-Taqsim
hash al-Qurun) juga muncul dan berkembang terutama melalui karya-karya at-Tabaqat dan at-Tarajjim,[16] seperti buku al-Hawadits al-Jami’ah fi A’yan
al-Mi’ah ats-Tsaminah karya Ibn Hajar al-Asqalani, kitab al-Dhaw al-Lami fi Rijal al-Qarn al-Tasi
karya al-Sarkhawi, kitab al-Nur al-Safir
fi Akhbar al-Qarn al-‘Asyir karya
ibn al-‘Aydrus, al-kawakib al-Sairah fi
A’yan al-Mi’ah al-Asirah karya al-Ghazali, kitab Nakhbah al-Zaman fi A’yan al-Qarn al-Hadi ‘Asyar karya al-Muhibbi,
dan kitab Nuzhah al-Hadi bi Akhbar Muluk al-Qarn
al-Hadi karya Muhammad al-Shagir. Buku-buku ini ada yang mengunakan sistematika
penulisan berdasarkan tahun, ada juga yang berdasarkan huruf Hija’iyah (alpabetis).
D. Kritik
Terhadap Metode Hawaliyat dan
Munculnya Corak Mawadhu’iyat
(Tematik)
Metode hawliyat mengandung kelemahan karena Ia memutus
kontiunitas sejarah yang panjang yang saling berhubungan dan berkelanjutan
dalam beberapa tahun. Sejarawan yang memakai metode ini tidak menyebutkan
peristiwa-peristiwa sejarah kecuali yang terjadi pada tahun yang bersangkutan
dan berkelanjutan pada tahun-tahun berikutnya, maka peristiwa itu
terpisah-pisah, informasi yang terpisah-pisah itu kemudian digabungkan dengan
peristiwa-peristiwa lain yang terjadi pada tauhn itu. Seorang sejarawan besar
telah mengkritik metode ini, ‘Ali bin Muhammad ibn Abd al-Karim ibn ‘Abd
al-Wahid al-Syaybani, yang dikenal dengan ibn al-Atsir al-Jazuri, yang bergelar
‘Izz al-Din (555-630 H). Pada pendahuluan karyanya yang berjudul al-kamal fi al-Tarikh,dia berkata:
Saya melihat bahwa
mereka (maksudnya sejarawan yang menggunakan metode hawliyat ini, seperti at-Thabari), menuliskan satu peristiwa (yang
berlangsung lama secara terpisah-pisah) pada beberapa tahun dan menyebutkan
banyak peristiwa pada satu tahun tertentu. Oleh karena itu, satu peristiwa
terputus-putus sehingga tidak mencapai sasaran yang dibutuhkan, dan tidak dapat
dipahami kecuali setelah penelaahan yang serius. Oleh karena itu saya mengumpulkan
satu peristiwa pada satu tema dan saya menyebutkan pada bulan dan tahun berapa
peristiwa-peritiwa itu terjadi. Oleh karena itu, tulisan seperti ini menjadi
tersusun secara tematis dan kronologis sekaligus. Sebagian dan
bahkan ada yang membutuhkan pembicaraan pada tahun tertentu sepanjang tahun.
Setiap peristiwa besar yang masyhur mendapat perhatian khusus, maka
peristiwa-peristiwa itu saya letakkan di akhir setiap tahun, di bawah judul dzikir ‘iddah al-hawadits (tentang
beberapa peristiwa). Kalau ada sebagian tokoh atau raja disuatu wilayah yang
masa kekuasaannya tidak panjang, maka saya menyebutkan semua informasi
tentangnya dari awal sampai akhir, ketika saya menyebutkan awal perkara itu,
karena kalau saya pisah-pisahkan berdasarkan tahun, maka orang yang tidak
mengetahui sebelumnya tidak akan memahaminya dengan baik. Kalau ada di akhir
setiap tahun tentang tokoh-tokoh terkenal yang wafat pada tahun yang
bersangkutan seperti ulama, penguasa, dan tokoh-tokoh lain. Ketika itu saya
juga menjelaskan nama-nama yang sama atau berdekatan tetapi tokohnya berbeda,
atau tulisan arabnya sama tetapi bacaannya berbeda. Itu semua saya jelaskan
agar orang dapat membedakannya dan tidak mengalami kerancuan.[17]
Ibn Atsir telah berusaha
menghindarkan diri dari kelemahan metode hawliyat.
Untuk itu menghimpun unsur-unsur peristiwa yang berkelanjutan dalam beberapa
tahun dan menghubungkan bagian-bagiannya dalam satu tahun tertentu dalam satu
tema sehingga peristiwa itu menjadi jelas dan dapat dipahami. Unsur-unsurnya
disusun secara kronologi secara baik.
Akan tetapi tidak semua
peritiwa itu dapat dilakukan seperti itu, seperti pemberontakan Zanj yang
berlangsung sangat lama sekitar 14 tahun. Peristiwa ini terpisah-pisah di dalam
beberapa tahun sebagaimana yang dilakukan oleh at-Thabari.[18]
Di samping itu, ibn
al-Atsir sangat memperhatikan kemudahan bagi para pembaca yaitu dengan
memberikan judul bagi peristiwa-peristiwa yang menggambarkan isinya.
Kadang-kadang peristiwa-peristiwa kecil yang terjadi pada tahun yang sama
dihimpun di bawah judul dzikir ‘iddah
al-hawadits (tentang beberapa peristiwa lainnya) dan diakhiri dengan
riwayat hidup tokoh-tokoh yang meninggal dunia pada tahun tersebut.
Penulis besar lainnya,
Shihab al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Wahhab al-Nuwaryi (w. 732 H),[19] juga
mengkritik metode hawliyat dan
menulis sejarah berdasarkan tema. Di dalam karya sejarah lainnya ketika
memaparkan sejarah-sejarah dinasti-dinasti, Ia menulis dinasti setelah dinasti
lainnya. Dalam hal ini ia tidak beralih ke dinasti lain sebelum sejarah dinasti
itu tuntas ditulisnya. Dalam menulis satu dinasti itu dia tetap menggunakan
metode hawliyat dalam memaparkan
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dinasti itu, setelah itu barulah ia
beralih kedinasti lain.
Dalam hal ini dia
berkata, “Ketika saya melihat bahwa sejarawan muslim menulis sejarah dengan
metode hawliyat, tidak menggunakan
pendekatan dinasti saya menyadari bahwa hal yang demikian itu akan menyulitkan
para pembaca untuk memahaminya, terutama berkenaan dengan peristiwa yang tidak
selesai satu tahun. Peristiwa yang tidak selesai pada satu tahun itu dituangkan
dalam satu tahun tanpa harus memperhatikan apakah informasi tentang peristiwa
itu sudah sempurna atau belum. Raja dan peninggalannya, dinasti dan
perjalanannya, keadaan tertentu dan peristiwa-peristiwa tertentu. Dalam hal ini
sejarawan juga menuangkan peristiwa itu secara acak, berpindah-pindah dari
Timur ke Barat, dari Selatan ke Utara, dari keadaan damai kepada keadaan
peperangan, dan begitu seterusnya. Peristiwa-peristiwa itu dipaparkan demikian
saja tanpa menyebutkan secara utuh meskipun ringkas apalagi rinci. Bagi pembaca
yang ingin mengetahui satu peristiwa, mka Ia harus membaca dengan teliti
paparan yang panjang dan lelah. Tidak jarang para penuntut itu harus
berlama-lama mendapatkan kelengkapan satu peristiwa. Oleh karena itulah saya
memilih untuk menulis sejarah dengan pendekatan dinasti. Ketika saya menulis
tentang satu dinasti saya memaparkan peristiwa-peristiwa secara runtut dari
awal sampai akhir, semua peristiwa dan akibatnya, tentang raja-raja secara
berurutan, tempat kedudukan raja, asal etnis dinasti, keterkaitan raja-rajanya,
peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan dinasti itu. Semuanya saya jelaskan
sejarahnya”.[20]
Hal ini dapat dilihat
dalam kitabnya, dia membagi sejarah Islam menjadi beberpa dinasti, mulai dari al-Sirah al-Nabawiyyah (riwayat hidup
Nabi Saw), sejarah al-Khulafa al-Rasyidin, sejarah Bani Umayyah, sejarah Bani
abbas dan ‘Alawiyyah dan dinasti-dinasti kecil yang berdiri pada masa Khilafah
al-‘Abbasiyyah.[21]
Walaupun ibn Atsir dan
Shihab al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Wahhab al-Nuwaryi melontar keritikan terhadap
corak penulisan hawliyat dan
mengajukan cara tematik sebagai alternatif mereka berdua bukan sejarawan
pertama dalam Islam yang menggunakan corak sejarah secara tematik (maudhu’iyyat atau hash al-maudu’at). Jauh sebelum mereka, sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas al-Ya’qubi (wafat di Mesir pada tahun 284/897 M) dan
al-Mas’udi (w. 957 M) sudah menggunakan corak tematik itu dalam karya-karya
sejarah mereka.
E.
Penutup
Bahwa perkembangan corak
penulisan sejarah yang dimulai dari corak khabar
kemudian corak hawliyat (kronologi
berdasarkan tahun) serta corak maudhu’iyat
(tematik) adalah merupakan corak gambaran peristiwa-peristiwa penulisan sejarah
yang dilakukan oleh para sejarawan-sejarawan muslim dalam upaya untuk
mempermudah bagi para penulis sejarawan dan para pembacanya untuk menelaah
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau baik yang berkenaan dengan
peristiwa yang menyangkut pada dinasti-dinasti yang berkuasa, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta budaya-budaya yang berlaku pada masa yang telah
lampau.
DAFTAR
PUSTAKA
Duri, ‘Abd al-‘Aziz. Al-Bahts Nasy’ah Ilm al-Tarikh ‘ind al-‘Arab, Beirut:
1960.
Ibn al-Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh, Beirut:
Dar al-Kutub al-“Alamiah, 1988, Jilid I.
Kasyif, Sayyidah Ismail. Mashadir al-Tarikh al-Islam wa Wanahij
al-Bahts Fih, Kairo: Maktabah al-Khanji, 1976.
Al-Mas’udi, Muruj Al-Dzahab, Beirut:
Dar al-Fikr, 1973, Jilid I.
Al-Nuwary, Shihab al-Din Ahmad ibn
‘Abd al-Wahhab. Nihayat al-Irb fi Funun
al-Adab, Beirut:
Dar al-Fikr, 1968.
Oelery, Masalik al-Tsaqafah ila al-‘Arab, terj. Taman
Hassan, Kairo: 1957.
Rosenthal, Franz. Histori of Muslim Histotiography, Leiden: E.J.Brill, 1968.
Salim, ‘Abd al-‘Aziz. Al-Tarikh wa al-mu’arrikhun al-‘Arab, Beirut: Dar al-Nahdhah
al-‘Arabiyah, 1986.
Yatim, H. Badri. Historiografi Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
[1] ‘Abd al-‘Aziz Duri, Al-Bahts Nasy’ah Ilm al-Tarikh ‘ind al-‘Arab, (Beirut:
1960), h. 13.
[2] ‘Abd al-‘Aziz Salim, Al-Tarikh wa al-mu’arrikhun al-‘Arab,
(Beirut: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1986), h. 75. Franz Rosenthal, Histori of Muslim Histotiography,
(Leiden: E.J.Brill, 1968), h. 66-71.
[3] H. Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997), h. 101.
[4]‘Abd al-‘Aziz Salim, Op. Cit., h. 76. Lihat juga al-Mas’udi, Muruj Al-Dzahab, Jilid I, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1973), h. 15.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] ‘Abd ‘Aziz Salim, Op. Cit., h. 82.
[8] Ibid., h. 85.
[9] Franz Rosenthal, Op. Cit., h. 102.
[10] Ibid., h. 104.
[11] Franz Rosenthal, Op. Cit., h. 151; ‘Abd ‘Aziz Salim, Op. Cit., h. 88. Baca juga Oelery, Masalik al-Tsaqafah ila al-‘Arab,
diterjemahkan Taman Hassan, (Kairo: 1957), h. 3.
[12] ‘Abd ‘Aziz Salim, Op. Cit., h. 89.
[13] Ibid., Franz Rosenthal, Op.
Cit., h. 112.
[14] Sayyidah Ismail Kasyif,
Mashadir al-Tarikh al-Islam wa Wanahij
al-Bahts Fih, (Kairo: Maktabah al-Khanji, 1976), h. 50.
[15] ‘Abd ‘Aziz Salim, Op. Cit., h. 90.
[16] Ibid., h. 91.
[18] ‘Abd ‘Aziz Salim, Op. Cit., h. 84.
[19] Shihab al-Din Ahmad ibn
‘Abd al-Wahhab al-Nuwaryi adalah penulis buku yang berjudul Nihayat al-Irb fi Funun al-Adab.
[20] ‘Abd ‘Aziz Salim, Op. Cit., h. 85.
[21] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar