Kamis, 27 Maret 2014

KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI NUSANTARA (Kerajaan Islam di Luar Pulau Jawa)

A. Pendahuluan
    Sejarah bukan sekedar masalah kepastian yang dapat dibuktikan dengan sumber-sumber yang jelas, melainkan juga masalah fairness atau kewajaran, yang didasarkan pada penafsiran terhadap sumber-sumber yang ada. Begitu pula dengan penyebaran Islam ke berbagai daerah di Nusantara yang masih mengandung berbagi perbedaan pendapat dikalangan para sejarawan. Namun yang jelas penyebaran Islam di Nusantara tidaklah berlangsung secara bersamaan, mengingat karena cukup luasnya daerah yang ada di Nusantara. Para pedagang Muslim yang berdagang telah sampai ke Nusantara dari berbagai daerah di luar Nusantara seperti Arab, Persia, India dll. Dari para pedagang inilah baru berkembang Islam di Nusantara dengan berbagai jalur yang ada seperti perkawinan, pendidikan, tasawuf, kesenian serta politik dan kekuasaan.

Begitu juga laporan yang di dapat bahwa, Laksamana Ceng Ho juga pernah singgah di Kepulauan Nusantara. dalam kurun waktu 1405-1433, Cheng Ho memang pernah singgah di Kepulauan Nusantara selama tujuh kali. Ketika berkunjung ke Samudera Pasai, dia menghadiahi Lonceng Raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Lonceng tersebut saat ini tersimpan di Museum Banda Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjungi adalah Palembang dan Bangka. Selanjutnya mampir di Pelabuhan Bintang Mas (kini Tanjung Priok). Tahun 1415 mendarat di Muara Jati (Cirebon). Beberapa cindera mata khas Tiongkok dipersembahkan kepada Sultan Cirebon. Sebuah piring bertuliskan Ayat Kursi saat ini masih tersimpan baik di Kraton Kasepuhan Cirebon. Perjalanan dilanjutkan ke Tuban (Jatim). Kepada warga pribumi, Cheng Ho mengajarkan tatacara pertanian, peternakan, pertukangan, dan perikanan. Hal yang sama juga dilakukan sewaktu singgah di Gresik. Lawatan dilanjutkan ke Surabaya. Ketika hari Jumat, Cheng Ho mendapat kehormatan menyampaikan khotbah di hadapan warga Surabaya yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Kunjungan dilanjutkan ke Mojokerto yang saat itu menjadi pusat Kerajaan Majapahit.
    Begitu pula halnya dengan kerajaan-kerajaan islam yang berkembang di nusantara adalah sebagai suatu wujud keanekaragaman masyarakat yang terhimpun dalam wadah kebersamaan. Pada makalah ini akan dibahas bagaimana Kerajaan-kerajaan Islam  berdiri dan berkembang di Nusantara terutama yang ada di luar Pulau Jawa.

B. Kerajaan Perlak.
Analisis dan pemikiran tentang bagaimana sejarah masuknya Islam ke Indonesia difahami melalui sejumlah teori. Datangnya Islam di Kesultanan Perlak  melalui berbagai teori yaitu teori Gujarat, Teori Arab, dan Teori Persia. Teori Gujarat memandang  bahwa asal muasal datangnya Islam di Indonesia adalah memalui jalur Gujarat India pada abad ke 13-14.  Teori ini biasanya banyak digunakan oleh ahli-ahli dari Belanda. Salah seorang penganutnya adalah W.F.Stuterheim yang menyatakan bahwa Islam mulai masuk ke Nusantara pada abad ke 13 yang didasarkan pada bukti batu Nisan Sultan Pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik al-Shaleh pada tahun 1297.
Sementara Teori Persia menitikberatkan pada realitas kesamaan kebudayaan antara masyarakat Indonesia pada saat itu dengan budaya Persia.  Sedangkan teori Arab berpandangan bahwa pedagang Arab yang mendominasi perdagangan Barat dan Timur sejak abad ke 7 atau 8 yang sekaligus melakukan penyebaran agama Islam di Nusantara pada saat itu. Teori ini diperkuat oleh seorang sejarawan T.W.Arnold.
Prof. A. Hasjmy  berdasarkan makalahnya pada rujukan kitab-kitab seperti Kitab Izhhar al-Haqq karangan Abu Ishak Makarani al- Fasy, Kitab Tadzkirah Thabaqat Jam’u Sulthan as-Salathin karangan Sayyid Abdullah bin Sayyid Habib Saifuddin dalam tahun 1275 H, atas titah Alaidin Mansur Syah menyebutkan bahwa Kerajaan Islam pertama di Nusantara adalah Kerajaan Perlak yang berdiri pada abad ke–3 H / abad ke- 9 M. Hanya terdapat perbedaan sedikit tentang tahun berdiri kerajaan tesebut. Dalam kitab Izhhar al- Haqq menyebutkan tahun 225 H, sedangkan kitab Tadzkirah Thabaqat menyebutkan tahun 227 H.
Marcopolo menerangkan “perlu diketahui bahwa Perlak selalu disinggahi saudagar Arab, sebab mereka telah mengislamkan penduduknya”  Sementara itu raja pertama kerajaan Perlak tahun 22 H adalah Sayyid Abdul Aziz Shah, beliau ini merupakan hasil perkawinan antara Sayyid Ali dari Suku Quraisy dengan Putri Makhdum  Tansyuri yang merupakan salah sorang adik dari Meurah Perlak yang bernama Syahir Nuwi.

Dinamika Sosial Budaya
    Kesultanan Perlak terkenal dengan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Perlak dikenal dengan penghasil Kayu Perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Persia, dan Arab tertarik untuk datang ke daerah ini.  Masuknya para pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Kedatangan mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Perlak. Sebad ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
    Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah sebagai konsekuensi dari membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara menikahi wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja, pernikahan campuran juga dimaksud untuk mengembangkan sayap perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.
C. Kesultanan Ternate
    Diperkirakan, Islam sudah lama masuk ke Ternate melalui jalur perdagangan. Hal ini ditandai dengan banyaknya pedagang Arab yang datang ke wilayah tersebut untuk berdagang bahkan ada yang bermukim. Selain melalui perdagangan, penyebaran Islam juga dilakukan lewat jalur dakhwah. Muballigh yang terkenal dalam menyebarkan agama Islam di kawasan ini adalah Maulana Husain dan Sunan Giri.
    Ada dugaan, sebelum Kolano Marhum, sudah ada Raja Ternate yang memeluk Islam, Namun hal ini masih menjadi perdebatan. Secara resmi, Raja Ternate yang diketahui telah memeluk agama Islam adalah Kolano Marhum (1465-1486). Sementara Sultan Zainal Abidin (1486-1500) adalah Raja Tertnate ke -18 yang pernah mengecap pendidikan di Pesantren Sunan giri Gersik. Saat itu, ia dikenal dengan sebutan Sultan Baulawa (Sultan Cengkeh). Ketika menjadi sultan, Zainal Abidin kemudian mengadopsi hukum Islam sebagai undang-undang kerajaan. Ia juga mengganti gelar Kolano menjadi sultan. Untuk memajukan sektor pendidikan, ia juga membangun madrasah. Sejak saat itu Islam berkembang pesat di Ternate dan menjadi agama resmi kerajaan.

Struktur Pemerintahan
    Dalam pemerintahan Sultan dibantu oleh Jogugu (Perdana Menteri) dan Fala Raha (penasehat raja). Fala Raha merupakan representasi empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung Kesultanan Ternate. Dapat dikatakan bahwa Fala Raha merupakan pengganti empat Momole  dimasa sebelum datangnya Islam. Masing-masing Raha dipimpin oleh seorang Kimalaha. Diantara Kimalaha tersebut adalah Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi. Para pejabat tinggi istana berasal dari salah satu klan yang empat ini. Jabatan lain yang dibentuk untuk membantu tugas sultan adalah Bobato Nyagimoi (dewan 18).

Kehidupan Sosial Budaya
    Ternate merupakan daerah yang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah. Penduduk yang bertani adalah mereka yang tinggal di sekitar perbukitan, mereka menanam cengkeh, pala, kayu manis dan kenari. Sementara masyarakat yang tinggal dipinggir pantai banyak yang menjadi nelayan. Selain petani dan nelayan, orang Ternate juga banyak yang menjadi pedagang.
Peninggalan Kesultanan Ternate tidak sebanding dengan kebesaran namanya.Tidak ada warisan intelektual, arsitektur dan seni yang berkualitas tinggi yang ditinggalkannya. Satu-satunya warisan sastra yang ditinggalakan hanyalah Dolo Bololo Sedalil Moro. Sastra ini berbentuk puisi, peribahasa yang kebanyakan berisi pendidikan moral tradisional. Padahal sebagai bandar utama rempah-rempah di Maluku, Ternate sudah berhubungan  dengan peradaban yang lebih maju seperti Jawa, Melayu, Cina, Arab, dan Eropa. Namun sepertinya hal itu tidak meninggalkan pengaruh. Ini disebabkan oleh karena sibuknya Ternate dalam urusan konflik peperangan.
Sebelum Eropa datang , konflik Ternate dengan kerajaan sekitarnya karena memperebutkan hegemoni. Setelah bangsa Eropa datang, konflik terjadi dengan bangsa Eropa. Implikasinya, orang Ternate mencurahkan segenap tenaganya untuk mempertahankan diri, sebab konteksnya adalah menyerang atau diserang. Karena alasan-alasan inilah maka seni budaya yang muncul di Ternate seperti Tarian Cakalele memiliki watak pertempuran.

D. Kerajaan Samudera Pasai.
    Kerajaan Samudra Pasai terletak di Aceh, dan kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi oleh para pedagang-pedangan Muslim sejak abad ke-7 hingga seterusnya.  Bukti-bukti arkeologis keberadaan Kerajaan ini adalah ditemukannya makam raja-raja Pasai di Kampung Geudong, Aceh Utara. Makam ini terletak di reruntuhan bangunan pusat Kerajaan Samudera Pasai di Desa Beuringin, Kecamatan Samudera sekitar 17 km sebelah Timur Lhoksumawe
    Kerajaan Samudera Pasai dalam bidang politik berkembang dengan armada lautnya yang besar untuk ukuran saat itu, yang memang diperlukan untuk mengawasi perdagangan di wilayahnya. Pengawasan perdagangan itu merupakan sendi-sendi kerajaan, karena dari bidang inilah kerajaan mendapatkan dana yang besar.
Dinamika Perekonomian
    Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat perniagaan penting di kawasan itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai negeri. Sebagai Bandar perdagangan yang besar Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang disebut Dirham. Uang ini digunakan secara resmi di kerajaan ini.
Ekonomi perdagangan yang menjadi basis hubungan antara Malaka, China dan India saat itu telah menjadikan Kerajaan Samudera Pasai menjadi sebuah kerajaan yang terkenal dan berpengaruh di Asia Tenggara terutama pada abad ke-14 dan 15 M. Dengan kondisi ini pula Kerajaan Samudera Pasai bisa mengembangkan ajaran agama Islam ke wilayah-wilayah lainnya di Nusantara. Pada abad ke-14 M, kerajaan inipun menjadi pusat studi agama Islam.
Dinamika Sosial Budaya
Sebagai kerajaan besar pada saat itu, Kerajaan Samudera Pasai banyak memunculkan suatu tradisi kaligrafi dan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memamfaatkan huruf Arab yang dibawa Islam , untuk menulis karya mereka dalam bahasa melayu. Inilah yang kemudian disebut Arab Jawi. Diantara karya tulis tersebut adalah Hikayat Raja Pasai (HRP). Hikayat Raja Pasai ini menandai dimulainya perkembangan sastra melayu Klasik di bumi Nusantara. Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syeik Abdul Rauf Al-Singkili untuk menulis karya-karyanya.
Sejalan dengan itu,juga berkembang ilmu tasawuf. Diantara buku tasawuf yang diterjemahkan kedalam Bahasa Melayu adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak oleh Makhdum Patakan.

E. Kerajaan Gowa
Masuknya Islam ke Kerajaan Gowa
Kerajaan Gowa berdiri pada tahun 1320 M Dari sudut terminologi kata Gowa memiliki dua pengertian yang berbeda yang pertama berasal dari kata goari yang berarti kamar atau bilik. Kemudian yang kedua berasal  dari kata gua yang berarti liang yang berkaitan dengan tempat kemunculan awal Tomanurung ri Gowa (Raja Gowa I) di perbukitan Taka Bassia, Tamalate. Kemudian secara politik Kata Gowa dipakai untuk mengintegrasikan kesembilan federasi kekuasaan tunggal pada kerajaan Gowa.
Penerimaan Islam di Kerajaan Gowa menurut sejarawan cenderung pada pola top down yaitu masuknya islam pertama sekali dianut oleh Raja Gowa setelah itu  masyarakat mengikuti  raja.   Namun , tidak menutup kemungkinan pola lain seperti pola bottom up.   Menurut teori yang berlaku umum  bahwa penyebaran Islam di Indonesia pada awalnya melalui perdagangan, demikian halnya dengan kedatangan Islam di Kerajaan Gowa tidak terlepas dari faktor perdagangan. Islamisasi melalui  perdagangan dapat dilihat pada daerah yang pertama kali disinggahi yaitu daerah-daerah yang dilewati jalur perdagangan masa itu. Islamisasi di Kerajaan Gowa ini tidak berarti mengubah semua pranata politik dan sosial yang telah ada. Tetapi pada umumnya pranata-pranata yang ada masih tetap dipertahankan , kemudian diisi dan dilengkapi dengan pranata baru yang berasal dari Islam.
Struktur Kerajaan Gowa
    Struktur Kerajaan Gowa tidak banyak berbeda  dari yang terdapat pada struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan yang berkembang di Sulawesi Selatan. Struktur pemerintahan Kerajaan Gowa terdiri atas :
1.    Raja (Sombaya) = dalam stratifikasi masyarakat Gowa bahwa anak Kraeng adalah masyarakat yang memiliki lapisan tertinggi dalam masyarakat sehingga golongan inilah yang berhak menjadi raja.
2.    Mangkubumi (Tomabicara Butta) = berperan mendapingi raja dalam menjalankan pemerintahan.
3.    Lembaga adat ( Tomailalang Toa) = bertugas sebagai juru bicara sekaligus sebagai penasehat raja.
4.    Kepala Urusan Rumah Tangga Istana ( Tomailalang Lolo) = berperan sebagai pengatur perbelanjaan istana,termasuk pengaturan petugas-petugas istana.
5.    Panglima Perang ( Karaeng Tokajannangngang )
6.    Syahbandar ( Sabannara) = pejabat yang bertugas dan bertanggungjawab dalam menangani para pedagang.
7.    Dewan Kerajaan (Bate Salapang) = berperan dalam menetapkan aturan-aturan dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan yang akan dijalankan raja.
8.    Kepala distrik (Gallarang) =  menjalankan kebijakan raja di daerah seperti penarikan pajak dan penggunaan tenaga kerja.
9.    Kepala Desa (Matoa) = basis pemerintahan terendah yang berperan sebagai perpanjangan tangan pemerintahan pusat kerajaan.
Kehidupan Perekonomian dan Sosial
Dari awal berdirinya Kerajaan Gowa sampai masa kekuasaan Raja Gowa VIII            I Pakere Tau,  pemerintahan Kerajaan Gowa di pusatkan di Taka Bassia Tamalate. Kemudian istana dipindahkan ke Somba Opu oleh Raja Gowa IX Daeng Mantare Karaeng Mengunungi karena dianggap lebih menguntungkan dan lebih strategis sebagai kerajaan yang maju dibidang ekonomi dan politik. Pada masa inilah Kerajaan Gowa mulai memperluas kekuasaannya dan menaklukan berbagai daerah sekitarnya termasuk menjalin kerjasama dan perjanjian dengan kerajaan-kerajaan lain. Hal ini berlangsung sampai Raja Gowa XII, I Daeng Mammeta Bonto Langkasa (1565-1590). Ambisi inilah yang membuat Kerajaan Gowa menjadi Kerajaan besar.
    Bandar yang dimilikinya menjadi Bandar persinggahan niaga dunia yang sangat maju karena telah memiliki berbagai fasilitas sebagaimana layaknya Negara besar lain pada abad XVI-XVII. Pada waktu itu kerajaan menjalankan sistem politik terbuka berdasarkan Teori Mare Laberum (laut bebas) yang memberikan jaminan usaha para pedagang asing.
Melemahnya Kerajaan Gowa
Perkembangan perdagangan Kerajaan Gowa yang semakin luas sehingga menimbulkan ambisi yang berlebihan. Tingkat persaingan yang terselubung (laten) ketika ingin menguasai hegemoni perekonomian di Sulawesi, terutama persaingan dengan dengan kerajaan Bone. Ketika persaingan memuncak, Belanda memamfaatkan situasi dengan mulai melancarkan  politik devide et impera serta menerapkan sistem monopoli yang sangat bertentangan dengan prinsip mare liberum hingga meletusnya Perang Makasar (1666-1669).

F. Kesultanan Malaka
    Kesultanan Malaka didirikan oleh Parameswara  antara 1380-1403 M. Parameswara berasal dari Sriwijaya dan merupakan putra dari Raja Sam Agi. Berkaitan dengan nama Malaka sendiri ada dua versi yang pertama berasal dari nama sebuah pohon yang bernama Malaka.Versi lain bahwa Malaka berasal dari bahasa arab Malqa, artinya tempat bertemu. Disebut demikian, karena di tempat inilah para pedagang dari berbagai negeri bertemu dan melakukan transaksi niaga.
Dinamika politik
    Dalam menjalankan dan menyelenggarakan politik negara, ternyata para Sultan menganut paham politik hidup berdampingan secara damai (co-existence policy) yang dijalankan secara efektif. Politik hidup berdampingan secara damai dilakukan melalui hubungan diplomatik dan ikatan perkawinan. Politik ini dilakukan untuk menjaga keamanan internal dan eksternal malaka.
Wilayah Kekuasaan
    Dalam masa kejayaannya , Malaka mempunyai kontrol atas daerah-daerah sebagai berikut :
1.    Semenanjung Tanah Melayu.  
2.    Daerah Kepulauan Riau
3.    Pesisir Timur Sumatera bagian Tengah
4.    Brunai dan Serawak
5.    Tanjung Pura (Kalimantan)
Melemahnya Kesultanan Malaka
    Usia kesultanan Malaka ternyata cukup pendek, hanya satu setengah abad. Sebenarnya pada tahun 1512, Sultan Mahmud Syah yang dibantu Dipati Unus menyerang Malaka, namun gagal merebut kembali wilayah ini dari Portugis. Sejarah Malaka tidak berhenti sampai di sini. Sultan Malaka segera memindahkan pemerintahannya ke Muara, kemudian ke Pahang, Bintan Riau, Kampar kemudian kembali ke Johor dan terakhir kembali ke Bintan. Begitulah dari dahulu Kesultanan Malaka ini tidak dapat dipisahkan. Kolonialisme Baratlah yang memecah belah persatuan dan kesatuan Malaka

G.Kerajaan Langkat.

   Awal Kelahiran dan Perkembangannya.
Wilayah Kabupaten Langkat yang dikenal sekarang ini sebelumnya adalah sebuah kerajaan. Wilayahnya terbentang antara aliran Sungai Seruwai atau daerah Tamiang (sekarang menjadi wilayah Aceh Tamiang) sampai ke aliran anak Sungai Wampu. Nama kerajaan Langkat diambil dari nama sebuah pohon yaitu pohon Langkat.  Pohon ini dulu banyak tumbuh di sekitar pinggiran sungai Langkat tersebut. Jenis pohon ini sekarang langka dan hanya dijumpai di hutan-hutan pedalaman daerah Langkat. Pohon Langkat menyerupai pohon Langsat, tetapi rasanya pahit dan kelat. Oleh karena  pusat Kerajaan Langkat berada di sekitar Sungai Langkat, maka kerajaan ini akhirnya populer dengan istilah Kerajaan Langkat.
Silsilah kesultanan Langkat diambil dari nama leluhur Dinasti Langkat yang terjauh adalah Dewa Sahdan.  Menurut mitos yang ada, ia lahir di tengah hutan belantara dan dibesarkan di Kuta Buluh (tanah tinggi Karo) kira-kira hidup pada tahun 1500 sampai 1580 M. Kemudian Dewa Sahdan turun gunung dan beberapa kali berhasil mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, karena terlibat peperangan dengan kerajaan-kerajaan lain, khususnya Aceh yang pada saat itu sedang mengembangkan daerah kekuasaannya.
    Pendiri Kerajaan Langkat yang dikenal adalah Raja Kahar, yang pada pertengahan abad ke –18 pada tahun 1750 sejak itu, nama Langkat sebagai sebuah kerajaan mulai terdengar walaupun daerah kekuasaannya masih belum begitu luas dan pusat pemerintahannya masih berpindah-pindah. Baru setelah Sultan Musa Berkuasa maka pusat kerajaan resmi berada di Kota Tanjung Pura, selanjutnya secara damai meluaskan wilayahnya sehingga wilayah kekuasaannya bertambah luas mulai dari perbatasan Aceh Tamiang sampai di kawasan Binjai dan Bahorok. Setelah Sultan Musa mangkat maka kerajaan di ambil alih oleh Sultan Abdul Aziz dan Sultan Mahmud hingga berakhirnya kekuasaan Kerajaan Langkat.
 Dinamika Keagamaan
    Masyarakat Melayu Langkat sebelum adanya kerajaan Langkat diketahui sudah beragama Islam, khususnya di wilayah pesisir. Hali ini dikarenakan wilayah Langkat yang berbatasan dengan daerah Aceh, maka ini membawa dampak bagi perkembangan Islam. Menurut Marco Polo pada tahun 1292 telah ditemukan komunitas Muslim di wilayah Pase pada abad ke-14 M. Islam telah berkembang di daerah pesisir Timur Sumatera. Pada masa ini orang-orang Melayu berperan besar dalam penyebaran agama Islam ke pelosok Nusantara,  dan hubungan perdagangan dengan semenanjung Malaka.
    Kerajaan Langkat terutama setelah berpusat di Tanjung Pura, menjadikan agama Islam sebagai pedoman atau rujukan terhadap kebijakan-kebijakan sultan dan kerajaan secara umum. Masyarakat yang mayoritas Islam dalam perilakunya telah mencerminkan nilai-nilai agama yang sangat kuat walaupun masih terdapat kepercayaan-kepercayaan peninggalan Hindu, Animisme dan lain sebagainya.
    Selanjutnya dalam peyebaran Islam, maka sultan-sultan Langkat membangun fasilitas-fasilitas peribadatan, mesjid-mesjid yang megah yang indah bentuknya seperti Mesjid Azizi di Tanjung Pura, Masjid Raya Stabat dan Mesjid Raya Binjai dan beberapa madrasah yang dibangun untuk pendidikan rohani rakyat.  Sedangkan mengenai gaji-gaji guru dan nazir mesjid, demikian juga untuk pemeliharaan gedung-gedung tersebut semuanya ditanggung oleh pihak kerajaan.
    Dinamika keagamaan yang begitu kuat dapat dilihat dengan keberadaan Babussalam sebagai pusat kegiatan Tariqat Naqsabandiyah. Ketika kesultanan Langkat dipimpain oleh Sultan Musa, maka pusat tariqat tersebut muncul dan menjadi sebuah simbol keagamaan pada masa itu dan bahkan sampai saat sekarang. Awal mula lahirnya Tariqat Naqsabandiyah ketika meninggalnya anak Sultan Musa yang bernama Tuanku Besar dikarenakan sakit, hal ini membuat sultan dan isterinya mengalami kesedihan mendalam dan depresi kejiwaan yang kuat beberapa pihak yang mengkhawatirkan keadaan ini berusaha untuk mengembalikan kesehatan dan kestabilan jiwa sultan. Maka dalam hal ini ada seorang guru agama kerajaan yang bernama Syekh H. M. Nur mempunyai teman sepengajian ketika di Mekkah yang bernama Syekh Abdul Wahab Rokan  atas nasehatnya, maka sultan dan isteri disuruh bersuluk dan mengaji kepada Syekh Abdul Wahab Rokan dengan harapan mudah-mudahan dengan selalu berzikir dan mengingat Allah, maka akan membuat hati lebih tenang.
Dinamika Sosial dan Budaya
    Di masa kesultanan Langkat telah dikenal strata masyarakat atau kelas-kelas sosial yang membedakan keturunan bangsawan dan rakyat biasa. Golongan bangsawan adalah keturunan raja-raja yang dikenal dengan gelar-gelar tertentu seperti tengku, sultan dan datuk.  Dalam hal ini peninggalan Hinduisme masih melekat pada masyarakat. Bahkan sisa pelapisan sosial lama masih tampak dalam prilaku masyarakat Melayu saat ini.
Dinamika Ekomomi    
    Kerajaan Langkat termasuk kerajaan yang makmur, terlihat dari bangunan-bangunan yang didirikan pada masa kerajaan ini seperti istana-istana yang megah, lembaga pendidikan dan mesjid yang berdiri dengan kokoh dan kuat. Menurut John Anderson selaku wakil pemerintahan Inggris di Penang menyatakan bahwa pada tahun 1823, Kerajaan Langkat merupakan sebuah kerajaan yang kaya. Ekspor Ladanya bermutu sangat baik mencapai 20.000 pikul dalam setahun. Hasil-hasil lainnya dari Langkat seperti rotan, lilin, buah-buahan, gambir, emas (dari Bahorok), gading, tembakau dan padi.
    Sumber penghasilan Kesultanan Langkat terutama dari hasil pertanian, pajak perkebunan asing (Deli Maatschaooij yang searang berupah menjadi PTPN), perdagangan dan hasil pertambangan minyak Bapapte Pertoleum Maatschappij (BPM) sehingga kesultanan Langkat terkenal dengan kerajaan yang kaya. Kekayaan kerajaan dapat dinikmati oleh masyarakat ini dapat dirasakan bahwa sultan setiap tahun mengeluarkan zakat dengan mengumpulkan seluruh rakyat di mesjid atau di istana pada malam 27 Ramadhan serta memberikan bantuan-bantuan lainnya seperti minyak lampu yang digunakan untuk penerangan di Bulan Ramadhan.


Dinamika Intelektual
    Dengan berdirinya Madrasah al- Masrullah tahun 1912, Madrasah Aziziah pada tahun 1914 dan Madrasah Mahmudiyah tahun 1921 maka Langkat menjadi salah satu tempat yang dituju oleh pencari ilmu dari berbagai daerah. Disebutkan bahwa selain dari masyarakat Langkat yang belajar di kedua maktab tersebut maka banyak pelajar-pelajar yang datang dari dalam dan dari luar Pulau Sumatera seperti Riau, Jambi, Tapanuli, Kalimantan Barat, Malaysia, Brunei dan lain sebagainya.
    Pada awalnya maktab itu hanya disediakan untuk anak-anak keturunan raja dan bangsawan semata, namun pada perkembangannya maktab ini telah memberikan kesempatan kepada umum untuk dapat belajar dan menuntut ilmu. Beberapa tokoh nasional yang pernah belajar antara lain adalah Tengku Amir Hamzah dan Adam Malik (Wakil Mantan Presiden RI).
    Selanjutnya Sultan Abdul Azis kemudian mendirikan lembaga pendidikan umum bagi masyarakat Langkat yaitu sekolah HIS dan sekolah Melayu yang banyak memberikan materi-materi pelajaran umum. Berkenaan dengan masalah intelektual, Kesultanan Langkat memiliki seorang Amir Hamzah yang dikenal sebagai seorang penyair, sastrawan dan pahlawan nasional
Dinamika Politik
    Berkenaan dengan politik, Kerajaan Langkat tidak dapat dipisahkan dari kerajaan-kerajaan lain yang berada di sekitarnya. Ada dua kerajaan besar yang selalu  disebut-sebut dalam sejarah yaitu Kerajaan Aceh dan Kerajaan Siak. Selain itu pula terdapat pemerintahan Kolonial Belanda yang selalu mengadakan intimidasi terhadap kerajaan yang lambat laun meraka dapat menguasai kerajaan Melayu yang berada di sepanjang pesisir  Timur Pulau Sumatera termasuk Langkat pada pertengahan abad ke –19. Akhirnya menjelang tahun kemerdekaan Republik Indonesia penjajahan Jepang juga berhasil menguasai Kerajaan Langkat, hingga pada tahun 1946 terjadi revolusi sosial di Sumatera Timur yang menjadi akhir masa pemerintahan kerajan Langkat dan digantikan menjadi wilayah kabupaten.
    Seperti kerajaan lainnya, kerajaan Langkat juga tidak luput dari perang saudara. Perang saudara terjadi antara Nobatsyah (Raja Bendahara) dengan Raja Ahmad. Hal ini dapat diketahui bahwa sebelum tahun 1865 susunan pemerintahan kerajaan Langkat masih sangat sederhana. Menurut laporan John Anderson selaku wakil Pemerintahan Inggris di Penang ketika mengunjungi Langkat pada tahun 1823, Siak belum menganggkat Raja untuk Langkat namun telah memberikan gelar “Raja Muda” kepada Ahmad dan gelar “Bendahara” kepada Nobatsyah yang masing-masing memiliki istana yang berdekatan.
Kemajuan dan Awal keruntuhan Langkat
    Pada masa pemerintahan Sultan Musa, Kerajaan Langkat masih mendapat tekanan dari Pihak Aceh dan Belanda dan beberapa daerah di sekitar kerajaan Langkat. Pada masa kekuasaan Sultan Musa, ia selalu menekankan perjanjian damai sehingga Langkat berkembang menjadi kerajaan yang megah dan besar.  Pada masa beliau, kerajaan memiliki dua buah istana yaitu Istana Darul Aman dan Istana Darussalam yang saling berdekatan.
    Istana Darul Aman bercirikan ornamen Arab dan dibuat dari batu bata, sedangkan Istana Darussalam terbuat dari kayu  bercirikan ornamen Cina dan memiliki menara seperti Pagoda di bagian tengah bangunannya. Kemajuan-kemauannya antara lain : berdirinya Tariqat Naqsabandiyah, pengembangan dan perluasan-perluasan wilayah dengan nama kejeruan (baca: kecamatan) yang meliputi perbatasan Aceh Tamiang, Bahorok dan Binjai.
    Sedangkan keruntuhan Kerajaan Langkat sendiri disebabkan perang saudara. Sehingga pada tahun 1946, masyarakat Langkat membumi hanguskan kerajaannya dan membunuh orang-orang yang dianggap antek-antek penjajah dan keluarga kerajaan tidak luput dari peristiwa tersebut. Selanjutnya kedua istana yang megah dibakar oleh masyarakat, karena dikhawatirkan akan dikuasai Belanda.


H. Kerajaan Banjar.
    Kerajaan Banjar didirikan oleh Raden Samudera yang berhasil menundukkan kerajaan Daha. Masyarakat Kerajaan Banjar pada awalnya adalah penganut agama Hindu. Namun ketika Raden Samudera berperang melawan Kerajaan Daha, beliau dibantu oleh Kerajaan Demak dengan janji akan masuk agama islam apabila menang. Dan janji itu dipenuhi Raden Samudera dan masuk Islam pada tahun 1526 M. Dan di sinilah awal mula Kerajaan Banjar mulai bergelut.   
    Dengan kemenangan ini Raden Samudera berganti nama menjadi Sultan Suriansyah. Beliau telah membuka era baru di Kerajaan Banjar dengan banyaknya masyarakat Banjar yang menganut Agama Islam.
 Kehidupan Sosial Budaya
    Dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk limas (lapisan). Lapisan atas adalah golongan penguasa yang merupakan golongan minoritas. Mereka adalah kaum bangsawan atau bubuhan raja. Penghargaan terhadap golongan bangsawan ini sesuai derajat kebangsawanannya. Mereka secara turun temurun ,menjadi golongan terhormat dan berdarah bangsawan, serta memiliki gelar seperti sultan, pangeran, ratu, gusti, andin antung dan nanang. Golongan ini mempunyai hak memungut cukai dari hasil bumi, hasil pertanian, perikanan dan lain-lain.
Golongan kedua adalah pejabat kerajaan, ulama, mufti, dan penghulu. Golongan ini langsung berhubungan dengan penduduk. Segala macam barang yang diperdagangkan mereka beli dari masyarakat dan dibayar dengan uang. Mufti sebagai pejabat formal mengurus segala perkara hukum pada tingkat tinggi. Sementara ulama menyampaikan ajaran agama Islam.
Golongan ketiga merupakan golongan terbesar, yaitu golongan masyarakat biasa. Mereka itu adalah golongan yang hidup dari pertanian dan pegadang kecil-kecilan, nelayan, pengrajin dan pertukangan.
Golongan keempat adalah golonmgan pandeling. Golongan ini adalah masyarakat yang kehilangan setengah kemerdekaannya akibat hutang piutang yang tak dapat mereka bayar. Biasanya, merekalah yang menjalankan perdagangan dari golongan bangsawan atau pedagang-pedagang kaya. Namun golongan ini berakhir pada abad ke-19, seiring dengan dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh belanda.
Sementara dengan kehidupan budaya, telah berkembang beberapa corak seni dan sastra. Saat itu masyarakat Banjar telah mengenal seni Gamelan yang dipukul dengan lemah lembut, seni sastra berkembang dengan menggunakan huruf Arab Melayu (Jawi) dan kemungkinan juga telah berkembang seni dari perpaduan antara Tonil Melayu dan Cerita Seribu Satu Malam. Seni ukir berkembang karena adanya kebiasaan para bangsawan dan orang kaya untuk membuat rumah mewah, yang dipenuhi dengan ukiran indah.

I.  Kesultanan Deli
    Kesultanan Deli, merupakan kerajaan Melayu yang ada di Sumatera Timur. Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Kerajaan Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan,  bergelar Laksamana Khoja Bintan. Pada tahun 1612 M, Gocah Pahlawan bersama pasukannya pergi berperang melawan Kerajaan Haru di Sumatera Timur, dan berhasil menaklukan kerajaan ini. Pada tahun 1630, ia kembali bersama pasukannya untuk melumpuhkan sisa-sisa kekuatan Kerajaan Haru di Deli Tua. Setelah semua kekuasaan Haru dilumpuhkan , Gocah Pahlawan kemudian menjadi penguasa daerah taklukan tersebut sebagai wakil resmi Kerajaan aceh, dengan wilayah kekuasaannya dari Tamiang hingga Rokan.
    Dalam perkembangannya, atas bantuan Kerajaan Aceh Gocah Pahlawan berhasil memperkuat kedudukannya di Sumatera Timur dengan menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar daerah tersebut. Setelah Gocah Pahlawan Wafat pada tahun 1653, putranya Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan dan pada tahun 1669 mengumumkan memisahkan diri dari kerajaan aceh. Ibu kotanya berada di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.Sebuah pertentangan dalam pergantian kekuasaan pada tahun 1720 menyebabkan pecahnya Kesultan deli dan dibentuknya Kesultanan Serdang.
    Setelah itu, Kesultanan deli sempat direbut Kesultanan Siak Sri Indrapura dan Aceh. Pada tahun 1858, tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak Syarif Ismail menyerahkan tanah kekuasaannya tersebut kepada Belanda. Pada tahun 1861, Kesultanan Deli secara resmi diakui merdeka dari Siak maupun Aceh. Hal ini menyebabkan Sultan Deli bebas untuk memberikan hak-hak lahan kepada Belanda maupun perusahaan-perusahaan luar negeri lainnya. Pada masa ini Kesultanan Deli berkembang pesat. Perkembangnnya dapat terlihat dari semakin kayanya pihak kesultanan berkat usaha perkebunan terutama tembakau dan lain-lain.
Beberapa bangunan peninggalan kesultanan Deli juga menjadi bukti perkembangan daerah ini pada masa itu, misalnya Istana Maimon. Kesultanan Deli masih tetap eksis hingga kini meski tidak lagi mempunyai kekuatan politik setelah berakhirnya Perang Dunia Ke- II dan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia.
Wilayah Kekuasaan
    Wilayah Kesultanan Deli mencakup kota Medan sekarang ini, Langkat, Suka Piring, Bulu Cina dan beberapa negeri kecil lainnya di sekitar pesisir Timur Pulau Sumatera.
Struktur Pemerintahan
    Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Deli, kekuasaan tertinggi berada ditangan sultan. Permaisuri sultan bergelar Tengku Maha Suri Raaja atau Tengku Permasuri, sedangkan putra maahkota begelar Tengku Mahkota. Putra dan putrid lainnya hanya bergelar tengku. Keturunan lain yang berdasrkan garis patrilineal hingga generasi kelima juga bergelar tengku. Dalam kehdupan sehari-hari, sultan tidak hanya berfungsi sebagai kepala pemerintahan, tapi juga sebagai kepala urusan agama Islam dan sekaligus sebagi kepala adat Melayu. Untuk menjalankan tugasnya sultan dibantu oleh bendahara, syahbandar dan para pembantu lainya.
Kehidupan Sosial Budaya
    Daerah perkebunan tembakau yang luas yang dimiliki Kerajaan adalah hasil kerjasama dengan Belanda, sehingga sultan menjadi kaya raya. Dengan klekayaan yang melimpah, para sultan kemudian hidup mewah, dengan membangun istana yang indah dan sering mengadakan pesta untuk menyambut tamu yang kebanyakan datang dari Eropa. Berbeda dengan kehidupan di luar istana, masyarakat awam tetap hidup apa adanya dengan menggantungkan sumber ekonominya dari perladangan yang sederhana. Namun ada juga masyarakat Deli hidup dari lahan pertanian, sebagian ada diantara mereka yang menjadi buruh tani di perkebunan tembakau bersama orang-orang Jawa dan Cina.
    Dari segi kekerabatan, masyarakat Deli lebih dominant menganut system Patrilineal. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungan para pasangan muda untuk mendirikan rumah di dekat lingkungan keluarga suami, terutama ketika pasangan muda tersebut sudah memiliki keturunan. Jika belum memiliki anak pasangan muda ini lebih sering tinggal bersama keluarga perempuan. Dari kenyataan ini, sebenmarnya pola kekerabatan Matrilineal dan Patrilineal telah juga diterapkan dengan cukup berimbang oleh masyarakat Deli.

J. Penutup
    Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara adalah sebagai suatu keragaman dalam masyarakat yang dibangun oleh kebersamaan. Mulanya dari sebuah proses alamiah dari perkembangan Islam yang di bawa para pedagang dari berbagai daerah seperti India, Gujarat, Persia dan Arab. Adanya interaksi  yang berlangsung diberbagai daerah yang menerima Islam, dalam interaksi ini tentunya akan terjadi pertukaran budaya, termasuk ajaran-ajaran yang berlaku pada agama Islam.
    Kerajaan-kerajaan Islam kemudian muncul  sebagai suatu konsekuensi logis dari atauran-aturan yang berlaku pada setiap pengikutnya. Kerajaan Samudera Pasai contohnya, merupakan kerajaan Islam yang berkembang perdagangannya dengan menjalin kerjasama sampai ke Negeri Cina dan India. Sebuah laporan dari Ibnu Batutah ketika berada di Cina, bahwa ia melihat perahu Sultan Pasai yang berlabuh di Negeri ini, kemudian adanya utusan Sultan Pasai ke Quilon, India Barat tahun 1282 M.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI sampai abad XVII, Cet I Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005

A. Hasjmy. Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Indonesia  Bandung: al-Ma’arif, 1993.

_________. Dustur Dakwah  Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

A. Kadir Ahmadi, Sejarah Perkembangan Pendidikan Jama’iyah Mahmudiyah Tanjung Pura Langkat: Terbitan Khusus Pengurus Besar Jama’iyah Mahmudiyah Li Thalibil Khairiyah, 1985.

As. Harahap, Sejarah Penyiaran Agama Islam di Asia Tenggara, Cet .II  Medan: Toko buku Islamiyah, 1951.

Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII  Bandung: Mizan, 1998.

_____________. Renessaince Islam di Asia Tenggara Bandung: Remaja Rosda Karya, 1999.

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam  Jakarta: Rajawali Press, 2000.

Fakhri Ali dan Bachtiar Efendi, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Islam Indonesia Masa Orde Baru  Bandung: Mizan, 1986.

Hamka. Sejarah Umat Islam, Jilid IV Jakarta: Bulan Bintang, 1981.

Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam di Indonesia  Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, ter. Kieraha Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

MC. Riflefs dalam bukunya A History of Modern Indonesia London: McMillan Education, t.t.

Muhammad Gade Ismail, Pasai dalam perjalanan Sejarah : Abad ke-13 sampai awal abad ke-16, Jakarta: Depdiknas,1993

Muhammad Hasan al-Aydrus, Penyebaran Islam di Asia Tenggra, terj. Jakarta: Lentera: Lentera Bastarima, 1996.

Muhammad  Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan sekitarnya, Cet. II Jakarta: Lentera, 1999.

Taufik Abdullah, Sejarah Ummat Islam Indonesia  Jakarta: MUI, 1991.

Thomas W. Arnold, The Preaching Of Islam, terj  Jakarta: Penernit Widiya, 1981.

Tim Peniliti Fakultas Sastra USU  J. Fachruddin Daulay, Nazief Chatib, Farida Hanum Ritonga, A. Samad Zaino, Jalaluddin Daud. Sejarah Pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II , Langkat   Stabat: T.P, 1995.

T. Lukman Sinar, Makalah : Sumatera Timur Sebelum Menancapnya Penjajahan Belanda  Medan: Fakultas Sastra USU, 1990.

T. Lukman Sinar, Sari Sejarah Serdang  Medan: Lembaga Penelitian Fakultas Hukum USU, 1971.

T. M. Lah Husni, Biografi Sejarah Pujangga Nasional Tengku Amir Hamzah Medan: Penerbit Husni, 1971.

Uka Candasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III  Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia Jakarta: LP3ES, 1997.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar