A. Pendahuluan
Hadis adalah sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’an, selain sebagai sumber, hadis juga berfungsi sebagai “Bayan al-Qur’an”, berdasarkan hal tersebut, maka kajian tentang hadis memiliki kedudukan yang penting didalam studi ilmu-ilmu sumber dalam islam.
Sejarah mencatat bahwa dari tahun ketahun, sepeniggalnya Rasul Saw, perhatian terhadap hadis terus berkembang. Dimulai dari periwayatan secara lisan, ditulis serta dibukukan, mengisnad, klasifikasi dan susunan dari kitab-kitab hadis. Seiring dengan perkembangan tersebut, muncul pula hadis-hadis palsu, yang melatar belakangi kegiatan pemeliharaan hadis, sehingga sangat perlu dilakukan studi hadis.
Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan tentang studi Hadis. Langkah awal yang akan di bahas mencakup pada pengertian Hadis, berbagai istilah dalam Hadis, awal mula berkembang . Pendekatan dan metodologi yang akan digunakan dalam studi Hadis, ilmu utama dan ilmu bantu dalam studi Hadis, serta referensi klasik dan modern dalam studi Hadis.
B. Pengertian dan Berbagai Istilah Dalam Studi Hadis
Dalam pembahasan mengenai studi Hadis ada beberapa pengertian dan istilah yang trlebih dahulu kita ketahui maksudnya, diantaranya yaitu ;
1. Pengertian Hadis
Secara etimologi kata Hadis atau al-Hadis berarti “al-jadid” ( sesuatu yang baru ) betuk jama’nya adalah “Ahadis” yang lawan katanya “al-qadim” (sesuatu yang lama). Makna hadis secara bahasa, dapat berarti “Qarib” = yang dekat, yang belum lama lagi terjadi, seperti dalam perkataan “Hadisul ahdi bil- Islam” = orang yang baru memeluk agama islam, jama’nya hidas, hudasa’ dan hudus. Ada juga yang bermakna “Khabar” = Warta, yakni, “ma yutahaddasu bihi wa yunqolu”= sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang, sama maknanya dengan “hiddisa” dari makna inilah diambil makna “Hadis Rosulullah’
Allahpun memakai kata “hadis” dengan arti “khabar” dalam firmannya surat Attur ayat 34.
فليأتوا بحديث مثله إن كانوا صديقين
“Maka hendaklah mereka mendatangkan suatu khabar yang sepertinya jika mereka orang yang benar” ) Surat At-Tur 34)
Sedangkan Hadis sebagaimana tinjauan Abdul Baqa’ adalah, “al-Ismu” (kata benda) dari kata “Tahdis” yang berarti “Pembicaraan” yang kemudian didefinisikan sebagai ucapan, perbuatan atau penetapan yang dinisbatkan kepada Nabi Saw.
Sedangkan secara terminologi,ahli Hadis dan ahli Ushul mengalami perbedaan dalam memaparkan pengertian tentang hadis. Ulama hadis dalam mendefinisikan hadis yaitu “ Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Nuhammad Saw, baik berupa perkataan, perbuatan pernyataan ( Taqrir ) dan sifat beliau.”
Definisi diatas mengandung empat unsur, yaitu :
1. Perkataan
2. Perbuatan
3. Pernyataan
4. Sifat atau keadaan Nabi Saw.
Pengertian Hadis menurut Ahli Ushul Fiqih adalah “Segala Perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Saw yang berhubungan dengan Hukum.”
Merujuk kepada pengertian hadis menurut ahli Ushul Fiqih tersebut diatas, tidaklah termasuk hadis segala sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum. Sperti masalah kebiasaan sehari-hari atau adat istiadat.
Dengan demikian ada perbedaan pengertian hadis dikalangan umat islam sendiri, yakni hadis dalam presfektif ahli hadis dan menurut ahli ushul Fiqih. Ini pulalah yang melatar belakangi adanya perbedaan dikalangan umat islam dalam mentauladani Rosulullah Saw. Dimana perbedaan tersebut sangat banyak dijumpai dalam kehidupan masyarakat muslim yang pluralis, sebagai contoh, ada sebagian umat islam yang beranggapan memakai Sorban adalah Sunnah Rosul, Sementara sebagian muslim yang lain beranggapan bahwa memakai sorban itu, hanya sebatas budaya atau tradisi bangsa arab.
B.1. Bentuk-bentuk Hadis.
Seperti telah disebutkan pada pengertian hadis menurut ahli hadis, bahwa hadis itu ada yang berupa perkataan (Qouly), ada yang berupa perbuatan (Fi’li) ada yang berupa ketetapan (Taqriri), dan ada pula yang berupa hasrat (Himmah), kesemuanya itu merupakan macam-macam hadis.
B.1.a. Perkataan (Qouly).
Yang dimaksud dengan perkataan Nabi Muhammad Saw ialah perkataan yang pernah beliau ucapkan dalam berbagai bidang, seperti Hukum, Akhlaq, Aqidah, Pendidikan dan sebagainya. Sebagai contoh perkataan yang mengandung hukum adalah “Amal-amal perbuatan dalam sabda Nabi teresbut adalah kewajiban niat dalam segala Amal perbuatan untuk mendapat pengakuan syah dari syara’.”
Diantara sabda Nabi Saw, yang mendidik manusia manusia agar rela meninggalkan kerja-kerja yang tidak berpaedah demi pembentukan pribadi muslim yang sempurna ialah : “Termasuk hal yng dapat meyempurnakan keislaman seseorang ialah kerelaannya untuk meninggalkan sesuatu yang tidak berguna. ( HR Muslim )
B.1.b. Perbuatan ( Fi’li )
Perbuatan Nabi Muhammad Saw, merupakan penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan Syari’at yang belum jelas cara pekasanaannya, misalnya cara sholat dan menghadap kiblat dalam sholat diatas kendaraan yang sedang berjalan. Hal ini dipraktekkan Rosul dihadapan para sahabat. “Rosulullah Saw pernah Sholat diatas kendaraan dengan menghadap kiblat ,menurut arah kendaraan itu menghadap. Apabila ia hendak sholat fardhu, beliau turun sebentar terus menghadap kiblat.”
Dalam hal perbuatan nabi Saw ini, ada pengecualian. Namun tidak mengurangi ketentuan tentang keseluruhan perbuatan Rosulullah menjadi Nas Syara’ yang harus diikuti dan diteladani oleh seluruh umat islam. Pengecualian yang dimaksud disini adalah bahwa ada beberapa perbuatan Nabi itu hanya khusus untuk beliau.
Diantara pengecualian itu adalah :
- Sebagian tindakan beliau yang ditunjuk oleh suatu dalil yang khas, yang menegaskan bahwa perbuatan itu hanya spesifik buat beliau, misalnya, menikahi wanita lebih dari empat atau kawin tanpa mahar.
- Sebagian tindakkan beliau yang berdasarkan suatu kebijaksanaan semata-mata yang bertalian dengan soal-soal keduniaan seperti soal perdagangan, pertanian dan situasi perang.
- Sebagian perbuatan beliau pribadi sebagai manusia, seperti makan, minum, berpakaian dan lain sebagainya.
B.1.c. Taqrir.
Arti taqrir Nabi, ialah keadaan beliau mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan, atau menyetujui apa yang telah dilakukan atau diperkatakan sahabat didepan beliau. Contoh takrir Muhammad Saw tentang perbuatan sahabat, yang dilakukan dihadapannya adalah tindakan seorang sahabat yang bernama Khalid Bin Walid, dalam sebuah jamuan makan. Ia menyajikan daging biawak dan mempersilakan Nabi Untuk menikmatinya, bersama para undangan, beliau menjawab :
لا، ولكنه ليس فى ارض قومى كلوا فإنه حلال
“Tidak,) berhubung binatang ini tidak terdapat di Negeri kaum saya karena itu ,saya tidak suka memakannya : makanlah, sesungguhnya dia itu halal. (HR Bukhari dan Muslim)
Tindakan khalid dan para sahabat yang manikmati daging biawak tersebut disaksikan oleh Nabi Saw dan beliau tidak mencegah perbuatan para sahabat, adapun keengganan beliau memakannya karena jijik.
B.1.d Himmah.
Yang dimaksud dengan Himmah adalah hasrat atau keinginan Nabi yang belum sempat direalisasikan. Seperti hasrat beliau tidak berpuasa pada tanggal 9 Asyura, Seperti yang diriwayatkan oleh ibnu Abbss : “Dialah Rosulullah berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi Saw, mereka berkata : ya Rasululloh hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang yahudi dan Nasrani, Sahut Rosulullah : Tahun yang akan datang insya’allah aku akan berpuasa tanggal sembilan. (HR. Muslim dan Abu Daud)
Hasrat atau keinginan Rasulullah ini tidak dilaksanakan beliau karena beliau telah wafat sebelum tahun tersebut.
2. Pengertian Sunnah.
Sunnah secara bahasa jalan yang dijalani, terpuji atau tidak. Suatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik, bentuk Jama’nya adalah “Sunan”.
لتتبعن سنن من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حت لو دجلوا حجر الضب لدخلتموه
“sunguh kamu akan mengikuti sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang yang sebelummu, sejengkal-demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingg sekiranya mereka memasuki sarang dlab (sejenis biawak) sungguh kamu memasukinya juga” (HR Muslim)
من سنن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم القيامة. ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة
“ Barang Siapa mengadakan sesuatu Sunnah ( jalan ) yang baik, maka baginya pahala sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakannya hingga hari kiamat. Dan barang siapa mengerjakan suatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat. (HR Bukhari Muslim)
.Sedangkan secar5a terminologi, sunnah adalah segala yang ditinggalkan (diterima) dari Rasul Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir tabiat dan budi pekerti, baik sebelum diangkat menjadi Rasul seperti di gua Hira maupun sesudah kerasulan. Sebagaian Ulama berpendapat bahwa kata Hadis berbeda dengan Sunnah. Kata hadis dipakai untuk menunjukkan segala berita dari Nabi Secara Umum. Sedangkan kata sunnah dipakai untuk menyatakan berita yang bersumber dari Nabi yang berkenaan dengan Hukum Syara’.
3. Pengertian Khabar.
Khabar menurut bahasa berarti An Naba’ (berita) yaitu segala berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Sedangkan menurut terminologi khabar lebih bersifat umum dibanding hadis, yaitu sesuatu yang datang dari Nabi Saw atau orang selain Nabi. Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah suatu berita yang datang selain Nabi, sedangkan hadis adalah berita berita yang bersumber dari Nabi Saw.
C. Asal Mula Studi Hadis dan Perkembangannya.
Berbicara tentang asal mula dan perkembangan hadis tidak terlepas dari awal mula dan tumbuh serta berkembangnya periwayatan hadis itu sendiri. Akan tetapi ilmu-ilmu itu belum terlembaga menjadi satu disiplin ilmu khusus, ia menampakkan dirinya lebih jelas lagi setelah Rosul wafat.
Ketika itu kaum muslimin merasa perlu adanya usaha untuk memperhatikan hadis-hadis Rosul secara lebih serius dan berhati-hati. Untuk tujuan tersebut mulailah usaha-usaha penyaringan dan pemilahan riwayat dilakukan. Maka terpisahkanlah hadis palsu dengan hadis yang benar-benar bersumber dari Nabi Saw.
Namun demikian, bukan berarti mereka melalaikan dan tidak menaruh perhatian pada hadis. Para sahabat memegang hadis sebagai sunnah Rosul. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri, hal ini dilakukan agar tidak terjadi kekeliruan sehingga hadis terpelihara sebagaimana terpeliharanya al-Qur’an. Oleh karena itu para sahabat berusaha memperkuat periwayatan dan penerimaan hadis.
Ketika Nabi Muhammad Saw masih hidup, beliau melarang para sahabat menuliskan apa yang disampaikannya kecuali itu al-Qur’an, ini dikarenakan Nabi khawatir akan tercampur adukan antara hadis dan al-Qur’an, Namun para sahabat tetap menuliskannya. Selain itu satu hal yang menjadi kelebihan orang arab adalah kekuatan ingtannya. Kuatnya ingatan inilah yang kemudian dijadikan salah satu rujukan dalam mengkodifikasikan hadis pada masa-masa selanjutnya.
Selain itu, Allah pun telah menjanjikan akan pemeliharaan al-Qur’an ini, sebagaimana firmannya,
“Sesumgguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an itu dan kami pula yang menjaganaya.” Tentunya ini bukanlah hanya berlaku untuk al-Qur’an saja, tetapi juga berlaku untuk hadis, karena hadis berfungsi sebagai “Bayan al-Qur’an.” Hal ini juga terbukti bahwa sampai hari ini kita dapat menerima hadis-hadis yang disampaikan Nabi Saw pada abad ke-15 abad yang lalu. Meskipun muncul hadis-hadis palsu, tetapi tetap ada usaha dari para ulama’ untuk memisahkannya dari hadis yang Shahih.
Pada masa “khulafaurrasyidin” sikap kehati-hatian ditunjukkan dengan meminta diajukan saksi bagi orang yang akan meriwayatkan hadis. Atau terkadang diuji dengan mengambil sumpahnya. Namun pada masa itu belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadis dalam sebuah kitab sebagaimana halnya al-Qur’an.
Para khalifah juga banyak meriwayatkan hadis, Namun karena perkembangan politik, banyak diantara karya mereka yang terabaikan. Selain itu karya-karya mereka banyak yang tidak dibukukan pada masa itu sehingga sampai sekarang karya mereka seolah-olah tidak ada. Misalnya khalifah Ali Bin Abi Thalib, beliau adalah salah seorang sahabat Nabi yang banyak sekali menerima hadis. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah jarang dijumpai hadis yang diperoleh melalui Ali. Salah satu penyebabnya adalah karena konflik politik antara Ali dan Mu’awiyah yang mengakibatkan terjadinya “Pembunuhan Karakter”
Pada abad ke-2 H, yakni pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kekakhawatiran akan hilangnya Hadis dan bercampurnya dengan Hadis-Hadis palsu mamunculkan inisiatif khalifah untuk membukukan Hadis tersebut. Akan tetapi pada abad ke-2 ini masih bercampur antara Hadis Rasul, fatwa dan tabi’in.
Pada awal abad ke-3 H, Para ahli Hadis mulai berusaha membedakan antara Hadis dengan fatwa sahabat dan tabi’in, dangan disusun kitab musnad yang bersih dengan fatwa-fatwa
Pada pertengahan abad ke-3, maka mulai dibuat kaedah-kaedah dan syarat-syarat untuk menentukan suatu Hadis, apakah ia termasuk Hadis dha’if atau shahih kitab Hadis pada masa ini antara lain shahih al-Bukhari oleh Muhammad bin Ismail al- Bukhari dan shahih Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairis
Pada abad ke-4, ulama mutakhkhirin menyusun kitab Hadis dan kitab-kitab Hadis yang disusun ulama sebelumnya. Usaha yang dilakukan ulama Hadis pada abad ke-5 dan seterusnya lebih ditujukan untuk mangklasifikasikan Hadis dan menghimpun Hadis-Hadis sejenis kandungan atau sifat isinya ke dalam satu kitab Hadis. Disamping itu juga mereka mensyarah dan mengikhtisar Hadis yang telah ada.
D. Pendekatan Pokok dan Metodologi dalam Studi Hadis.
Perhatian umat islam cukup besar terhadap hadis Nabi Saw, sejak masa sahabat mereka berusaha mengumpulkannya semaksimal mungkin dan menyampaikannya kepada orang lain sebagaimana mestinya. Oleh karena itu hadis yang disampaikan tersebut harus benar-benar terjaga keshahihannya.
Dalam studi hadis ada beberapa pendekatan dan metodologi yang ditempuh yakni pendekatan dari segi sanad dan matan. Kedudukan sanad dalam riwayat hadis sangat penting. Apabila sebuah berita dikatakan seseorang sebagai hadis, jika tidak memiliki sanad, maka ulama hadis tidak dapat menerimanya.
Penelitian matan pada dasarnya dapat dilakukan dengan pendekatan dari segi kandungan hadis dengan menggunakan rasio, sejarah dan prinsip=prinsip ajaran islam. Pendekatan sanad dilakukan karena keadaan dan kwalitas sanad merupakan hal yang pertama diperhatikan dan dikaji oleh para ulama’ hadis dalam melakukan penelitian.
E. Ilmu Utama dan Ilmu Bantu dalam Studi Hadis.
Dalam mempelajari ilmu-ilmu hadis kita mengenal berbagai macam ilmu, diantaranya :
E.1. Ilmu Utama Studi Hadis ( Riwayah dan Dirayah )
Kata “Riwayah” berarti “Periwayatan” atau “Cerita”. Secara ternimologi yang dimaksud dengan hadis Riwayah adalah suatu ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan pendewaan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, ikrar dan lain sebagainya. Dengan kata lain Ilmu Hadis Riwayah adalah ilmu tantang hadis itu sendiri, perintis pertama dari hadis riwayah ini adalah Muhammad Bin Shihab az Zuhri, wafat pada tahun 124 H.
Sedangkan Ilmu Dirayah adalah untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi baik syarat-syaratnya dan macam-macam Hadis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya. Dengan kata lian ilmu hadis dirayah merupakan kumpulan kaedah untuk mengetahui dan mengkaji permasalahan sanad dan matan yang berkaitan dengankwalitasnya. Ilmu mulai dirintis dalam garis-garis besar sejak pertengahan abad ke-3. kemudian sekitar abad ke-4 ilmu dibukukan sejajar dengan ilmu-ilmu lain. Ilmu Riwayah dan Diroyah merupakan ilmu utama yang digunakan dalam dalam studi hadis.
E.2. Ilmu Bantu Studi Hadis ( Rijalul Hadis, ‘Ilal al-Hadis, Jarh wa Ta’dil, Gharib al-Hadis, Asbabul Wurud, Nasikh wa Mansukh dan Mukhtalif al Hadis ).
Ilmu “Rijal al-Hadis” yaitu ilmu yang digunakan untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitas mereka sebagai perawi hadis. Ilmu “ ‘Ilal al-Hadis” ilmu yang membahas sebab-sebab tersembunyi yang dapat mencacatkan keshahihan hadis, seperti mengatakan bersambung pada hadis munqathi’, mengatakan “ Marfu’ “ pada hadis “Mauquf” Memasukan hadis kedalam hadis lain dan sebagainya. Ilmu “Jarh wa Ta’dil” yaitu ilmu yang membahas hal ihwal para perawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya. Ilmu “Gharibul Hadis”, yaitu ilmu untuk mengetahui lafaz-lafaz dalam matan hadis yang sulit dipahami karena jarang sekali digunakan. Ilmu “Asbab al-Wurud”, yaitu ilmu pengetahuan yang menjelaskan sebab-sebab lahirnya hadis. Ilmu “Nasikh wa Mansukh” yaitu ilmu yang membahas hadis-hadis yang saling berlawanan maknanya yang tidak dapat dikompromikan dari segi hukum yang terdapat pada sebagiannya, karena ia sebagai nasikh terhadap hukum lain. Karena itu hadis yang mendahuluinya disebut sebagai “Mansukh” dan hadis terakhir sebagai “Nasikh”. Sedangkan Ilmu “Mukhtalif al- Hadis” yaitu ilmu yang membahas hadis-hadis yang menurut lahirnya saling bertentangan, karena adanya kemungkinan dapat dikompromikan.
F. Perkembangan Modern dan Kritik Studi Hadis.
Kritik Hadis telah dilakukan sejak dahulu yakni dengan menyelidiki otentisitas berita yang bersumber dari Nabi Saw, hanya saja keritik yang dilakukan terbatas pada keritik matan saja. Kriteria otentisitas hadis dirumuskan kemudian dengan menetapkan bahwa hadis dikatakan otentik apabila memenuhi empat syarat, yaitu diriwayatkan dengan sanad yang bersambung, Sanad dari orang yang taqwa dan kuat ingatannya, materi hadis tidak berlawanan dengan al-Qur’an dan hadis lain yang lebih unggul kwalitasnya dan tidak mengandung unsur-unsur kecacatan. Persyaratan tersebut yang diterapkan ahli hadis dalam menyeleksi dan mengkeritik hadis sejak abad pertama sampai pada abad 13 H.
Satu hal yang mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan adalah banyaknya diantara para orientalisme yang berlomba-lomba untuk mengkaji islam, salah satunya adalah studi tentang hadis. Yang patut diteladani adalah ketekunan dan keuletan para orientalis meneliti tentang islam. Ada satu hal yang harus diperhatikan bahwa dalam meneliti tentang islam, tujuan mereka tidaklah semata-mata untuk mengetahui atau memperoleh ilmu pengtahuan sekaligus untuk menambah khazanah keilmuan, tetapi sering kali mereka gunakan untuk mencari –cari kelemahan islam. Salah satunya yang dialkukan oleh Goldziher dan Schacht.
Pada tahun 1980 Masehi, dunia penelitian hadis dikejutkan dengan munculnya metode baru dalam keritik hadis, yakni setelah terbitnya buku yang berjudul Muhammadanische Student yang ditulis oleh Ignaz Goldziher dan Joseph Schacth, dimana mereka menolak otentisitas hadis seperti yang telah disebutkan diatas. Ignaz Goldziher dan Joseph Schacth berpendapat bahwa hadis bukan berasal dari Muhammad Saw, melainkan sesuatu yang lahir pada abad pertama dan kedua. Degan kata lain hadis merupakan karya para ulama’ abad pertama dan kedua Hijriyah.
Ulama-ulama kontemporer menyangkal teori ini, mereka adalah as-Sunnah Muhammaduhu fi at-Tasyri’ al-Islam, Muhammad Ajjaj al-Khatib dalam bukunya as-Sunnah Qabla at-Tadwin. Dan Muhammad Mustafa Zami dalam bukunya Studies in Early Hadisth Literature (Referensi klasik dan modern dalam islam).
Pada masa Tabi’in ulama yang pertama kali menetapkan dasar-dasar ilmu hadis adalah Muhammad bin Shihab az-Zuhri, pada perkembangan berikutnya kaedah-kaedah tersebut dikembangkan oleh ulama’ yang muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah. Kemudian lahirlah Ulama’ Mudawwin Hadis , Malik Bin Anas, al-Bukhori, Muslim, Abu Daud, at Tirmidzi, an Nasai dan Ibnu Majah, Namun karya mereka masih dalam bentuk-bentuk risalah.
Dalam sejarah perkembangan hadis, Ulama yang pertama sekali berhasil menyusun ilmu hadis dalam satu disiplin ilmu secara lengkap adalah ulama’ Sunni yang bernama al-Qadi Abu Muhammad al-Haan bin Abdurrahman bin khalad ar-Ramahurmuzi (w.360).
Selain ar-Ramahurmuzi terdapat hakim Abu Abdillah an-Naisaburi dengan kitabnya Ma’rifah Ulum al-Hadis. Disamping kitab klasik dan modern diatas, dapat dijadikan referensi dalam studi hadis diantaranya kitab Ulumu al-Hadis wa Musthalah oleh Subhi as-Shalih, Muhammad Ajjaj al-Khatib dengan kitabnya Ushul al-Hadis : Ulumuhu wa Musthalatuhu, Tadrib ar Rawi fi Syarah Taqrib an-Nawawi oleh as-Suyuti dan lain-lain.
G. Referensi Modern dan Klasik dalam studi Hadis.
Ulama mutakhirin sependapat menetapkan bahwa kitab pokok hadis adalah lima buah yaitu:
1. Shahih al-Bukhari
2. Sahih Muslim
3. Sunan Abu Daud
4. Sunan An-Nasa’i
5. Sunan At-Turmudzy
Kitab yang lima tersebut dinamai “al-Ushul al-Khamsah”. Teatapi sebagian ulama mutaakhirin yaitu Abu Fadhil Ibnu Thahi. Menggolongkan pula kedalam sebuah kitab pokok lagi, sehingga terkenallah dikalangan masyarakat “al-Kutub al-Sittah” (kitab enam), beliau memasukan Sunan Ibnu Majah, menjadik kitab pokok yang keenam.
Sebagian yang lain menetapkan bahwa kitab pokok itu ada enam dan yang keenam adalah “al-Muwaththa’ “. Dan masih ada lagi beberapa kitab yang dianggap oleh mereka yang layak dijadikan kitab yang keenam. Menurut TM Hasbi Ash Sidiqie”al-Muntaqa” yang pali8ng layak menjadi kitab yang keenam.
Shahih al-Bukhari adalah kitab yang mula-mula membukukan hadis-hadis shahih. Kebanyakan ulama hadis telah sepakat menetapkan bahwa “Shaih al-Bukhari” itu adalah seshahih-shahihnya kitab sesudal Alquran. Tegasnya dia pokok pertama kitab dari kitab-kitab pokok hadis, dan Imam Bukhari menyelesaikan kitab shahihnya selama 16 tahun. Kemudian kitab itu terkenal denngan nama “al-Jami’ ash Shahih al-Musnadu min hadisi rasul Saw.
Kitab Hadis yang menjadi pegangan kedua setelah Shahih Bukhari adalah Shahih muslim. Shahih Muslim lebih baik susunannya dari shahih bukhari, sehingga lebih mudah mencari hadis didalamnya. Kemudian kitab hadis yang menjadi pegangan ketiga setelah shahih muslim adalah Sunan An-Nasa’i baru yang berikutnya secara berurutan adalah Sunan Abu Daud, Sunan At-Turmuzy, Suan Ibnu Majah, Sunan Addailamy, al Muntaqa, Musnad Ahmad dan Muwaththa’ Ibnu Malik.
H. Penutup.
Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik perkataan perbuatan, maupun taqrirnya. Banyak istilah yang dipakai untuk makna hadis ini antar lain sunnah, atsar dan khabar. Dalam penggunaan kata-kata ini, sebagian ulama menyamakan maknanya dengan hadis. Namun ada juga ulama yang membedakan maknanya.
Asal mula studi hadis ini telah kelihatan pada masa Khulafaurrasyidin, hal ini nampak pada kehati-hatian para sahabat dalam meriwayatkan Hadis. Kemudian pada masa khalifah Umar Bin Abdul Aziz dimulailah pengkodifikasian hadis, karena ada kekhawatiran ulama pada masa itu hilangnya hadis. Selanjutnya pada Abad ke-3 mulai dibuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan kualitas suatu hadis. Abad ke-4 mulailah disusun kitab-kitab hadis, abad ke-5 dan seterusnya lebih ditujukan
pada pengklasifikasian hadis berdasarkan hadis-hadis yang telah disusun oleh ulama sebelumnya.
Dalam mempelajari hadis, kita tidak dapat terlepas dari mempelajari ilmu-ilmu bantu dalam studi hadis. Ilmu bantu tersebut antara lain Ilmu Riwayah dan Dirayah, sanad, matan, Rijal al-Hadis, ‘Illa al Hadis, Jarh wa Ta’dil, Gharib al-Hadis, Nasikh wa Mansukh dan Mukhtalif al-Hadis.
Daftar Pustaka.
Al-Khatib, Muhammad Ajjaj, “Ushul al-Hadis: Ulumuhu wa Mustholatuhu “ Beirut Dar al-Fikr, 1989.
Rahman, Fathur, “Ikhtisar Mustholahal Hadis”, Bandung Al Ma’arif,1987.
Ranuwijaya, Utang, “Ilmu Hadis”, Jakarta, Gaya Media Pratama, 1998
Rasyid, Daud. “Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan” Jakarta Media : Eka Sarana , 2002.
Ash-shalih, Subhi. “Ulum al-Hadis wa Musthalatuhu” . Beirut Dar Ilmu li al- Malayin, 1977
As- Suyuti, Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar,” Taadrib ar-rawi fi sarhi an Nawawi”, Beirut : Dar al-Fikr 1988.
At-Thahhan, Mahmud, “Taisir Musthalah al-Hadis” Beirut Darul Qur’anul Karim, 1979.
Ya’kub, Ali Musthafa, “Kritik Hadis” Jakarta: Pustaka Firdaus 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar