A. Pendahuluan
Hadis adalah sumber
hukum Islam yang pertama sesudah Alqur’an. Selain berkedudukan sebagai sumber
hukum, Hadis memiliki fungsi sebagai penjelas, perinci dan penafsir Alqur’an.
Berdasarkan hal ini, kajian tentang Hadis memiliki kedudukan yang penting di
dalam studi ilmu sumber hukum di dalam Islam.
Salah satu usaha
membangun pemahaman tentang Hadis adalah pemahaman tentang sejarah Hadis
sesudah zaman sahabat hingga sekarang. Sejarah penulisan Hadis seringkali
menjadi bahan kontroversi di kalangan sebagian kaum muslim maupun non muslim.
Ada sebagian yang menolak untuk menerima otentisitas Hadis Nabi lantaran mereka
berargumen bahwa Hadis Nabi ditulis dan dibukukan dua abad sesudah wafatnya
Rasulullah Muhammad, suatu rentang waktu yang agak lama berlalu sehingga dapat
menyebabkan timbulnya perubahan dan pergeseran lafazh serta makna Hadis
yang bersangkutan. Mereka ini beranggapan hanya berdasarkan asumsi rasional
semata dan tidak melihat serta meneliti berbagai argumen yang bisa diterima
oleh syari’at Islam serta tidak mengkaji serta menelaah sejarah penulisn dan
pembukuan Hadis dengan benar. Sementara di sisi yang lain ada sebagian kaum
yang secara tekstual menerima begitu saja Hadis Nabi tanpa mempedulikan
kesahihan dan ketidaksahihannya. Oleh karena itu, pada makalah ini akan
disajikan uraian tentang sejarah Hadis sesudah masa sahabat hingga sekarang.
B.
Penulisan dan Pembukuan Hadis
secara resmi (Abad ke 2 H)
Pada periode ini Hadis-Hadis
Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi. Adapun Khalifah yang
memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Umar
ibn Abdul Aziz
mempunyai kepentingan di dalam
kepemimpinannya untuk menulis dan membukukan Hadis secara resmi, yang selama
ini berserakan di dalam catatan dan hafalan para Sahabat dan Tabi’in. Hal
tersebut dirasakannya begitu mendesak,
karena pada masa itu wilayah kekuasaan Islam telah mulai meluas sampai ke daerah-daerah di luar jazirah
Arabia, di samping para Sahabat sendiri, yang hafalan dan catatan-catatan
pribadi mereka mengenai Hadis Nabi merupakan sumber rujukan bagi ahli Hadis
ketika itu sebagian besar telah meninggal dunia karena faktor usia dan akibat
banyaknya terjadi peperangan. Dan pada masa itu, yaitu awal pemerintahan Umar
bin Abdul Aziz, Hadis masih belum dibukukan secara resmi. [1]
Ada perbedaan dalam
penghimpunan Hadis dengan Alquran. Hadis mengalami masa yang lebih panjang
sekitar tiga abad dibanding dengan Alquran yang hanya memerlukan waktu relatif
lebih pendek. Yang dimaksud dengan periodesasi penghimpunan Hadis dalam hal ini
adalah fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan
perkembangan Hadis, sejak Rasulullah saw masih hidup sampai terwujudnya
kitab-kitab Hadis yang dapat disaksikan sekarang ini.[2]
Pada masa pemerintahan
Umar ibn Abdul Aziz, Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah yang tentunya
pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu sendiri adalah Hadis.
Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan Hadis-Hadis tersebut dikarenakan
semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orang-orang yang baru memeluk
agama Islam butuh dengan pengajaran yang
didasarkan pada Hadis-Hadis Nabi. Selain itu gejolak politik yang
terjadi di kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba
menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah saw yang akhirnya akan merusak ajaran
kemurnian Islam itu sendiri. Oleh karena
itu Umar ibn
Abdul Aziz telah
menyusun suatu
Ada beberapa faktor
yang mendorong Umar bin Abdul Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para
gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menulis Hadis. Faktor-faktor
yang dimaksud adalah :
1.
Tidak adanya lagi penghalang
untuk menuliskan dan membukukan Hadis ;
2.
Munculnya kekhawatiran akan
hilang dan lenyapnya Hadis ;
3.
Semakin maraknya kegiatan
pemalsuan Hadis, dan ;
4.
Semakin luasnya daerah
kekuasaan Islam.[4]
Umar ibn Abdul Aziz
dikenal secara umum dari kalangan penguasa sebagai tokoh yang memprakarsai
pembukuan Hadis Nabi SAW secara resmi. Akan tetapi menurut ‘Ajjaz al-Khatib
berdasarkan sumber yang sah dari Thabaqat
ibn Sa’ad kegiatan pembukuan Hadis ini telah lebih dahulu diprakarsai oleh
‘Abd Aziz ibn Marwan (w.85 H).[5]
Meskipun ‘Abd Aziz sebagaimana dikemukakan oleh ‘Ajjaz al-Khatib telah lebih
dahulu memprakarsai pengumpulan Hadis, namun karena kedudukannya hanya sebagai
seorang gubernur, maka jangkauan perintahnya untuk mengumpulkan Hadis kepada
aparatnya adalah terbatas sekali.
Pada
abad ke 2 H terdapat kitab-kitab yang merupakan hasil kodifikasi yang masih
dapat dijumpai sampai sekarang. Kitab-kitab tersebut adalah Kitab Al-Muwaththa’ oleh Imam Malik, Kitab Musnad Al-Syafi’i oleh Imam Al-Syafi’i, Kitab
Mukhtaliful Hadis oleh Imam
Al-Syafi’i, dan Kitab Al-Sirat
al-Nabawiyah oleh Ibn Ishak.[6]
C. Masa Pemurnian dan Penyempurnaan Penulisan Hadis (Abad ke 3 H)
Masa pemurnian dan
penyempurnaan Hadis berlangsung sejak pemerintahan al-Ma'mun sampai awal
pemerintahan al-Muqtadir dari khalifah Dinasti Abbasiyah. Ulama-ulama Hadis
memusatkan pemeliharaan pada keberadaan Hadis, terutama kemurnian Hadis Nabi
saw, sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan Hadis yang semakin
marak.[7]
Kegiatan pemalsuan Hadis
mengalami masa yang begitu lama, sejak dari pemerintahan al-Ma'mun, al-Mu'tasim
dan Wastiq, yang mereka sangat mendukung kaum Mu'tazilah. Momentum pertentangan mazhab
juga dimanfaatkan oleh kaum kafir Zindiq yang memusuhi Islam untuk menciptakan Hadis-Hadis
palsu dan menyesatkan kaum muslimin dan tidak ketinggalan para pengarang cerita
juga memanfaatkan setuasi tersebut. Ulama Mu'tazilah tidak saja mempengaruhi
pikiran khalifah untuk bertindak keras terhadap ahli Hadis, bahkan
mereka melepaskan umpat dan caci maki kepada ahli Hadis serta menuduh ahli Hadis
bodoh dan dungu.[8]
Para ulama berupaya agar pelestarian yang
berbentuk Hadis dapat terus dipertahankan dan diabadikan tentunya dengan
menyeleksi satu demi satu Hadis yang telah masuk ataupun penemuan baru yang
hubungan keakuratannya adalah bisa dipertanggungjawabkan serta memang
benar-benar datang dari Nabi saw. Maka para ulama melakukan kunjungan ke
daerah-daerah untuk menemui para perawi Hadis yang jauh dari pusat kota. Di
antara mereka adalah Imam Bukhari yang telah melakukan perjalanan selama 16
tahun dengan mengunjungi kota Mekkah, Madinah dan kota-kota lain. Seterusnya
mereka juga melakukan pengklasifikasian Hadis yang disandarkan kepada Nabi (marfu'),
dan yang disandarkan kepada para sahabat (mawquf), serta yang
disandarkan kepada tabi'in (maqthu'), serta penyeleksian Hadis kepada Hadis
Shahih, Hasan, dan Dha'if.
Adapun bentuk
penyusunan kitab Hadis pada periode ini adalah:
1.
Kitab Shahih, kitab ini
hanya menghimpun Hadis-Hadis Shahih, sedangkan yang tidak Shahih
tidak dimasukkan kedalamnya. Yang termasuk dalam kitab shahih adalah Shahih
Bukhari dan Shahih Muslim.
2.
Kitab Sunan, di dalam
kitab ini selain dijumpai Hadis-Hadis Shahih, juga dijumpai Hadis yang
berkualitas Dha'if dengan syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar.
Yang termasuk dalam kitab ini antara lain Sunan Abi Dawud, Sunan at Turmudzi,
Sunan al Nasa’i dan Sunan ibn Majah.
3.
Kitab Musnad, di dalam
kitab ini dijumpai Hadis-Hadis disusun berdasarkan urutan kabilah,
seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang menurut urutan
lainnya seperti huruf hijaiyah dan lain sebagainya. Yang termasuk kitab
ini adalah Musnad Ahmad ibn Hanbal.[9]
D. Masa
Pemeliharaan, penertiban dan penambahan dalam penulisan Hadis (Abad 4 s/d 7 H)
Dimulai dari khalifah al-Muqtadir
sampai pada al-Mu'tashim, walaupun kekuasaan Islam sudah mulai melemah pada
abad ke 7 akibat serangan Holagu Khan cucu dari Jengis Khan, namun kegiatan
para ulama Hadis dalam rangka memeliharannya dan mengembangkannya berlangsung
sebagaimana pada periode sebelumnya. Hanya saja Hadis yang dihimpun tidaklah
sebanyak masa sebelumnya. Adapun kitab-kitab Hadis yang dihimpun adalah:
1. Al-Shahih, oleh ibn Khujaimah (313 H).
2. Al-Anwa'wa
al-Taqsim, oleh ibn
Hibban (354 H).
3. Al-Musnad, oleh Abu Awanah (316 H).
4.
Al-Muntaqa, oleh ibn Jarud.
Kitab-kitab di atas
merupakan bahan rujukan bagi para ulama Hadis, sekaligus mempelajari, menghafal
dan memeriksa serta menyelidiki sanad-sanadnya. Selanjutnya menyusun
kitab baru dengan tujuan memelihara, menertibkan dan menghimpun sanad
dan matannya yang saling berhubungan serta yang telah termuat secara
terpisah dalam kitab-kitab yang telah ada tersebut.[11]
Adapun bentuk-bentuk
penyusunan kitab Hadis pada periode ini memperkenalkan sistem baru, yaitu:
1.
Kitab Athraf, di dalam
kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan sebagian dari matan Hadis
tertentu kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad
yang berasal dari kitab Hadis yang dikutip matannya ataupun dari
kitab-kitab lainnya.
2.
Kitab Mustakhraj, kitab
ini memuat matan Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, atau
keduanya atau yang lainnya, dan selanjutnya penyusunan kitab ini meriwayatkan matan
Hadis tersebut dengan sanadnya sendiri.
3.
Kitab Mustadrak, kitab
ini menghimpun Hadis-Hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau
yang memiliki salah satu syarat dari keduanya.
4.
Kitab Jami', kitab ini
menghimpun Hadis-Hadis yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada, seperti:
a.
Yang menghimpun Hadis-Hadis
shahih Bukhari dan Muslim.
b. Yang menghimpun Hadis-Hadis
dari al-Kutub al-Sittah.
c.
Yang Menghimpun Hadis-Hadis
Nabi dari berbagai kitab Hadis.
E.
Pensyarahan, penghimpunan, pentakhiran,
dan pembahasan Hadis (Abad 7 H s/d sekarang)
1. Kegiatan
periwayatan Hadis
Periode ini dimulai sejak Kekhalifahan
Abbasyiah di Baghdad ditaklukkah oleh tentara Tartar (656 H/1258 M), yang
kemudian Kekhalifahan Abbasyiah tersebut dihidupkan kembali oleh Dinasti Mamluk
dari Mesir setelah mereka berhasil menaklukkan bangsa Mongol tersebut.
Pembaiatan khalifah oleh Mamluk hanyalah berupa simbol saja agar daerah-daerah
Islam yang lain dapat mengakui Mesir sebagai pusat pemerintahan Islam, dan
selanjutnya mengakui Dinasti Mamluk sebagai penguasa Dunia Islam.
Pada abad ke 13 H,
Mesir di bawah pimpinan Muhammad Ali bangkit untuk mengembalikan kejayaan Mesir
pada masa silam. Namun Eropa yang dimotori oleh Inggris dan Prancis semakin
bertambah kuat dan berkeinginan menguasai dunia. Kebangkitan umat Islam baru
mulai pada pertengahan abad ke 10 M.[12]
Sejalan dengan kondisi
Islam di atas, maka periwayatan Hadis pada periode ini lebih banyak dilakukan
dengan cara ijazahi dan mukatabah.[13] Sedikit sekali dari
ulama Hadis pada periode ini melakukan periwayatan Hadis secara hafalan
sebagaimana yang dilakukan oleh ulama Mutakaddimin, di antaranya:
1.
Al-'Iraqi (w. 806 H/ 1404 M).
Dia berhasil mendektekan Hadis secara hafalan kepada 400 majelis sejak tahun
796 H / 1394 M, serta menulis beberapa kitab Hadis.
2.
Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852
H / 1448 M), seorang penghafal Hadis yang tiada tandingannya pada masanya. Ia
telah mendektekan Hadis kepada 1000 majelis dan menulis sejumlah kitab yang
berkaitan dengan Hadis.
3.
Al-Sakhawi (w. 902 H / 1497
M), ia merupakan murid Ibnu Hajar, yang telah mendektekan Hadis kepada 1000
majelis dan menulis sejumlah kitab.[14]
Pada masa ini, para
ulama Hadis pada umumnya mempelajari kitab-kitab Hadis yang sudah ada dan
selanjutnya mengembangkannya dan meringkasnya sehingga menghasilkan jenis-jenis
karya seperti kitab Syarah, Mukhtashar, Zawa'id, Takhrij dan lain
sebagainya. Tentunya tidak terlepas dari pengkaji Hadis pada saat sekarang,
selain mengkaji Matan (isi) Hadis tersebut dapat dijadikan sebagai
rujukan dan bacaan pada generasi baru dan tidak hanya menerima bahwa Hadis
tersebut shahih atau tidak shahih. Akan tetapi kita telah
mendapatkan suatu pengetahuan dasar untuk mencari dan memastikan sebab musabab Hadis
tersebut beroperasi, yang tentunya tidak terlepas dari perjalanan menyelamatkan
Hadis dari orang-orang yang ingin menyelewengkannya.
Dalam hal ini kita
tidak terlepas dari ilmu Tarikh al-Ruwah yang membicarakan hal ihwal para rawi Hadis baik
yang bersangkutan dengan umur dan tanggal kapan mereka dilahirkan, dimana
domisili mereka dan kapan mereka menerima Hadis dari guru-guru mereka.[15]
2. Bentuk penyusunan kitab Hadis
Pada periode ini,
umumnya para ulama Hadis mempelajari kitab-kitab Hadis yang telah ada, kemudian
mengembangkan dan meringkaskannya sehingga menjadi sebuah karya sebagai
berikut:
a.
Kitab Syarah. Yaitu
kitab yang memuat uraian dan penjelasan kandungan Hadis dari kitab tertentu dan
hubungannya dengan dalil-dalil lain yang bersumber dari Alquran, Hadis, ataupun
kaidah-kaidah syara’ lainnya.[16] Di antara contohnya
adalah:
1.
Fath al-Bari, oleh Ibn Hajar al-asqalani, yaitu syarah kitab Shahih
al-Bukhari.
2.
Al-Minhaj, oleh al-Nawawi, yang mensyarahkan kitab Shahih
Muslim.
3.
‘Aun al-Ma’bud, oleh Syams al-Haq al-Azhim al-Abadi, syarah sunan
Abu Dawud.
b. Kitab Mukhtashar. Yaitu kitab yang berisi ringkasan dari
suatu kitab Hadis, seperti Mukhtashar Shahih muslim, oleh Muhammad fu’ad
abd al-Baqi.
c. Kitab Zawa’id.
Yaitu kitab yang menghimpun Hadis-Hadis dari kitab-kitab tertentu yang tidak
dimuat kitab tertentu lainnya. Di antara contohnya adalah Zawa’id al-sunan al-Kubra, oleh
al-Bushiri, yang memuat Hadis-Hadis riwayat al-Baihaqi yang tidak termuat dalam
al-Kutub al-Sittah.
d. Kitab petunjuk
(kode indeks) Hadis. Yaitu, kitab yang berisi petunjuk-petunjuk praktis yang
mempermudah mencari matan Hadis
pada kitab-kitab tertentu. Contohnya, Miftah Kunuz al-Sunnah,
oleh A.J. Wensinck, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh M. Fu’ad ‘Abd
al-Baqi.
e. Kitab Takhrij.
Yaitu kitab yang menjelaskan tempat-tempat pengambilan Hadis-Hadis yang memuat
dalam kitab tertentu dan menjelaskan kualitasnya. Contohnya adalah, Takhrij
Ahadits al-Ihya’, oleh Al-‘Iraqi. Kitab ini men-takhrij Hadis-Hadis
yang terdapat di dalam kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali.
f. Kitab Jami’.
Yaitu kitab yang menghimpun Hadis-Hadis dari berbagai kitab Hadis tertentu,
seperti al-Lu’lu’ wa al-Marjan, karya Muhammad fu’ad al-Baqi. Kitab ini
menghimpun Hadis-Hadis Bukhari dan Muslim.
g. Kitab yang membahas
masalah tertentu, seperti masalah hukum. Contohnya, Bulugh al-Maram min
Adillah al-Hakam, oleh Ibn Hajar al-‘Asqalani dan koleksi Hadis-Hadis
Hukum oleh T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy.[17]
Dengan adanya karya-karya besar para ahli Hadis tersebut,
maka dapatlah mempermudah generasi sekarang ini dalam mempelajari serta mentelusuri
Hadis-Hadis yang ada sekarang, sehingga dapat mengetahui kualitas Hadis-Hadis
tersebut, dan menghindarkan diri dari pengamalan Hadis-Hadis yang daif.
F. Kesimpulan
Pada masa pemerintahan Umar ibn ‘Abd al-Aziz
merupakan titik awal pengumpulan Hadis secara resmi dan dalam jangkauan wilayah
yang luas seiring dengan semakin luasnya wilayah Islam. Kegiatan ini terjadi
pada awal abad kedua hijriah. Ada
beberapa faktor yang menjadi pendorong usaha pengumpulan Hadis Nabi SAW.
Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang membedakan antara usaha yang
dilakukan ‘Abdul Azis ibn Marwan dengan Umar Ibn ‘Abd al-Aziz.
Dalam
perkembangannya Hadis mengalami pemalsuan, baik dilatarbelakangi oleh politik
atau yang lainnya. Maka untuk mengatasi hal ini diadakan usaha pemurnian Hadis pada abad
ketiga. Pada tahap perkembangan berikutnya, Hadis mulai ditertibkan dengan
menyusun Hadis dalam beberapa kitab Hadis yang memiliki karakteristik dan
sistematika tertentu. Selanjutnya, Hadis disyarahkan dihimpun kembali dan
dibahas pada masa sekarang. Dengan demikian usaha pemeliharaan Hadis masih
tetap berlangsung hingga saat ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Jakarta: Kalam Mulia, 2003.
Ismail, Shuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung:
Angkasa, 1991.
Rahman, Farhur. Ikhtishar
Mushthalul Hadis. Bandung:
Alma'arif, 1974.
Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis.
Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Yuslem,
Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 2001.
[1] Nawir Yuslem,Ulumul Hadis, (Jakarta
:Mutiara Sumber Widya,2001) cet
I. hal.125.
[4] Nawir Yuslem, Op.Cit. hal. 126
[5] Ibid.
[6] Ibid. hal. 131
[9] Nawir Yuslem, Op.Cit. hal. 136
[10] Yuslem, Ulumul Hadis…… h. 139.
[12] Ibid. hal. 142
[13] Ijazah adalah pemberian izin dari
seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan Hadis-Hadis yang berasal dari
guru tersebut, baik yang tertulis maupun yang berupa hafalan. Sedangkan mukatabah
adalah pemberian catatan Hadis dari seorang guru kepada orang lain (muridnya),
baik catatan tersebut ditulis oleh guru itu sendiri ataupun yang didektekan
kepada muridnya. Lihat Nawir Yuslem, Ulumul Hadis…. h. 143.
[16] Nawir Yuslem, Op.Cit, hal. 144.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar