A. Pendahuluan
Setiap orang pasti menginginkan kebahagiaan, ketenangan dan kepuasan batin. Salah satu cara untuk memenuhi kepuasan batin adalah dengan bertasawuf. Tasawuf adalah suatu bentuk penghayatan keagamaan esoterik (hanya diketahui dan dimengerti oleh orang-orang tertentu saja) dalam Islam yang bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan. Intinya adalah kesadaran adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan, dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi. Islam sebagai sebuah ajaran keagamaan yang lengkap memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan jenis ini, di samping penghayatan keagamaan yang bersifat eksoterik (yang dapat diketahui oleh setiap orang ) atau disebut juga ilmu lahiriyah. Yang semakna dengan kata "tasawuf' adalah kata "sufisme" dan "mistisme Islam".
Tasawuf pada umumnya memilki lima ciri yang bersifat psikis, moral, dan epistimologi, yaitu; (1) Peningkatan moral, (2) pemenuhan fana' dalam realitas mutlak, (3) pengetahuan intuitif lansung, (4) ketenteraman dan kebahagiaan, dan (5) penggunaan simbol dalam ungkapan.
Untuk menjadi seorang sufi, seseorang harus menempuh tahap latihan rohani tertentu yang terdiri dari beberapa tahapan atau disebut juga maqamat.
Harun Nasution menulis, bahwa nnaqam-maqam yang biasa disebut dalam tasawuf adalah taubat, zuhud, sabar, tawakkal, ridha, Mahabbah, ma’rifah, fana, baqa’ dan ittihad.
Dalam kaitan ini, uraian berikut akan membahas tentang ma'rifat dan Mahabbah, tokoh-tokohnya, sekaligus kosep tasawwuf mengenai dua hal tersebut.
B. Konsep Ma'nfah
Secara literal "ma’rifah" adalah al-'llmu wa al-idrak yang berarti Pengetahuan. s Secara bahasa, para ulama mengartikan ma’rifah itu sebagai ilmu". Semua ilmu disebut ma’rifah dan semua ma’rifah adalah ilmu. Dan setiap orang yang mempunyai ilmu ('alim) tentang Allah berarti orang yang arif dan setiap orang yang arif tentang Allah adalah orang yang alim. Dalam istilah tasawut, ma’rifah adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehinSgga hati sanubari dapat melihat Tuhan.
Dr. Ibrahim Basyuni ketika mengawali paparannya mengenai ma’rifah, ia mengatakan bahwa ma’rifah merupakan batas akhir dari perjalanan besar yang melelahkan. Yaitu kesimpulan perasaan yang jemih yang didapat setelah mereka membersihkan jiwa melalui mujahadah (kesungguhan), dan latihan. Ma’rifah tidak bisa didapat melainkan apabila telah penuh hati dengan cahaya Allah. Menurut Reinold Nicholson, ma’rifah dalam pengertian sufisme adalah genosis pada teosofi helenistik, yakni pengetahuan langsung tentang Tuhan, bertumpukan wahyu atau petunjuk tuhan. Ia bukan hasil atau buah dari proses rohani, tetapi sepenuhnya amat bergantung pada kehendak dan karunia Tuhan yang diberikan-Nya sebagai karunia dari-Nya, yang dia memang sudah menciptakan manusia dengan kapasitas (kemampuan menerimanya). Inilah sinar llahi yang menyirami hati manusia dan melimpahi setiap bagian tubuh dengan berkas cahya yang menyilaukan.
Kedudukan ma’rifah dalam maqamat ahwal merupakan maqam terakhir yang akan dilalui seorang sufi dalam menuju Tuhannya. Keseluruhan maqamat ahwal yang berbeda-beda jumlahnya pada dasarnnya bertujuan untuk mengenal Allah swt.
Orang yang pertama kali mengartikan ma’rifah secara khas agak sulit dilacak narnun kalau kita kembali ke pendefinisian tasawuf, terlihatlah bahwa Ma'ruf al-Karakhi (W. 200. H/815 M) sudah menggunakan term ma’rifah dalarn ungkapannya: "Tasawuf ialah bersikap zuhd dan ma’rifah". Selain al-Karkhi adalah al-Darani (w'. 215 H/830 M) yang juga telah memperbincangkan masalah ma'rifat. Ini dapat dilihat dari ungkapannya: "Tidak seorangpun bersikap asketis terhadap pesona dunia ini, kecuali yang pada kalbunya, oleh Allah diletakkan cahaya yang membuatnya selalu terpesona oleh hal akhirat".
Tokoh pertama yang, menganalisa ma 'rifah secara konsepsional adalah Dzun al-Nun al-Mishri. Nama aslinya adalah Abul Faidh Dzun al-Nun Tsauban bin Ibrahim al-Mishri (155 H-245 H / 859 M). Ayahnya adalah orang Naubi, luar biasa kepandaiannya. Dia-lah satu satun orang yang berilmu pada masanya, bersikap wara’ dan hal serta serta berakhlak. Dzun al-Nun al-Mishri adalah orang yang pertama sekali meletakkan dasar ilmu tasawuf, karena setiap orang mengambil darinya dan dinisbahkan kepadanya. Dia-lah orang yang pertama kali menafsirkan isyarat-isyarat sufi dan membicarakan hal ini di jalan sufi. Pengarang kitab Tazkirah seperti yang dikutip oleh Dr. Ibrahim Basyuni dalam kitabnya, Nas’ah at-Taswwuf al-Islami, pernah mengemukakan ungkapan Dzun al-Nun dalam membicarakan "afir dan ma’rifah” sekitar dua halaman. Dia dikatakan sebagai bapak paham ma’rifah merupakan orang pertama yang membawa paham ma’rifah. Reinold Nicholson mengatakan bahwa ia adalah orang yang membedakan antara ma 'rifah dengan ilmu. Ketika ia ditanya orang tentang perbedaan orang yang alim dengan orang yang arif, dia berkata: "orang yang alim itu ditauladani, sedangkan orang yang arif diminta petunjuknya."
Ketika membicarakan ma’rifah Dzun al-Nun membagi tiga bentuk ma’rifah. yaitu:
a. Ma’rifah tauhid, terdapat pada diri mu'min awam.
Ma’rifah tauhid yaitu pengetahuan awam mengenai keesaan Allah melalui perantara syahadat tanpa disertai dengan logika. Ma’rifah jenis pertama ini dimilki oleh mayoritas orang Islam.
b. Ma’rifah hujjah (alasan) dan uraian berupa pengetahuan yang didapat melalui hasil pembuktian nalar. Ma’rifah jenis ini dimiliki oleh orang khawash.
c. Ma’rifah sifat keesaan Allah, bagi para wali dan kekasih Allah.
Dua bentuk ma’rifah pertama disebut sebagai ilmu (al-llm), sementara bentuk terakhir disebut ma’rifah hakiki yaitu pengetahuan tentang keesaan Tuhan dengan perentaraan hati sanubari. Ma’rifah ini hanya terdapat pada kaum sufi.
Dalam ungkapannya yang lain Dzun-al-Nun mengatakan bahwa ma’rifah hakiki terhadap Allah bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan yang dipercayai semua orang mukmin dan bukan pula ilmu yang berdasarkan pembuktian dan pengamatan para filosof serta mutakallimin, tetapi ini adalah pengetahuan tentang sifat-sifat keesaan Allah yang diperoleh wali-wali Allah tertentu karena mereka adalah orang yang menyaksikan Allah melalui hatinya, sehingga Allah menyingkapkan kepada mereka sesuatu yang tidak diperlihatkan Allah kepada harnba-hambanya yang lain.
Pada bagian yang lain, yaitu ketika Dzun al-Nun ditanya tentang bagaimana ia memperoleh ma 'rifah tersebut, ia menjawab: "Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan, dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tidak akan mengetahui Tuhan."
Hal ini menggarnbarkan bahwa ma’rifah tidak diperoleh begitu saja, tetapi adalah pemberian dari Tuhan. Ma’rifah bukanlah hasil dari pemikiran manusia tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya.
Dzun al-Nun cenderung mengaitkan ma’rifah dengan syar'at. Ini dapat kita lihat ketika ia menjelaskan tanda orang yang arif. Menurutnya, tanda orang yang arif itu ada tiga. Sebagaimana dapat kita lihat dari perkataannya: "Tanda orang yang arif itu ada tiga, yaitu; cahaya ma’rifahnya tidak mengalahkan cahaya wara'nya (kerendahan hatinya), tidak berkeyakinan di dalam batinnya (hati) melepaskan hukum yang zhahir (syari at), banyaknya nikmat Allah kepadanya tidak ia gunakan untuk melanggar tirai yang diharamkan oleh Allah."
Adapun persoalan jalan yang harus ditempuh seseorang untuk sampai kepada ma’rifah secara sistematis belum diketemukan keterangan dari Dzun al-Nun. Namun menurut Imam al-Qusyairi, pokok pembicaraannya tidak terlepas dari empat hal, yakni:
1. Mengikuti wahyu.
2. Menjauhkan diri dari takut berubah dan berpalingnya sesuatu darinya atau disebut juga membenci kekikiran.
3. Menganggap kecil dunia dan berpaling darinya.
4. Mencintai Allah.
Pada tahap pertama sufi harus mentaati syari'at, yaitu Alquran dan hadits. Hal ini sesuai dengan kecenderungan Dzun al-Nun mengaitkan ma’rifah dengan syariat. Kedua, timbulnya rasa takut untuk melakukan kejahatan, sebab semakin banyaknya dosa yang dilakukan, maka manusia semakin terhijab untuk berhubungan dengan Allah. Ketiga, menganggap kecil dunia, harta benda dan kehidupan dunia hanya sebagian kecil saja dari yang sebenarnya. Maka pada tahap ini akan muncul sikap zuhd, qana’ah, sabar dan tawkkal dan lain sebagainya. Keempat, kecintaan kepada Allah bersemi dalam diri seseorang sufi. Di sinilah baru didapat Mahabbah dan ma’rifah. Mahabbad menggambarkan mesranya hubungan seseorang sufi dengan Tuhan. Sedangkan ma’rifah melukiskan hubungan yang erat dalam bentuk pengetahuan dengan hati sanubari.
Selain itu alat untuk memperoleh ma’rifah ada tiga, yaitu: (1) Qalb, yang dapat mengetahui sifat-sifat Allah (2) Ruh, untuk mencintai Allah, dan (3) sirr, alat yang dapat melihat Allah.
Selain Dzun al-Nun, Imam al-Ghazali juga banyak berbicara tentang ma’rifah. Al-Ghazali, nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad, yang karena kedudukan tingginya dalam lslam dia digelari Hujjah al-Islam. Ayahnya, menurut sebagian penulis biografi, bekerja sebagai pemintal wol. Dari latar itulah sufi kita ini terkenal dengan al-Ghazzali (yang memintal wol) dan juga terkenal dengan al-Ghazali (dengan memakai satu huruf "z") dinisbahkan pada suatu kawasan yang disebut Ghazalah. Ia dilahirkan di Thus, kawasan Khurasan, tahun 450 H. atau 451 H. Ia menerima pendidikan mistisnya di rumah seorang sufi sahabat ayahnya, setelah ayahnya meninggal dunia. Pada masa kecilnya ia belajar fiqih kapada Ahmad al-Radzkani di Thus, lalu belajar kepada Imam Abu Nashr al-Isma'ili di Jurjan dan belajar kepada Abu al-Ma'ali al-Juwaini, yaitu salah seorang teolog aliran Asy'ariyah yang bergelar Imam al-Haramain di Nishapur.
Di bawah bimbingan gurunya inilah dia bersungguh-sungguh belajar dan berijtihad sampai benar-benar menguasai mazhab-mazhab, perbedaan pendapatnya, perbantahannya, teologinya, ushul fikihnya, logikanya, dan membaca filsafat dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan itu. Dan dia terus mendapingi gurunya, al-Juwaini, sampai gurunya meninggal dunia tahun 478 H. Dia lalu meninggalkan Nishapur menuju al-Askar, di sana dia bertemu dengan seorang menteri yang terkenal, Nizham al-Mulk dan dia ditawarkan untuk mengajar di perguruannya, yaitu al-Nizhamiyah di Baghdad. Maka al-Ghazali menyambut baik tawaran mengajar itu. Selama kehidupannya al-Ghazali menimba dan mendalami banyak cabang ilmu, dan juga filsafat. Dia mempelajari ilmu-ilmu tersebut, barangkali untuk menghilangkan keraguannya yang muncul sejak ia mengajar. Temyata ilmu-ilmu ini tidak memberinya ketenangan jiwa. Kegelisahan jiwanya malah semakin menggelora sampai membuatnya tertimpa krisis psikis yang kronis, yang diuraikannya dengan menarik dalam karyanya, al-Munqidz min al-Dalal. Di antara ungkapannya adalah,"Lalu keadaan diriku pun kurenungi, dan temyata aku telah tenggelam dalam ikatan-ikatan (yang bercorak duniawi) yang meliputi diriku dari segala sudut. Amal-amalku pun kurenungi, khususnya amalku yang terbaik, yaitu mengajar, dan temyata aku hanya menerima ilmu-ilmu yang sepele dan tidak berguna. Akupun memikirkan niatku dalam mengajar, dan tertyata niatku tidak ikhlas demi Allah. Bahkan hanya didorong keinginan untuk menadapatkan jabatan serta menjadi terkenal.
Akibat keadaan krisis ini, al-Ghazali lalu meninggalkan kedudukannya sebagai guru besar di al-Nizhamiyah dan kemudian hidup menyendiri. Dalam penyendiriannya, ia menggeluti bidang tasawuf, tasawuf yang dipilihnya adalah tasawuf Sunni yang berdasarkan doktrin Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah.
Pembicaraannya dalam bidang tasawutf, khususnya ma’rifah, dia mengatakan bahwa ma’rifah itu adalah al-Nazru ila wajh Allah, atau mengetahui Tuhan dengan mata hati. Ia melihat Tuhan dengan mata hatinya, bukan dengan mata indranya. Oleh karena itu kata al-Ghazali, orang arif atau yang sudah mencapai ma’rifah, tidak lagi menyeru Tuhan dengan kalimat "ya allah", karena ucapan seperti itu menunjukkan pengertian, bahwa Aliah masih berada di belakang tabir, padahal bagi orang arif tabir itu sudah tidak ada, maka tidak pernah lagi saling memanggil. Menurut al-Ghazali inilah maqam tertinggi yang dapat dicapai oleh sufi. la menolak faham ittihad yang dibawa oleh Abu Yazid al-Bustami bahwa tingkatan ma’rifah itu masih bisa dilampaui manusia. Jadi menurut al-Ghazali, bahwa ma’rifah tidak menyebabkan seseorang menjadi padu dan bersatu dengan Tuhan.
Menurut al-Ghazali, jalan menuju ma'rifat antara lain dengan bentuk latihan terhadap jiwa, yaitu menghilangkan sifat-sifat marah, dengki, kikir, riya, sombong, dan sebagainya. Kemudian melalui tingkatan-tingkatan seperti, taubat, zuhud, sabar, tawakkal, juga melalui hal, seperti, syukur, rasa takut, rasa harap, hidup fakir, rendah hati, ikhlas dan sebagainya. Menurut al-Ghazali "sarana ma’rifah seorang sufi adalah kalbu". Kalbu menurutnya bukanlah bagian tubuh yang dikenal terletak bagian kiri pada seorang manusia, tapi adalah percikan rohaniah yang merupakan hakekat realitas manusia. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa kalbu itu bagaikan cermin. Sementara ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin kalbu tidak bening, maka ia tidak dapat memantulkan realitas realitas ilmu. Menurut al-Ghazali lagi, yang membuat cermin kalbu tidak bening adalah hawa nafsu tubuh. Sementara"ketaatan" kepada Allah serta keterpalingan dari tuntutan hawa nafsu itulah yang membuat kalbu berlinang dan cemerlang.
Al-Ghazali membagi arifin (orang yang memperoleh ma’rifah) dengan dasar pengetahuan dan metoda mereka kepada tiga periqgkat. Pertama, orang awam, metoda pengetahuannya adalah peniruan penuh. Kedua, teolog, metoda pengetahuannya adalah pembuktian rasional. Dan peringkatnya mendekati peringkat orang awam Ketiga, orang arif yang sufi. Metoda pengetahuannya adalah penyaksian dengan cahaya yakin.
Ada perbedaan antara makna ma’rifat versi al-Gazali dengan versi Dzunnun al-Misri. Menurut al-Gazali ma’rifat dapat diperoleh dengan latihan dan metode tertentu, karena itu tingkatan ma’rifat seseorang diukur dari latihan dan metodenya. Lain halnya dengan al-Misri, yang mengatakan bahwa ma’rifat merupakan pemberian Allah dan tidak bisa diusahakan. Ma’rifat datang dengan sendirinya ketika hal seseorang telah mencapai keadaannya. Selain itu, al-Gazali menganggap dalam urutan maqamat bahwa ma’rifat mendahului mahabbah, sebaliknya dengan Dzunnun.
Cinta kepada Allah dipandang al-Ghazali sebagai buah pengetahuan, sebab tidak terbayangkan adanya cinta kecuali adanya pengetahuan dan pemahaman (pengenalan), karena seseorang tidak mungkin jatuh cinta kecuali pada sesuatu yang sudah dikenalinya. Dan tidak ada sesuatu yang lebih layak dicintai yang selain Allah. Karena itu, barang siapa mencintai yang selain Allah, atau bukan dinisbahkan karena Allah, hal itu timbul karena kebodohan dan kekurangtahuannya terhadap Allah.
Cinta (al-hubb) adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah merupakan tingkat pengetahuan melalui mata hati, maka Mahabbah adalah perasaan kedekatan denganTuhan melalui cinta. Seluruh jiwanya terisi oleh rasa cinta dan kasih kepada Allah. Rasa cinta dan kasih itu tumbuh kepada pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta tetapi "diri yang dicintai". Oleh karena itu menurut al-Ghazali Mahabbah itu adalah manifestasi dari ma'rifat kepada Tuhan.
Menurut al-Ghazali, seorang arif tidak melihat yang selain Allah serta dia tidak tahu yang selain-Nya. Yang dia tahu dalam wujud ini hanyalah Dia dan kreasi-kreasi-Nya. Dia tidak meiihat sesuatu sebagai kreasi semata malainkan justru dia melihat kreatornya, dan dia mengabaikan kreasi tersebut dengan predikatnya sebagai langit, bumi atau hewan, sebaliknya dia melihat kesemuanya itu dengan predikatnya sebagai kreasi Dzat Yang Maha Esa lagi Maha Benar.
Menurutnya lagi, kelezatan yang tertinggi dan terluhur adalah pengenalan terhadap Allah. Tidak terbayangkan oleh al-Ghazali bagaimana seseorang memilih kelezatan lain, kecuali jika orang tersebut terhalang dari kelezatan mengenal Allah.
C. Konsep Mahabbah
Kata Mahabbah berasal dari kata habb-yahubbu, yang berarti mencintai secara mendalam, kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, yang bertujuan untuk memperoleh kebutuhan y¬ang bersifat material dan spritual seperti cintanya seseorang yang kasmaran kepada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau pekerja kepada pekerjaannya.
Mahabbah menurut bahasa adalah al-lradah yang berarti 'keinginan ' atau kehendak". Al-Qusyairi mendefinisikan Mahabbah sebagai suatu keadaan jiwa yang mulia, di mana Allah swt menyaksikan hambanya dengan rasa cinta, kemudian memberitahukan rasa cintanya kepada hamba tersebut, karena al-Haq disifati sebagai yang menyintai hamba, begitu pula hamba itupun disifati sebagai yang menyintai al-Haq. Menurut al-Junaid (297 H/910 M) menjelaskan bahwa pengertian Mahabbah adalah kecenderungan hati, yang berarti kecenderungan hatinya kepada Allah dan segala milik Allah tanpa ada beban."
Subsatansi mahabbah itu sendiri merupakan kelezatan yang didapatkan oleh seorang hamba. Kelezatan itu dirasakan oleh indera termasuk di dalamnya hati. Ketika sesuatu dicintai dengan sempurna, hal tersebut menunjukkan bahwa sesuatu tersebut telah dikenal dengan baik.
Mahabbah lahir dari rasa rindu terhadap sesuatu. Rasa rindu terhadap sesuatu lahir dari perkenalan yang berkesan dan pengetahuan yang lengkap tentang sesuatu yang dikenal tersebut. Bila seorang mengenal Allah dengan baik maka ia akan merasa rindu. Dari rasa rindunya ini kemudian lahir rasa cinta kepadaNya.
Menurut Harun Nasution, Mahabbah ialah cinta, tegasnya cinta kepada Tuhan. Lebih lanjut beliau ,mengatakan, pengertian yang diberikan kepada Mahabbah antara lain adalah:
1. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepadanya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi. Yang dimaksud dengan yang dikasihi disini ialah Tuhan.
Dari bermacam definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa Mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati, sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang dicintai, tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan bathiniyah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa.
Adapun yang mengembangkan konsep Mahabbah adalah Rabi’ah a-Adawiyah (W. 185 H). Nama lengkapnya adalah Ummu al-Khair Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah al-Qisiyyah. Informasi tentang biografinya begitu sedikit, dan sebagiannya bercorak mitos. Ia lahir di Bashrah, lalu hidup sebagai hamba-sahaya keluarga 'Atik. Dia-lah yang merintis aliran asketisisme dalam Islam berdasarkan cinta kepada Allah. Dalam kenyataannya, kepada Rabi'ah al-Adawiyah dirujukkan pemakaian kata cinta dalam kalangan para sufi, di mana sebelumnya jalan ke arah perbincangan tentang cinta belum lagi tersiapkan. Dia tidak hanya yang membuat terkenalnya kata cinta, tapi dia pula yang pertama-tama menganalisa pengertian cinta dan menguraikannya antara cinta yang berdasarkan dengan iklash dan tulus dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah. Di samping hal itu semua Rabi’ah al-Adawiyah juga menguraikan ajaran-ajaran selain cinta. seperti, rasa sedih, rasa takut, rendah hati, taubat, ridha dan lain sebagainya.
Ungkapan-ungkapan cintanya kepada Allah antara lain adalah ketika dia berbicara tentang ibadah kepada Allah. Dia mengatakan bahwa ibadah yang dilakukannya itu bukan karena takut kepada Neraka dan berharap mendapatkan Syurga, tetapi ibadah yang dia lakukan adalah karena cinta. Dapat kita lihat ungkapannya sebagai berikut: “Tidaklah aku beribadah karena takut kepada Neraka Allah dan tidak pula karena aku mengharapkan Syurga-Nya, kalau begitu, maka aku samalah seperti pekerja kasar yang bekerja karena upah saja Tapi aku beribadah karena kecintaan dan rinduku kepadaNya.
Ini menunjukakan karena ketulusan ibadahnya kepada Allah, sehingga ia tidak meminta apapun dalam ibadahnya. Sebab ibadah yang dia lakukan itu karena kecintaan dan rindunya kepada Sang khalik. Lebih lanjut Rabi'ah mengatakan ketika ia bermunajat kepada Allah: “Tuhanku, sekiranya aku beribadah kepadaMu karena takut NerakaMu, biarlah diriku terbakar api Jahannam, sekiranya aku beribadah kepadaMu karena mengharapkan SyurgaMu, jauhkanlah aku daripadanya. Akan tetapi sekiranya aku beribadah kepadaMu hanya semata karena cintaku kepadaMu, janganlah Engkau halangi aku melihat keindahanMu yang abadi ".
Dalam sebuah kesempatan, Rabi’ah berkata:
Aku cinta kepada Mu dengan dua cinta
Cinta asmara dan cinta haq buat Mu
Cinta asmaraku…
Ialah sibukku mengingat Mu
Dan melupakan yang lain
Adapun cinta haq..
Yaitu Engkau singkapkan tabir penutupku
Hingga aku bisa melihatmu
Dalam sya’ir ini terlihat bagaimana Rabi’ah mencintai Allah setelah ia mengenalnya (ma’rifat). Mahabbah kepada Allah dimanifestasikan dalam bentuk dzikir dan melupakan yang lain. Sementara cinta yang lain adalah cinta yang bertujuan untuk mendapatkan kenikmatan terbesar bagi manusia yakni ketika ia bisa melihat Allah swt.
Al-Qusyairi di dalam kitabnya al-Risalah al-Qusairiyah, meriwayatkan bahwa Rabi'ah al-Adawiyah ketika bermunajat, ia mengucapkan doa berikut: "Tuhanku, akan terbakarkah oleh api neraka kalbu yang mencintaiMu?" Tiba-tiba dia mendengar suara: "Kami tidak sama sekali melakukan itu. Janganlah kau buruk sangka kepada Kami."
Menurut Rabi'ah al-Adawiyah, kepatuhannya kepada Allah bukanlah tujuannya. Sebab dia tidak mengharapkan nikmat syurga dan tidak takut azab neraka, tetapi dia mematuhinya karena cinta kepadaNya. Nampaknya bagi Rabi'ah ada dua macam cinta, yaitu cinta yang dapat membahagiakannya dan cinta sebagai hak Allah, Allah muthlak harus dicintai. Dalam bentuk sya'ir, Rabi'ah mengatakan: “Tidakkah aku mencintaiMu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan cinta karena diriMu. Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingatMu. Cinta karena diriMu adalah keadaanMu mengungkapkan tabir hingga engkau kulihat, baik untuk ini maupun untuk itu. Pujian bukanlah untukku Bagi-Mu pujian selamanya.
Abu Thalib al-Makki mengatakan: "Hubb al-Hawa’ (cinta karena diriku) yang diungkapkan oleh Rabi'ah maksudnya adalah “Aku melihat Engkau, maka aku mencintai Engkau dengan penyaksian yang yakin, bukan dari informasi, pendengaran, atau pembenaran dari jalan nikmat dan kebaikan yang Engkau berikan”. Kalau demikian, maka ketika berobah nikmat, maka berobah pulalah perbuatan itu. Akan tetapi kecintaanku dengan jalan mata hati, maka aku akan mendekatkan diriku padaMu, aku menuju kepadaMu. Lalu aku akan menyibukkan diri kepadaMu, dari kelapangan waktu. Adapun Hubb yang kedua adalah hanya milik Allah yaitu cinta yang amat besar, amat agung karena kemuliaan dan keagungannya.
Kemudian ketika ditanya tentang kecintaannya kepada Rasul, dia berkata: Demi Allah aku sangat mencintainya, akan tetapi kecintaanku kepada Khalik mengalahkan kecintaanku kepada Makhluk."
Antara ma’rifah dengan mahabbah sendiri terhadapat hubungan yang kuat sebagai sebab dan akibat. Yang mana yang menjadi sebab bagi lahirnya sesuatu yang lain berbeda-beda menurut masing-masing tokoh yang mengembangkan konsep mahabbah dan ma’rifah. Bagi al-Gazali ma’rifah (mengenal) mengakibatkan lahirnya cinta, sebaliknya menurut Rabi’ah bahwa mahabbah (mengenal) melahirkan ma’rifah seperti yang disiratkan dalam syairnya.
D. Kesimpulan
Tujuan ibadah para sufi pada dasarnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin. Oleh karena itu mereka menempuh dengan berbagai cara pendekatan melalui maqam dan hal yang berupa amalan peribadatan. Adapun tentang jumlah dan urutan maqam dan hal, tidak semua para sufi sepaham. Kadang urutannya setelah maqam al-ridha timbullah maqam al-ma’rifah, al-fana, baqa’ dan seterusnya.
Maqam ma'rifat merupakan manifestasi dari kedekatan dirinya kepada Tuhan Pada waktu itu, sufi telah dekat sekali dengan Tuhan, sehingga dengan hati sanubarinya ia dapat melihat Tuhan, mampu mengetahui segala rahasia ketuhanan dan segala wujud yang ada. Inilah yang dialami oleh sufi besar, Dzun al-Mishri, begitu pula al-Ghazali.
Adapun Mahabbah adalah rasa cinta yang ada di dalam hati seorang hamba. Hatinya penuh dengan rasa cinta, sehingga tak terdapat lagi tempat di dalamnya rasa benci kepada apa dan siapapun. Ibadah yang dilakukann,va bukan karena takut akan neraka dan bukan pula berharap untuk mendapatkan surga, tetapi ibadah yang diiakukannva berdasarkan atas nama cinta. Inilah yang terjadi pada seorang sufi wanita, Rabi ah al-Adawiyah.
Daftar Pustaka
Arifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M. Surabaya: Terbit Terang, 2001.
Basyuni, Ibrahim. Nas’at at-Tasawwuf al-Islami. Mesir- Dar al-Ma arif, t.t.
Hamas, Abd al-Qawuf. al-Falsafah as-Sufiyah fi al-Islam . t.tp, t.t.
Hujairi, The Kasyf al-Mahjub: The Oldest Persian Treative on Sufisme, terj. Bandung: Mizan, 1992.
Ma'luf, Louis. al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Darul Masyriq, 1977.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Naisabury, Al-Qusyairi. al-Risalah al-Qisairiyah fi Ilm at-Tasawwuf. (Mesir: Darul Khair, t.t.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1995.
Nicholson, Reinold. The Mistyc of Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 1985.
________________. The Idea of Rasionality in Sufism. Delhi: Karaci al-Adabiyah, 1976.
Said, Usman. Pengantar Ilmu Tasawuf. Medan: IAIN, 1982.
Siregar, Rivay. Tasawwuf Dari Sufisme ke Neo-Sufisme. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 1999.Taftazani, Abu al-Wafa' al-Ghanimi. Madkhal ila al-Tasawwuf al-lslami., terj. Bandung: Pustaka, 1985.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar