Kamis, 27 Maret 2014

HADIS PADA MASA RASUL DAN SAHABAT

1.    Cara Sahabat Menerima Hadis Pada Masa Nabi Muhamad Saw.
     Berbagai jenis hadis yang terhimpun di dalam kitab-kitab hadis. Yang kita lihat sekarang adalah berkat kegigihan dan kesungguhan para sahabat dalam menerima dan memelihara hadis pada masa dahulu.
Cara para sahabat menerima hadis pada masa Rasululah Saw berbeda dengan cara yang dilakukan oleh generasi setelah itu. Cara para sahabat menerima hadis di masa Nabi Muhammad Saw, yaitu dilakukan oleh sahabat yang dekat dengan beliau, seperti Khulafaurrasyidin, dimasa Nabi para sahabat mempunyai minat yang besar untuk memperoleh hadis dari pada Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, mereka berusaha keras mengikuti Nabi Muhammad Saw agar perkataan, perbuatan atau taqrir beliau dapat mereka terima atau mereka lihat secara langsung.  Jika diantara para sahabat ada yang berhalangan, maka dicari sahabat yang lain untuk dapat mendengar dan melihat apa yang disampaikan. Ketika Nabi Muhammad Saw menyampaikan sesuatu hukum atau melakukan ibadah apapun jangan sampai tidak ada sahabat yang melihatnya.

Sebagai contoh para sahabat sangat berminat untuk memperoleh hadis Nabi Muhammad Saw, dapat kita lihat sebuah tindakan yang diakukan oleh Umar ibn al-Khattab. Untuk mendapat hadis dari Nabi Muhammad Saw ia bersama dengan tetangganya mencari hadis Nabi secara bergiliran, ketika hari ini tentangganya maka esok harinya giliran Umar yang bertindak dalam rangka mencari hadis Nabi Muhammad Saw.
Siapa di antara sahabat yang bertugas menemui dan mengikuti Nabi serta mendapatkan hadis dari beliau, maka ia segera menyampaikan untuk sahabat-sahabat yang lain.
Dalam hal ini, ada empat cara yang ditempuh oleh para sahabat untuk mendapatkan hadis dari Nabi Muhamma Saw.
1)    Para sahabat selalu mendatangi pengajian-pengajian yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.
Rasulullah selalu menyediakan waktu bagi para sahabat untuk menyampaikan berbagai ajaran agama Islam. Para sahabat pun selalu berusaha mengikuti berbagai majelis yang di situ disampaikan berbagai pesan-pesan keagamaan walaupun mereka mengikuti secara bergiliran. Jika ada sahabat yang tidak bisa hadir, maka disampaikan oleh sahabat-sahabat yang hadir.
2)    Rasulullah Muhammad Saw sendiri yang mengalami berbagai persoalan yang Nabi sendiri yang menyampaikan persoalan tersebut kepada para sahabat, jika yang hadir jumlahnya banyak, maka apa yang disampaikan oleh Nabi dapat tersebar luas.
Dikalangan sahabat-sahabat yang lain jika yang hadir jumlahnya sedikit, maka Rasulullah Muhammad Saw memerintah kepada sahabat yang hadir untuk segera menyampaikan berita tersebut kepada sahabat-sahabat yang tidak hadir.
Contoh sebagaimana peristiwa yang dialami oleh Nabi sendiri dengan seorang pedagang, seperti yang termaktub di dalam sebuah hadis sebagai berikut:
عن ابى هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم مر برجل يبيع طعاما فساله: كيف تبيع؟ فاجره، فاوحى اليه يدك فيه، فادخل يده فاءذ هو مبلول فقال رسول الله صلى الله  عليه وسلم : منا من غش. (رواه احمد)

Artinya :
Dari Abu Hurairah, r.a. bahwa Rasulullah melewati seorang penjual makanan, lantas beliau bertanya bagaimana caranya engkau berjualan?, maka si pedagang menjelaskan pada Rasulullah. Selanjutnya beliau menyuruh pedagang itu memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan tersebut, ketika tangannya ditarik keluar terlihat tangannya basah, maka ketika itu Rasulullah Saw bersabda, tidaklah termasuk gologan kami orang yang menipu (HR. Ahmad).
Dari pengertian di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah, jika melihat para sahabat melakukan kesalahan segera Rasul memperbaikinya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Umar ibn Khattab bahwa ia menyaksikan seseorang sedang berwudhu’ untuk melakukan shalat, namun orang tersebut tidak membasahi bagian atas kuku kaki, lantas hal tersebut dilihat Rasulullah Saw, dan beliau segera memerintahkan kepada orang tersebut untuk mengulangi kembali wudhu’nya. Dan orang tersebut juga segera mengulangi wudhu’nya itu dengan sempurna. Ini salah satu contoh beliau jika mengalami satu persoalan, akan segera diperbaiki, walaupun persoalan tersebut dianggap kecil.
3)    Diantara para sahabat yang mengalami berbagai persoalan kemudian mereka menanyakan langsung kepada Rasulullah Saw tentang bagaimana hukumnya terhadap persoalan tersebut. Kemudian Rasulullah Saw segera memberikan fatwa atau penjelasan hukum tentang peristiwa tersebut. Kasus yang dialami sahabat apakah kasus yang terjadi pada diri sahabat itu sendiri maupun terjadi pada sahabat lain.
Jelasnya jika diantara para sahabat mengalami satu masalah, maka para sahabat tidak merasa malu untuk datang secara langsung kepada Rasulullah Saw. Jika ada juga para sahabat yang malu bertanya langsung kepada Rasulullah Saw, maka sahabat mengutus sahabat yang lain yang berani menanyakan langsung tentang peristiwa apa yang dialami sahabat pada waktu itu, sehingga tidak ada persoalan yang tidak jelas hukumnya.
4)    Kadang-kadang ada juga sahabat yang melihat secara langsung Rasulullah Saw melakukan satu perbuatan. Hal ini berkaitan dengan ibadah seperti shalat, zakat, puasa, dan ibadah haji serta ibadah-ibadah lainnya.
Para sahabat yang menyaksikan hal tersebut segera menyampaikan untuk sahabat yang lain atau generasi sesudahnya, diantaranya yaitu peristiwa yang terjadi antara Rasulullah Saw dengan malaikat Jibril mengenai masalah Iman, Islam dan Ikhsan dan tanda-tanda hari kiamat.
عن ابى هريره رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم بارزا يوما للناس فاءفاه رجول فقال مالايمان؟ قال الايمان تؤمن ....فقال : هذا جبريل جاء يعلم الناس دينهم (رواه البخارى)
Artinya :
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, adalah Nabi Saw tampak pada suatu hari di tengah-tengah manusia, maka datang seorang laki-laki seraya bertanya, apakah iman itu? Rasulullah Saw menjawab, Iman itu adalah engkau beriman. Akhirnya Rasulullah Saw mengatakan kepada para sahabat, Dia malaikat Jibril yang mengajari manusia tentang masalah agama (HR. Bukhari).

2.    Penulisan Hadis Pada Masa Rasulullah Muhammad Saw.
Kegiatan membaca dan menulis sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Jahiliyah, walaupun masih dalam sangat yang terbatas.
Pada dasarnya pada masa Rasulullah sudah banyak umat Islam yang membaca dan menulis, bahkan Rasul sendiri memiliki sampai 40 orang penulis wahyu di samping para penulis urusan-urusan lainnya.
Oleh karenanya argumen yang menyatakan kurangnya umat Islam yang bisa baca tulis adalah penyebab tidak ditulisnya hadis secara resmi pada masa Rasulullah Saw adalah dugaan yang sangat keliru, karena berdasarkan keterangan di atas terlihat banyak sekali umat Islam yang mampu membaca dan menulis, namun kenapa hadis tidak ditulis pada masa itu secara resmi, ini bukan persoalan tidak adanya yang bisa menulis, akan tetapi ada faktor-faktor lain yang oleh Rasulullah sendiri melarang menulis hadis tersebut.  Sehingga kita temukan berbagai hadis yang dituliskan, sementara yang lain melarang untuk menulisnya.
Untuk lebih jelasnya tentang masalah tersebut maka coba penulis kutip beberapa hadis Nabi Muhammad Saw, yang kontroversial tentang perbedaan tersebut, diantaranya :
Nabi Muhammad Saw, melarang penulisan hadis yang dilakukan oleh para sahabat, apakah hasil melihat atau mendengar dari Rasulullah Saw. Sebagai bukti terdapat sebuah hadis sebagai berikut :
عن ابى الخدري ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : لا تكتبوا عنى ومن كتب عنى غير القران فليمحه (رواه مسلم)
Artinya :
Dari Said Al-Khudri bahwasanya Rasulullah Saw bersabda “Jangan kamu menuliskan sesuatu dari-Ku, dan siapa yang menuliskan sesuatu dari selain al-Quran maka hendaklah ia menghapuskannya” (HR.Muslim).
Dari keterangan riwayat di atas dapat kita pahami bahwa Rasulullah Saw, melarang para sahabat untuk menulis hadis sebelum beliau, bahkan beliau sempat menyuruh menghapus hadis-hadis yang sudah sempat ditulis oleh para sahabat.
Perintah (kebolehan) menuliskan hadis ternyata selain terdapat hadis-hadis yang menyatakan bahwa Nabi melarang hadis, maka terdapat juga hadis-hadis yang membolehkan bahkan menyuruh para sahabat untuk menuliskan hadis beliau.
Diantara hadis-hadis Nabi Saw yang memerintahkan sahabat untuk menulis hadis sebagai berikut :
عن رافع خديج انه قال : يا رسول الله انا نستمع منك اشياء، افنكتيبها؟ قال : اكتبوا لي ولا حرج (رواه الخطيب)
Artinya :
Dari Rafi'i Ibnu Khudaij bahwa dia menceritakan “Kami bertanya kepada Rasullah” Ya Rasulullah sesungguhnya kami banyak mendengar hadis dari engkau apakah kami boleh menuliskannya ? Rasulullah menjawab “Tuliskanlah oleh kamu untukku dan tidak ada kesulitan” (HR. Khatib).
Dari keterangan di atas dapat pahami bahwa Rasulullah Saw membolehkan untuk menulis hadis, bahkan Nabi yang menyuruh sahabat untuk menulis hadis-hadis tersebut.

3.    Faktor-faktor yang Menjamin Kesinambungan Hadis
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terpeliharanya kesinambungan hadis sejak masa Nabi Muhammad Saw sebagai berikut :
1)    Quwwat al-Zakirah, yaitu kuatnya hafalan para sahabat yang menerima dan mendengarkan langsung hadis-hadis dari Nabi Saw. Dan ketika mereka menyampaikan atau meriwayatkan hadis-hadis tersebut kepada sahabat-sahabat lain, mereka menyampaikan persis seperti yang didengar pada Rasulullah Saw.
2)    Sangat hati-hati para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah Saw. Hal ini mereka lakukan karena mereka khawatir, akan terjadi percampuran hadis dengan yang bukan hadis. Oleh karena itu, maka ada para sahabat yang sangat sedikit menghafal hadis dan meriwayatkannya. Termasuk Umar ibnu al-Khattab. Dan juga para sahabat ketika menyampaikan dan melafalkan hadis-hadis tersebut penuh dengan kehati-hatian, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pengucapannya.
3)    Para sahabat sangat hati-hati dalam menerima hadis dari seseorang, bahkan tidak sembarangan. Para sahabat menerima hadis dari siapapun, kecuali jika bersama perawi itu ada orang lain yang mendengar dari Nabi Saw, atau dari perawi lain di atasnya. Termasuk Abu Bakar salah seorang sahabat yang sangat berhati-hati dalam menyampaikan hadis.
4)    Pemahaman terhadap ayat
انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحافظون
Mustafa al-Shibay berpendapat bahwa lazim terpelihara dari usaha pengubahan adalah al-Dzikir, selain al-Qur'an juga meliputi sunnah atau hadis, dan apabila pendapat ini diterima, maka ini merupakan faktor-faklor penjamin yang cukup penting, karena sifatnya langsung dari Allah Swt. Itulah sebabnya, maka kesinambungan hadis ini berlangsung dengan baik, secara terus-menerus disebabkan oleh faktor-faktor yang kita sebutkan di atas. Walaupun sekarang banyak juga terjadi perbedaan dalam keseluruhan hadis itu disebabkan berbeda pemahaman.

4.    Hadis Pada Masa Sahabat dan Tabi'in
Kata sahabat menurut bahasa Arab adalah musytaq dari kata Suhbah, yang berarti orang yang menemani yang lain tanpa dibatasi oleh jumlah waktu.
Itulah sebabnya para ahli hadis mengemukakan rumusan tentang sahabat yang agak sedikit beda antara satu sama lainnya. Contoh : Ibnu Hajar al-Askalani mengatakan, Sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad Saw dengan ketentuan ia beriman, meriwayatkan hadis atau tidak.
Kemudian Said ibnu al-Musayyab, menyampaikan bahwa orang yang pernah hidup bersama Nabi selama satu atau dua tahun dan pernah berperang bersama beliau sekali atau dua kali.
Sedangkan pengertian Tabi'in orang yang pernah berjumpa dengan sahabat dan dalam keadaan beriman, dan meninggal dunia dalam keadaan beriman juga.
Periode sahabat yang kita bicarakan di sini adalah dimulai sejak Rasulullah Saw wafat sampai pada generasi Tabi' in.

5.    Pemeliharaan Hadis pada Masa Sahabat dan Tabi'in
Dimasa kekhalifahan Khulafaurrasyidin, periwayatan sangat sedikit dan agak lamban, terutama masa Abu Bakar dan Umar. Pada periode ini periwayatkan hadis-hadis dilakukan dengan sangat hati-hati, beliau tidak sembarangan menerima. Menerima hadis sebagaimana yang terjadi pada suatu hari, Abu Musa al-Asyari mendatangi rumah Umar, setibanya di rumah Umar, beliau memberikan salam sebanyak tiga kali, Umar tidak menjawab sekalipun. Abu Musa pun tidak jadi masuk ke rumah Umar. Ketika melihat Abu Musa sudah tidak ada lagi, lalu Umar mengejarnya sampai ketemu dan bertanya pada Abu Musa, kenapa anda berbalik?, Abu Musa menjawab, bahwa kata Rasulullah barang siapa mengucapkan salam sampai tiga kali tidak dijawab maka tidak dibenarkan masuk ke dalam rumah tersebut. Lalu Umar mengatakan, Saya belum percaya apa yang kamu sampaikan sebelum kamu menghadirkan seorang saksi, yang mau menjadi saksi apa yang kamu sampaikan itu.
Terhadap kasus tersebut dapat kita pahami bahwa Umar tidak percaya apa yang disampaikan Abu Musa, bukan apa-apa beliau menyuruh pada Abu Musa untuk menghadirkan saksi agar tidak sembarangan mengada-ada apa yang disampaikan oleh Nabi. Dan juga ‘Umar ibnu Khattab adalah termasuk orang yang paling menentang dan tidak suka terhadap orang-orang yang memperbanyak periwayatan hadis.
Dalam ketelitian meriwayatkan hadis tidak hanya Umar ibnu Khattab, Abu Bakar, Usman ibnu Affan pun termasuk sahabat yang sangat teliti dalam meriwayatkan hadis, bahkan ia pernah mengatakan dalam suatu khotbahnya agar para sahabat tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak mendengar di masa Abu Bakar dan ‘Umar.  Begitu juga dengan Ali ibnu Abi Thatib yang tidak dengan mudah menerima hadis dari orang lain.
Sejarah mencatat bahwa dimasa Khulafaurrasyidin, khususnya masa Abu Bakar dan ‘Umar, periwayatan hadis sangat sedikit dan lambat. Hal ini disebabkan kecendrungan mereka secara umum untuk menyedikitkan riwayat, di samping sikap ketelitian para sahabat dalam menerima hadis, bertujuan supaya terpelihara dari berbagai kekeliruan.
Ketelitian dan kehati-hatian dalam menerima sebuah hadis tidak hanya terlihat pada para Khulafaurrasyidin saja, akan tetapi hal ini juga terjadi pada sahabat-sahabat yang lain. Sikap kesungguhan dan kehati-hatian sahabat dalam memelihara hadis diikuti pula oleh para Tabi'in yang datang setelah itu, sebagaimana yang terjadi dikalangan para Tabi'in yang ada di Basrah, mereka selalu mengadakan konfirmasi dengan para sahabat yang ada di Madinah tentang keaslian hadis. Sekalipun hadis itu mereka terima dari para sahabat karena para Tabi'in masih merasa perlu untuk mencek kebenaran hadis tersebut dari sahabat yang lain.

6.    Masa Penyebarluasan Periwayatan Hadis.
Para sahabat selalu berusaha agar periwayatan hadis bisa tersebar luas keberbagai pelosok daerah. Hal ini terwujud setelah Rasulullah wafat. Yang nampak sekali terjadi pada masa Usman Ibnu Affan, karena mereka memberikan kelonggaran-kelonggaran kepada para sahabat untuk menyebarluaskan periwayatan hadis ke daerah-daerah lain yang dimulai dengan penyebaran syiar agama Islam mengikuti pula dengan penyebaran hadis-hadis.
Sejalan dengan kondisi di atas, dan dengan dalamnya tuntutan untuk mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat yang baru memeluk agama Islam, maka khalifah Usman ibnu Affan serta Ali Ibnu Abi Thalib, mulai memberikan kelonggaran-kelonggaran kepada sahabat dalam rangka menyebarluaskan periwayatan hadis, sehingga terjadilah penukaran informasi, mereka memberi dan menerima satu sama lain, sehingga terjadilah ikhtisar riwayat hadis peningkatan kualitas periwayatan hadis.
Diantara beberapa kota yang banyak terdapat para sahabat dan aktivitas periwayatan hadis, antaranya:
1)    Madinah.
Di kota ini banyak terdapat para sahabat yang mempunyai ilmu agama yang mendalam, terutama bidang hadis diantaranya Disyar r.a, Abdullah Ibnu Sabid dan banyak sahabat-sahabat lainnya.
2)    Mekkah
Di kota ini perkembangan hadis juga mengalami kemajuan hampir sama dengan kota Madinah. Di sana ditunjuk Muaz Jabal sebagai guru yang mengajar penduduk setempat tentang halal dan haram.
Peranan kota Mekkah dalam hal penyebaran hadis pada masa selanjutnya adalah sangat signifikan terutama pada musim-musim haji, dimana pada waktu itu merupakan sangat tepat. Dimana para sahabat saling bertemu satu sama lainnya, terutama para tabi'in. Waktu itu terjadi penukaran informasi tentang hadis yang kemudian mereka bawa pulang ke daerah masing-masing.
3)    Kufah dan Basrah
Setelah Irak ditaklukkan pada masa Khalifah Umar ibnu al-Khattab di kota Kuffah tinggallah sejumlah para sahabat yang terkenal seperti Ali Ibnu Abi Thalib, Sa'ad Ibnu Zaid, Amru Ibnu Nufail dan sahabat-sahabat yang lain.  Begitu juga di Kota Basrah banyak terdapat sahabat-sahabat, seperti Anas Ibnu Malik yang dikenal sebagai Imam Fi al-Hadis di Basrah, Abdullah Ibnu Abbas dan sahabat-sahabat yang lain.
    Periwayatan hadis pada masa tabi’in umumnya masih bersifat dari mulut ke mulut, seperti seorang murid yang mendengarkan hadis pada gurunya, lalu disimpang didalam hatinya dengan menghafalkan hadis-hadis tersebut. Sedangkan para sahabat, tabi’in dan tabi tabi’in itulah makin berkembang dan terarah pada kegiatan-kegiatan mencari hadis sampai mereka harus pergi ketempat jauh untuk mencari dan meneliti validitas dari hadis tersebut atau hanya untuk bersilaturahmi dengan sahabat-sahabat yang lainnya. Disitulah mereka bias memperoleh hadis. Cara seperti ini umumnya dilakukan oleh para tabi’in, karena dengan demikian terjadilah pertukaran riwayat anatara satu dengan lainnya.

7.    Penulisan Hadis Pada Masa Tabi’in
Meskipun ada riwayat yang berasal dari Rasulullah Saw yang membolehkan untuk menuliskan hadis, dan terjadinya kegiatan penulisan hadis pada masa Rasulullah bagi mereka yang diberi kelonggaran-kelonggaran oleh Rasulullah untuk melakukannya.
Namun hal tersebut, para sahabat menahan diri dari tidak menuliskan hadis, tidak lain hanya untuk mereka untuk selalu melakukan penyelamatan al-Quran. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa bertahan lama. Sedikit demi sedikit terjadi perubahan, maka ketika itu semakin banyak para sahabat yang membolehkan penulisan hadis. 
Abu Bakar as-Siddiq, merupakan sahabat yang berpendirian tidak menuliskan hadis. Diriwayatkan oleh al- Hakim dengan sanadnya dari Qassim Ibnu Muhammad dari Aisyah r.a, dia (Aisyah) mengatakan bahwa ayahnya mengumpulkan hadis yang bersal dari Rasulullah Saw yang jumlahnya 500 hadis. Pada suatu malam, ketika Abu Bakar as-Siddiq membolak-balikan badannya berkali-kali dan tak kala subuh menjelang dia meminta kepada Aisyah ra mengumpulkan seluruh hadis-hadis tersebut, lalu Abu Bakar menyalakan api dan langsung membakar hadis-hadis tersebut.
    Demikian pula halnya dengan Umar Ibnu Khattab yang semula berfikir untuk mengumpulkan hadis, namun tidak lama berselang, dia berbalik dari niatnya tersebut. Diriwayatkan oleh Urwah Ibnu Zubeir, bahwasanya Umar Ibnu Khattab r.a hendak menuliskan hadis, maka ia meminta fatwa dari sahabat-sahabat lain tentang hal itu, dan para sahabat mengisyaratkannya agar Umar menuliskannya. Umar kemudian melakukan istikharah kepada Allah selama sebulan, yang pada akhirnya ia mengambil keputusan dan menyampaikannya di hadapan para sahabat di suatu pagi, seraya ia berkata “ sesungguhnya aku hendak membukukan hadis, namun aku teringat pada sutau kaum sebelum kamu yang menuliskan beberapa kitab, maka mereka asyik dengan kitab-kitab tersebut dan meninggalkan kitab-kitab Allah dan sesungguhnya aku demi Allah tidak mencampurkan kitab Allah dengan apapun untuk selamanya”. Pada riwayat lain melalui jalur Malik Ibnu Anas, Umar ketika itu berbalik dari niatnya untuk menuliskan hadis, di mana Umar menyatakan bahwa tidak ada suatu kitab pun yang dapat menyertai kitab Allah.    
    Dari uraian di atas memperlihatkan bahwa umat Islam dapat mewarnai dua hal penting yaitu al-quran dan hadis sebagai sumber ajaran Islam. Hadis merupakan bagian dari ilmu keislaman yang perlu dan harus dipelajari dan diamalkan untuk umat Islam di mana saja berada dalam berbagai aspek kehidupan dan tidak hanya dalam persoalan-persoalan ibadah tapi juga persoalan sosial, ekonomi, politik juga sangat diperlukan.

8.    Kesimpulan
Pada masa Rasulullah Saw masih hidup, hadis belum mendapatkan pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti Al-Quran. Para sahabat terutama yang mempunyai tugas istimewa selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat Al-Quran dengan alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya.
Kendatipun para sahabat sangat memerlukan petunjuk-petunjuk dan bimbingan Nabi Muhammad Saw dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan di dalam Al-Quran, mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadis belum diabadikan dalam tulisan. Larangan menulis hadis bagi para sahabat dapat ditanggapi dengan panca inderanya dari rasul untuk mengabadikan sesuatu. Pendirian ini mempunyai pegangan yang kuat yakni hadis nabi “jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain Al-Quran. Barang siapa menuliskan yang ia terima dariku selain Al-Quran hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku tidak akan mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka.

DAFTAR PUSTAKA

Asqalani, Ibnu Hajar. Kitab Al-Isabah Fi Tamyiz Al-Sahabah. Beirut: Dar Al-Fikr, 1978

Shiddieqy. Sejarah Perkembangan Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, tt

__________. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1991

Dewan Redaksi. Ensiklopedia Islam. Jakarta: PT.Icthtiar Baru Van Hoeve, cet X, 2002.

Djuned, Daniel. Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis. Banda aceh: Citra Karya, 2001

Hajjaj Al-Naisaburi Muslem. Shahih Muslim. Beirut: Dar Al-Fikr. 1993

Khatib, M.Ajjaj. Al-Sunnah Qabla al- Tadwin. Beirut: Dar Al-Fikr. 1981

Kudri Bek. Tarikh Tasyai Al-Islam. Kairo: Dar Al-Fikr, 1962.

Nata, Abuddin. Al-Quran dan Hadis. Jakarta: Raja Grafindo Pustaka, 1996.

Utang, Ranuwijaya. Ilmu Hadis. Jakarta: Gaya Media Pratama, cet I, 2001.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar