Sabtu, 02 November 2013

TAFSIR BI AL RA’YI

  
I. Pendahuluan

Pemahaman terhadap ayat Al-Quran melalui penafsirannya sangat lah penting, karena hal tersebut sangat berperan terhadap maju mundurnya umat dan sekaligus      dapat
Mencerminkan perkembangan dan corak pemikiran yang sedang berkembang di tengah masyarakat. Oleh karena itu perkembangan tafsir sering dikaitkan dengan trend perkembangan pemikiran yang tengah terjadi pada umat.
    Tafsir bi al ra’yi, berkembang setelah perkembangannya metode tafsir bi al-ma’tsur metode yang didasarkan pada penafsiran rasul,sahabat dan tabi’in, periode ini disebut dengan periode I Perkembangan Tafsir – yang berakhir sekitar tahun 150 H setelah berakhirnya masa thabi’in. Selanjutnya perkembangan agama islam ke wilayah-wilayah non islam menyebabkan tersebarluaskan teks-teks ajaran islam sehingga tidak menutup kemungkinan beredarnya hadist-hadist palsu di tengah masyarakat, ditambah lagi umat dihadapkan pada persoalan-persoalan baru di tengah masyarakatyang menuntut pemecahan dari al-Quran, padahal sebelumnya masalah tersebut tidak dijumpai pada masa nabi,sahabat,maupun thabi’in. Hal ini mendorong timbulnya usaha penafsiran ayat al-Quran berdasarkan ijtihad yang mulanya masih terbatas pada kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh kosa kata, namun perkembangan masyarakat sebelumnya mendukung bertambahnya peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat al-Quran,

Sehingga akhirnya muncullah berbagai kitab tafsir dengan beragam coraknya, termasuk tafsir bi al-ra’yi di dalamnya,
    Tafsir bi al-ra’yi sering dipergunakan oleh muffasir untuk melegitimasi mudztahabnya sesuai dengan ayat-ayat al-Quran dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan mudztahabnya. Tentu saja hal tersebut menimbulkan perdebatan di kalangan ulama mengenai eksistensi corak tafsir bi al-ra’yi ini di tengah-tengah masyarakat. Maka makalah ini mencoba mengupas tentang legalitas tafsir bi al-ra’yi setelah terlebih dahulu membahas pengertian dan pembagiannya, serta membahas kitab-kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal di bagian akhir.

II. Pengertian Tafsir bi al ra’yi

    Terma ra’yu berasal dari kata ra’aya, yang berarti melihat dengan akal atau pikiran, ra’yu juga dapat diartikan sebagai berikut :
    1. Al-Qiyas, hal ini dikarenakan orang-orang yang sering mempergunakan qiyas disebut: ( أي لر ا حب صا  ), yaitu: orang-orang yang suka menggunakan qiyas ( analogi ) dalam berdalil, karena mereka tidak menemukan nash ( hadits atau atsar ).
    2. Al-Ijtihad, arti inilah yang dimaksudkan dengan istilah ra’yu dalam makalah ini. Oleh karena itu tafsir bi al-ra’yi sering juga sebagai tafsir bi al-ijtihad, atau at tafsir  al-ijtihadi, yaitu penafsiran yang menggunakan ijtihad.
    Para ulama mengajukan beberapa defenisi yang agak berbeda mengenai tafsir bi al-ra’yi, serbagaimana yang dikutip berikut ini:


    Menurut M.Aly As-Shabuni
هوالاجتهاد المعنى على  اصول صحيحۃ وقواعد سليمة  متبعة يجب ا ن ياخذ بها من الخوض فىالتفسيرالکتاب اوالتصدى لبيان معانيه وليس المرادبه مجردالرأي أومجرد الهوى أوتفسيرالقران بحسب مايخطرللانسان من خواطر أوبحسب مايشأ



    “ Tafsir bi al-ra’yi adalah:  Ijtihad yang didasarkan kepada dasar-dasar yang shahih, kaidah yang murni dan tepat, bisa diikuti dan sewajarnya di ambil oleh orang yang hendak mendalami tafsir al-Quran atau mendalami pengertiannya, dan bukan berarti menafsirkan ayat Al-Quran berdasarkan kata hati atau kehendaknya sendiri.”
    Menurut Manna’al-Qaththan:
هومايعتمد فيه المفسر فى بيان المعنى على فهمه الخاص واستنباطه بالرأي المجرد وليس منه الفهم الذى يتفق مع روح الشر يعة و يستند إلى نصو صها


    “Tafsir bi al-ra’yi adalah metode penafsiran yang dipakai oleh muffasir dalam menerangkan makna yang hanya berlandaskan kepada yang khusus dan pengambilannya hanya berdasarkan pada akal saja,dan keterangan tersebut tidak didapati dari pemahaman yang berjiwa syari’ah dan yang berdasarkan kepada nash-nashnya.”
    Dari pengertian yang dikemukakan oleh kedua tokoh di atas memang terlihat perbedaan persepsi mengenai defenisi tafsir bi al ra’yi itu sendiri, yang pertama memberikan kesan positif terhadap tafsir bi al-ra’yi dan menerangkan bahwa tafsir bi al-ra’yi tidak hanya sekedar buah pikir mufassir itu sendiri tetapi juga berdasarkan kriteria-kriteria lain yang harus dipenuhi, sementara pada pendapat kedua memberikan pengertian yang sempit terhadap tafsir bi al-ra’yi, yang memberikan stressing mark pada pemakaian akal semata tanpa memberikan kriteria yang lain.
    Namun bila diteliti lebih jauh dapatlah dipahami bahwa tafsir bi al-ra’yi adalah menafsirkan al-Quran dengan berlandaskan pada pendapat ataupun ijtihad, dan tidak berdasarkan pada apa yang dinuqilkan oleh shahabat ataupun thabi’in, dengan memperhatikan kaidah bahasa arab.
    Perlu dijelaskan bahwa meskipun para mufassir bi al-ra’yi ini melakukan penafsiran berdasarkan pemikiran, namun bukan berarti mereka hanya mengandalkan kemampuan rasio semata, malah mereka dituntut untuk tidak sekedar memahami nilai-nilai yang dikandung al-Quran dan sunnah tetapi juga harus memiliki kualifikasi tersendiri, agar tafsir yang mereka kemukakan bisa diterima kredibilitasnya. Adapun syarat-syarat mufassir bi al-ra’yi ini diantaranya:

1. Memiliki pengetahuan tentang bahasa arab dan seluk beluknya.
2. Menguasai ilmu-ilmu al-Quran.
3. Menguasai ilmu-ilmu yang berhubungan dengan ilmu al-Quran, seperti hadits dan   ushul
    fiqh.
4. Beraqidah yang benar.
5. Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama islam.
6. Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok agama islam.
7. Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang ditafsirkan.
   
    Kriteria-kriteria di atas haruslah dipenuhi oleh para mufassir, agar tidak menimbulkan kekeliruan dalam penafsiran al-Quran.
    Sementara itu Dr.Ali Hasan al-‘Aridh menambahkan mengenai 6 hal yang harus dihindari oleh mufassir bi al-ra’yi yaitu:
1.    memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki oleh Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2.    Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui oleh Allah (otoritas Allah semata)
3.    Menafsirkan disertai hawa nafsu dan sikap ihtihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
4.    Menafsirkan ayat-ayat dengan makna-makna yang tidak dikandungnya.
5.    Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu mazhab, dengan cara menjadikan faham mazhab sebagai dasar, sedangkan penasiran mengikuti paham mazhab tersebut.
6.    Menafsirkan dengan disertai memastikan, bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian, tanpa didukung oleh dalil.

            Selama mufassir bi al-ra’yi memenuhi persyaratan dan menjauhi keenam hal tersebut, dibarengi pula dengan niat dan tujuan yang ikhlas karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dikatakan rasional. Namun bila ia tidak memenuhi kriteria diatas berarti ia telah menyimpang dan oleh karena itu penafsirannya ditolak.
    Di samping persyaratan di atas, tafsir bi al-ra’yi juga harus sesuai dengan tujuan syara’, jauh dari kesesatan dan kebodohan, serta bersandar kepada sesuatu yang wajib dijadikan sandaran, sebagaimana yang dikemukakan olrh as Suyuthi bahwa sandaran yang harus dipedomani tersebut yaitu:
    a.   Naql dari rasulullah, berpegang pada hadits-hadits yang bersumber dari 
Rasulullah saw, dengan ketentuan ia harus waspada terhadap riwayat yang dha’if (lemah) dan maudhu (palsu)


b.  Perkataan sahabat, berpegang pada ucapan sahabat nabi, karena yang mereka    ucapan,menurut peristilahan hadits, hukumnya mutlak marfu’ (shahih atau hasan), khususnya yang berkaitan dengan asbab an nuzul dan hal-hal lain yang tidak dapat dicanpuri oleh ra’yu.
c.   Berpegang pada kaidah bahasa arab, dan harus senantiasa berhati-hati untuk tidak menafsirkan ayat-ayat yang tidak menyimpang dari makna lafadz yang semestinya
Selain ketiga sandaran di atas Subhi as-Shalih juga menambahkan:
    Berpegang teguh pada maksud ayat, dan terjamin kebenarannya menurut aturan dan hukum syara’.
    Dari uraian di atas terlihat jelas kompleksnya kualifikasi yang harus dimiliki oleh para mufassir bi al-ra’yi, sehingga bisa dikatakan bahwa mereka harus memiliki nilai lebih dari mufassir biasa, karena selain harus memiliki keahlian di bidang ilmu tafsir mereka juga harus memiliki daya nalar yang tinggi.

III. Pembagian Tafsir bi al-ra’yi

    Para ulama tafsir mengklasifikasikan tafsir bi al-ra’yi kepada dua yaitu:
1.    Tafsir bi al-ra’yi al mahmud
2.    Tafsir bi al-ra’yi al madzmum


a. Tafsir bi al-ra’yi al mahmud, yaitu suatu penafsiran yang berdasarkan                   al-Quran dan sunnah rasul, sedangkan pelaku atau mufassirnya adalah seorang pakar dalam bahasa arab, baik gaya bahasa, maupun kaidah-kaidah hukum dan ushulnya. Tafsir bi ra’yi al mahmud ini sesuai dengan tujuan syara’, serta jauh dari kejahilan dan kesesatan.
    Adapun mengenai hukumnya, para ulama membolehkan jenis tafsir ini, dengan mengajukan beberapa alasan, diantaranya:
1.    Firman Allah: “ Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Quran, ataukah hati mereka terkunci ?” (Q.S: Muhammad: 24 ) serta ayat-ayat lain yang mengajak untuk mentadabburkan al-Quran.
2.    Do’a Rasulullah terhadap Ibnu Abbas: “ Ya Allah fahamkanlah ia mengenai agama dan pandaikanlah dia dalam ta’wil.” Hadits ini menunjukkan keistimewaan yang dimiliki Ibnu Abbas yang mampu menggunakan ijtihad dalam penafsirannya.
3.    Argumen yang menyatakan bahwa bila tafsir bi al-ra’yi tidak diperbolehkan maka banyak sekali hal-hal yang nantinya tidak mempunyai hukum, karena tidak diperbolehkan berijtihad padahal rasulullah saw menjanjikan bahwa orang yang berijtihad mendapat pahala.
    Tafsir bi al-ra’yi al-mahmud ini dibolehkan karena mufassir menafsirkan ayat dengan memenuhi segala kualifikasi dan sesuai tujuan syar’i ditambah dengan ijtihadnya sendiri. Salah satu contoh penafsiran bi al-ra’yi adalah penafsiran yang dikemukakan oleh Imam al Mahalli dan Imam as Sayuthi dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “ Tafsir jalalain “, mengenai surat al-isra’ ayat 85:

                           ويسأ لو نك عن ا لروح  قل ا لروح من امرربىومااوتيتم من العلم الا قليلا

    Imam Mahalli menafsirkan kata “ ruh “ bahwa sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus (jism al-lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia, maka manusia bisa hidup. Kemudian Imam Suyuthi memberikan penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala. Sebab itu menahan diri dari memberikan defenisinya adalah lebih baik.
    Karena tafsir ini termasuk tafsir bi al-ra’yi yang ringkas maka kedua mufassir tersebut memberikan penjelasan yang singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan ayat tersebut dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.
 
   b. Tafsir bi al ra’yi al madzmum, yaitu: suatu penafsiran dengan tidak disertai ijtihad, tapi disertai hawa nafsu. Menafsirkan ayat-ayat al-Quran sesuai dengan pendapat dan keyakinan mereka, sehingga penafsiran tersebut membawa kepada arah pemikiran yang kosong, ditafsirkan tanpa ilmu hanya menuruti kehendak dengan tidak mengetahui dasar-dasar bahasa dan syari’at.
    Hukumnya adalah haram. Dalil-dalil yang menunjukkan keharamannya cukup banyak, diantaranya:
1.    Firman Allah SAW, di dalam surat al-Isra’:36
ولاتقف ما لييس لك به علم ان إلسمع والبصروالفٶاد كل اولئك كا ن مسئولا

 “ dan janganlah kamu mengikuti aoa yang kamu tidak miliki pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati diminta pertanggung jawabannya.
2.    Hadits Nabi:

من قل فى ان برابة فليتبوأبة فليتبوأمقعده من النار
    )       رواه القرمذى)

   
Adapun contoh penafsiran bi al-ra’yi yang tidak bisa diterima adalah sebagai berikut:
    Penafsiran sebagian orang terhadap QS.55:33:
يمعشرالجن والانس إن استطعتم ان تنفذوامن اقطارالسموت والارض فانفذوالاتففذون إلابسلطان

“Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak menembusnya kecuali dengan kekuatan.”
    Mereka menduga, bahwa ayat di atas mengisyaratkan kemungkinan para scientis mendarat di bulan dan planet-planet lain, sedangkan konteks ayat sebelumnya dan sesudahnya tidak memungkinkan ayat itu diberi pengertian demikian, sebab ayat sebelumnya berbunyi:
   يرسل عليكما شواظ من نار ونحاس فلا تنتصران
“ kepada kamu (jin dan manusia) dilepaskan nyala api dan cairan tembaga, maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri daripadanya.”
    Kedua ayat tersebut sebenarnya berbicara tentang hari kiamat. Oleh karena itu penafsiran seperti di atas sangat jauh dari konteks ayat itu sendiri.


    Penafsiran sebagian orang terhadap QS.104:6-7
نارالله الموﻗﺪﺓ التﯽ  تطلع على الافئدۃ  
“Yaitu api yang disediakan Allah yang dinyalakan, yang (naik) sampai ke hati.”
     Mereka berpendapat, ayat ini menunjukkan macam-macam sinar yang berhasil ditemukan pada abad XX dan mampu mendeteksi bagian tubuh manusia. Terlihat jelas kalau mereka membawa ayat diatas kepada makna yang tidak memungkinkan, padahal bila dihubungkan dengan ayat sebelumnya, maka yang dimaksudkan ayat diatas adalah neraka jahannam pada hari kiamat.
    Penafsiran-penafsiran di atas adalah contoh-contoh penafsiran bi al ra’yi yang haram, Oleh karena penafsiran itu merupakan pemerkosaan terhadap ayat-ayat    al-Quran, dan sangat jauh dari tujuan syar’i.

IV. Pro dan Kontra Seputar Tafsir Bi al-Ra’yi

    Semenjak awal pertumbuhannya corak tafsir bi al-ra’yi ini telah banyak mengundang perdebatan di kalangan ulama mengenai kedudukannya, ada yang melarang dan ada pula yang membolehkannya dengan mengajukan argumen yang berbeda.
1. kelompok yang membolehkan, mengajukan argumen sebagai berikut:
o    Firman Allah dalam surat Shad ayat 29:

کتاب أنزلناه إليك مبارك ليدبروا اياته ليتذكروا اولوا الالباب

Ayat ini jelas-jelas mengajak manusia untuk menggunakan potensi akalnya           agar mau memikirkan apa-apa yang telah diciptakan oleh Allah.
o    Do’a Rasulullah untuk Ibnu Abbas:
ا اللهم فقهه فى الدين وعلمه التأويل
 Doa tersebut menyiratkan besarnya hrapan rasulullah agar ibnu habas memiliki kemampuan berijtihad dalam memahami alQuran.
o    Suatu riwayat yang menyatakan bahwa para sahabat telah melakukan penafsiran terhadap al-Quran, serta ikut serta dalam memberikan penjelasan-penjelasan terhadap ayt-at-ayat yang bukan berasal dari Rasulullah. Dari atsar ini terlihat bahwa Rasulullah membiarkan para sahabat untuk memberi pendapat / ijtihad.
                 
 2.Kelompok yang tidak memperbolehkan tafsir bi al-ra’yi, mengemukakan      argumentasi sebagai berikut:
o    Tafsir dengan ro’yu adalah membuat penafsiran al-Quran dengan tidak berdasarkan ilmu. Karena itu tidak dibenarkan sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 169:
وأن تقولواعلى الله ما لا تعلمون

o    Sebuah hadits tentang ancaman terhadap orang yang menafsirkan dengan ra’yu yaitu sabda rasulullah: ” Berhati-hatilah dalam mengambil haditsku, kecuali kamu benar-benar telah mengetahuinya, siapa yang mendustakannya secara sengaja maka bersedialah ia bertempat di neraka, dan barangsiapa menafsirkan al-Quran menurut pendapatnya, maka hendaklah ia bersedia menempatkan diri di neraka pula. (H.R.Turmudzy)
o    Para sahabat dan thabi’in merasa berdosa bila menafsirkan al-Quran dengan ra’yunya, sehingga Abu Bakar Siddiq mengatakan: “ langit manakah yang akan menaungiku, dan bumi manakah yang akan melindungiku ? Bila aku tafsirkan       al-Quran menurut ra’yuku atau aku katakan tentangnya sedang aku sendiri belum mengetahui betul. 

        Melihat argumen yang ada sebenarnya kedua pihak sama-sama memiliki kekhawatiran, kubu pertama menghawatirkan bahwa perkembangan tafsir akan mandeg bila ijtihad itu tidak diperbolehkan padahal ayat al-Quran maupun hadits sangat mendukung hal tersebut, sedangkan kubu kedua mengkhawatirkan terjadinya penyelewengan terhadap penafsiran al-Quran bila ijtihad dipergunakan. Ibnu Taimiyah termasuk ulama yang tidak membenarkan corak penafsiran ini sedangkan Imam al-Ghazali, Raghib al-Ashfahany, dan Imam al-Qurthuby membolehkannya.
        Memang tidak bisa dipungkiri bahwa terkadang seorang mufassir bi al ra’yi terlalu jauh dalam memberikan penafsiran sehingga menimbulkan kekeliruan, hal ini sering terjadi karena faktor-faktor sebagai berikut:
a.    Subjektivitas mufassir.
b.    Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah.
c.    Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat.
d.    Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat.
e.    Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al nuzul, hubungan antar ayat, maupun kondisi social masyarakat.
f.    Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.
            Namun bila mau diteliti lebih jauh sebenarnya ada dua faktor penting yang menyebabkan terjadinya kesalahan-kesalahan yang terdapat dalam tafsir bi al ra’yi:
        1. Mufassir yang bersangkutan meyakini kebenaran salah satu di antara banyak makna yang ada, kemudian menggunakan makna tersebut untuk menerangkan berbagai lafal al-Quran.
        2.Mufassir yang bersangkutan berusaha menafsirkan al-Quran berdasarkan makna yang dimengerti oleh penutur bahasa arab semata-mata, tanpa memperhatikan siapa yang berbicara dengan (menggunakan) al-Quran itu, kepada siapa diturunkan nya al-Quran itu dan siapa pula yang dibicarakan oleh al-Quran.
        Oleh karena itu kekeliruan yang terjadi pada tafsir bi al ra’yi ini sering terjadi karena kealfaan diri mufassir sendiri yang beranggapan bahwa kemampuan nalar yang baik dapat dijadikan sebagai satu-satunya acuan dalam memberikan tafsiran. Mungkin bila mereka memperhatikan acuan-acuan pendukung, kekeliruan dalam tafsir bi al ra’yi ini bisa dihindari.

V. Mengenal Kitab-Kitab Tafsir bi al-Ra’yi
       
        Kitab-kitab tafsir di bawah ini dikatagorikan sebagai kitab tafsir bi al ra’yi, karena dibuat oleh mufassir di dalamnya membahas kitab tafsir tersebut penggunaan ra’yunya lebih dominan dibanding dengan tafsir bil ma’tsurnya.
         
a.    Tafsir al-Razy, ia memakai cara-cara ulama mutakallimin dalam menafsirkan. Tafsirnya adalah tafsir yang luas dalam pembahasan ilmu kalam, dan ia juga membahas tentang falak, buruj, langit bumi, binatang, manusia, dan lain-lain dengan maksud menegakkan argumen atas adanya Allah.
b.    Tafsir al Baidhawy, tafsir ini menggunakan metode tafsir riwayah dan dirayah, serta menguatkan dalil-dalil ahli sunnah, setiap surat selalu ditutup dengan hadits-hadits untuk menunjukkan keutamaan surat tersebut.
c.    Tafsir Khazin, tafsir ini juga terkenal sebagai tafsir bi al ma’tsur hanya saja tidak pernah menyebutkan sanad, redaksinya gampang dan mudah dipahami.
d.    Tafsir an Nasafy, tafsir ini adalah tafsir yang paling ringkas dan paling sempurna dibanding tafsir-tafsir bi-al ra’yi yang lain, mencakup segi i’rab dan qira’at, dan mengandung segala segi keindahan ilmu badi’ dan isyarah, tafsir ini tidaklah panjang.
e.    Tafsir an Naisaburi, memiliki keistimewaan karena redaksinya mudah dan lafadznya tegas tidak berbelit-belit, sangat memperhatikan dua faktor penting yaitu: pembahasan tentang qira’at dan pembahasan tentang tafsir isy’ari.
f.    Tafsir Abi Sa’ud, bentuknya sangat baik dan redaksinya sangat indah, di dalamnya dijelaskan rahasia-rahasia balaghah Qur’an dan hikmah-hikmah ketuhanan.
g.    Tafsir Abi Hayyan, tafsir dinamakan al-Bahrul Muhit, karena banyak berisi berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan materi tafsir.
h.    Tafsir al Alusy, tafsir ini memuat beberapa pendapat ulama salaf baik dirayah maupun riwayah, mencakup pendapat ilmuan-ilmuan dan mengkompromikan ringkasan-ringkasan tafsir terdahulu. Tafsirnya dianggap sebagai sumber tafsir riwayah, dirayah, dan isyarah yang baik

    Namun dari sekian kitab yang terkenal D.r Aly Hasan al-‘Aridh hanya mengelompokkan lima kitab saja yang memenuhi kriteria dan syarat-syarat tafsir  bi al ra’yi yaitu:
    Tafsir al Razi          : Mafatih al-Ghaibi
    Tafsir al-Baidhawi  : Anwar at-Tanzil wa Asroru at-Ta’wil
    Tafsir Abi Sa’ud     : Irsyad al’Aqli as-Salim
    Tafsir an-Nasafy     : Madarik at-Tanzil wa Haqoiq at-Ta’wil
    Tafsir Khazin          : Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil.

VI. Kesimpulan dan Penutup
       
    Adanya perbedaan ulama dalam mendefenisikan tafsir bi-al ra’yi menjadi tolak ukur pendapat mereka terhadap boleh tidaknya tafsir bi al-ra’yi itu sendiri, bagi yang memberikan defenisi tafsir bi al-ra’yi secara lebih luas, maka mereka cenderung membolehkan tafsir bi al-ra’yi, sedangkan yang memberikan artian yang sempit tidak memperkenankannya.
    Munculnya tafsir bi al-ra’yi dalam dunia tafsir, merupakan sumbangan yang positif untuk perkembangan metode tafsir selanjutny, karena mufassir dituntut untuk lebih kreatif dalam menggunakan potensi yang dimilikinya untuk menafsirkan ayat-ayat al-Quran dan didukung pula oleh luasnya pengetahuan yang dimilikinya. Hanya saja kebanyakan corak penafsiran seperti ini sering di salahgunakan oleh mufassir untuk menafsirkan ayat demi kepentingan mazhabnya ataupun kelompoknya, sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap corak penafsiran ini sendiri.
    Demikianlah tafsir bi al-ra’yi telas diulas secara ringkas dalam makalah ini, namun meskipun uraiannya singkat hendaknya dapat mewakili keingintahuan kita terhadap tafsir bi al-ra’yi dan segala permasalahan yang berada didalamnya. Selanjutnya kritik maupun saran tentu sangat membantu kesempurnaan makalah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar