BAB I
PENDAHULUAN
Penulisan sejarah adalah usaha
rekonstruksi peristiwa yang terjadi di masa lampau. Penulisan itu bagaimana pun
baru dapat dikerjakan setelah dilakukannya penelitian, karena tanpa penelitian
penulisan menjadi rekonstruksi tanpa pembuktian. Dalam penelitian dibutuhkan
kemampuan untuk mencari, menemukan dan menguji sumber-sumber yang benar.
Sedangkan dalam penulisan dibutuhkan kemampuan menyusun fakta-fakta yang
bersifat fragmentaris dan selanjutnya disusun ke dalam suatu uraian yang
sistematis, utuh dan komunikatif. Keduanya membutuhkan kesadaran teoritis yang
tinggi dan serta imajinasi historis yang baik.[1]
Perkembangan ilmu sejarah dalam Islam tidak dapat
dipisahkan dari perkembangan budaya secara umum yang berlangsung sangat cepat.[2] Dalam
bidang politik, hanya dalam satu abad lebih sedikit, Islam sudah menguasai
Spanyol, Afrika Utara, Syiria, Palestina, Semenanjung Arabia, Irak, sebagian
Asia Kecil, Persia, Afghanistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan,
Turkmenia, Uzbekistan dan Kigris di Asia Tengah. Seiring dengan perkembangan
budaya dan peradaban Islam. Ilmu sejarah dalam Islam lahir dan berkembang.
Penulisan sejarah Islam berkembang dari masa ke masa,
mengikuti perkembangan
peradaban Islam. Sebagiamana dikutip oleh Badri Yatim,
Husein Nashshar berpendapat bahwa perkembangan penulisan sejarah di awal masa
kebangkitan Islam tidak terlepas dari aliran Yaman, Aliran Madinah, dan Aliran
Irak.[3]
Rohadi Abdul Fatah dalam diskusi program doktor di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, juga berpendapat bahwa suburnya penulisan sejarah Islam terjadi di
awal masa kebangkitan Islam yang ditandai dengan adanya Aliran Yaman, Aliran Madinah
dan Aliran Irak.[4] Oleh karena itu, dapat dikatakan
bahwa sepakat para pengamat historiografi Islam memasukkan Aliran Irak ke dalam
aliran penulisan sejarah Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aliran Irak
Setidaknya ada dua faktor yang
menjadi pendukung utama berkembangnya penulisan sejarah dalam sejarah Islam.
Faktor pertama adalah al-Qur’an dan faktor kedua adalah Ilmu Hadis. Al-Qur’an
dengan beberapa redaksi ayatnya memberikan isyarat dan sekaligus
memerintahkan kepada umat Islam untuk
memperhatikan sejarah. Selain itu juga di dalam al-Qur’an terdapat kisah-kisah
yang berhubungan dengan sejarah.
Pada awal masa perkembangan Islam, Ilmu Hadis merupakan
ilmu yang paling tinggi dan paling diperlukan oleh umat Islam pada waktu itu.
Ulama-ulama kemudian bepergian dari satu kota ke kota lain hanya untuk mencari
beberapa hadis dan meriwayatkannya.
Husein Nashshar menambahkan bahwa selain faktor pendukung
tersebut di atas, ada beberapa faktor lain yang mempercepat kebangkitan sejarah
Islam. Faktor-faktor tersebut adalah: pertama,
khalifah yang menginginkan pengetahuan dalam rangka menjalankan roda
pemerintahan; kedua, sikap
orang-orang asing di wilayah kekuasaan Islam membanggakan diri mereka dengan
mengungkapkan sejarah dan peradaban mereka di masa lalu; ketiga, sistem pemerintahan; keempat,
adanya gerakan menulis ilmu-ilmu yang lain yang sudah dikenal oleh bangsa Arab
ketika itu, dan; kelima, perhatian
terhadap “silsilah” dan “al-Ayyâm”
semakin berkembang di masa Islam.[5]
Dibandingkan dengan Aliran
Yaman dan Aliran Madinah, Aliran Irak adalah aliran yang terakhir kali lahir.
Aliran Irak yang dimaksud dalam pembahasan ini meliputi Kufah dan Bashrah.
Aliran ini lebih luas perkembangannya dibandingkan dengan dua aliran
sebelumnya, karena memperhatikan arus sejarah sebulum Islam dan masa Islam
sekaligus.[6]
Kelahiran Aliran Irak ini tidak dapat dipisahkan dari
perkembangan budaya dan peradaban Arab. Perkembangan budaya bangsa Arab itu
sendiri tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek politik, sosial, dan budaya
Islam yang tumbuh di kota-kota dan komunitas-komunitas baru.[7]
Bashrah dan Kufah yang menjadi pusat Aliran Irak dulunya
merupakan daerah hasil ekspansi Islam pada masa Khalifah ‘Umar ibn Khaththâb. Kedua
kota ini termasuk kota yang menjadi pusat-pusat penting kegiatan intelektual
dan kebudayaan Islam pada abad pertama Hijrah. Sehingga dapat dikatakan bahwa
sebagian besar penduduk di dua kota tersebut adalah orang-orang Arab Muslim
yang mereka pindah ke Kufah dan Bashrah dengan membawa adat isitadat dan
tingkah laku Arab. Orang-orang Arab tersebut selanjutnya tinggal di dua kota
tersebut dengan membentuk kelompok berdasarkan kabilah dan klan. Kabilah-kabilah
dan klan yang berasal dari Arab Selatan (Yaman) mengambil sisi kota tertentu,
sedangakan kabilah-kabilah dan klan lainnya berada di sisi kota lain. Pada masa
Dinasti Umayyah yang sangat berorientasi kearaban, para penguasa dinasti
tersebut ingin menciptakan Kufah dan Bashrah sebagai alternatif bagi Mekah dan
Madinah di masa Jahiliyah dalam lapangan sastra dan adat istiadat.
Pada masa pemerintahan ‘Abd al-Malik ibn Marwân, Kufah
dan Bashrah berkembang menjadi kota-kota
ilmu pengetahuan. Hal ini membuat Kufah dan Bashrah didatangi oleh
muslim-muslim dari negara luar seperti Persia, Syiria, dan kota-kota di Irak
lainnya. Dengan kondisi seperti tesebut di atas, Kufah dan Bashrah ditinggali
oleh penduduk yang majemuk (heterogen). Kemajemukan penduduk di Kufah dan
Bashrah mendorong bangsa Arab di sana untuk memelihara nasab (silsilah) dan tradisi ayyam
al- ‘Arab, berkenalan dengan sejarah bangsa-bangsa non-Arab, di samping
ilmu-ilmu al-Qur’an, hadis dan fikih. Sejalan dengan orientasi budaya penguasa
Bani Umayyah, orang-orang Arab berusaha melestarikan nilai-nilai lama mereka
yang diwariskan secara lisan, terutama al-nasab
dan adab al-ayyâm yang merupakan
simbol kebanggaan bangsa Arab.
B. Tokoh dan Karya-karyanya
Sejarawan Irak (Kufah dan
Bashrah) sangat cenderung untuk mendukung bahasan sejarahnya dengan susunan
syair.[8] Para
sejarawan Aliran Irak (Kufah dan Bashrah) jumlahnya banyak, di antara yang
terkenal adalah Abu ‘Amar ibn al-‘Ala
(w.54 H/770M), Hammad al-Rawiyah (w.156 H/774 M), Abu Mikhnaf (w. 157 H/774 M),
‘Awanah ibn al-Hakam (w. 147 H/764 M), Syayf ibn ‘Umar al-Asadi al-Tamimi
(w.180 H/796M) Nashr ibn Muzahim (w.212 H/827 M), al-Haitsam ibn ‘Udi (130 H-207
H/747-822 M), al-Mad’ini (w. 135-225 H/752-843 M), Abu ‘Ubaydah Ma’mar ibn al-Mutsni
al-Taymi ( 114-211 H), al-Ashma’i (w. Antara 213-217 H), Abu al-Yaqzhan
al-Nassabah (w. 190 H/808 M), Muhammad
ibn al-Sa’ib al-Kalibi (w. 146 H/763 M), dan Hisyam Ibn Muhammad al-Sa’ib
al-Kalibi (w. 204 H/819 M).
Yang
terpenting di antara mereka adalah ‘Awanah ibn al-Hakam (w. 147 H/764 M), Syayf
ibn ‘Umar al-Asadi al-Tamimi (w.180 H/796M), dan Abu Mikhnaf (w. 157 H/774 M).[9]
a) ‘Awanah ibn al-Hakam (w. 147 H/764 M) dalam hasil
tulisannya berbicara tentang sejarah Islam pada abad pertama hijriah,
al-Khulafa’ al-Rasyidun, perang Riddah, ekspansi Islam pertama ke Irak dan
Syiria, konflik antara ‘Alî ibn Abî Thâlib dan Mu’awiyah, penyerahan kekuasaan dari al-Hasan
ibn ‘Alî ibn Abî Thâlib kepada Mu’awiyah, dan
kondisi politik secara umum di Irak dan Syiria sampai pada masa akhir
pemerintahan ‘Abd al-Malik ibn Marwan. Riwayat-riwayat ‘Awanah ibn al-Hakam
sampai kepada kita lewat ibn Kalbi,
al-Mada’ini, dan Haitsam ibn ‘Adi yang mungkin telah menerima langsung hikayat
ini dari ‘Awanah atau dari kumpulan bukunya.[10]
Gagasan yang dituangkan ‘Awanah dalam tulisan sejarahnya berbentuk kronologi.
Kadang-kadang ‘Awanah juga menggunakan isnad
serta memaparkan syair dalam kerangka hikayat sejarahnya sebagai pengaruh dari
cerita-cerita al-ayyâm dalam
pemaparan dialog-dialog serta gaya tulisannya.[11]
b) Syayf ibn ‘Umar al-Asadi
al-Tamimi (w.180 H/796M) adalah tokoh
sejarah Islam Aliran Irak yang memiliki dua karya sejarah, yaitu (1) Kitab al-Futuh al-Kabir wa al-Riddah (Buku
Tentang Ekspansi Besar Dan Perang Riddah), dan (2) Kitab al-Jamal wa Siyar ‘Aisyah wa ‘Ali (Buku Tentang Perang Jamal
dan Riwayat Hidup ‘Aisyah dan ‘Ali). Karyanya yang terakhir ini berhubungan
dengan masalah peristiwa pembunuhan ‘Utsman. Dalam hal ini, Sayf ibn ‘Umar
menerima riwayat-riwayat tentang karya tersebut melalui Syu’ayb ibn Ibrahim.[12] Sebagian besar kisah-kisah suku yang
dituangkannya dalam karyanya berkenaan dengan adat istiadat Bani Tamim, sukunya
sendiri. Gaya bahasanya dalam penulisan kisah tentang suku ini sangat
terpengaruh oleh cerita-cerita al-ayyam.
c) Abu Mikhnaf (w. 157 H/774 M)
adalah tokoh sejarah Islam Aliran Irak yang sangat menguasai informasi yang
berkenaan dengan perang Riddah, ekspansi Islam ke Irak dan Syiria, dan perang
Shiffin. Ia tidak begitu teliti dalam masalah isnad. Secara berlebihan ia memasukkan dalam karyanya mengenai
perang Shiffin, kisah-kisah suku serta isu-isu lokal. Oleh karena itu periwayat
hadis menempatkannya sebagai periwayat yang lemah. Akan tetapi, ia sangat
dipercaya dalam masalah sukunya sendiri, suku al-Azd, dan juga tentang kebiasaan orang Kufah. Dalam pemaparannya
tentang peristiwa-peristiwa sejarah, ia menggunakan urutan waktu (hawliyat). Setidaknya lebih dari 354
kali nama Abu Mikhnaf disebut dalam karya al-Thabari. Di samping menunjukkan
luasnya kajian Abu Mikhnaf, hal ini juga menunjukkan bahwa sangat besar tingkat
kepercayaan al-Thabari terhadap Abu Mikhnaf. Abu Mikhnaf telah berbicara
tentang hikayat selama masa Bani Umayyah, dan para sejarawan belakangan secara
dominan mendapatkan informasi yang mereka butuhkan darinya. Di dalam al-Fihrasat
karya Ibn al-Nadim disebutkan bahwa Abu Mikhnaf telah menulis kitab al Riddah (Buku tentang Perang Riddah), Kitab Futuh al-Syam (Buku tentang
ekspansi Islam ke Syiria), Kitab Futuh
al-‘Iraq (Buku tentant ekspansi Islam ke Irak) dan masih banyak karya Abu
Mikhnaf yang disebutkan di dalam karya Ibn al-Nadim.[13]
Sejarawan-sejarawan Aliran Irak yang
disebutkan di atas menempati posisi sentral dalam memberi corak kajian sejarah
Aliran Irak. Irak dengan dua kota pusat kemajuan pada saat itu menjadi lebih
unggul dalam kajian sejarahnya. Berbagai pendekatan yang digunakan oleh para
sejarawan Aliran Irak dalam menuangkan gagasan mereka dalam periwayatan sejarah
(metode dan tema sejarah) menjadikan khazanah penulisan sejarah Aliran ini
lebih variatif.
C. Corak/Ciri-ciri Aliran Irak
Dalam rangka melestarikan al-nasab dan adab al-ayyâm,
sejarawan-sejarawan baru bermunculan. Mereka mengkhususkan diri dalam masalah
adat istiadat, nasab, hikayat serta syair-syair kabilah. Dalam perkembangan
itu, penutur cerita rakyat yang bersifat legenda dan pembaca syair sedikit demi
sedikit dilupakan orang.
Langkah pertama yang
sangat menentukan perkembangan penulisan sejarah di Irak yang dilakukan oleh
bangsa Arab adalah pembukuan tradisi lisan. Hal ini pertama kali dilakukan oleh
‘Ubaidullah ibn Abi Râfi’, sekretaris ‘Alî ibn Abî Thâlib ketika
menjalankan kekhalifahannya di Kufah. Di samping itu ‘Ubaidullah telah menulis
buku berjudul Qadhâyâ Amîr
al-Mu’min ‘Alayh al-Salâm (Perkara-perkara Pengadilan
Amirul Mukminin [‘Alî ibn Abî Thâlib]) dan Tasmiyah man Syahad Ma’a Amir al-Mukminin fi Hurub al-Jamal wa
Shiffin wa al-Nahrawan min al-Shahâbah Radhia Allah ‘Anhum (Nama-nama para
sahabat r.a. yang bersama Amir al-Mukminin [‘Alî ibn Abî Thâlib] ikut
dalam perang Jamal, Shiffin dan Nahrawan). Oleh karena itu ia dipandang sebagai
sejarawan pertama dalam Aliran Irak ini.[14]
Dalam penulisan sejarah ini dia diikuti oleh Ziyad ibn Abih yang menulis buku
dengan judul Matsâlib al-‘Arab.
Profesionalisme dalam ilmu sejarah yang berlangsung di
Irak (Kufah dan Bashrah) tidak terlepas dari dukungan penuh dari para penguasa
Bani Umayyah. Sebagai konsekuensinya, para sejarawan mendapatkan posisi sosial
yang lebih baik (popularitas sosial) yang menggiring para sejarawan mendapatkan
tata kehidupan yang lebih baik. Para sejarawan dianggap mendukung pemerintahan
Dinasti Umayyah.
Para penutur kisah-kisah sejarah yang terdapat pada
Aliran Irak berjasa dalam pengenalan dan penyebaran wawasan historiografi di
Irak. Secara tidak langsung, merekalah yang melahirkan Aliran Irak. Dalam
rangka pengumpulan materi-materi sejarah mereka berjasa mendorong munculnya
penulisan berkenaan dengan tradisi-tradisi dinasti dan selanjutnya mempunyai
perhatian terhadap peristiwa-peristiwa sejarah yang terjadi pada masa
kekhalifahan, baik pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun maupun Bani Umayyah dan
Bani Abbas. Untuk itu mereka mencari bahan-bahan yang terkumpul di Madinah,
seperti arsip-arsip negara serta catatan-catatan tentang pendaftaran tentara
yang berasal dari suku-suku yang terdapat di Irak dan Syiria. Dari
sumber-sumber inilah para perawi bisa menemukan apa yang mereka cari.[15]
Namun para sejarawan Aliran Irak ini, sebagaimana
sejarawan Madinah, tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh Ilmu Hadis.
Mereka tidak mungkin mengabaikan peraturan isnad dalam tulisan mereka, karena
praktik-praktik penulisan sejarah yang dilakukan pada saat itu telah berada di
bawah pengaruh ahli hadis. Namun sejarawan Irak ini menerapkan peraturan isnad
dengan cara yang liberal, bahkan terkadang tidak teliti. Hal ini mengakibatkan
kita menemukan para penulis sejarah berangsur-angsur menyimpang dari peraturan
periwayatan hadis.
Karena cakupan informasi dan subyek kajiannya lebih luas
daripada dua aliran sebelumnya (Yaman dan Madinah), Aliran Irak dapat dikatakan
sebagai kebangkitan sebenarnya penulisan sejarah sebagai ilmu. Sejarah pada
masa ini telah melepaskan diri dari Ilmu Hadis dan bersamaan dengan itu
terlihat adanya upaya meninggalkan pengaruh pra-Islam yang mengandung banyak
ketidakbenaran, seperti dongeng-dongeng dan cerita khayal. Aliran ini melahirkan sejarawan-sejarawan besar di
masa kemudian dan diikuti oleh hampir seluruh sejarawan yang datang kemudian.
D.
Pertemuan Tiga Aliran
Menurut hukum sejarah, manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat
tinggalnya. Lingkungan ini memperkaya pikiran manusia dalam meresponi peristiwa
yang terjadi di sekitarnya. Para penulis sejarah Arab tidak terkecuali. Di
antara mereka ada yang lahir dan dibesarkan di Madinah, dalam naungan Islam,
sementara yang lainnya berasal dari Kufah, Basrah dan Damaskus. Semua kota ini
merupakan pusat-pusat penting kegiatan intelektual dan kebudayaan Islam pada
abad pertama Hijrah. Perbedaan geografi dan afinitas politik memiliki
pengaruh yang dalam terhadap pikiran dan sikap mereka dalam meriwayatkan
peristiwa-peristiwa sejarah.[16]
Periwayatan
awal sejarah yang berasal dari kota Madinah sangat dipengaruhi oleh ideologi
Islam, pada saat yang sama rekan mereka di daerah lain terpengaruh oleh
prasangka kesukuan atau kecenderungan politik lokal. Sebagian besar informasi
tentang sirah (riwayat hidup Nabi
Muhammad SAW) dikumpulkan di Madinah, tempat Nabi hidup selama sepuluh tahun,
karena hadis Nabi banyak terkumpul di kota itu. [17]
Sejarah bukanlah sesuatu hal yang
berhenti. Sejarah terus berjalan dinamis. Tidak ada yang tetap, semua saling
mempengaruhi. Apalagi, di masa awal kebangkitan Islam, ketika negara Islam
dengan cepat mengalami kemajuan peradaban, bukan saja antara satu wilayah Islam
dengan wilayah Islam yang lain saling mempengaruhi, tetapi juga dengan
wilayah-wilayah yang berpenduduk non muslim. Bahkan para pemikir dan
intelektual muslim “mengundang” masuk pemikiran dan peradaban non muslim, untuk
diambil manfaat dan iktibar daripadanya, melalui gerakan penterjemahan
misalnya.[18]
Demikian pulalah halnya dengan
penulisan sejarah. Ajaran-ajaran agama Islam dan kesatuan politik Islam mulai
menciptakan kesatuan budaya dan peradaban. Tidak ada satu wilayah Islam yang
steril dari pengaruh wilayah budaya Islam yang lain. Apalagi, semangat menuntut
ilmu telah mendorong para penuntut ilmu muslim untuk mengembara dari satu kota
ke kota lain menimba ilmu dari para ilmuwan, pujangga dan ulama-ulama yang
terdapat di sana. Dalam konteks perkembangan penulisan sejarah, perkembangan
seperti itu menyebabkan semakin mendekatnya satu aliran dengan aliran yang
lain, bahkan pada saatnya semuanya menjadi lebur.
Dari beberapa bukti orang bisa dengan
mudahnya menduga bahwa beberapa dokumen yang tersedia di Madinah disampaikan
oleh generasi awal kepada generasi berikutnya hingga sampai kepada penulis
sejarah aliran Madinah. Demikian pula halnya dengan beberapa dokumen yang
terdapat di Kufah, Basrah dan Damaskus dan ini tidak perlu diragukan.
Aliran Madinah cukup teliti dalam
memakai prinsip-prinsip isnad dalam setiap periwayatan, kadang-kadang mereka
memakai isnad jama’i (isnad kolektif)
dan isnad itu selalu diulang ketika mereka menyampaikan suatu riwayat, baik
sebagian maupun keseluruhannya. Pada saat yang sama sejarawan dari aliran lain
menunjukkan konsentrasi pada teks cerita. Sejarawan Kufah, Basrah sangat
cenderung untuk bahasan sejarahnya dengan susunan syair, sementara para periwayat
aliran Madinah justru sangat hati-hati dalam menggunakan syair itu.[19]
Perkembangan seperti inilah yang
membuat para pemerhati perkembangan penulisan sejarah berbeda pendapat tentang
beberapa tokoh, apakah berasal dari satu aliran tertentu ataukah berasal dari
aliran lainnya.Misalnya tentang Muhammad ibn Ishaq dan Muhammad ibn Sa’ad.
Perbedaan itu muncul karena, para sejarawan itu sudah melampaui batas-batas
aliran di mana mereka hidup, tetapi pada saat yang sama, masih banyak sejarawan
yang terkait dengan alirannya.[20]
a) Muhammad ibn Ishaq ibn Yasar
(w. 150 H/768 M)
Sebagaimana Musa
ibn ‘Uqbah, Muhammad ibn Ishaq adalah juga merupakan murid dari al-Zuhri. Dia
juga melanjutkan langkah yang sudah dirintis oleh al-Zuhri dalam penulisan sirah. Muhammad ibn Ishaq merupakan
tokoh tonggak penting aliran Madinah.
Pada masanya, ilmu sejarah sudah berdiri tegak dan kokoh. Karyanya yang
sangat terkenal adalah al-Sirah
al-Nabawiyah, yang lebih dikenal dengan Sirah
Ibn Ishaq. Muhammad ibn Ishaq tidak lagi membatasi sumber-sumber sejarah
dari periwayatan hadis-hadis dari kalangan ulama Islam. Dia juga meriwayatkan
berita-berita sejarah dari kalangan Ahlul Kitab, orang-orang Persia yang baru
masuk Islam, dan bahkan orang-orang asing.
Oleh karena itulah, Husayn Nashshar berpendapat bahwa semua aliran
penulisan sejarah di awal masa kebangkitan Islam bertemu dan melahirkan
Muhammad ibn Ishaq. Menurutnya, dalam karyanya terliput sejarah Yaman, Ahli
Kitab, biografi Nabi seperti yang dilakukan oleh sejarawan aliran Madinah, dan
sejarah para khalifah seperti yang dilakukan oleh sejarawan aliran Irak. Semua
ciri-ciri aliran itu terdapat dalam karya Ibn Ishaq.[21]
b) Al-Waqidi (130-207 H/748-823
M)
Sebagaimana Ibn
Ishaq, banyak pemerhati historiografi Islam yang menempatkannya sebagai tonggak
penting aliran Madinah. Akan tetapi, baik metode yang digunakannya maupun
materi sejarah yang dibahasnya sudah jauh melampaui batas-batas aliran Madinah.
Al-Waqidi dapat dikatakan sebagai ulama yang produktif. Ia meninggalkan sekitar
tiga puluh judul buku dalam berbagai bidang ilmu, seperti Alquran, Hadis, Fikih
dan Sejarah. Dalam metode penulisan karya sejarahnya, al-Waqidi berusaha
melepaskan corak penulisan sejarah dari corak penulisan hadis. Oleh karena
itulah ia tidak begitu taat menggunakan isnad,
sebagaimana yang berlaku dalam periwayatan hadis. Peristiwa sejarah
dipaparkannya dengan metode naratif. Dilihat dari subyek kajian sejarahnya dan
corak penulisan sejarahnya yang kelihatan berusaha melepaskan diri dari isnad, dia dapat disamakan dengan
Muhammad ibn Ishaq.[22]
c) Muhammad ibn Sa’ad (168-230
H/784-845 M)
Banyak pemerhati
perkembangan penulisan sejarah dalam Islam menempatkannya sebagai salah seorang
sejarawan aliran Madinah, tetapi ‘Abd al-‘Aziz Salim menempatkannya sebagai
seorang sejarawan dari aliran Irak. Ibn Sa’ad menulis biografi Nabi SAW serta
mengaitkan kisah tertentu yang berhubungan dengan biografi itu sehingga
masyarakat umum dapat mengingatnya dengan mudah tanpa harus menghafal banyak. Dalam
menulis biografi para tabi’in dan generasi sesudahnya, Ibn Sa’ad memasukkan
juga penilaian terhadap tokoh yang ditulisnya, sebagaimana dilakukan oleh para
kritikus hadis. Corak penulisan ini dipandang sebagai sesuatu yang baru, yakni
menghubungkan ilmu hadis dengan ilmu periwayatan sejarah. Penilaiannya itu
sering kali dikutip oleh para kritikus hadis. Di antara karangan Ibn Sa’ad
adalah Kitab al-Thabaqat al-Kabir dan Kitab al-Thabaqat al-Shaghir.[23]
Rohadi Abdul Fatah mengatakan bahwa secara signifikan ketika pola penulisan sejarah Islam bertemu
tiga aliran penulisan sejarah (Yaman, Irak dan Madinah), maka corak penulisan
sejarah dengan pendekatan dinasti telah memperoleh tempat yang cocok dan
sekaligus sebagai pengayaan corak penulisan sejarah Islam secara lebih
komprehensif. Seperti Muhammad bin Ishak ibn Yasar (W.150 H) beliau telah
meninggalkan karya tulis yang monumental yakni Tarikh al-Khulafa,' yang
di dalamnya termaktub sejarah al-Khulafa
al-Rasyidun dan Khalifah Bani Umayyah.[24]
BAB III
KESIMPULAN
Penulisan sejarah Islam
berkembang dari masa ke masa, mengikuti perkembangan budaya dan peradaban
Islam. Aliran Irak sebagai salah satu aliran dalam penulisan sejarah Islam
memiliki karakteristik penulisan sejarah Islam yang bercorak sejarah para
khalifah, dan dalam penyampaian riwayat sejarahnya bersifat terperinci dan
panjang. Aliran ini lahir dikarenakan semakin besarnya tingkat kemajemukan
masyarakat di kota Kufah dan Bashrah sehingga mendorong perlunya usaha untuk
memelihara nasab (silsilah) dan
tradisi ayyam al- ‘Arab. Sejarawan-sejarawan
penting dalam Aliran Irak adalah Awanah
ibn al-Hakam (w. 147 H/764 M), Syayf ibn ‘Umar al-Asadi al-Tamimi (w.180
H/796M), dan Abu Mikhnaf (w. 157 H/774
M). Dalam perkembangan selanjutnya ternyata terdapat pertemuan tiga aliran
besar dalam penulisan sejarah Islam. Pertemuan aliran tersebut melahirkan
variasi metode dalam penulisan sejarah Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Duri,
‘Abd al-‘Aziz, Al-Bahts fî Nasy’ah
‘Ilm al-Târikh ‘ind al-‘Arab. Beirut: 1960
Faruqi,
Nisar Ahmed, Early Muslim Historiography.
Delhi: Idarah Adabiyah Delhi, 1979
Tarhînî, Muhammad
Ahmad al-Mu’arrikhun wa al-Tarîkh ‘ind
al-‘Arab. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991
Yatim, Badri, Historiografi
Islam. Jakarta: Logos, 1997
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyyah II. Jakarta: Rajawali
Pers, 1995
[1] Badri Yatim, Historiografi
Islam (Jakarta: Logos, 1997), hal. 3.
[2] ‘Abd al-‘Aziz Duri, Al-Bahts
fi Nasy’ah ‘Ilm al-Tarikh ‘ind al-‘Arab (Beirut: 1960), hal. 13.
[3] Badri Yatim, op.cit, hal.
45.
[5] Badri Yatim, op.cit. hal.
16.
[6] Ibid. hal. 69.
[7] Muhammad Ahmad Tarhînî, al-Mu’arrikhun wa al-Tarîkh ‘ind
al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991), hal. 59.
[8] Badri Yatim, op.cit, hal.
81.
[9] Ibid, hal. 74.
[10] Muhammad Ahmad Tarhînî, op.cit, hal. 62.
[11] Nisar Ahmed Faruqi, , Early
Muslim Historiography, (Delhi: Idarah Adabiyah Delhi, 1979), hal. 286.
[12] Loc.cit.
[13] Badri Yatim, op.cit, hal.
78.
[14] Nisar Ahmed Faruqi, op.cit, hal.
60.
[15] Badri Yatim, op.cit, hal.
73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar