A. Pendahuluan
Kalau kita menerima pendapat bahwa peperanganlah yang membentuk
berdirinya Dinasti Umayyah, seperti yang banyak dikemukan para sejarawan, maka
kita tidak akan mengetahui mengapa peperangan tersebut mampu memindahkan
kekuasaan Khulafaur Rasyidin menjadi kekuasaan
Umayyah, memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Ada
yang beranggapan bahwa kepribadian Muawiyah berperan besar dalam hal ini, akan
tetapi sejarah tidak melihat bahwa sesorang tidak akan mampu merubah sebuah
Negara dengan kepribadian dan kekuatannya. Kalau hal ini disebabkan karena
kecerdasan Muawiyah maka sebenarnya Ali bin Abi Thalib lebih cerdas
daripadanya
minimal tidak kalah kepandaiannya dengan Muawiyah, dengan demikian kecerdasan
Muawiyah tidak mampu menghilangkan kekuasaan islam hanya karena kecerdasan.[1]
Setting cikal bakal dinasti
ini bermula ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah menggantikan
kedudukan khalifah Usman bin Affan, salah satu kebijakan awal dan Ali adalah
pengambil alihan tanah-tanah dan kekayaan negara yang telah dibagi-bagikan oleh
Usman kepada keluarganya dan memecat gubemur-gubemur dan pejabat pemerintahan
yang diangkat Usman untuk meletakkan jabatannya, namun Muawiyyah Gubernur Syiria
menolak pemecatan itu sekaligus tidak mau membaiat Ali sebagai khalifah dan
bahkan membentuk kelompok yang kuat dan menolak untuk memenuhi
perintah-perintah Ali. Dia berusaha membalas kematian khalifah Usman, atau
kalau tidak dia akan menyerang kedudukan khalifah bersama-sama dengan tentara
Syiria. Desakan Muawiyyah akhirnya tertumpah dalam perang Shifrin[2]
Dalam pertempuran itu hampir-hampir pasukan Muawiyyah dikalahkan pasukan Ali,
tapi berkat siasat penasehat Muawiyyah yaitu Amr bin 'Ash, agar pasukannya
mengangkat mushaf-mushaf Al Qur'an di ujung lembing mereka, pertanda seruan
untuk damai. Bukan saja perang itu berakhir dengan Tahkim Shiffin yang
tidak menguntungkan Ali, tapi akibat itu pula kubu Ali sendiri menjadi terpecah
dua yaitu yang tetap setia kepada Ali disebut Syiah dan yang keluar disebut
Khawarij. Sejak peristiwa itu, Ali tidak lagi menggerakkan pasukannya untuk
menundukkan Muawiyyah tapi menggempur habis orang-orang Khawarij, yang terakhir
terjadi peristiwa Nahrawan pada 09 Shafar 38 H, dimana dari 1800 orang
Khawarij hanya 8 orang yang selamat jiwanya sehingga dari delapan orang itu
menyebar ke Amman, Kannan, Yaman, Sajisman dan ke Jazirah Arab.[3]
Namun begitu, kaum Khawarij selalu berusaha untuk merebut massa Islam dari
pengikut Ali, dan Muawiyyah, sebab mereka yakin bahwa kedua pemimpin itu
merupakan sumber dari pergolakan-pergolakan, mereka bertekad membunuh kedua
pemimpin itu, namun hanya Ali yang terbunuh pada 20 Ramadlan 40 H di Masjid
Kuffah pada saat Ali Shalat Subuh.
Setelah Ali meninggal, rakyat segera membaiat Hasan bin Ali sebagai
Khalifah. Karena melihat banyaknya perselisihan diantara sahabat-sahabatnya dan
melihat pentingnya persahabatan umat, maka Hasan bin Ali melakukan kesepakatan
damai dan menyerahkan kekuasaan pemerintahannya kepada Muawiyyah pada bulan
Rabiul Awal 41 H yang selanjutnya tahun itu disebut Aam Jama'ah atau
tahun jamaah, karena kaum Muslimin sepakat menjadikan satu orang khalifah untuk
menjadi pimpinan mereka yaitu Muawiyyah dari Bani Umayah.[4]
Dalam makalah ini akan dibahas tentang perkembangan Dinasti Umayyah,
mencakup kemajuan yang dicapai terutama dinamika Politik, sosial dan ekonomi,
intelektual dan keagamaan hingga dinasti ini mengalami keruntuhan.
B. Perkembangan dan Kemajuan Dinasti Umayyah.
Terbentuknya Dinasti Umayyah merupakan gambaran awal bahwa umat
Islam ketika itu telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai negara yang
berdaulat, juga merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama
lebih kurang satu abad (661 - 750 M). Perubahan yang dilakukan, tidak hanya
sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi
juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial politik, keagamaan, intelektual
dan peradaban.[5]
l. Dinamika
Politik
Dalam awal perkembangannya, dinasti ini sangat kental diwarnai
nuansa politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah
ke Damaskus[6] Kebijakan itu dimaksudkan
tidak hanya untuk kuatnya eksistensi dinasti yang telah mendapat legitimasi
politik dari masyarakat Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam
negeri yang sering mendapat serangan-serangan dari rival politiknya.
Pemindahan sistem kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah, sebagai
bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan Khalifah yang empat.
dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah menjadi kerajaan
turun menurun (monarch/ heridetis)[7] Penggantian
khalifah secara turun temurun dimulai dari sikap Muawiyyah yang mengangkat
anaknya, Yazid, sebagai putera mahkota. Sikap ini dipengaruhi oleh keadaan
Syiria yang menjadi wilayah kekuasaan selama dia menjadi gubernur dan memang
bermaksud mencontoh monarchi heridetis di Persia dan kekaisaran Bizantium.
Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan masyarakat
secara umum dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga
masyarakat secara garis besar terdiri muslim dan non muslim, dan dalam
memperlakukan orang Islam sebagai
mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus kepada
hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan kreteria
kedua berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya tebih
personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat
keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang non Arab
setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab.
Dengan demikian masyarakt muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri dari dua
kelompok, yaitu Arab dan Mawali.[8]
Dengan tatanan masyarakat yang homogin tersebut, menimbulkan ambisi
penguasa dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,[9]
yaitu membangun bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum muslimin. Usaha-usaha
ke arah itu antara lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab
bagi anak-anak yang lahir di daerah-daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab
bagi penduduk daerah Islam dan bahkan adat istiadat serta sikap hidup mereka
diharuskan menjadi Arab.[10]
Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya
perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi' berhasil
menguasai Tunis yang kemudian didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan
Islam pada tahun 760 M. Di sebelah, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai
ke Lahore di Pakistan. Di sebelah barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan
dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain di Yunani. Pada tahun 48 H,
Muawiyyah merencanakan penyerangan laut dan
darat terhadap Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan dan
kapal perang mereka.[11]
Zaman Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan pasukan
terkemuka sebagai penaduduk yaitu: Qutaybah Sbin Muslim, Muhammad bin al Qasim
dan Musa bin Nashir, ekspansi ke barat dan ke mencapai keberhasilan. Ekspansi
ke barat dilakukan oleh Musa bin Nashir, berhasil menundukkan Aljazair dan
Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq bin Ziyad sebagai wakilnya untuk
memerintah di daerah itu dan melakukan perebutan kekuasaan dalam kerajaan Gotia
Barat di Spanyol untuk ditaklukkan, akhirnya Toledo ibukota Spanyol jatuh ke
tangan pasukan muslim menyusul kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordoua yang
kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam (al Andalus).[12]
Setelah menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil bagian ke
Spanyol dan melanjutkan ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di sebelah tenggara
dari Calica di sebelah barat laut.
Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan Perancis, namun
ada kekhaiwatiran dari Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir yang mungkin akan memproklamirkan
seluruh negara yang ditaklukkan, maka Walid 1 memerintahkan untuk mangakhiri
ekspansinya ke Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke Damaskus. [13]
Di masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur
Khurasan, menjadi wakilnya pada tahun 86 H.Bersama pasukannya, Qutaybah dapat menundukkan
Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha ekspansinya ke Cina di urungkan,
karena delegasinya disuruh kembali kepada pemimpinnya dengan saling tukar
menukar cenderamata, Qutaybah menerima uang dan mencetak materai dengan bantuan
pemuda kerajaan kemudian menjelajahi kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota
Khurasan.[14]
Muhammad bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk menundukkan
India. Pada tahun 89 H, ia menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan Deibul di
muara sungai Indus, kemudian tempat itu diberi nama Mihram. la
memperluas penaklukannya hingga ke Maltan sebelah selatan Punjab dan Brahmanabat.[15]
Dibidang pemerintahan, dinasti membentuk semacam Dewan Sekretaris
Negara (Diwan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang sekretaris yaitu
: Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy Syurtah dan katib
al Qadi.[16] Untuk mengurusi
administrasi pemerintahan daerah di angkat seorang Amir al Umara
(Gubemur Jenderal) yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu wilayah.
Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan,
oleh empat departemen pokok (diwan) yaitu :
a.
Kementerian
Pajak Tanah (diwan al kharraj) yang bertugas mengawasi departemen keuangan
b.
Kementerian
Khatam (diwan al khatam) yang
bertugas merancang dan mengesahkan peraturan/ordonansi pemerintah
c.
Kementerian
surat menyurat (diwan al rasail) dipercaya untuk mengontrol permasalahan
di daerah-daerah dan semua komunikasi
dari gubernur-gubernur Kementerian urusan perpajakan (diwan al mustagallat).[17]
2. Dinamika
Ekonomi
Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu,
menjadikan orang-orang Arab bertempat tinggal di daerah penaklukan dan bahkan menjadi
tuan-tuan tanah.[18] Kepada pemilik tanah
diwajibkan oleh Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah, namun pajak kepala
hanya berlaku kepada penduduk non muslim sehingga mengakibatkan banyaknya
penduduk yang masuk Islam, akibatnya secara ekonomis penghasilan negara
berkurang, namun demikian dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium
Persia beserta wilayah kepunyaan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran
bagi Dinasti ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas negara.[19]
Kebijakan Dinasti di bidang ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk
laiu lintas darat dan laut, lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok
guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian,
sedangkan lalu lintas laut ke arah negeri-negeri belahan untuk mencari
rempah-rempah, bumbu. kasturi, permata, logam mulia, gading dan bulu-buluan.[20]Keadaan
demikian membuat kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas
perdagangan dan pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah
lindungan armada Islam yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus.
Perkembangan perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti
Umayyah.
Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis industri kerajinan
tangan berupa tiraz (semacam bordiran) yakni cap resmi yang dicetak pada
pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan, format tiraz
bertuliskan lafaz"La Ilaaha Ilia Allah". Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi
kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain, dan setiap pabrik
diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit,
menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.[21]
3. Dinamika Sosial
Pada masa Dinasti Umayyah, bangsa Arab mendapatkan posisi
terhormat daiam masyarakat. Pada umumnya, bangsa Arab merupakan tuan tanah
hasil rampasan perang. Adanya dua kelompok masyarakat yang membangun Daulat
Umayyah yakni bangsa Arab dan non-Arab, berpengaruh positif pada motivasi
orang-orang non-Arab untuk memeluk agama Islam. Kebijakan ini juga berpengaruh
pada perkembangan dan perluasan pemakaian bahasa Arab dengan cepat.
Salah satu permasalahan yang pantas disebutkan pada masa
pemerintahan Bani Umayyah adalah munculnya penolakan para sahabat terhadap
sikap Mua'wiyah yang mengubah sistem sukses khalifah dari pemilihan terbuka
menjadi kerajaan yang mewariskan tahta kepada keturunan raja.
Pada dasarnya, sikap penolakan ini merupakan sikap politik para
sahabat yang dipandang mempunyai pengaruh besar terhadap masyarakat Muslim saat
itu. Akibat dari tidak digubrisnya penolakan tersebut oleh khalifah, para
sahabat pun mengambil sikap untuk meninggalkan ibu kota dan memilih
mengasingkan diri ke daerah terpencil.
Meski demikian, dengan bantuan para ulama yang masih memihak
kepada pihak kerajaan, masyarakat menerima keputusan Mua'wiyah yang menetapkan
anaknya sebagai penggantinya sebagai khalifah.
4. Intelektual dan Keagamaan
Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang
digunakan dalam administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun
atas usaha Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al Hajjaj, ia mencoba menjadikan
bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan bahasa resmi di seluruh negeri
sehingga perhatian dan upaya penyempurnaan pengetahuan tentang bahasa Arab
mendorong lahirnya ahli bahasa yaitu Sibawaihi dengan karya tulisnya al Kitab
menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.
Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan
yaitu Yunani Iskandariyah. Antiokia, Harran dan Yunde Sahpur yang semula dikembangkan
oleh imuwan-ilmuwan Yahudi, Nasrani dan Zoroaster Khalifah Khalid bir'i Yazid
bin Muawiyyah yang seorang orator dan berpikiran tajam berupaya menerjemahkan
buku-buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia.
Khalifah Walid bin Abdul Malik memberikan perhatian kepada bimarstan,
yaitu rumah sakit sebagai tempat berobat, perawatan orang sakit dan studi
kedok-teran yang berada di Damaskus, sedangkan khalifah Umar bin Abdul Aziz
menyuruh para ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi, dan
selain itu ia bersahabat dengan ibn Abjar, seorang dokter dan Iskandariah yang
kemudian menjadi dokter pribadinya.[22]
Para ilmuwan yang berasal dari agama lain, meski ada yang beralih agama
kepada Islam dan ada yang masih tetap bertahan dalam agamanya, diantaranya
Yahya al Diamsyqi seorang pejabat di masa Abdul Malik bin Marwan, penganut
Kristen fanatik yang berusaha mempertahankan akidahnya. Dengan metode logikanya
ia mempertahankan "al masih sebagai Tuhan yang ke dua”.[23]
Dari sikap mereka mendorong umat Islam menyelidiki keyakinannya dan mempelajari
logika untuk mempertahankan Islam sekaligus untuk mematahkan hujjah mereka,
kelompok ini kemudian dianggap sebagai golongan rasionalis atau kelompok Mu'tazilah.[24]
Pengaruh lain dan ilmuwan kristen itu adalah penyusunan ilmu
pengetahuan secara sistematis, selain itu berubah pula sistem hafalan dalam
pengajaran kepada sistem tulisan menurut aturan-aturan ilmu pengetahuan yang berlaku.
Pendukung dalam pengembangan ilmu adalah golongan non Arab dan telaahnya pun
sudah meluas sehingga ada spesialisasi ilmu menjadi : ilmu pengetahuan bidang
agama, bidang sejarah, bidang bahasa dan bidang filsafat.[25]
Ilmuwan itu antara lain Sibawaihi, al Farisi, al Zujaj (ahli nahwu), al Zuhpy,
Abu Zubair, Muhammad bin Muslim bin Idris dan Bukhari Musiim (ahli Hadits) dan
Mujahid bin Jabbar (ahli tafsir).
5. Dinamika
lembaga pendidkan dan Ilmu Pengetahuan
Pada periode Dinasti Umayyah belum ada pendidikan formal. Putra
khalifah Bani Umayyah biasanya akan "disekolahkan" ke badiyah, gurun suria,
untuk mempelajari bahasa Arab, dan mendalami puisi. Kesanalah Muawiyah
mengirimkan putranya yang kemudian menjadi penerusnya, yazid. Masyarakat luas
memandang orang yang dapat membaca dan menulis bahasa aslinya, bias menggunakan
busur dan panah, dan pandai berenang sebagai seorang terpelajar. Orang semacam
itu disebut dengan al-kamil, yang sempurna. Setelah masa Abd al-malik, seorang
guru (mu'addib) biasanya seorang mantan budak dan beragama Kristen merupakan
figur penting istana. Guru para putra khalifah ini menerima perintah dan ayah
murid-muridnya," mengajarkan mereka berenang dan membiasakan mereka untuk
tidak banyak tidur.
Masyarakat luas yang hendak memperoleh pendidikan, dalam
pengertian masa itu, akan menggunakan mesjid untuk mempelajari Alquran dan
hadis. Karena itu, guru-guru paling pertama dalam islam adalah para pembaca
alquran (qurra) pada awal 17 HI u 638 M. Khalifah Urnar mengirimkan para
qurra ke berbagai tempat, dan meninstruksikan agar masyarakat belajar kepada
mereka di mesjid setiap hari jumat. Umar II mengutus Yazid abi Habib ke Mesir
sebagai hakim agung, yang diriwayatkan merupakan orang pertama yang menjadi
guru disana.
Pada masa penaklukan arab di asia barat, ilmu pengetahuan Yunani
tidak lagi berjaya, ia lebih merupakan sebuah tradisi yang dilestarikan oleh
para praktisi dan komentator tulisan Yunani atau Suriah. Sebagai salah satu dari
beberapa ilmu yang kemudian banyak berhutang pada penemuan arab, ilmu kimia, seperti
halnya ilmu pengobatan, merupakan salah satu disiplin ilmu yang paling awal
dikembangkan. Khalid putra khalifah umayyah kedua dan seorang filsuf (hakim)
keluarga marwan menurut fihrist (sumber informasi tertua dan terbaik), merupakan
orang islam pertama yang menerjemahkan buku-buku berbahasa Yunani dan ilmu
kimia, kedokteran dan astrologi.
6. Dinamika
Arsitektur
Arsitektur orang arab asli hanyalah yang terdapat di Yarnan.
Menurut ibnu al-faqih menara mesjid Umayyah di Damaskus secara eksplisit mengatakan
bahwa pada mulanya menara itu merupakan menara jam milik katedral Santo Yahya.
Sementara di mesir menurut riwayat menara mesjid mulai diperkenalkan oleh gubernur
Muawiyah yang membangun menara dikeempat sudut mesjid Amr di Fushan.
Selain tempat-tempat ibadah, Dinasti Umayyah hanya meninggalkan
beberapa monument arsitektur. Bangunan yang paling penting di antaranya adalah
istana-istana padang pasir yang didirikan oleh putra mahkota keluarga khalifah.
Di ibukota sendiri, pada saat ini tidak ada yang tersisa dari bangunan megah
Qashar al-khadra, istana raja yang terletak berdampingan dngan mesjid besar juga
tidak ada bekas sama sekali dari kediaaman al-hajjaj di Wasit yang namanya
identik dengan istana khalifah al-qubbah al-khadra.
7.
Dinamika Senirupa dan Musik
Gambaran paling awal dari seni rupa islam adalah lukisan di
Qushayr Amrah yang menampilkan Karya para pelukis Kristen, Pada dinding tempat
peristirahatan dan pemandian al walid I di Transyordania terdapat enam raja. Sementara
perkembangan musik biasa dikatakan bahwa pada masa pra islam, orang arab
memiliki beragam jenis lagu seperti lagu kemenangan, lagu perang, keagamaan dan
cinta jejak-jejak himne keagamaan primitip masih terlihat pada talbiyah ritual
haji.
Orang arab selatan juga memiliki jenis lagu dan instrument musik tersendiri
yang belum banyak kita ketahui, tapi kita masih ragu apakah fenomena itu turut
membentuk sebagian khsanah musik arab utara dan orang arab islam atau tidak.
Masyarakat pra islam di Hijaz menggunakan tambur segi empat dan semling sebagai
alat musik utama. Ada juga alat musik tiup dari kayu yang disebut naya (seruling
tiup vertical) yang berasal dari Persia. Pada dinasti Umayyah kebebasan seni
musik dengan alunan lagu dan nada-nada membuat para ulama berkali-kali
mengemukakan keberatan dengan menganalogikan musik dan lagu dengan minuman arak
dan brtaruh yang merupakan kesenangan yang terlarang. Mereka mengutip hadsi
Nabi yang menempatkan hura-hara itu sebagai sarana paling ampuh bagi iblis
untuk menyesatkan manusia. Pada masa Umayyah ini juga para seniman
diagung-agungkan dan dijunjung tinggi oleh masyarakat sehingga pengaruh mereka
tidak bias diredam hanya oleh serangan vebal.
C. Prestasi Dinasti Umayyah
1. Bidang Fisik
Dalam pembangunan fisik, pada Diansti Umayyah telah didirikan
pos-pos yang pada pemerintahan sebelumnya tidak ditemukan. Lebih lengkapnya,
dapat dikatakan bahwa beberapa prestasi Dinasti Umayyah dalam pembangunan fisik
adalah sebagai berikut:
1.
Membangun
pos-pos serta menyediakan kelenokapan peralatannya.
2.
Membangun
jalan raya.
3.
Mencetak
mata uang.
4.
Membangun
panti asuhan.
5.
Membangun
gedung pemerintahan.
6.
Memblingun
mesjid.
7.
Membangun
rumah sakit..
8.
Membangun
sekolah studi kedokteran.[26]
2. Perluasan
Wilayah Kekuasaan.
Dalam hal perluasan wilayah, Dinasti Umayyah menjaiankan ekspansi
sebagai berikut:
1.
Menguasai
Tunis pada tahun 760 M di bawah pimpinan Uqbah bin Nafi'.
- Menguasai Khurasan hingga
Lahore di sebelah Timur.
- Menguasai Bizantium.
- Menguasai Rhodes dan
pulau-pulau kecil lainnya di Yunani.
- Di sebelah Barat, Dinasti
Umayyah berhasil menaklukkan Aljazair dan Maroko.
- Selanjutnya, Dinasti Umayyah
berhasil menaklukkan Andalusia yakni Toledo, Sevilla, Malaga, Elvira dan
Cordova.
- Penaklukkan yang sama
berlanjut hingga ke Cadiz dan Calica.
- Menaklukkan Baikh, Bukhara,
Khawarizm, Farghana dan Samarqand.
- Menaklukkan India, hingga ke
Brahmanabat.[27]
D. Kemunduran
dan Kehancuran Dinasti Umayyah
Dinasti
yeng didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sofyan ini, dari beberapa khalifah yang
memegang kekuasaan, hanya beberapa orang saja yang dianggap berhasil dalam
menjalankan roda pemerintahannya antara lain : Muawiyyah bin Abu Sofyan, Abdul
Malik bin Marwan, al Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin
Abdul Maiik, selain mereKa itu merupakan khalifah yang lemah. Dinasti ini
mencapai puncaknya pada masa al Walid I bin Abdul Malik dan kemudian akhirnya
menurun dan kekuasaan mereka direbut oleh Bani Abbasiyah pada tahun 750 M.[28]
Diantara
faktor penyebab keruntuhan Dinasti Umayyah ini, menurut Hasan Ibrahim Hasan
adalah :
1. Pengkatan
Dua Putera Mahkota
Perubahan sistero kekuasaan, dari sistem demokrasi kepada monarchi
yang dirintis Muawiyyah bin Abu Sofyan, berakibat pada tumbuhnya bibit permusuhan
dan persaingan diantara sesama anogota keluarga dinasti dan ditambah dengan
langkah pengangkatan dua putera mahkota yang diberi mandat, agar putera mahkota
yang kedua sebagai pelanjut sesudah yang pertama, hal itu dilakukan khalifah
Marwan bin al Hakim dengan mengangkat Abdul Malik bin Marwan dan Abdul Aziz,
berikutnya adalah Abdul Malik mengikuti jejak mendiang ayahnya dengan
mengangkat puteranya, yatu al Walid dan Sulaiman. Langkah ini tidak hanya
menjadi permusuhan dan persaingan diantara sesama anggota keluarga tetapi juga
merembet masuk di lingkungan para panglima dan pejabat.[29]
2. Munculnya
Fanatisme Suku
Setelah Yazid bin Muawiyyah meninggal, fanatisme suku menyebar di
tengah-tengah kabilah Arab namun belum sampai membahayakan kekuatan Bani Umayyah
dari rongrongan kakuatan lain yang menginginkan kehancurannya sebagai pemegang
supremasi politik umat Islam.
Kondisi tersebut masih dapat dikendalikan terlebih dengan tampilnya
Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah, ia seorang yang saleh dan adil. Dalam
masa pemerintahannya diisi dengan memperbaiki kerusakan yang dilakukan oleh
para khalifah Bani Umayyah sebelumnya, sehingga legalitas kepemimpinannya
diakui dan diterima oleh semua pihak yang tidak mengakui pemerintahan Bani
Umayyah. la terbebas dari fanatisme suku, karena ia tidak mengangkat seorang
menjadi gubernur melainkan berdasarkan kecakapan dan keadilan yang dimiliki oleh
yang bersangkutan.[30]
Namun ketika Umar bin Abdul Aziz wafat, dan kekhalifahan dipegang
Yazid bin Abdul Malik, saat itu fitnah dan perselisihan diantara bangsa Arab
utara (Arab Mudhar) /suku Qais dengan Arab selatan (Arab Yaman) /bani Kalb memanas, yang kemudian terjadi
perang Murj Rahith,[31] yang mengkibatkan
terbunuhnya al Mulahhab bin Abu Shufrah dari Arab Yaman, ia seorang yang telah
mengabdi seluruh hidup dan potensinya pada Bani Umayyah, yaitu pembelaannya
dalam perang al Azariqah menghadapi kaum khawarij, berjuang memerangi penduduk
Khurasan dan al Khazar serta orang-orang Turki. Sepeninggal al Mulahhab,
tampillah puteranya yang menjadi perhatian dan tumpuhan pihak Arab Yamani untuk
merongrong kedaulatan Dinasti Umayyah. Namun demikian Bani Umayyah sekali waktu
berpihak kepada Arab Qais dan dilain waktu kepada Arab Yaman.
Fanatisme suku dapat dilihat ketika Yazid bin Abdul Malik
mengangkat saudaranya yaitu Maslamah sebagai gubernur wilayah setelah mereka
berjasa menumbangkan pemberontakan putera al Mulahhab, dan juga mengangkat Umar
bin Kubairah yang berasal dari suku Qais.
Ketika Yazid wafat dan saudaranya yaitu Hisyam naik tahta maka
khalifah baru menilai bahwa posisi orang-orang Qais dalam pemerintahan sudah
terlalu kuat, dan hal ini, menurut Hisyam adalah membahayakan kelangsungan
pemerintahan Bani Umayyah, kemudian ia mengambil tindakan dengan cara
mengenyahkan orang-orang Qais dari kekuasaan dan balik berpihak kepada unsur
Yamani, ini dimaksudkan agar kadua unsur tersebut berimbang.[32]
Untuk itu ia mengangkat Khalid bin Abdullah al Qasari sebagai gubernur Irak,
dan juga mengangkat saudara Khaiid yaitu Asad sebagai gubernur Khurasan. Dengan
demikian kekuatan unsur Yamani kembali berperan dan kekuatan unsur Qaisi
melemah, kemudian orang-orang dan unsur Yamani berkesempatan menumpahkan balas
dendam mereka kepada orang-orang dari unsur Qaisi.
Demikianlah fanatisme suku yang telah mencabik-cabik Dinasti
Umayyah. sehingga negara menjadi ajang bagi tumbuhnya beragam fitnah dan
kerusuhan dan kemudian keruntuhan dinasti ini teriadi.
3. Terlena Dalam Kemewahan
Pola hidup sebagian khalifah Dinasti Umayyah yang sangat mewah dan
senang berfoya-foya sebagai warisan pola hidup para penguasa Bizantium adalah
faktor lain yang telah menanam andil besar bagi keruntuhan dinasti ini. Yazid
bin Muawiyyah adalah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah sangat terkenal
sebagai pengagum berat wanita, memelihara para penyanyi wanita, memelihara
burung buas, singa padang pasir dan seorang pecandu minuman karas.
Prilaku Yazid bin Abdul Malik juga tidak lebih baik dari Yazid bin
Muawiyyah, ia adalah pemuja wanita dan penggemar pesta pora. Begitu pula dengan
puteranya yaitu al Walid, ia seorang khalifah yang sangat senang dengan
kehidupan serba mewah dan terlena dengan romantika asmara.[33]
4. Fanatik Arab
Dinasti Umayyah adalah muni daulat Arab, sehingga ia sangat
fanatik kepada bangsa Arab dan kearabannya. Mereka memandang orang non Arab
(mawali) dengan pandangan sebelah mata, sehingga menimbulkan fitnah diantara
sesama kum Muslimin, disamping itu pula telah membangkitkan nasionalisme di
dalam Isiam. Bibit daripada geraka tersebut adalah anggapan bahwa bangsa Arab
adalah bangsa yang paling utama dan mulia dan bahasa Arab adalah bahasa yang
paling tinggi dibanding dengan yang lain.
Tindakan diskriminatif tersebut telah membangkitkan kebencian kaum
mawali kepada Bani Umayyah, akhirnya sebagai kaum tertindas mereka selalu
mencari waktu yang tepat untuk melampiaskan kebenciannya. Mereka menggabungkan
diri dengan al Mukhtar dan kaum khawarij untuk bersekutu dan ditambah dengan
propagandis kaum abassi untuk memberontak dan menggulingkan Dinasti Umayyah.[34]
Sekutu tersebut melakukan gerakan oposisi terhadap Dinasti Umayyah
dengan pimpinan Muhammad bin Ali dan kemudian dilanjutkan kedua puteranya yaitu
ibrahim dan Abu Abbas yang didukung oleh masyas-akat pendukung Ali di Khurasan.
Di bawah pimpinan panglimanya yang tangkas, yaitu Abu Muslim al Khurasani,
gerakan ini dapat menguasai wilayah demi wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah dan
bahkan dalam partempuran di Zab Hulu sebelah Mosul, Marwan II. khalifah
terakhir Dinasti Umayyah dapat dikalahkan, Marwan II di bunuh di Mesir pada
bulan Agustus 750 M dan berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus.
E. Penutup
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah inilah Selain pemindahan
ibukota pemerintahan dari Madinah ke Damaskus, juga perubahan sistem ketatanegaraan dari sistem
demokrasi ke monarchi, yang ditandai dengan pengangkatan Yazid bin Muawiyyah
menjadi pimpinan pemerintahan sehingga dapat bertahan hingga 90 tahun. Dengan
kebijakan penaklukan wilayah (futuhat) maka kekuasaannya menjadi luas dan
bahkan sampai menyamai dua imperium Persia dan Bizantium, dan selain itu juga
dengan dinamika keagamaan dan intelektualnya sehingga mampu mendorong tokoh ulama
dan intelektual. Namun karena kondisi internal dan ditambah kondisi eksternal
terutama dari rival politiknya yang mengharuskan Dinasti Umayyah ini mengalami
keruntuhan.
Potensi perpecahan antara suku etnis dan kelompok politik yang
tumbuh semakin kuat, menjadi sebab utama terjadinya gejolak politik dan
kekacauan yang mengganggu stabilitas
negara. Keadaan ini semakin runyam ketika mereka dihadapkan pada suksesi
kepemimpinan. Tidak adanya aturan yang pasti dan tegas tentang peralihan
kekuasaan secara turun temurun yang menimbulkan gangguan yang serius di tingkat
Negara. Muawiyah telah mengantisipasi masalah itu dengan menunjuk putranya
sebagai penggati dirinya, tetapi prinsip senioritas kesukuan Arab klasik dalam
persoalan kepemimpinan menjadi ganjalan terbesar yang menghalangi ambisi
seorang ayah yang ingin menyerahkan kedaulatan kepada anaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin,
Ahmad, Dhuha al Islam. Kairo :Maktabah al Nahdah.1972
Al-Isy, Yusuf, Dinasti Umawiyah., terj. Iman Nurhidayat dan
Muhammad Khalil. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2007
Hasyimi,
Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta : Bulan Bintang.1972
Hasan, Ibrahim, Hasan, Sejarah Dan Kebudayaan Islam.terj.Jahdan Ibn Human. Yogyakarta
: Kota Kembang. 1995
K. Hitti, Philip, Dunia Arab. terj. Ushuluddin Hutagalung
dan O.D.P Sihombing. Bandung : Sumur Bandung. Tt.
Maryam, Siti (Ed), Sejarah Peradaban Islam Dan Masa Klasik Hingg'a
Modern, Yogyakarta: SPI Adab IAIN Sunan Kalijaga, 2002.
Nasution, Harun, Islam
Ditinjau: Dari Berbagai Aspeknya. I
Jakarta : UI Press. 1978.
Osman, A. Latif, Ringkasan
Sejarah.. Jakarta: Widjaya, 1951.
Sunanto, Musyrifah, Sejarah
islam Klasik. Jakarta : Prenada Media. 2003.
Souyb, Jousouf. Sejarah
Daulat Umayyah. Jakarta: Bulan Bintang. 1977.
Usairi, Ahmad, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Hingga Abad XX. Jakarta : Akbar Media Sarana. 2003.
Watt, Mountgomery. W., Pergolakan Pemikiran politik Islam. Jakarta
: Bennabi Cipta. 1985.
[1]
Yusuf al-Isy. Dinasti Umawiyah, terj. Iman Nurhidayat dan Muhammad Khalil
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2002), h. 158.
[2]
Hasan Ibrahim Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj,
Jahdan Ibn Human (Yogyakarta; Kota Kembang. 1995), h.62
[3] Ahmad al-Usairi. Sejarah Islam Sejak Zaman
Nabi Adam Hingga Abad XX. (Jakarta: Akbar Media Sarana, 2003), h.176.
[4] Ibid. h.177
[5]
Siti Maryam (Ed), Sejarsh Peradaban
Islam Dari Masa Klasik Hsngga Modern, (Yogyakarta: SPI Adab IAIN Sunan
Kalijaga, 2002). h.79
[6]
Ibid.h.79
[7]
Hasan Ibrahim Hasan, sejarah Dan
Kebudayaan Islam, h.63
[8]
W. Montgomary Watt. Pergolakan Pemikiran politik Islam,
(Jakarta,Bennabi Cipta,1985) h.67
[9]
Siti Maryam (Ed) Sejarah Peradaban Islam,
H. 88
[10]
W.Montgomery Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, h.72
[12] Ibid,
h. 84- 58.
[13]
Philip.K.Hitti, Dunia Arab, terj. Ushuluddin Hutagalung dan O.D.P Sihombing
(Bandung Sumur Bandung.tt) h.85
[14]
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari
Berbagai Aspeknya, I, (Jakarta, UI Press, 1978), h.61
[15]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudaan
Islam, h.83
[16]
A. Hasymy. Sejarah Kebudayaan Islam,
(Jakarta, Bulan Bintang, 1975) h.151
[17]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, h.95
[18]
Siti Maryam, Sejarah Peradaban Islam, h.88
[19]
Ibid, h.92
[20]
Ibid, h.91
[21]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Dan
Kebudayaan, h.448
[22]
Hj.Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam
Klasik, (Jakarta, Prenda Media, 2003) h.40
[23]
Ahmad Amin, Dhua al Islam, h.264.
[25]
Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam
Klasik,h.42
[26]
Jousouf Souyb, Sejarah Umayyah (Jakarta
: Bulan Bintang, 1977). H.236
[27]
A.Latif Osman,Ringkasan Sejarah (Jakarta
: Widjaya, 1951), h.99.
[28]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, h.62
[29]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, h.111
[30]
Ibid, h.112
[31]
Ibid.h.114
[32]
Ibid.h.114
[33]
Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah Dan
Kebudayaan Islam, h.121
[34]
Ibid, h.123
Tidak ada komentar:
Posting Komentar