Sabtu, 06 April 2013

ASBAB AL-NUZUL

BAB I

PENDAHULUAN

            Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus mereka imani dan aplikasikan dalam kehidupan mereka agar mereka memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah berlebihan jika selama ini kaum muslimin tidak hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya. Tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga otentitasnya. Upaya itu telah mereka laksanakan sejak Nabi Muhammad Saw masih berada di Mekkah dan belum berhijrah ke Madinah hingga saat ini. Dengan kata lain upaya tersebut telah mereka laksanakan sejak al-Qur’an diturunkan hingga saat ini. Mengenai mengerti asbabun nuzul sangat banyak manfaatnya. Karena itu tidak benar orang-orang mengatakan, bahwa mempelajari dan memahami sebab-sebab turun     al-Qur’an itu tidak berguna, dengan alasan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an itu telah masuk dalam ruang lingkup sejarah. Di antara manfaatnya yang praktis ialah menghilangkan kesulitan dalam memberikan arti  ayat-ayat al-Qur’an.

            Imam al-Wahidi menyatakan; tidak mungkin orang mengerti tafsir suatu ayat, kalau tidak mengetahui ceritera yang berhubungan dengan ayat-ayat itu, tegasnya untuk mengetahui tafsir yang terkandung dalam ayat itu harus mengetahui  sebab sebab ayat itu diturunkan.
            Ulama salaf tatkala terbentur kesulitan dalam memahami ayat, mereka segera kembali berpegang pedoman asbabun nuzulnya. Dengan cara ini hilanglah semua kesulitan yang mereka hadapi dalam mempelajari al-Qur’an tentang “Asbabun Nuzul”.
            Dalam hal ini penulis mencoba menuangkan dalam bentuk makalah yang berjudul “ASBABUN NUZUL” dengan harapan semoga makalah ini dapat menambah keimanan dan keilmuan kita baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amien.

 
BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Al-Qur’an Menurut Bahasa
Al-Qur’an Menurut Bahasa
            Di kalangan para ulama dan pakar bahasa Arab tidak ada kesepakatan tentang ucapan, asal pengambilan dan arti kata al-Qur’an.    Di antara mereka berpendapat bahwa kata al-Qur’an itu harus diucapkan tanpa huruf hamzah. Termasuk mereka yang berpendapat demikian adalah al-Syafi’i   al-Farra   dan al-Asy’ari.   Para pakar lain berpendapat bahwa kata al-Qur’an tersebut harus diucapkan dengan memakai huruf hamzah. Termasuk mereka yang berpendapat seperti ini adalah al-Zajjaj   dan al-Lihyani. 
B.     Definisi Al-Qur’an
            Kalau berkenaan dengan al-Qur’an menurut bahasa, para ulama telah berbeda pendapat, demikian pula sikap mereka dalam memberikan definisinya. Misalnya, Prof. DR. Syekh mahmud Syaitut mendifinisikan al-Qur’an dengan:
اللفظ العربي المنزل على نبينا محمد صلى الله عليه وسلم المنقول إلينا بالتواتر                                             
Artinya:    “Lafaz Arab yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw dan disampaikan kepada kita secara mutawatir.”
            Al-Qur’an juga mengandung sebab-sebab diturunkannya suatu ayat yang dikenal dengan istilah “Asbabun Nuzul”. Tetapi dalam keseluruhan isi al-Qur’an, tidak semuanya ada ayat yang mengandung asbabun nuzul, hanya sebagian ayat saja.
C.     Pengertian Asbab Al-Nuzul
Secara etimologis, asbab al-nuzul ayat itu berarti sebab-sebab turun ayat. alam pengertian sederhana turunnya suatu ayat disebabkan oleh suatu peristiwa, sehingga tanpa adanya peristiwa itu, ayat tersebut itu tidak turun.   Sedangkan menurut Subhi Shalih misalnya menta’rifkan (ma’na) asbab al-nuzul ialah:
ما نزلة الأية او الآيات بسببه متضمنة له أو مجيبة عنه أو مبينة لحكمه زمن وقوعه. 
“Sesuatu yang dengan sebabnyalah turun sesuatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban tentang sebab itu, atau menerangkan hukumnya; pada masa terjadinya peristiwa itu.”
Yakni, sesuatu kejadian yang terjadi di zaman Nabi Saw, atau sesuatu pertanyaan yang dihdapkan kepada Nabi dan turunlah suatu atau beberapa ayat dari Allah Swt yang berhubungan dengan kejadian itu, atau dengan penjawaban pertanyaan itu baik peristiwa itu merupakan pertengkaran, ataupun merupakan kesalahan yang dilakukan maupun merupakan suatu peristiwa atau suatu keinginan yang baik.
Definisi yang dikemukakan ini dan yang diistilahi, menghendaki supaya  ayat-ayat al-Qur’an, dibagi dua:
1.    Ayat yang ada sebab nuzulnya.
2.    Ayat yang tidak ada sebab nuzulnya.
Memang demikianlah ayat-ayat al-Qur’an. Ada yang diturunkan tanpa didahului oleh sesuatu sebab dan ada yang diturunkan sesudah didahului sebab.   Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak semua ayat al-Qur’an diturunkan. Karena timbul suatu peristiwa dan kejadian.   Oleh karena itu, tujuan studi al-Qur’an mencakup beberapa permasalahan yang hendaknya harus dipelajari bukan saja masalah asbabun nuzul. Tetapi juga mempelajari masalah bagaimana cara membaca al-Qur’an, bagaimana tafsirnya dan juga tidak kalah penting masalah nasakh dan mansukh, 
Pembahasan dimensi sejarah. Kisah-kisah al-Qur’an ini tidak dimaksudkan untuk mempelajari makna historis kisah-kisah al-Qur’an. Namun di sini akan mencoba mengungkapkan nilai historis sejarah turunnya suatu ayat.   Ada perselisihan pendapat di antara ulama tafsir, pada ungkapan sahabat: “Turunnya ayat ini dalam kasus begini”. Apakah pengertian ini masuk dalam musnad yakni sesuai bila disebutkan dengan tegas, bahwa turunnya ayat ini berkaitaan erat dengan kasus tersebut.   Jadi masalah mempelajari turunnya suatu ayat bukan hanya dipahami sebagai doktrin normatif semata, tetapi juga harus dapat dikembangkan menjadi konsepsi operatif. 
D.    Latar Belakang Turunnya Ayat
            Di antara sekian banyak aspek yang banyak memberikan peran dalam menggali dan memahami makna-makna ayat al-Qur’an ialah mengetahui sebab turunnya. Oleh karena itu, mengetahui asbabun nuzul menjadi obyek perhatian para ulama. Bahkan segolongan diantara mereka ada yang mengklarifikasikan dalam suatu naskah, seperti Ali Al-Maidienie, guru besar imam Bukhari.
Dari sekian banyak kitab dalam masalah ini, yang paling terkenal ialah: karangan Al-Wahidie, Ibnu Hajar dan As-Sayuthi. Dan As-Sayuthi telah menyusun dalam suatu kitab besar dengan judul “Lubaabun Nuquul fie Asbabin Nuzuul”.
            Boleh dikata, untuk mengetahui secara mendetail tentang aneka corak  ilmu-ilmu al-Qur’an serta pemahamannya, tidak mungkin dicapai tanpa mengetahui asbab al-nuzul seperti pada firman Allah :
Artinya:    “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah”. (Q.S. Al-Baqarah: 115)
Ayat ini kadang kala diartikan, boleh menghadap ke arah mana pun saja selain kiblat. Pengertian ini jelas salah, sebab di antara syarat sahnya sembahyang ialah menghadap kiblat.
Akan tetapi dengan mengetahui sebab-sebab turunnya, akan jelas pengertian ayat ini, di mana ayat ini diturunkan bagi siapa yang sedang di tengah perjalanan dan tidak tahu mana arah kiblat. Maka ia harus berijtihad dan menyelidiki, kemudian sembahyang kemana saja ia menghadap, sahlah shalatnya. Dan tidak diwajibkan kepadanya bersembahyang lagi setelah bersembahyang apabila ternyata salah.

E.     Ilmu Asbabun Nuzul
Allah menjadikan segala sesuatu melalui sebab-musabbab dan menurut  suatu ukuran. Tidak seorang pun manusia lahir dan melihat cahaya kehidupan tanpa melalui sebab-musabbab dan berbagai tahap perkembangan. Tidak sesautu pun terjadi di dalam wujud ini kecuali setelah melewati pendahuluan dan perencanaan. Begitu juga perubahan pada cakrawala pemikiran manusia terjadi setelah melalui persiapan dan pengarahan. Itulah sunnatullah (hukum Allah) yang berlaku bagi semua ciptaan-Nya, “dan engkau tidak akan menemukan perubahan pada sunnatullah” (al-Ahzab, 62).
Tidak ada bukti yang menyingkap kebenaran sunnatullah itu selain sejarah, demikian pula penerapannya dalam kehidupan. Seorang sejarahwan yang berpandangan tajam dan cermat mengambil kesimpulan, dia tidak akan sampai kepada fakta sejarah jika tidak mengetahui sebab-musabbab yang mendorong terjadinya peristiwa.
Tapi tidak hanya sejarah yang menarik kesimpulan dari rentetan peristiwa yang mendahuluinya, tapi juga ilmu alam, ilmu sosial dan kesusastraan pun dalam pemahamanya memerlukan sebab-musabbab yang melahirkannya, di samping tentu saja pengetahuan tentang prinsip-prinsip serta maksud tujuan.

F.      Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah Saw atau dari sahabat. Itu disebutkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat, tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah. Al-Wahidie mengatakan, “Tidak halal berpendapat mengenai asbabun Nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahasnya tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya”. Al-Wahidie telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan “Sekarang setiap orang suka mengada-ngada dan berbuat dusta: ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan acaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat”.
G.    Kisah Nuzulnya Ayat
Menanamkan sebab turunnya ayat dengan kisah nuzulnya ayat, sungguhlah mengisyaratkan kepada dzauq yang tinggi. Sebenarnya, asbabun nuzul tidaklah lain daripada kisah yang dipetik dari kenyataan dan kejadian, baik mengenai peristiwanya, maupun mengenai orang-orangnya. Dan kisah nuzul menimbulkan kegemaran untuk membaca kisah itu di setiap masa dan tempat, serta menghilangkan kejemuan, karena merasakan bahwa kisah-kisah (kejadian-kejadian itu) seolah baru saja terjadi.

H.    Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Beberapa Riwayat Mengenai (Asbabun Nuzul)

Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian, sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut:
1.      Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, atau “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi di antara             riwayat-riwayat itu. Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzulnya.
2.      Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “Ayat ini turun mengenai urusan ini”. Sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat. Contohnya ialah riwayat tentang asbabun nuzul.
“istri-istrimu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”. (Q.S. Al-Baqarah, 2 : 223)
Dari nafi disebutkan “Pada suatu hari aku membaca (istri-istri adalah ibarat tempat kamu bercocok tanam), maka kata Ibnu Umar: “Tahukah engkau mengenai apa ayat ini diturunkan?” Aku menjawab: “Tidak”, ia berkata ayat ini turun mengenai persoalan mendatangi istri dari belakang”.
            Bentuk redaksi riwayat dari Ibnu Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan sebab nuzul. Sementara itu terdapat riwayat yang sangat tegas menyebutkan sebab nuzul yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir dikatakan             orang-orang Yahudi berkata: “Apabila seorang laki-laki mendatangi istrinya dari arah belakang maka anaknya nanti akan bermata juling”, maka turunlah ayat tersebut”.
            Maka Jabir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang asbabun nuzul. Sedangkan ucapan Ibnu Umar, tidaklah demikian. Karena itulah ia dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
             Diriwayatkan oleh Ibnu jarir, Abu Ya’la, Ibnu Mardaweh, Bukhari, Ath-Thabrany dalam Al-Ausath bahwa pada masa Nabi Saw ada seorang laki-laki mendatangi istrinya dari arah belakang, kemudian orang-orang membencinya. Kemudian turunlah ayat 223 surah al-Baqarah. Dari beberapa riwayat tersebut jelaslah terdapat beberapa perbedaan tentang turunnya suatu ayat. Namun apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu riwayat di antaranya itu shahih, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang shahih.
 I. Urgensi mengetahui Asbab al-Nuzul
            Ilmu asbab al-nuzul termasuk diantara ilmu-ilmu penting. Ilmu ini membahas dan menyingkapkan hubungan dan dialektika antara teks (ayat) dan realitas. Diantara hal-hal yang dapat menjadi petunjuk tentang sebab turunnya sebuah ayat ialah jika dimulai dengan ungkapan dialogis, seperti: “mereka bertanya kepadamu (nabi), “katakan kepada mereka” dan lain-lain. Begitu juga bila disebutkan nama pribadi orang seperti zayd (ibn haritsah) dan abu lahab. Masdar f. mas’udi   dalam artikelnya “Relevansi asbab al nuzul bagi pandangan historisis segi-segi tertentu ajaran keagamaan” menyatakan bahwa pengetahuan tentang asbab al nuzul akan membantu seseorang memahami konteks diturunkannya sebuah ayat suci. Konteks itu akan memberi penjelasan tentang implikasi sebuah ayat, dan memberi bahan penafsiran dan pemikiran tentang bagaimana mengaplikasikan ayat tersebut dalam situasi yang berbeda.
            Sumber pengetahuan tentang asbab al nuzul diperoleh dari penuturan para sahabat nabi. Nilai berita itu sendiri sama dengan nilai berita-berita lain yang menyangkut persoalan kuat dan lemah, sahih dan dhaif serta otentik dan palsunya berita itu. Semua ini menjadi bahasan dalam cabang ilmu kritik hadis (ilmu tajrih dan ta’dil). Sebagaimana persoalan hadis pada umumnya, penuturan atau berita tentang suatu sebab turunnya wahyu tertentu juga dapat beranekaragam, sejalan dengan keanekaragaman sumber berita. Maka tidak perlu lagi ditegaskan bahwa informasi-informasi yang ada harus dipilih dengan sikap kritis.
            Sebagai contoh ialah berita tentang firman Allah, “kepunyaan Allah-lah timur dan barat maka kemanapun kamu menghadapkan wajahmu ,disanalah wajah Allah sesungguhnya Allah mahaluas (rahmatnya) dan maha mengetahui” (QS. Al baqoroh: 115). Firman ini turun kepada nabi berkaitan dengan peristiwa yang dialami sekelompok orang beriman yang mengadakan perjalanan dimalam hari. Pagi harinya mereka baru menyadari bahwa semalam mereka shalat dengan menghadap kearah yang salah, tidak ke kiblat. Kemudian mereka bertanya kepada nabi berkenaan dengan apa yang mereka alami. Maka turunlah ayat suci itu, yang menegaskan bahwa kemanapun seseorang menghadapkan wajahnya, sebenarnya ia juga menghadap Tuhan. KarenaTuhan tidak terikat oleh ruang dan waktu sehingga Ia ada di mana-mana “Timur ataupun Barat”. Akan tetapi Karena konteks turunnya ayat itu bersangkutan dengan peristiwa tertentu diatas, tidak berarti dalam melaksanakan shalat seorang muslim dapat menghadap kemanapun ia suka. Ia harus menghadap kiblat yang sah, yaitu arah masjid al haram mekah. Namun, ia dibenarkan menghadap mana saja dalam shalat jika ia tidak tahu arah yang benar, atau karena kondisi tertentu yang tidak mungkin baginya menghadap kearah yang benar.
            Berkaitan dengan hal ini, Masdar F. Mas’udi menyatakan bahwa firman Allah tentang “Timur dan Barat” mempunya kemungkinan implikasi yang luas. Firman itu menyangkut kaum yahudi madinah. Menurut penuturan ibn abi thalhah, ketika nabi -dengan izin Allah- mengubah kiblat dari arah yerussalem kearah mekah, kaum yahudi bertanya-tanya, mengapa ada perubahan yang mengesankan sikap tidak teguh dalam beragama?. Maka firman Allah tersebut bermaksud untuk menampikkan ejekan kaum yahudi dan menegaskan bahwa perkara arah menghadap dalam shalat bukanlah sedemikian prinsipilnya sehingga harus dikaitkan dengan permasalahan nilai keagamaan yang lebih mendalam , seperti keteguhan atau konsistensi (istiqomah) sebagai ukuran kesejatian dan kepalsuan.
            Dalam kitab-kitab ulum Alquran atau ulum al Tafsir, baik yang klasik ataupun yang kontemporer, hampir semua ulama sepakat tentang pentingnya mempelajari dan mengetahui asbab al nuzul dalam rangka memahami atau menafsirkan Alquran. Syaikhul Islam ibn Taimiyah (M.Roem Rowi,2005:10) menyatakan bahwa penguasaan asbab al nuzul merupakan unsur penentu dalam memahami sebuah ayat, karena sesungguhnya pengetahuan tentang "sebab" akan melahirkan tentang "akibat".
Secara lebih terperinci, para ulama menyebutkan beberapa manfaat asbab al nuzul, antara lain :
1. Mengetahui berbagai hikmah yang terkandung dalam pemberlakuan suatu hukum.
2. Menjelaskan al hasr (pembatasan) yang terdapat dalam suatu ayat dengan melihat konteks turunnya.
3. Memudahkan pemahaman dan menguatkan ingatan terhadap kandungan wahyu yang diketahui sebab-sebab kejadiannya
J. Problematika asbab al nuzul
            Asbab al nuzul sebagai suatu peristiwa sejarah tentu memiliki problematika dalam mengungkapkan segala peristiwa dan kejadian dari suatu sebab turunnya ayat Alquran. Tidak semua hadis tentang asbab al nuzul sanadnya muttasil, tetapi ada juga yang sanad periwayatannya terputus, atau kisah-kisahnya kurang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
            Dalam menelaah asbab al nuzul suatu ayat, diperlukan ketelitian dalam rangka mendapatkan data yang akurat dan valid. Ada tiga hal dari asbab al nuzul yang perlu mendapat perhatian, yaitu dari segi redaksi, periwayatan, dan peristiwanya. Ketiga segi inilah yang menjadi problematika asbab al nuzul.
a. Redaksi asbab al nuzul
            Asbab al nuzul diketahui melalui beberapa bentuk susunan redaksi. Bentuk-bentuk redaksi itu akan memberikan penjelasan apakah suatu peristiwa itu merupakan asbab al nuzul atau bukan. Redaksi dari riwayat-riwayat yang shahih tidak selalu berupa nash sharih (pernyataan yang jelas) dalam menerangkan sebab turunnya ayat. Diantara nash ersebut ada yang menggunakan pernyataan yang konkret, dan ada pula yang menggunakan bahasa yang samar, yang kurang jelas maksudnya. Mungkin yang dimaksudkannya adalah sebab turunnya ayat atau hukum yang terkandung dalam ayat tersebut.
            Redaksi yang digunakan para sahabat untuk menunjukkan sebab turunnya Alquran tidak selamanya sama. Redaksi-redaksi itu berupa beberapa bentuk.
      Pertama, redaksi asbab al nuzul berupa ungkapan yang jelas dan tegas, seperti
نزلت هذه الأية كذ                                                                                                                       ا
      Kedua, redaksi asbab al nuzul tidak ditunjukkan dengan lafadz sebab, tetapi dengan menggunakan lafadz fa ta’qibiyah yang masuk kedalam ayat yang dimaksud secara langsung setelah pemaparan suatu peristiwa atau kejadian.
     Ketiga, asbab al nuzul dipahami secara pasti dari konteksnya. Dalam hal ini rosulullah ditanya oleh seseorang, maka ia diberi wahyu dan menjawab pertanyaan itu dengan ayat yang baru diterimanya.
      Keempat, asbab al nuzul tidak disebutkan dengan redaksi sebab secara jelas, tidak dengan menggunakan fa ta’qibiyah yang menunjukkan sebab, dan tidak pula berupa jawaban yang dibangun atas dasar pertanyaan, akan tetapi dengan redaksi
نزلت هذه الأية فى كذا .
Redaksi seperti itu tidak secara definitif menunjukkan sebab, tetapi redaksi itu mengandung dua kemungkinan, yaitu bermakna sebab turunnya (tentang hukum kasus) atau persoalan yang sedang dihadapi.
b. periwayatan asbab al nuzul
            Keterangan dari riwayat-riwayat tentang asbab al nuzul tidak semua bernilai shahih (benar), seperti halnya riwayat-riwayat hadis. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang seksama terhadap keterangan-keterangan (riwayat-riwayat) tentang asbab al nuzul, baik tentang sanad-sanadnya (perowi-perowi) maupun matan- matannya.
            Asbab al nuzul suatu ayat terkadang mengandung beberapa riwayat, maka riwayat manakah yang benar-benar merupakan asbab al nuzul, dalam hal seperti ini dapat dilakukan beberapa cara :
Pertama, satu diantara bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, sedangkan riwayat lain menyebutkan asbab al nuzul suatu ayat dengan tegas, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan asbab al nuzul secara tegas, dan riwayat lain dipandang masuk dalam kandungan hukum ayat.
 Kedua, apabila banyak riwayat tentang asbab al nuzul dan semuanya menegaskan sebab turunnya, tetapi hanya salah satu riwayat saja yang shahih, maka yang menjadi pegangan adalah yang shahih. Disinilah diperlukan penelitian hadis, baik matan maupun sanad. Ketiga, apabila beberapa riwayat itu sama shahih, namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya, seperti kehadiran perowi dalam kisah tersebut, atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih sharih, maka riwayat yang lebih kuat itulah yang didahulukan.
 Keempat, apabila beberapa riwayat asbab al nuzul sama kuat, maka riwayat-riwayat tersebut dipadukan atau dikompromikan bila mungkin, sehingga dinyatakan bahwa ayat tersebut turun sesudah terjadi dua sebab atau lebih, karena jarak waktu diantara sebab-sebab itu berdekatan.
Kelima, riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-sebab tersebut berjauhan, maka hal yang demikian menurut para ulama dianggap sebagai banyaknya sebab dan berulang-ulang turunnya ayat tersebut. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa pendapat yang menyatakan ayat itu turun berulang-ulang tidak dapat diterima. Bahkan menurut Al qattan (1973:91) hal ini tidak mempunyai kridit poin yang positif. Kedua riwayat itu bisa ditarjih atau dikuatkan salah satunya.
c. Peristiwa asbab al nuzul
    a. Interval waktu antara peristiwa dan nuzul ayat
            Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa lama jarak yang memisahkan antara terjadinya peristiwa atau pernyataan dengan turunnya ayat Alquran, sehingga peristiwa tersebut dapat dianggap sebagai asbab al nuzul.
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa jarak antara turunnya ayat dengan peristiwa yang dianggap sebagai asbab al nuzul ayat tidak harus dekat, tetapi boleh berjarak waktu yang cukup lama. Al wahidi berpendapat bahwa surat Al fill turun karena peristiwa terjadinya penyerangan tentara gajah ke ka’bah yang terjadi sekitar 40 tahun lebih sebelum turunnya ayat.
2. Pendapat lain menyatakan bahwa jarak antara peristiwa dengan ayat yang diturunkan harus dekat, sehingga ayat yang turun jauh setelah peristiwa tersebut tidak dapat dipandang sebagai asbab al nuzul ayat. Maka peristiwa serangan tentara gajah bukanlah merupakan asbab al nuzul surat Al fill.
     b. Banyak nuzul dengan satu sebab ( ta’addut al nazil wa asbab wahid)
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. Dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun berkenaan dengan satu peristawa (Al qattan,1973:92). Statemen Al qattan diatas benar apabila yangdimaksud dengan “satu sebab” adalah satu tema asbab al nuzul yang sama, yang kemudian dianggap satu sebab.
c. Beberapa ayat yang turun untuk satu orang
Terkadang seorang sahabat mengalami beberapa peristiwa, yang Alquran turun mengenai peristiwa-peristiwa tersebut. Oleh karena itu, banyak ayat Alquran yang turun mengenai dirinya sesuai dengan banyaknya peristiwa yang terjadi. Misalnya, apa yang diriwayatkan oleh bukhori dalam kitab Al adab Al mufrad (Al qattan,1973:94) dari saad bin abi waqas yang menyatakan bahwa ada empat ayat yang turunberkenaan denganku. Pertama, ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad, lalu Allah menurunkan ayat ke-15 surat Luqman.
وإن جاهداك على أن تشرك بى ما ليس لك به علم فلا تطعهما وصا حبهما فىالدنيا معروفا............الأية (سورة لقمان :15)
“Jika keduanya (ibu bapakmu) memaksa supaya engkau mempersekutukan Aku (Allah) dengan sesuatu yang lain, yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, maka janganlah engkau ikuti keduanya dan bergaullah dengan keduanya di dunia secara ma’ruf (baik) dan turutlah jalan orang yang bertaubat kepada-Ku, kemudian tempat kembalimu kepada-Ku, akan kubawakan kepadamu apa-apa yang telah kamu kerjakan” (QS. Luqman: 15).
Kedua, ketika aku mengambil sebilah pedang dan mengaguminya, maka aku berkata kepada Rosulullah, wahai Rosulullah berikanlah pedang ini kepadaku, maka Allah menurunkan ayat pertama surat Al anfal.
يسلئلو نك عن الأنفال قل الأنفال لله و الرسول........الأية
(سورة الأنفال : 1) “Mereka itu menanyakan kepada engkau tentang harta rampasan perang, katakanlah: harta rampasan perang itu untuk Allah dan rosul, sebab itu takutlah kepada Allah dan perbaikilah urusan diantaramu dan ikutlah Allah dan Rosul-Nya jika kamu orang beriman” (QS. Al anfal : 1).
Ketiga, ketika aku sedang sakit, Rosuluulah mengunjungiku. Aku bertanya kepadanya: wahai Rosuluulah, aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuhnya? Ia menjawab tidak. Aku bertanya lagi bagaimana kalau sepertiganya? Rosuluulah diam. Maka wasiat dengan sepertiga harta itulah yang diperbolehkan   Keempat, ketika aku sedang minum minuman keras (khamr), salah seorang diantara merka memukul hidungku dengan tulang rahang unta, lalu aku datang kepada Rosulullah. Maka Allah menurunkan larangan minum khamr.

 K.Signifikansi asbab al nuzul
            Asbab al nuzul mempunyai peranan penting dalam upaya mengetahui dan memahami maksud suatu ayat dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Asbab al nuzul juga dibutuhkan terutama untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai Alquran ("ideal moral" Alquran) atau sebab berlakunya hukum (ratiolegis). Hampir semua ulama sepakat bahwa asbab al nuzul itu penting dan mendasar untuk menemukan makna dan signifikansi ayat-ayat Alquran. Al wahidi salah seorang ulama yang mengawali penulisan kitab “asbab al nuzul” menyatakan bahwa tidak mungkin bias menafsirkan ayat dan mengetahui maknanya, tanpa mengetahui kisah dan sebab turunnya.
            Namun demikian ada juga yang berpendapat bahwa pengaruh asbab al nuzul terhadap pemahaman Alquran tidak begitu penting. Mereka beralasan, karena tidak seluruh ayat dan surat dalam Alquran memiliki asbab al nuzul. Kalaupun dihitung jumlahnya tidak signifikan. Bahkan Muhammad Syahrur (M.Roem Rowi,2005 :12) berpendapat bahwa Alquran sebenarnya tidak memiliki asbab al nuzul, karena kandungan Alquran sudah terprogram sejak di lauhul mahfud yang tercermin dalam terminologi Al kitab, Al makmun, dan fi Imam mubin. Di samping bahwa Alquran diturunkan dalam satu paket wahyu yang utuh pada bulan Ramadhan, karenanya tidak ada kaitan antara peristiwa quranik yang diceritakan dalam al hadis dengan ayat-ayat tersebut. Sebagaimana firman Allah:
إنا أنزلناه فى ليلة القدر(القدر:1)
“Sesungguhnya kami menurunkannya pada malam qadr”(QS. Al qadr:1)
شهر رمضان الذى انزل فيه القران....(البقرة:185)
“Bulan Ramadhan di dalamnya Alquran diturunkan…..(QS. Al baqarah:185).
            Meskipun asbab al nuzul sangat penting dalam menyingkapkan makna teks, namun mengetahui secara pasti dan meyakinkan sebab-sebab sejumlah besar teks Alquran diturunkan tidak selalu mudah. Sebab, terkadang kita dapatkan banyak riwayat yang melontarkan sejumlah sebab yang berbeda bagi turunnya suatu ayat itu sendiri (ta'addud al asbab wa al nazil wahid), dan terkadang sebab yang sama berkaitan dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud alnazil wa al sabab wahid). Apakah asbab al nuzul itu hanya berkenaan dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat digeneralisasikan. Dikalangan mufassirin terjadi ikhtilaf apakah pelajaran (al 'ibrah) itu bersifat spesifik (bi khusus al sabab) atau umum (bi umum al lafdz). Masalah yang lain adalah dalam hal kebahasaan, kalimat istifham (kalimat Tanya) umpamanya, adalah sekedar suatu kalimat. Namun ia bisa mempunyai pengertian yang lain, seperti taqrir (penegasan), nafi (penafian) dan pengertian-pengertian yang lainnya.
            Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, memang patut dipertanyakan lagi pendapat yang menyatakan bahwa tidak mungkin memahami Alquran tanpa mengetahui tentang asbab al nuzulnya. Sejalan dengan pendapat ini, M. Roem Rowi   (2005:12) berpendapat bahwa pernyataan seperti di atas terkesan memutlakkan posisi asbab al nuzul dalam pemahaman Alquran. Padahal kalau diteliti secara seksama, hanya sebagian kecil saja diantara ayat-ayat Alquran yang tidak bisa dipahami secara akurat kecuali dengan mengetahui sebab turunnya. Adapun sebagian besar lainnya tetap bisa dipahami meskipun tidak memakai asbab al nuzul-nya, baik itu dengan pendekatan kebahasaan dengan sesama ayat, konteks ayat dan cara-cara lainnya.
            Dalam kitab “Asbab al Nuzul” karya Al wahidi jumlah ayat yang memiliki asbab al nuzul sebanyak 715 ayat / 11,46 % dari keseluruhan ayat Alquran. Dalam kitab “Lubab al nuqul fi asbab al nuzul” karya Al suyuti terdapat 711 ayat/ 11,40 %. Sedangkan dalam kitab “Al musnad al shahih min asbab al nuzul” karya Muqbil bin Hadi al wadi’I terdapat 333 ayat/ 5,34 % (M.Roem Rowi,2005:16). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ayat-ayat yang mempunyai asbab al nuzul sangat sedikit dibanding dengan jumlah ayat Alquran secara keseluruhan. Namun jumlah surat yang memiliki asbab al nuzul menurut ketiga ulama tersebut cukup dominan, dari 114 surat-surat Alquran. Jumlah surat yang ayat-ayatnya mempunyai asbab al nuzul sebanyak : 82 surat/ 71,90% (Al wahidi) , 103 surat/ 90,35% (Al suyuti), dan 55 surat/ 48,24% (Muqbil bin Hadi). Namun tetap tidak signifikan, karena yang menjadi ukuran adalah jumlah ayat-ayat yang mempunyai asbab al nuzul.
            Sedangkan jumlah hadis yang membuat asbab al nuzul menurut Al wahidi memuat 885 hadis dari 715 ayat yang dijelaskan, sedangkan as suyuti menyatakan 994 hadis dari 711 ayat. Akan tetapi sebagian hadis-hadis tersebut tidak secara spesifik menceritakan sebab-sebab turunnya sebuah ayat, karena hanya bersifat menjelaskan tentang posisi Makki dan Madani ayat dan sebagian hadis yang lain, lebih tepat diistilahkan dengan: “ Ma ruwiya min al hadis bi sabab al hayah “.Dengan kata lain, tidak semua sahabat menyaksikan turunnya ayat dalam berbagai waktu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, ibn Taimiyah (Nasr Hamid,2003:132) menyadari bahwa kita harus membedakan riwayat-riwayat sahabat antara riwayat yang memastikan sebab turunnya ayat dengan riwayat yang menunjukkan hukumnya (ayat).
            Dari perspektif kuantitatif di atas bisa disimpulkan bahwa sebetulnya dalam memahami ataupun menafsirkan Alquran, faktor pengetahuan asbab al nuzul bukan segala-galanya, apalagi di anggap sebagai sesuatu yang mutlak, yang seakan-akan tidak mungkin bisa memahami Alquran tanpa asbab al nuzul. Atau dengan kata lain bisa dinyatakan bahwa, penggunaan asbab al nuzul hanya diperlukan pada ayat-ayat yang tidak dapat dipahami secara tepat berdasarkan teksnya saja. Diantaranya adalah ayat :
إن الصفا والمروة من شعا ئرالله فمن حج البيت اواعتمر فلا جناح عليه ان يطوف بهما...... (سورة البقرة :158)
" Sesungguhnya shafa dan marwa adalah sebagian dari syiar Allah, maka barangsiapa beribadah haji ke baitullah atau berumah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'I antara keduanya…(QS. Al baqarah: 158).
            Dalam redaksi ayat tersebut terdapat kalimat la junaha (tidak ada dosa besar) yang memberikan pengertian menafikan kewajiban sa'i. kemudian Zubair bertanya kepada kepada Aisyah ra, tentang hal tersebut yang kemudian diterangkan bahwa kalimat la junaha tidak berarti menafikan kewajiban, melainkan berarti menghilangkan perasaan berdosa dan beban dari hati kaum muslimin ketika melaksanakan sa'I antara shafa dan marwa, sebab perbuatan itu termasuk tradisi jahiliyah. Dalam riwayat disebutkan bahwa di daerah shafa terdapat patung yang dinamakan ishaf , dan di atas marwa ada patung lain yang bernama nailah. Jauh sebelum islam datang, ketika orang musyrik mengerjakan sa'i, mereka melakukannya sambil mengusap kedua patung tersebut. Setelah islam datang dan kedua patung itu dihancurkan, kaum muslimin masih merasa keberatan untuk melakukan sa'I, sehingga turunlah ayat tersebut 

BAB III
P E N U T U P
A.     Kesimpulan
Penjelasan di atas merupakan kajian kritis yang bersifat meninjau ulang posisi dan fungsi asbab al nuzul dalam pemahaman Alquran. Mengingat bahwa asbab al nuzul adalah salah satu ilmu-ilmu Alquran yang terpenting. Oleh karena itu para ulama menuangkan masalah asbab al nuzul dalam berbagai karya ilmiah yang kini mewnjadi rujukan para ahli. Jika berbagai data kuantitatif dan analisis di atas dihubungkan dengan persoalan signifikansi pemahaman Alquran, maka memang tidak semua ayat Alquran membutuhkan penjelasan dengan memakai asbab al nuzul. Sehingga dengan demikian maka Alquran akan lebih mudah dipahami dan dipelajari, sesuai ndengan apa yang dijanjikan Allah dalam Alquran. Namun ini sama sekali tidak berarti mengurangi arti penting asbab al nuzul, apalagi dianggap tidak perlu lagi.
Al-Qur’an merupakan mu’jizat terbesar yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantaraan Malikat Jibril As. disampaikan secara mutawatir dan bernilai ibadah bagi yang membacanya baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Al-Qur’an yang memiliki cita-cita para Nabi, dan menguraikan masalah hukum-hukum dan lain-lain ternyata ayat tersebut memiliki kekhasan tersendiri, di antaranya:
a.       Masalah asbabun nuzul ayat yaitu sebab-sebab ayat-ayat al-Qur’an diturunkan.
b.      Adapun asbabun nuzul mempunyai ruang lingkup pembahasan yang berkaitan langsung dengan peristiwa diturunkannya ayat al-Qur’an terutama dalam hubungan peristiwa dan ungkapan kata, baik teks ayat, maupun redaksi ayat.
Asbabun nuzul juga mengungkapkan ilmu tentang turunnya ayat-ayat            al-Qur’an dimana para ulama berpedoman langsung kepada riwayat yang shahih yang berasal dari Nabi Saw atau dari shabat sejak zaman tarikh Islam klasik yang berisikan kisah-kisah nuzulnya ayat mengenai asbabun nuzulnya suatu ayat terkadang para ulama telah terjadi perbedaan pendapat, misalnya:
a.       Apabila bentuk-bentuk redaksi ayat itu tidak tegas, seperti “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini” maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi.
b.      Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, sedang riwayat lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas, dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat.
c.       Para perawi dan kita sekarang dapat membaca dan meneliti keabsahan berita tentang turunnya ayat-ayat al-Qur’an itu, dan dengan demikian dapat memahami al-Qur’an dengan baik. Itulah urgensinya mengetahui asbabun nuzul.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Aththar, Dawud, Dr., Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, Pengantar DR. M. Quraish Shihab, Beirut, Pustaka Hidayah, 1979.
Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Litera Antarnusa, Pustaka Islamiyah, 1973.
Ash-Shabunie, Moh. Ali, Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Surabaya, Al-Ikhlas, 1983.
Ash-Shidieqy, T. M. Hasbi, Prof., Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.
As-Shalih, Subhi, Dr., Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Beirut, Pustaka Firdaus, 1985.
Athaillah, A., Sejarah Al-Qur’an dan Verifikasi Tentang Otentitas Al-Qur’an, Banjarmasin, Antasari Press, 2007.
Bakar, Rohadi Abu, Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), Semarang, Wicaksana, 1986.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Al-Qur’an, 1997.
Hadits Riwayat Bukhari dan lainnya, h. 15.
Hasan, Muhammad Tholhah, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta, Lantabora Press, 2005.
Khalafullah, Muhammad A., Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah Seni, Sastra dan Moralitas dalam Kisah-Kisah Al-Qur’an, Jakarta, Paramadina, 2002.
Mudzhar, M. Atho, Dr., H., Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.
Syafi’i, Rachmat, MA., Prof. DR. H., Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung, Pustaka Setia, 1973
Syaitut, Mahmud, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, h. 14.

1 komentar:

  1. terimakasih sharenya,,
    asbabunnuzul memang bisa menjadi pelengkap dalam upaya memahami kandungan makna dalam Qur'an. saya jadi terinspirasi untuk ukut menulis blog tentang asbabunnuzul. ini sebagian materi yang sudah di publish kompilasi asbabunnuzul

    BalasHapus