A. Pendahuluan
Kecemerlangan
Daulah Abbasiyah merupakan bukti sejarah perjalanan ummat Islam dalam membuktikan dirinya sebagai Rahmatan
li al-‘Alamin. Eksistensinya selama ± 524 tahun (750-1258 M), menyumbangkan
peradaban yang cemerlang bagi kelangsungan hidup ummat manusia. Seluruh
perhatian tertuju ke kota Bagdad
yang merupakan pusat pemerintahan Daulah Abbasiyah.
Pada masa awal pertumbuhan
Daulah Abbasiyah, khalifah yang menjabat sangat konsisten dalam mengemban
tugasnya mengatur pemerintahan. Posisi khalifah sebagai tokoh politik dan
keagamaan merupakan hal yang mendasar dalam mewujudkan kesatuan dan persatuan
Daulah Abbasiyah. Daerah-daerah kekuasaan yang mencapai daratan Afrika dan
Eropa taat dan patuh berintegrasi dengan kebijaksanaan pemerintahan yang
berpusat di Baghdad.
Akan tetapi pada masa
berikutnya terjadilah gejolak yang berakibat kehancuran. Inilah ketentuan bahwa
kejayaan itu ada batasnya, masa keemasan
Daulah Abbasiyah yang notabenenya adalah Islam, sampai pada apa yang
disebutkan Allah Swt dalam Alquran :
|
Kemunduran dan kehancuran
Daulah Abbasiyah disebabkan berbagai polemik dan faktor-faktor yang berasal
dari kalangan pemerintahan sendiri dan dari luar pemerintahan Daulah Abbasiyah,
yang awalnya hanya masalah yang kecil
namun lambat laun menjadi besar sehingga menjadi bom waktu bagi Daulah
Abbasiyah. Yang pada akhirnya bangsa Mongol berhasil menumbangkan sang raksasa
peradaban dengan memporak porandakan Baghdad
yang merupakan pusat pemerintahan Daulah Abbasiyah.
B.
Fakror-faktor Kemunduran dan Kehancuran Daulah Abbasiyah
1. Faktor Internal
a. Perbedaan Paham Para Ahli
Teologi
Kehidupan intelektual di zaman Daulah Abbasiyah
diawali dengan berkembangnya perhatian pada dua sumber utama dalam Islam yaitu
Alquran dan Hadis. Dari dua sember utama inilah lalu lahir berbagai ilmu
seperti halnya teologi. Teologi yang merupakan ilmu yang membahas tentang
Tuhan, dan juga kedudukan manusia dalam kekuasaan mutlak Tuhan seperti
kebebasan berkehendak, kedudukan akal dan lain-lain. Persoalan ini melahirkan para ahli dengan berbagai ragam
perbedaan-perbedaan pendapat mereka.
Terbukti bahwa keberadaan berbagai macam pemikiran yang
melahirkan aliran-aliran keagamaan menimbulkan polemik internal pada
Pemerintahan Daulah Abbasiyah. Masing-masing para ahli dan ulama mengklaim
bahwa pemikirannya adalah yang paling benar untuk dijadikan ideologi dalam
pemerintahan. Seperti konflik yang terjadi antara Syi’ah dan Sunni. Pada masa
Khalifah al-Mutawakkil (847-861M.)[1],
beliau memerintahkan agar makam Husein di Karbela dihancurkan. Namun anaknya
al-Muntashir (861-862 M.) kembali
memperkenankan orang Syi’ah menziarahi
makam Husein tersebut.[2]
Bahkan al-Muntashir turut membantu dalam
pembunuhan ayahnya (al-Mutawakkil) agar dia dapat menduduki jabatan khalifah.
Namun baru 6 bulan dia menjadi khalifah, ia mati diracun oleh para jenderalnya
sendiri.[3]
Demikian juga aliran Muktazilah yang pernah menjadi
ideologi pemerintahan pada masa al-Makmun, Khalifah ke tujuh Daulah Abbasiyah.[4]
Muktazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan
salaf. Pada masa al-Mutawakkil, aliaran Muktazilah dibatalkan sebagai aliran
negara dan digantikan oleh aliran Salaf. Akan tetapi pada masa pemerintahan
dipimpin oleh Bani Buwaih (945-1055 M)[5]
Muktazilah kembali menjadi ideologi negara. Dan pada periode berikutnya ketika
pemerintahan dikuasai oleh suku Seljuk (1055-1258 M)[6],
Aliran Asy’ariyah menjadi ideologi pemerintahan setelah menyingkirkan aliran
Muktazilah dengan dukungan para penguasa yang berpaham Asy’ariyah.
Demikian juga konflik yang terjadi antara orang beriman
dengan golongan Zindiq (Tidak Bertuhan) berlanjut mulai dari bentuk yang sangat
sederhana seperti polemik tentang ajaran
sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di antara kedua belah
pihak.[7]
b. Perebutan
Kekuasaan Di Pusat Pemerintahan
Sudah menjadi kewajiban bahwa setiap kekuasaan
akan dipimpin oleh orang-orang yang berpengaruh secara bergantian, baik secara
konstitusional ataupun pemberontakan bahkan pemaksaan. Daulah Abbasiyah, yang
berkuasa sampai 5 abad, tak terlepas dari suksesi khalifah yang masing-masing
mempunyai kelebihan dan kelemahan dalam mengembangkan pemerintahan.
Pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah
perebutan kekuasaan secara mencolok terlihat pada periode kedua dan seterusnya.
Disini tidak ada usaha untuk merebut jabatan kekhalifahan dari Bani Abbas, yang
ada adalah usaha merebut kekuasannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap
di pegang oleh Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap
sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi.
Secara umum kekuasaan Daulah Abbasiyah dapat
dibagi menjadi lima
periode[8],
yaitu :
1. Periode Pertama (750-847M) disebut
periode pengaruh Persia
pertama
Masa ini diawali sejak Abu Abbas menjadi
khalifah (132H/750M)dan berlansung selama satu abad hingga meninggalnya
khalifah al-Wasiq (232H/847M). Masa ini dianggap sebagai masa keemasan Daulah
Abbasiyah karena keberhasilannya dalam memperluas wilayah kekuasaan.
2. Periode Kedua
(847-945M) disebut masa pengaruh Turki pertama
Masa ini diawali dengan meninggalnya
khalifah al-Wasiq, digantikan oleh al-Mutawakkil sampai masa pemerintahan
al-Muktakfi. Disini orang-orang Turki menguasai posisi-posisi penting dalam
pemerintahan. Mereka awalnya dibawa oleh khalifah al-Mu’tasim. Namun
selanjutnya mereka pertama menjadi pasukan militer. Setelah Khalifah
al-Mutawakkil meninggal, para jendral yang merupakan orang Turki berhasil
mengontrol pemerintahan.
3. Periode Ketiga (945-1055M) kekuasaan
Abbasiyah berada dibawah suku Buwaih.
Ketika Daulah Abbasiyah di kuasai oleh
para pengawal yang berasal dari bangsa Turki, suku Buwaihi diminta untuk
membantu menyelamatkan posisi khalifah yang saat itu hanya sebagai simbol saja
karena kekuasaan sepenuhnya di tangan orang-orang Turki. Dalam situasi ini
khalifah al-Muktakfi meminta bantuan kepada Ahmad bin Buwaihi seorang panglima
besar suku Buwaihi untuk menyelamatkan kedudukan khalifah. Setelah berhasil
memerangi orang-orang Turki beliau bukannya menyelamatkan khalifah akan tetapi
membutakan mata khalifah dan mengangkat al-Muti sebagai khalifah. Dari sinilah
awal periode Buwaihi dimulai. Pada masa ini jabatan khalifah hanya sekedar
boneka karena secara de facto kepala pemerintahan berada di tangan para Amir
al-Umara (Panglima Besar)
4. Periode Keempat (1055-1194M) Kekuasaan Abbasiyah berada di
bawah dinasti Saljuk ; periode ini kadang disebut pengaruh Turki kedua.
Seljuk merupakan nama keluarga penguasa suku Oghuz di Turki[9].
Mereka berhasil mengambil alih kekuasaan di Baghdad melalui melaui tiga orang putra
Seljuk yaitu: Musa, Mikail, dan Arslan serta dua orang putra Mikail yang
bernama Tugril Beg Muhammad dan Chaqri Beg Dawud. Pada awalnya mereka hanya
sebagai tentara bayaran khalifah namun karena kecemerlangan prestasi dan pengaruh
terhadap para prajurid istana mereka berhasil mengambil alih kekuasaan di Bagdad dan menjadikan khalifah di bawah komando mereka.
Khalifah hanya memiliki wewenang dalam urusan keagamaan saja.
5. Periode Kelima (1194-1258M) Abbasiyah
terbebas dari pengaruh suku-suku lain tapi kekuasaannya hanya efektif di kota Baghdad
saja.
Perebutan
kekuasaan yang terjadi diantara keluarga bani Abbas melibatkan suku-suku non
arab. Awal peristiwa ini terjadi pada periode kedua dimana pergantian khalifah
terjadi dengan membunuh khalifah sebelumnya. Seperti ketika Abdullah
(al-Makmun) membunuh khalifah sebelumnya (abangnya) yaitu Muhammad (al-Amin).
Mereka adalah dua putra mahkota dari Harun al-Rasyid.
c. Gaya Hidup Mewah Para
Penguasa
Puncak keemasan Daulah Abbasiyah
terjadi pada periode pertama, kalaupun ada konflik politik yang terjadi
tidaklah berakibat fatal bagi integritas pemerintahan karena para khalifah
sebagai kepala pemerintahan dapat menyelesaikannya secara bijaksana. Masa
keemasan ini terjadi dengan berkembangnya peradaban dan kebudayaan serta ilmu
pengetahuan.
Pada periode selanjutnya
terjadilah perubahan kebiasaan para khalifah ke arah kehidupan yang serba mewah
dan berfoya-foya bahkan cenderung
mencolok. Gaya
hidup ini ditiru oleh para pejabat dan keluarga istana.
Kondisi ini memberi peluang
kepada tentara profesional asal Turki untuk mengambil alih kendali
pemerintahan.[10] Dan
secara bergantian kendali pemerintahan di pegang oleh suku-suku non arab yang
bukan dari keturunan Bani Abbas.
d. Dinasti-dinasti kecil yang Memerdekakan Diri
(Disintegrasi)
Berbagai kemelut yang terjadi di dalam pemerintahan
Daulah Abbasiyah, menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi
miskin. Perekonomian negara mengalami penurunan karena tidak seimbangnya
pendapatan negara dengan pengeluaran yang disebabkan oleh para pejabat yang
bergaya hidup mewah serta kurangnya pendapatan pajak dari daerah.
Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional yang berasal dari
suku non arab mengambil kendali pemerintahan. Sehingga kekuasaan sesungguhnya
berada di tangan mereka. Silih berganti mereka mengendalikan pemerintahan
selama ± 400 tahun. Hingga akhirnya kelemahan pemerintahan terjadi yang
menyebabkan terjadinya disintegrasi dalam pemerintahan Daulah Abbasiyah.
Situasi ini menyebabkan lahirnya pemimpin yang berupaya
mendirikan kerajaan baru di daerahnya dan terlepas dari pengaruh Abbasiyah
seperti Daulah Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Marokko.[11]
Selain itu gubernur yang awalnya
merupakan jabatan yang diberikan khalifah, karena kedudukannya semakin kuat
sementara khalifah di pusat pemerintahan semakin lemah, mengambil kesempatan
untuk membuat kerajaan sendiri.
Disintegrasi memuncak pada daulah Abbasiyah ketika para
khalifah menjadi boneka dalam tangan tentara pengawal. Daerah-daerah yang jauh
letaknya dari pusat pemerintahan di Damaskus dan di Bagdad
melepaskan diri dari kekuasaan khalifah di pusat dan bermunculanlah
dinasti-dinasti kecil.
Golongan Syi’ah yang pada mulanya sekutu Bani Abbas,
mulai melancarkan aksi penentangan terhadap pemerintahan.
Di tahun 869 M timbul
pemberontakan kaum Zanj di bawah pimpinan Ali Ibn Muhammad. Kaum Zanj adalah
budak-budak yang didatangkan dari Afrika untuk bekerja di pertambangan di Irak.
Dari tahun 870 M sampai 883 M kekuasaan Bani Abbas dikacau oleh pemberontakan
Zanj ini.[12]
Gerakan lain adalah gerakan Qaramitah yang dimulai tahun
874 M oleh Hamdan Qarmat, seorang penganut faham Syi’ah Ismailiyah di
Irak. Mereka membentuk negara merdeka di
Teluk Persia,
yang kemudian menjadi pusat kegiatan mereka dalam menentang pemerintahan Daulah
Abbasiyah. Di tahun 930 serangan mereka meluas sampai ke Mekkah. Sewaktu pulang
mereka membawa lari al-Hajr al-Aswad yang dikembalikan baru 20 tahun kemudian.[13]
Setelah Qaramitah dilanjutkan oleh gerakan Hasyasyin
(Assassins) yang dipimpin oleh Hasan Ibn Sabbah. Ia menjadikan Alamut di
sebelah selatan Laut Kaspia sebagai basis serangan terhadap Daulah Abbasiyah di
Bagdad. Mereka terkenal keras dan kejam, serta tidak segan-segan melakukan
pembunuhan terhadap para musuh mereka.
Berikut ini beberapa kerajaan yang melepaskan diri dari
Kekuasaan Daulah Abbasiyah :[14]
1. Yang berbangsa Persia
a. Thahiriyah di
Khurasan (205-259H/820-872M)
b. Shafariyah di Fars
(254-290H/868-901M)
c. Samaniyah di
Transoxania (261-389 H/873-998 M)
d. Sajiyyah di
Ajerbaijan (266-318 H/878-930 M)
e. Buwaihiyah, bahkan
menguasai Baghdad
(320-447 H/932-1055 M)
2. Yang Berbangsa Turki
a. Thuluniyah di Mesir
(254-292 H/837-903 M)
b. Ikhsidiyah di
Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
c. Ghaznawiyah di
Afganistan (351-585 H/962-1189 M)
d. Dinasti Saljuk
(429-700 H/1037-1299 M)
3. Yang Berbangsa Arab
a. Idrisiyah di Maroko
(172-375 H/788-985 M)
b. Aghlabiyah di Tunisia
(184-289 H/800-900M)
c. Dulafiyah di Kurdistan
(210-285 H/825-898 M)
d. Alawiyah di
Tabaristan (250-316 H/864-928 M)
4. Yang Mengaku dirinya sebagai Khalifah
a. Umawiyyah di Spanyol
b. Fatimiyah di Mesir
c. Idrisiyah di Marokko
Berdirinya
dinasti-dinasti tersebut dilatar belakangi oleh adanya persaingan antara
suku-suku dan bangsa-bangsa terutama
antara Arab, Persia dan Turki. Disamping itu ada
juga pengaruh paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi’ah, ada pula yang
Sunni. Munculnya banyak dinasti seperti cendawan di musim hujan merupakan
gejala yang akhirnya melemahkan posisi Khalifah di pusat pemerintahan.
e. Kemerosotan
Ekonomi
Sejalan dengan kemunduran di bidang politik, Daulah
Abbasiyah juga mengalami kemerosotan di bidang ekonomi. Pada periode awal
Daulah Abbasiyah adalah kerajaan yang kaya dan yang masuk lebih besar dari dana
yang keluar sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Yang berasal dari Pajak
daerah kekuasaan dan pajak hasil bumi.
Setelah khalifah memasuki periode kemunduran, pendapatan
negara menurun, sementara pengeluran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan
oleh makin sempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi pemberontakan yang
mengganggu perekonomian, dan banyaknya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri
sehingga mereka tidak lagi membayar pajak ke pemerintahan.
Faktor-faktor internal ini lebih banyak berperan sebagai
faktor penyebab kehancuran kekhalifahan ketimbang faktor eksternal. Serangan
bangsa Mongol kendati begitu dahsat
nyatanya cuma berperan sebagai senjata
pamungkas yang meruntuhkan kekhalifahan.
2. Faktor Eksternal
a. Perang Salib
Terjadinya perang salib adalah dipicu oleh rasa kebencian
ummat kristen kepada ummat Islam. Puncak kebencian itu adalah ketika Daulah
Abbasiyah di kuasai oleh bani Seljuk. Ketika Bani Seljuk berhasil merebut Bait
al-Maqdis dari dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk
menetapkan beberpa peraturan bagi ummat kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan ini
dirasakan sangat menyulitkan mereka. Maka untuk mengambil kembali keleluasaan
untuk berziarah ke tanah suci mereka itu, pada tahun 1095 M Paus Urbanus II
berseru kepada ummat kristen di eropa supaya melakukan perang suci. Perang ini
kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.
Disebutkan bahwa Hulagu Khan sangat membenci Islam karena
ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen, Gereja-gereja kristen
berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam. Tentara Mongol setelah
menghancur leburkan pusat-pusat Islam,
ikut memperbaiki Yerussalem.[15]
Akibat dari perang salib ini adalah kerugian yang dialami
ummat Islam besar sekali karena perang salib terjadi di wilayah kekuasaan ummat
Islam. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik ummat Islam menjadi
lemah. Dalam kondisi demikian, mereka bukannya bersatu tapi malah terpecah
belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat
Daulah Abbasiyah di Baghdad.
b. Serangan Bangsa Mongol
Bangsa Mongol berasal dari daerah pegunungan Mongolia,
yang membentang dari Asia Tengah sampai ke Siberia Utara, Tibet Selatan, dan
Manchuria Barat serta Turkistan Timur. Nenek Moyang mereka bernama Alanja Khan,
yang mempunyai dua putra kembar, Tatar dan Mongol. Kedua putra itu melahirkan
dua suku bangsa besar, Mongol dan Tartar. Mongol mempunyai anak bernama Ilkhan,
yang melahirkan keturunan pemimpin bangsa Mongol di kemudian hari.[16]
Sebagai mana biasanya bangsa nomad, bangsa Mongol
mempunyai watak yang kasar, suka berperang, dan berani menghadapi maut dalam
mencapai keinginannya. Akan tetapi mereka sangat patuh kepada pimpinannya.
Mereka menganut agama Syamaniah menyembah binatang-binatang dan sujut kepada
matahari yang sedang terbit. Mereka menjadikan posisi wanita sama dengan
laki-laki dalam tugas di medan
perang.
Kemajuan bangsa Mongol
secara besar-besaran terjadi pada masa kepemimpinan Yasugi Bahadur Khan. Diantara
para pemimpin bangsa Mongol yang berpengaruh adalah :
Yasuki Bahadur Khan
Timujin
(yang mendapat gelar Jengis
Khan/Raja Yang Perkasa)
Kemudian membagi wilayah kekuasaan kepada 4 putranya
Juchi Chagatai Ogotai Tuli
Tuli menguasai Khurasan,
karena kerajaan-kerajaan Islam sudah terpecah belah dan kekuatannya sudah
lemah. Tuli dengan mudah dapat menguasai Irak. Ia meninggal tahun 654 H/1256 M
dan digantikan oleh putranya Hulagu Khan.
Pada tahun 656H/1258M, tentara Mongol yang berkekuatan
sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad, khalifah al-Mu’tashim,
penguasa terakhir Daulah Abbasiyah di Baghdad betul-betul tidak mampu
membendung tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Pada saat krisis
tersebut wazir khalifah Abbasiyah Ibnu al-Aqlami ingin mengambil kesempatan
denganmenipu khalifah. Ia mengatakan kepada khalifah:”Saya telah menemui mereka
untuk perjanjian damai. Raja Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya
dengan Abu Bakr putra khalifah. Dengan demikian Hulagu Khan akan menjamin
posisimu. Ia tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana
kakek-kakekmu terhadap sultan-sultan Seljuk.[17]
Maka khalifah al-Mu”tashim yang dalam posisi terdesak
menerima usulan tersebut. Ia dan rombongan berangkat menemui Hulagu Khan dengan
membawa barang-barang berharga untuk diserahkan. Akan tetapi sambutan Hulagu
Khan diluar dugaan. Khalifah dan rombongan bukannya disambut dengan baik
melainkan dibunuh dengan cara kepala mereka dipenggal secara bergiliran.
Kota Baghdad di jarah dan dibakar mayoritas penduduknya
termasuk keluarga khalifah dibantai habis. Bau busuk yang keluar dari mayat-mayat yang tidak
dikubur dan bergeletakan di jalanan membuat Hulagu Khan mesti menarik diri dari
kota itu selama
beberap hari.[18]
Dengan pembunuhan yang
kejam ini , berakhirlah kekuasaan Abbasiyah
di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah. Akan
tetapi walaupun sudah hancur Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun
sebelum melanjutkan gerakannya ke Mesir dan Syiria.
c. Pengaruh Bangsa Turki dan Persia dalam Pemerintahan
Daulah Abbasiyah didirikan
oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan Orang-orang
Persia.
Persekutuan ini dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada
masa Daulah Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah Daulah
Abbasiyah berdiri, Bani Abbas tetap
mempertahankan persekutuan itu. Bahkan mereka lebih mengutamakan orang-orang Persia
ketimbang orang Arab karena Bangsa Arab ketika Umayyah berkuasa merupakan
golongan kelas satu dan mereka terpecah belah dengan adanya kesukuan.
Pada Daulah Abbasiyah
timbul berbagai fanatisme bangsa-bangsa untuk menguasai pusat pemerintahan
karena pada awal pemerintahan kekuasaan Daulah Abbasiyah sangat luas. Selain
itu angkatan bersenjata yang direkrut dari bangsa lain (Arab, Turki, Persia)
awalnya membantu khalifah merebut kekuasaan dari pengaruh salah satu
suku/bangsa yang menguasai pemerintahan Abbasiyah, serta untuk membantu
menjalankan pemerintahan dan memperluas wilayah, akan tetapi mereka malah
menguasai pemerintahan bahkan jabatan khalifah mereka jadikan hanya mencakup
urusan keagamaan. Selain menjatuhkan martabat khalifah keadaan ini juga
membutuhkan biaya yang sangat besar yang ditanggung oleh kas negara.
Setelah al-Mutawakkil naik
tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Daulah
Abbasiyah sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang
Turki. Selanjutnya direbut oleh Bani Buwaih, Kemudian Bangsa Persia dan terahir Suku Seljuk.
C. Penutup
Pemerintahan
Daulah Abbasiyah yang berkuasa ± 524 tahun (750-1258 M) mengalami masa kemajuan
dan jauh dari konflik pada masa pertama yaitu ketika para pemimpinnya dapat
menjalankan roda pemerintahan dengan bijaksana sehingga gejolak politik yang
terjadi dapat diselesaikan dengan cara yang bijaksana.
Pada
periode ke dua dan seterusnya, banyak terjadi gejolak politik yang ternyata tak
dapat diselesaikan oleh para khalifah. Faktor internal dan eksternal yang
terjadi menimpa Daulah Abbasiyah seperti perbedaan paham teologi Perebutan
kekuasaan yang terjadi antara orang-orang Arab, Turki, Persia tidak hanya
melemahkan pemerintahan akan tetapi akibat yang lebih buruk adalah terjadinya
desintegrasi kekuasaan yang mengakibatkan melemahnya pengaruh kekuasaan.
Dalam
posisi yang semakin melemah maka bangsa Mongol dengan mudah menjatuhkan
kedigjayaan Daulah Abbasiyah dengan cara yang sangat tragis dan menyedihkan.
Yang akhirnya menenggelamkan masa kejayaan Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspeknya ; Jilid I, UI Press, Jakarta, 1985
Taufik Abdullah, Dkk., Ensiklopedi
Tematis Duania Islam : Khilafah, PT Ichtiyar Baru Van Hoeve, 2003.
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.
Didin Saefuddin, Zaman
Keemasan Islam : Rekonstruksi Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, Grasindo,
Jakarta, 2002
Dedi Supriyadi, Sejarah
Peradaban Islam, Pustaka Setia, Bandung,
2008
Phili K.Hiti,History
Of The Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2006
Ahmad Syalabi,Sejarah
Kebudayaan Islam,Terj. M.Labib Ahmad, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003
[1]Taufik
Abdullah, Dkk., Ensiklopedi Tematis Duania Islam : Khilafah, PT Ichtiyar
Baru Van Hoeve, 2003, h.84.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta,
2008, h.83.
[3]Taufiq
Abdullah, Dkk., Ibid., h. 99.
[4] Badri Yatim, Ibid., h 84
[5] Taufiq Abdullah, Dkk., Ibid., h. 84.
[6] Ibid., h.85
[7] Badri Yatim, Ibid., h 83
[8] Didin Saefuddin, Zaman Keemasan Islam : Rekonstruksi
Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah, Grasindo, Jakarta, 2002, h.72.
[9]Ibid.,
h.85
[10] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka
Setia, Bandung,
2008, h.137
[11] Badri Yatim, Ibid.,h.64
[12] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya
; Jilid I, UI Press, Jakarta,
1985, h. 75
[15]Ibid.,
h.85
[16]Ibid.,
h. 111
[17] Ibid., h.114
[18] Phili K.Hiti,History Of The Arabs, PT Serambi
Ilmu Semesta, Jakarta,
2006, h.620
Tidak ada komentar:
Posting Komentar