A. Pendahuluan
Proses
kelahiran Dasar negara (Pancasila) bagi bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang dan
menampilkan berbagai ragam organisasi dan tokoh-tokoh nasional yang pernah
dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Dalam perumusannya berhimpunlah berbagai tokoh dengan latar belakang pendidikan
dan kondisi yang berbeda sertakarakter yang beraneka ragam, sehingga terjadilah
pergumulan konsep yang sengit untuk melahirkan konsep teoritis sebuah landasan
negara.
Namun
hanya ada 2 kelompok yakni yang bersifat nasional Islam dan nasional sekuler,
demikian juga halnya konsep yang dilontarkan agar menjadi landasan negara hanya
2 macam yakni; Landasan negara yang bersifat nasional dan landasan negara yang
berdasarkan Islam. Sekalipun perbedaan yang sengit terjadi, akhirnya tercapai
juga kompromi dengan mengakomodir kedua perbedaan yang melahirkan Piagam
Jakarta dalam sidang BPUPKI.
Selanjutnya
setelah diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno Hatta, perwakilan
Jepang menyampaikan kepada Hatta tentang keberatannya bangsa Indonesia sebelah
timur apabila Piagam Jakarta ditetapkan dan dilaksanakan sebagai landasan
negara Indonesia dalam sidang PPKI nantinya.
Muhammad
Hatta dengan menemui perwakilan dari Nasionalis Islam akhirnya menyetujui dan
menghapus 7 kata yang menjadi aspirasi mayoritas Muslim di Indonesia ketika
itu.
B. Kondisi bangsa Indonesia Menjelang Kemerdekaan
- Pengaruh Tokoh dan Ormas Islam Pra Merdeka
Ada dua faktor yang sangat potensial ketika berbicara mengenai Umat
Islam di Indonesia, dalam Frame (bingkai) proses kelahiran Dasar Negara (Pancasila).
Pertama, Sumber daya Manusia yang mayoritas beragama Islam, bahkan dapat
disebut sebagai Umat Islam terbesar di seantaro dunia. Kedua, Para tokoh dan
panitia yang menggali dan mengusulkan konsep-konsep Dasar Negara adalah Muslim.
Oleh sebab itu, kelahiran Pancasila menjadi Dasar Negara di Republik
Indonesia sangat-sangat tidak bisa dilepas dari pengaruh dan peran aktif
berbagai tokoh dan Ormas Keagamaan, yang begitu intens dalam mengkaji dan
menggali konsep yang akan diperjuangkan sebagai dasar Negara. Tentunya dapat
dipastikan bahwa konsep-konsep yang akan diusung dalam musyawarah sebagai
konsep yang bernuansa Islam dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dalam perumusan dan penetapan
Dasar Negara (Pancasila) sebelum Indonesia merdeka, mengalami proses yang penuh
tarik menarik dan dalam suasana perdebatan yang panjang, serta suana dialogis yang
alot dengan alas pikir yang rasional, tetapi dapat menjadi konsep yang Refresentatif terhadap kemajemukan
(Pluralisme) bangsa Indonesia. Sehingga terjadilah dikhotomi pergumulan
pendapat antara; tokoh dan Ormas keagamaan dengan tokoh dan ormas nasionalis
kebangsaan.
Dilihat dari perspektif pemikiran agama dan politik, secara umum dapat
disimpulkan bahwa ada tiga teori tentang pola hubungan antara negara dan agama
yang dikemukakan oleh para ilmuan dan pakar politik di dunia ini :
Pertama. Pola hubungan
antara negara dan agama yang ikatannya sama sekali terputus
Kedua. Pola hubungan
formal antara negara dan agama.
Ketiga. Pola hubungan
antara negara dan agama yang bersifat tidak formal.[1]
Salah satu perdebatan ideologis yang terpenting dalam sejarah
pergerakan kebangsaan Indonesia berkisar pada masalah dasar perjuangan. Bahwa
kekuasaan kolonial belanda adalah sesuatu yang tak diinginkan telah merupakan
konsensus yang relatif umum diterima di kalangan kaum pergerakan, masalahnya
ialah apakah dasar yang”sah” dari perjuangan itu ? mereka yang kemudian akan
disebut dan menyebut dari golongan “kebangsaan” mengatakan bahwa dasar
perjuangan adalah” Nasional Indonesia”.[2]
Terhadap pernyataan tersebut di atas lalu menimbulkan suasana dialogis
yang serius sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyan filosofis agar tidak
melakukan kesalahan yang besar bagi nulai-nilai perjuangan yang akan dan telah
dilakukan.
Di antara Ormas Islam dan para
tokohnya yang berpengaruh terhadap
penetapan dasar Negara Indonesia adalah :
a.
Sarikat Islam (H. Saman Hudi, H.O.S Tjokroaminoto,
Agus Salim, Abdul Moeis)
Pada dekade pertama abad ke 20 Islam memainkan peranan yang amat
menentukan dalam rasa persatuan nasionalisme menentang penjajah belanda,
sebagaimana pernyataan George Mc Turnan Kahin, yang dikutip Bahtiar Effendy.”Agama
Muhammad bukan saja mata rantai yang mengikat tali persatuan; melainkan ia
merupakan simbol kesamaan nasib (in group) menentang penjajah asing dan penindas yang berasal
dari agama lain.[3] Itu
sebabnya pergerakan Nasional pertama satu-satunya perwujudan politik Islam
muncullah Sarekat Islam (SI) yang didirikan H.Samanhoedi di Solo tahun 1911
yang pada mulanya sebagai gerakan dagang, namun dengan cepat berubah organisasi
politik nasional. Dan masa H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim dan Abdoel Moeis SI
adalah organisasi pemula yang mengembangkan program politik yang menuntut
pemerintahan sendiri (oleh rakyat Indonesia) dan kemerdekaan penuh.[4]
Namun pada akhir tahun 1920 organisasi ini mulai melemah dan semakin kehilangan
daya dobraknya dalam mengadakan konfrontasi dengan pihak kolonialis. Hal ini
disebabkan menyusupnya faham Marxisme yang banyak menebar tuntutan sosialistik
dan revolusioner, perbedaan yang semakin
mencuat dikalangan pengurus disebabkan kebijakan dan interes pribadi.
Tokoh tiga serangkai SI, Tjokroaminoto, Agus Salim, A Moeis dengan
tegas menyatakan bahwa Islam adalah
ideologi partai itu, dan mereka
menggerakkan partai itu sejalan dengan gerakan Pan Islamisme di Timur Tengah.[5] Dan pada perkembangan selanjutnya salah satu
tokoh SI Agus Salim membentuk Barisan Penyadar pada tahun 1936 sebagai suatu
bentuk kerjasama terbatas dengan kolonial namun tahun 1937 dibubarkan
kembali(dikeluarkan dari SI) yang membuat SI semakin kecil, dan sebelumnya
beberapa tokoh muda keluar dari SI membentuk organisasi sendiri seperti
Soekarno (anak didik Cokroaminoto).
b.
Muhammadiyah
K.H. Ahmad Dahlan merupakan tokoh pendiri Muhammadiyah yang banyak
diilhami oleh pemikiran keislaman dari Ibnu Timiyah, , Jamaluddin Al-Afghani(1839-1897),
Muhammad Abduh(1849-1905) dan juga Rasyid Ridho(1865-1935) ketika menunaikan
ibadah haji dan juga disempatkan untuk memperdalam pemahaman tentang Islam.
Maka dalam rangka merubah situasi dan kondisi bangsa pada itu beliau
mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta, pada tanggal 18 Nopember
1912, juga merupakan langkah merintis Gerakan Salaf yang lebih konkrit.
Pengurus pertama tersusun sebagai berikut : H.A Dahlan, Abdullah Sirad,
H.Ahmad, H.Abdurrahman, R.H. Sarkawi,H.Muhammad, R.H. Djaelani, H.Anis dan H.M.
Fakih.[6]
Dalam perkembangan selanjutnya
organisasi ini berkembang pesat dalam berbagai kelengkapan organisasi sebagai
tanggung jawab moral bangsa dari berbagai tekanan pihak kolonial, yaitu dengan
mendirikan departemen-departemen: Majlis Pimpinan Pengajaran Muhammadiyah pada tgl,14
juli 1923, Pemberdayaan Wanita (gerakan/`Aisyiah) 1918 Kepanduan pertama dalam
masyarakat Islam dengan nama Padvinder Muhammadiyah 1918 yang pada tahun 1920
diganti nama Hizbul Wathan atas
usul K.R.M.Hadjid.
Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Islam yang tidak mencampuri
politik, namun sebagai pribadi banyak anggotanya ikut serta duduk dalam
badan-badan perwakilan, baik di daerah maupun di Pusat dalam gerakan Nasional.
Dalam bidang politik, Muhammadiyah gigih menentang politik ganas penjajahan,
tidak setuju tindakan kolonial mengadakan pengawasan terhadap pengajaran Indonesia, yang mempunyai
arah tertentu terhadap hari depan bangsanya.[7]
Dalam perkembangan Muhammadiyah dalam konteks tokoh-tokohnya, memiliki
peran dan andil yang cukup besar dalam membentuk negara RI terutama dalam
meletakkan dasar negara, yang akan dipaparkan pada bahasan berikut dalam
makalah ini nantilah.
c. Persatuan Islam
(PERSIS),Ahmad Hasan dan Muhammad Natsir
Persis merupakan salah satu Organisasi Islam yang tokoh-tokohnya mempunyai
andil besar dalam perjuangan kemerdekaan dan meletakkan dasar negara Republik
Indonesia serta memiliki tokoh-tokoh yang terkenal smart dan konsekwen serta
istikomah terhadap ajaran Islam. A.Hasan terkenal sebagai salah seorang ulama
yang beraliran Reform, Radikal dalam memutuskan hukum-hukum Islam. Ia berjuang
dalam persatuan islam yang didirikannya atas prakarsa K.H.Zamzam, berasal dari
Palembang, pada tanggal 17 september 1923.[8]
A.Hasan merupakan ulama yang produktif dalam mengembangkan tulisan
tentang keislaman, sehingga banyak melahirkan karya-karya tentang kebangunan
umat Islam yang menyajikan soal-soal populer, sehingga banyak para kaum muda
intelek yang bergabung dan menjadi angkatan muda Islam, diantara muridnya yang
giat membantu dan mengikuti jejaknya adalah Muhammad Natsir pada tahun 1932.
Bahkan Ir Soekarno banyak diilhami oleh pemikiran A.Hasan terhadap jiwa
keagamaan yang dipeluknya.
Persatuan Islam selalu saja dapat menangkis serangan-serangan yang
dilancarkan kepadanya mengenai Islam, Ia mempunyai alat menangkisnya, yakni
majallah “Pembela Islam”.[9]
d. Nahdhatul `Ulama (NU)
Pergumulan Islam dengan nilai budaya setempat menuntut adanya
penyesuaian terus menerus tanpa harus kehilangan ide aslinya sendiri,
penghadapan Islam dengan realitas sejarah akan memunculkan realitas baru yang
beragam. Organisasi Jam`iyah Nahdatul `Ulama yang didirikan tahun 1926 di
Surabaya merupakan salah satu wujud dari fenomena di atas.[10]
Kelahiran NU memiliki rentetan pengaruh yang besar dari terbentuknya kongres Al-Islam tentang
masalah khilafah yang akan diadakan di Kairo ,serta organisasi komite Hijaz
yang akan diutus sebagai delegasi tentang nasib kedua kota suci umat Islam
yaitu Mekkah dan Madinah, yang telah menghebohkan umat Islam di dunia
sehubungan dengan berdirinya penguasa Ibn Sa`ud yang beraliran wahabi. Maka
muncullah K.H. Hasyim Asy`ari yang dipilih sebagai raisul Akbar (ketua dewan
syuriyah) dalam rapat para tokoh-tokoh pesantren.
Komite Hijaz yang dibentuk sebelum Januari 1926 diketuai Hasan Gipo dan
penasehat K.H. Abdul Wahab akan mengadakan pertemuan komite Hijaz 31 januari
1926, untuk mengutus perwakilan delegasi, lalu timbul masalah atas nama
organisasi apa delegasi itu dikirim. K.H Mas Alwi mengusulkan nama Nahdatul
`Ulama. Usul itu disepakati sidang komite maka komite Hijaz dibubarkan.[11]
Latar belakang
terbentuknya NU disebabkan organisasi Al-Islam tidak mengakomodir para Kiyai
(Perwakilan Pesantren) sebagai utusan maupun pemikirannya untuk dibawa
kekongres di Kairo. Hal ini dapat dimaklumi mengingat pengurus yang ada di
Al-Islam lebih cenderung kepemahaman Wahabi . Sehingga para Kiyai
berhimpun membentuk organisasi yang dinamakan Komite Hijaz.
Setelah terbentuknya NU, maka 2 tahun kemudian diutuslah delegasi
mengahadap Kerajaan Saudi menyampaikan aspirasi Ulama Indonesia.
Ada 4 pokok pemikiran yang disampaikan kepada Raja Ibn Abd Aziz Sa`ud,
mengingat utusan kelompok komite Hijaz gagal mengutus delegasinya sehingga
hanya melalui surat disampaikan aspirasi yaitu; Kebebasan menjalankan praktek keagamaan
menurut salah satu mazhab, buku-buku mereka dizinkan masuk ke Arab Saudi,
perawatan dan pemeliharaan tempat pusakan yang bernilai sejarah, tidak
dihancurkan, perbaikan tata laksana ibadah haji dan tarif resmi serta jaminan
hukum.[12]
- Pengaruh Tokoh dan Ormas Nasional Pra Merdeka
Pada pertengahan 1920an di saat
SI mengalami perpecahan dan sudah kurang menarik terutama bagi yang lebih muda
yang dididik secara barat, akhirnya
keluar membentuk organisasi baru. Salah seorang di antaranya adalah Soekarno,
anak didik Tjokroaminoto, yang memutuskan untuk membentuk organisasi politik
sendiri – Partai Nasional Indonesia (PNI) – pada tahun 1927 dan mengembangkan
paham ideologi politik yang berbeda.[13]
Sejak tahun 1930an dan selanjutnya, kelompok ini-bersama beberapa intelektual
dan aktivitas didikan barat lain yang baru kembali dari belanda (terutama
Syahrir, Mohammad Hatta) membentuk cikal
bakal gerakan nasionalis di Indonesia.[14]
Setelah PNI terbentuk,maka menyusullah Partai-partai nasional
kebangsaan lainnya sebagaimana yang dikutip dalam buku Politik Islam
Indonesia,Partai Indonesia (Partindo) April 1931, Partai Indonesia Raya
(Parindra) 26 desember 1935, dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) 24mei 1937.
Gerakan-gerakan ini lahir sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan
mencita-citakan Indonesia merdeka berdasarkan kebangsaan.[15]
Dan masih banyak lagi Organisasi dan partai-partai nasional yang
bersifat kebangsaan dan sekuler,seperti GAPI 1939, Djawa Hokokai 1944
C. Proses
Kelahiran Dasar Negara
1. Terbentuknya BPUPKI
Setelah Jepang menang dalam perang pasifik dengan sekutu 1941, jepang
menggantikan kolonial belanda, dan menjanjikan kemerdekaan bagi bangsa
indonesia, sehingga pada tanggal 24 april 1945 BPUPKI dibentuk menyusul janji
pemerintah kolonial Jepang yang segera akan memberikan kemerdekaan kepada
seluruh rakyat indonesia.[16]
Pembentukan dan janji tersebut dilatar belakangi oleh motif dan muatan politik
yang sangat kental, yaitu Jepang
hendak menarik simpati dan dukungan kekuatan dalam upaya jepang memenangkan perang
melawan sekutu yang terus berkecamuk. Namun keduluan jepang takluk dengan
dibombardirnya Hiroshima dan Nagasaki oleh pihak sekutu pada tanggal 15 agustus
1945. Sehingga jepang tidak berdaya lagi dan berbarengannya daerah jajahannya
satu-oersatu melepaskan dan memerdekakan diri.
BPUPKI diresmikan oleh komandan militer Jepang di jawa pada tanggal 28 mei 1945
dan menyelengggaran sidang-sidangnya secara intensif dalam dua tahap yang
secara aktif dihadiri oleh nasionalis sekuler. Sidang-sidang BPUPKI tahap pertama
berlangsung dari tanggal 29 mei hingga 1 juni 1945, dan sidang-sidang BPUPKI
tahap kedua dilaksanakan dari tanggal 10 juli sampai tanggal 16 juli 1945.[17]
2. Pergumulan
Islam dan Nasionalis
Setelah terbentuk dan berdirinya BPUPKI, tentunya perjalanan menuju
pesiapan kemerdekaan telah sangat dekat, namun mengalami perjuangan dan
perdebatan yang sangat alot dalam melaksanakan dan mengahsilkan konsep yang
menjadi bingkai negara.
Tema sentral yang dibahas dalam BPUPKI.[18]
Tentunya yang berkaitan dengan syarat-syarat dan perangkat pendirian sebuah
negara yang merdeka dan berdaulat, dan hampir seluruh peserta dalam rapat
BPUPKI menyetujui dan menyepakati persoalan yang dibahas, kecuali mengenai “Dasar
Negara” yang menjadi topik yang sangat alot dan sengit dalam
memperbincangkannya dan menyepakatinya, sehingga hal yang satu ini menjadi
sejarah yang selalu menarik untuk diperbincangkan, bahkan selalu dijadikan issu
central dalam perkembangan politik sampai saat ini di Negara RI.
Dalam perbincangan mengenai dasar negara ini, terdapat dua golongan
politik secara garis besar yakni, golongan Nasional Islam (Islam sebagai dasar
dan menjadi satu dengan negara), dan Nasional Sekuler (pemisahan agama dan
negara), karena dasar perjuangan yang antara satu dengan lainnya saling
berbeda, yang satu didasarkan pada watak nasionalisme dan lainnya pada Islam
dalam mewujudkan Indonesia
sebagai negara merdeka.
Dalam konteks historis inilah dua kelompok yang saling
bertentangan muncul dalam diskursus politik Indonesia: (1) golongan Islam dan
(2) golongan Nasionalis. Pada awalnya, benturan antara kedua kelempok
berlangsung disekitar masalah watak nasionalisme. Dalam upaya menemukann ikatan
bersama untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, Soekarno secara luas
mendefenisikan nasionalisme sebagai” cinta kepada tanah air, kesediaan yang
tulus untuk membaktikan diri dan mengabdi kepada tanah air, serta kesediaan
untuk mengenyampingkan kepentingan golongan yang sempit.[19]
Pernyataan Soekarno sebagai kelompok nasionalis tersebut mendapat
tanggapan keras dan tegas dari kelompok Islam antara lain;
Ahmad Hasan,pemimpin organisasi reformasi Persatuan Islam (Persis),
mengkritik nasionalisme sebagai suatu yang berwatak chauvinistik.[20]
Dalam hal ini terjadilah dialog yang memanas dalam membicarakan watak perjuangan
.
“Tetapi arti dasar dan makna dari Nasionalisme itu? Apakah
penghormatan terhadap” Ibu Pertiwi” itu tidak melampaui ketakwaan kepada Allah,
tanya Haji Agus Salim. Kita tak Chauvinis kata Soekarno, kebangsaan kita
bertolak dari harkat kemanusiaan. Baiklah, kata A.hasan pemimpin Persatuan
Islam(Persis) Bandung, tetapi jika kita berjuang “ demi bangsa”, apapun mungkin
perumusannya, bukannya” Demi Allah”, maka sesungguhnya kita telah melibatkan
diri dalam dosa tanpa ampun, bukanlah salah satu yang paling ditentang oleh
Nabi Besar Muhammad saw adalah sifat Ashabiyah, kesukuan, sedangkan Islam
bersifat Universal?. Jadi berjuang demi bangsa adalah hal yang mengingkari
ajaran pokok Islam.[21]
Selanjutnya seorang pemuda cerdas dan berani sekaligus pernah menjadi
kader A.Hasan menyampaikan pemikirannya begitu kokoh yaitu, M.Nasir bertutur;
tanpa Islam, maka nasionalisme Indonesia itu tidak akan ada; karena Islam
pertama-tama telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia, (dan telah)
menghapuskan sikap-sikap isolasionis pulau-pulau yang beragam.[22]
Dalam hal ini Natsir memandang bahwa kemerdekaan hanyalah sebuah jalan dan yang
menjadi tujuan adalah Ridho Allah, dan dalam buku The modernist Muslim Movement in Indonesia” Orang Islam tidak
akan berhenti hingga itu (yakni kemeredekaan), melainkan akan melanjutkan
perjuangannya selama(negara) belum didasarkan dan diatur menurut susunan hukum
kenegaraan Islam”.[23]
Selanjutnya, untuk memperkokoh gagasan mengenai sebuah negara yang
sudah didekonfessionalisasikan ini, Soekarno mengusulkan “lima prinsip pokok”
yang belakangan dikenal sebagai Pancasila, untuk diterima sebagai philosophische
grondslag (landasan filosofi) negara.[24]
Maka pada sidang BPUPKI tertanggal 1 juni 1945 Soekarno sebagai mewakili
seluruh elite Nasionalis sekuler mengusulkan “ Pancasila dengan rumusan :
1.
Kebangsaan Indonesia
2.
Internasionalisme atau
perikemanusiaan
3.
Mufakat atau demokrasi
4.
Kesejahteraan sosial
5.
Ketuhanan.[25]
Maka rumusan ini mendapat tanggapan yang keras dari kelompok Nasional
Islam yang dipandang sebagai hasil pemikiran sosial filosofis yang tidak
ada relevansinya dengan
paradigma agama dan mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Dan setelah melalui
gelombang perdebatan ideologis-politis yang panjang dan memelahkan, kaum Nasionalis
Muslim dan faksi Nasionalis sekuler pada tanggal 22 juni 1945 berhasil mencapai
kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta.[26]
Dan lebih lanjut dalam piagam Jakarta ini Pancasila usulan Soekarno direformulasikan
sehingga berbunyi seperti pancasila saat ini kecuali sila pertama yaitu
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Setelah sidang pertama dari BPUPKI selesai dibentuklah Panitia Kecil
(Panitia sembilan) yang terdiri dari: Soekarno, Muhammad Hatta, A.A,Maramis, Ahmad Soebardjo, Muhammad Yamin.
Kelima tokoh ini mewakili golongan sekuler. Sedangkan empat selebihnya: Abdul
Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan Abikoesno adalah
mewakili golongan Islami.[27]
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan negara Republik Indonesia diumumkan,
kelompok kristen di kawasan Indonesia bagian timur, melalui seorang opsir
angkatan laut Jepang menyatakan keberatan mereka kepada Muhammad Hatta apabila
piagam Jakarta tetap akan dilaksanakan. Pada tanggal 18 agustus 1945 beberapa
saat sebelum PPKI (Panitia persiapan kemerdekaan indonesia) secara resmi
menyelenggarakan sidangnya yang bersejarah, Hatta mengadakan pertemuan dengan
para wakil kelompok Nasionalis Muslim(antara lain Teuku Muhammad Hasan dan Ki
Bagus Hadikusumo).[28]
Dalam pertemuan tersebut disepakati menghapus 7 kata dari sila pertama yaitu
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya.
Menurut analisa
penulis, bahwa usulan angkatan laut Jepang tentang ketidak setujuan menjadikan
Negara Islam atas dasar adanya kaum minoritas yang menduduki Sulawesi dan
Kalimantan, merupakan sesuatu yang tidak substansial sebagai alasan.
Penulis melihat bahwa mayoritas bangsa Indonesia dan panitia BPUPKI adalah
muslim, namun secara mental dan psikologis tidak siap menerima Islam sebagai
aturan hidup, di samping para tokoh-tokoh Nasional yang banyak mengecap
pendidikan barat dan terpengaruh dengan pemikiran modernis secular.
Pergumulan dasar Negara
di Indonesia telah beberapa kali dicoba dan diupayakan, baik pada masa Orde
Lama, yang menuntut kembali piagam Jakarta ditetapkan sebagai dasar Negara,
namun Soekarno dan antek-anteknya malah banyak melakukan penekanan dan
mengisolasikan tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh, dan mengantarkan Soekarno
kedalam bentuk kepemimpinan otoriter dan lari dari consensus nasional.
Demikian juga masa Orde
Baru mengeluarkan Undang-undang Organisasi dan Politik yang mengarah pada
system pemerintahan Absolut dan rezim.
Hal sama juga terjadi ketika dibentangkannya
Reformasi telah dicoba untuk mengangkat kembali tentang status piagam Jakarta,
namun hanya merupakan komoditi politik murahan dari segelintir umat Islam yang
memiliki martabat dan jiwa keislamannya, agar dapat dikenal dan dapat dukungan
dari masyarakat awam.
Mempunyai negara nasional
berarti politik telah diinstitusionalisasikan kedalam negara nasional dengan
menumbuhkan sebuah otoritas, dan kepada kelompok diminta partisipasi politik.
Sebuah negara nasional juga berarti persaudaraan baru, di atas persaudaraan
lama.[29]
Dan dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia yang telah berkali berganti
sistem dan pemerintahan, baik Orde Lama
hingga pemilu pertama, dan Orde Baru
hingga Reformasi telah berkali diupayakan untuk menjadikan issu central
politik masalah dasar negara agar dikembalikan kepiagam Jakarta, namun hanya sekedar komoditas
politik dalam mendongkrak populeritas belaka tanpa realitas.
D. Penutup
Ketika Bangsa
Indonesia akan menjelang kemerdekaannya, segala
potensi bangsa dari berbagai unsur kelompok etnis, suku dan agama yang
berbeda satu sama lain mengerahkan segala daya untuk mewujudkan impian bangsa
yang bebas dari belenggu penjajah. Sehingga terbentuklah berbagai kekuatan
nasional baik yang berbentuk sekuler maupun yang bersifat agamis dengan persi
yang berbeda tapi memiliki satu tujuan.
Perbedaanpun
terjadi dengan sengitnya ketika akan menetapkan landasan bagi bangunan negara,
hal ini dilatar belakangi pemikiran dan latar belakang serta kondisi psikologis para tokoh-tokoh yang
diamanatkan melahirkan landasan tersebut, walau akhirnya kompromipun tercapai
namun tetap menyisahkan sejarah yang
merugikan umat Islam dengan toleransinya yang tinggi dalam menghargai
kaum minoritas. Yang menurut penulis tidaklah memiliki andil apapun dibanding perjuangan
dan pengorbanan umat Islam
dalam kurun waktu yang lama pada masa lampau.
Daftar Pustaka :
Effendy
Bahtiar, Islam Dan Negara, Transformasi Pemikiran dan
Kritik Politik Islam
di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998)
Haidar M.Ali, Nahdatul
Ulama dan Islam Di Indonesia, Pendekatan
Fikih
dalam Politik, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama,
1994)
Ismail Faisal,Pijar-pijar
Islam, Pergumulan kultur dan Struktur,( Yogyakarta: Lesfi Yogya,
2002)
Abdullah Taufiq, Islam dan Masyarakat,
Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1987)
Katimin, Politik Islam Indonesia, (Bandung:
Citapustaka Media, Tahun, 2007)
L.Stoddard, Dunia
Baru Islam,Terjemah (Jakarta, 1966)
[1]
Faisal Ismail,Pijar-pijar Islam, Pergumulan Kultur dan Struktur,( Yogyakarta:
Lesfi Yogya, 2002), h. 64
[2]
Taufiq Abdullah, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia,
(Jakarta: LP3ES, 1987), h.15
[3]
Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Kritik Politik
Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998),h. 62-6
[4]
ibid
[5]
Ibid, h. 67
[6]
L.Stoddard, Dunia Baru Islam,Terjemah (Jakarta, 1966), h. 307-308
[7]
Ibid,h. 315
[8]
L.Stoddard, Dunia Baru Islam, h. 316
[9]
Ibid, h. 317
[10]
M.Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam Di Indonesia, Pendekatan Fikih dalam
Politik, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1994), h. 2
[11]
Ibid, h. 59
[12]
Ibid, h.81-82
[13]
Bahtiar Effendy,h. 69
[14]
Bahtiar E,h. 70
[15]
Katimin, Politik Islam Indonesia, (Bandung: Citapustaka Media, Tahun,
2007), h. 79
[16] Faisal
Ismail,Pijar-pijar Islam, h. 35
[17]
Ibid, h. 36
[18] Pokok
bahasan BPUPKI adalah Bentuk,
Batas Negara, Dasar Filsafat Negara, dan yang
berkaitan dengan masalah konstitusional. Katimin,
Politik Islam Indonesia, h. 84
[20] Bahtiar
Effendi,Islam dan Negara, h. 71
[21] Taufiq
Abdullah, Islam dan Masyarakat,,h. 15
[22]
Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Kritik Politik
Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998),h. 73
[23] Deliar
Noer, The modernist Muslim Movement
in Indonesia 1900-1942, (Jakarta:Oxford University Press, 1978), h. 276
[24] Ibid,
h. 88
[25]
Bakhtiar Effendi, h. 37
[26]
Faisal Ismail,Pijar-pijar Islam, h. 39
[27]
Katimin, Politik Islam Indonesia, h. 86
[28]
Ibid, h. 40
[29]
Ibid, h. 58-59
Tidak ada komentar:
Posting Komentar