Kamis, 14 Maret 2013

QIRAAT

Abstraksi

“Alquran dan qiraat itu adalah dua hakekat yang berbeda. Alquran adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk menjelaskan dan sebagai mukjizat. Sedangkan qiraat adalah perbedaan-perbedaan lafaz wahyu yang tersebut pada huruf-hurufnya atau cara membacanya seperti, cara menepiskan, menebalkan dan yang lain.”

Kata kunci: Qiraat, Sab’u Ahruf



A.PENDAHULUAN
    Adalah fakta yang cukup kuat bahwa sekalipun manusia berbicara satu bahasa namun tetap mengalami perbedaan dialek yang cukup mencolok dari satu tempat ke tempat lain. Di Mekkah mayoritas muslim memiliki latar belakang budaya yang beragam. Karena Islam berkembang melewati batas kesukuan yang mencakup seluruh Jazirah Arabia, berbagai aksen terjadi kontak satu sama lain. Pengajaran Alquran pada suku yang berbedapun dirasa perlu dan mengharuskan mereka meninggalkan dialek asli secara kseluruhan dan meninggalkan dialek Arab Quraish di mana Alquran diwahyukan, rasanya suatu masalah yang dirasa sulit untuk dilakukan. Guna memfasilitasinya masalah tersebut nabi Muhammad saw mengajarkan mereka Alquran dengan dialek mereka. Dalam satu kesempatan dua orang atau lebih dari suku yang berbeda boleh juga belajar Alquran dalam dialek mereka, jika dirasa perlu.
    Dalam kajian Islam, Quran banyak melahirkan ilmu-ilmu yang melihat Alqur’an dari berbagai perspektif, seperti ilmu Qiraat Quran, ilmu Tafsir Quran dll. Hal ini tidak terlepas dari kenyataan oleh karena Quran diturunkan dalam bahasa Arab yang memiliki berbagai ragam konteks di dalam teksnya.  Pertanyaannya, kenapa tidak menggunakan  bahasa-bahasa lain di dunia ini? Allah SWT dalam firmanNya menegaskan  “Sesungguhnya Alquran diturunkan dalam bahasa Arab agar kamu sekalian berfikir” .
    Menurut penulis hal inilah yang menjadi dasar filosofi, termasuk nantinya dalam pembahasan makalah yang mengambil judul Qiraat ini, usaha dalam menggali hal-hal yang bertautan dengan Alquran. Apakah terkait makna, sejarah turunnya (asbabun nuzul) ataupun bahkan terhadap teks dari lafaz yang dipergunakan untuk pembacaan ayat-ayat Alquran. Ulama berbeda pandangan, dan hal itu wajar selama tidak keluar dari substansi ajaran Alquran dalam mengkajinya. Pandangan yang berbeda akan memberikan rahmat sekaligus keistemewaan bahwa Alquran representative dari semua aspek pemikiran termasuk praktek pembacaan ayat (Qiraat).
B. PEMBAHASAN
1.Pengertian Qiraat
Qiraat secara harfiah berarti tilawat (bacaan). Qiraat adalah masdar dari      ﻘﺮﺃ , secara istilah adalah  madzhab dalam membaca Quran yang disandarkan kepada imam pembaca dengan madzhab yang berbeda antara  satu sama   lainnya.  Walaupun Quran itu sendiri mempunyai arti yang sama dengan qira’at yaitu bacaan akan tetapi hakekatnya kedua hal tersebut berbeda. Az Zarkasy dalam Al Burhan berkata: Alquran adalah wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah saw untuk menjelaskan dan sebagai mukjizat sedangkan qiraat adalah perbedaan lafaz-lafaz wahyu yang tersebut pada huruf-hurufnya atau cara membacanya, seperti menepiskan, menebalkan dan yang lainnya.  Dalam Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa ilmu qiraat adalah ilmu yang membahas cara pengucapan tiap kata ayat Alquran melalui penuturan tertentu di mana semua penuturan itu  -meskipun berbeda karena mengikuti mazhab imam qiraat tertentu- mengacu pada bacaan yang bersandar kepada  kepada Rasulullah saw.
    Qiraat sebagai ilmu Quran merupakan ilmu yang pertama dan yang penting bagi kaum muslimin untuk mengetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu lain seperti nahu.  Ilmu ini mengalami perkembangan pesat pada abad pertama Hijriyah sejalan dengan perkembangan ilmu syariat lainnya.
2.Qiraat dan Tujuh Huruf (Sab’u Ahruf)
    Qiraat pertama kali muncul sebagai pembahasan atas fenomena turunnya Alquran dalam tujuh huruf. As-Suyuthi berkata: ada sebuah hadis yang artinya  berbunyi :
              “Alquran itu diturunkan atas tujuh huruf” . Hadis ini diriwayatkan oleh banyak orang dari kalangan sahabat. Mereka semua berjumlah dua puluh satu orang sahabat dan Abu Ubaidah telah menyatakan bahwa hadis ini adalah Mutawatir.   
Kemudian Abu Ya’la dalam musnadnya mengemukakan bahwa Ustman bin Affan berkata di atas mimbarnya: Saya teringat seseorang yang mendengar nabi saw bersabda; “Sesungguhnya Alquran diturunkan di Sab’ati Ahruf (Tujuh huruf) semuanya adalah sangat baik dan mengandung makna yang banyak”. Ketika Utsman bangkit dan hendak beranjak para sahabatpun ikut bangkit bersamanya, jumlah mereka sangat banyak sehingga tak terhitung. Mereka semuanya bersaksi atas kebenaran hadits yang diucapkan oleh Ustman.Maka berkatalah Ustman; dan saya pribadi bersaksi pula bersama mereka.
    Di antara banyak hadits mengenai hal itu, yang paling jelas ialah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim. Menurut Bukhori Muslim, Umar Ibnu Khottob berkata; Pada suatu hari, semasa rasulullah masih hidup, aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surah al Furqon.  Aku mendengar baik-baik bacaannya. Tiba-tiba ia membaca beberapa huruf yang tidak pernah dibacakan Rasulullah saw kepadaku, sehingga hampir saja ia kuserang ketika ia sedang shalat. Akhirnya kutunggu sampai ia mengucapkan salam. Setelah itu kutarik bajunya. Aku bertanya kepadanya: “Siapakah yang membacakan surah itu kepadamu ?” Ia menjawab: “Rasulullah yang membacakannya kepadaku”. Kukatakan: ”Engkau berdusta! Demi Allah, Rasulullah tidak membacakan surah itu kepadaku seperti yang kudengar darimu”. Hisyam bin Hakim lalu kuseret menghadap Rasulullah dan aku bertanya:  “Ya Rasulullah, aku mendengar orang ini membaca surah al Furqon dengan huruf-huruf yang tak anda bacakan kepadaku, ketika anda membacakan surah al Furqon itu kepadaku !”  Rasulullah menjawab: “Hai Umar, lepaskan dia! Hai Hisyam, bacalah !” Hisyam lalu membaca surah al-Furqon sebagaimana yang kudengar tadi. Kemudian Rasulullah saw menanggapinya. ”Demikian surah itu diturunkan” Beliau melanjutkan: ”Quran itu diturunkan dalam tujuh huruf,  karena itu bacalah mana yang mudah dari Alquran”.
3. Makna Sab’atu Ahruf
    Orang yang terlibat dalam percakapan sehari-hari, tidak perlu menerangkan atau diterangkan apa itu huruf. Karena persoalannya sudah sangat jelas. Sehingga orang yang mendengar tak perlu meminta penjelasan. Demikian juga yang berbicara, ia tak perlu menjelaskan arti huruf itu. Tetapi bila huruf di masukkan dalam pembicaraan mengenai Alquran, persoalannya menjadi lain, karena “huruf” yang dengannya diturunkan berbeda-beda. Disekitar “huruf” itu banyak persilangan pendapat. Bukan hanya satu dua ulama’ yang terlibat ikhtilaf disekitarnya. Kalaulah tidak ada hadis yang kuat, mungkin ulama’ lebih senang mendiamkannya. Tak mau angkat bicara tentang huruf itu. Bukankah, ”keluar dari pendapat itu lebih disukai?”
    Kata al-Ahruf pada kalimat al-Ahruf as-Sab’ah (tujuh huruf) adalah jamak dari kata huruf dalam bahasa Arab. Sedangkan al-Ahruf dalam kaitannya dengan hadis di atas mempunyai berbagai makna. Kadang-kadang bermakna qiraat (bacaan) yang akan kita bahas dalam sub tersendiri. Adakalanya juga kata harf berarti makna atau arah sebagaimana yang dikatakan Abu Ja’far Muhammad bin Sa’dam an- Nahwi. 
Adapun kalimat, sab’ah (tujuh) tidak bisa tidak tentunya ulama’  saling bertanya; apakah angka itu hanya terbatas pada “tujuh huruf” saja sesuai dengan arti teks ataukah kalimat “tujuh huruf” itu dimaksudkan sebagai pengertian akan kekhasan bagi qari (pembaca quran) dan justeru bukan sebagai pembatas ?
1.    Pihak yang menolak sebagai pembatas
Kelompok ini mengambil sikap yang berlebihan dalam menilai kemutawatiran hadits tsb. tidaklah masuk akal jika kata “tujuh” pada hadits tersebut tidak mempunyai maksud. Lebih-lebih lagi karena hadits tersebut dengan masalah yang berhubungan dengan wahyu dan caranya. Untuk hal seperti itu Rasulullah saw pasti tidak akan mengeluarkan ucapan yang tanpa arti dan tidak menyebut suatu bilangan yang tidak dapat dimengerti.  Walau demikian, kelompok ini tetap memegang terhadap nas hadis dengan kata “sab’ah” yang berarti tujuh, tetapi berbeda dalam memberi makna harfiyahnya. Tidak lagi tujuh huruf melainkan berkaitan dengan keyakinan. Karena menurut Dr. Subhi, setiap riwayat ulama’ dari kalangan sahabat nabi pasti memiliki kaitan dengan soal keyakinan.
2.    Pihak yang tidak menghiraukan nash hadis
Yang dimaksud sab’atu ahruf bukanlah bilangan sebenarnya, tapi maksudnya adalah keringan dan kemudahan kepada para manusia.Sedangkan lafaz sab’ah (tujuh) adalah untuk melanjutkan jumlah banyak pada bilangan satuan. Seperti halnya lafaz sabi’in (tujuh puluh) digunakan dalam bilangan puluhan dan demikian halnya dengan lafaz sab’umi’ah (tujuhratus) menunjukkan jumlah yang sangat banyak pada angka ratusan ini. 
Oleh karena tidak ada kepastian “wujud” dari tujuh huruf yang dimakud Rasulullah, maka sebagai penjelasan atas maksud sab’atu ahruf penulis kutip penjelasan dari bukunya Kamaluddin Marzuki antara lain:
1.    Bahwa tujuh huruf yang dimaksud hadits diatas adalah tak akan mungkin ditangkap hakekat atau maksudnya oleh manusia. Sebab hakekat tujuh huruf itu tidak mungkin diinterpretasikan sebagai huruf hijaiyah, kalimat atau arah. Padahal dari segi bahasa tidak ada pengertian lain kecuali tiga makna di atas.
2.    Bahwa yang dimaksud tujuh huruf itu bukan hakekat bilangan. Tetapi at-thasil, altaysir (kemudahan) dan alsa’ah (keleluasaan, kelapangan).
3.    Bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh qiraat.
4.    Yang dimaksud “tujuh huruf” adalah tempat dimana terjadi perubahan. Ketujuh tempat tersebut adalah sbb:
a.    Kata yang berubah harokatnya tetapi tulisan dan maknanya tidak berubah, contoh ;        هن اطهر لكم    (dibaca atharu) berubah menjadi                هن اطهر ﻟﻜﻡ (dibaca athara) artinya, mereka wanita lebih suci bagimu.
b.    Kata yang berubah maknanya karena perubahan tatabahasa tetapi tulisan tidak berubah.
Contoh        ربنا باعد بين اسفارنا     (dibaca Rabbuna ba’ada) artinya Tuhan kami telah menjauhkan antara perjalanan kami
 berubah menjadi    ربنا باعد بين اسفرنا    (dibaca Rabbana baa’id) artinya Tuhan kami, jauhkanlah antara perjalanan kami
c.    Perubahan makna karena berubahnya huruf tetapi tulisan tetap.
Contoh          ننشزها     (dibaca nunsyizuha)  berubah, ننشرﻫﺎ  (dibaca nunsyiruha)
d.    Bentuk berubah makna tidak berubah
Contoh      كلعهن المنفوش  menjadi     كالصوف المنفوش 
e.    Tulisan dan makna berubah, contoh :
        طلح منضودٍ    Menjadi طلع منضود   (hurf ‘ain)
f.    Perubahan susunan kalimat dengan taqdim (mendahulukan) dan ta’khir  (mengakhirkan) , misalnya:
                                      سكرة الموت بالحق ﻮﺠﺎﺌﺖ (dan datanglah sakratul maut dengan benar)
            وجائت سكرة الحق بالموت     (dan datanglah sakaratul maut yang sebenarnya dengan kematian)   
g.    Perbedaan yang ada dalam lahjah (logat)
5.     Yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam kalam dalam  Alquran yang satu sama lain berbeda. Misalnya ada amr, nahi, wa’d, wa’id, halal dll.
6.     Bahwa yang dimaksud “tujuh huruf” adalah tujuh lafadz yang berbeda, tetapi mempunyai pengertian yang sama. Misalnya aqbil      ﺃﻘﺒﻝ,    ta’ala           ﺘﻋﺎﻝ ’ajjil     ﻋﺠﻝ , dan asri’     ﺃﺴﺮﻉ    . Dengan lafadz-lafadz semacam ini akan meringankan kaum muslimin di dalam membaca Alquran sekaligus menangkap maksud.   
7.      Yang dimaksud “tujuh huruf” adalah tujuh istilah. Misalnya muthlaq, muqayyad,’am, khas, mu’awwal, nasikh, mansukh, mujmal dan mufassar.
8.      Bahwa  yang dimaksud dengan “tujuh huruf” adalah tata cara membaca dan mengucapkan, seperti pada masalah-masalah berikut: idgham, izhar, tafkhim, tarqiq, imalah, isyba’, mad dan qashr.
9.      Bahwa yang dimaksud dengan “tujuh huruf” adalah tujuh logat pada tujuh qabilah Arab. Menurut penganut “mazhab” ini, bukan berarti satu huruf tujuh macam. Tetapi tujuh logat bahasa Arab yang digunakan oleh qabilah-qabilah Arab digunakan dalam bahasa Alquran. Sebagian ayat-ayat Alquran, menurut penganut haluan ini, diturunkan dengan logat qabilah Quraisy. Sementara sebagian lainnya dengan logat Hudzail. Adapula yang logat Tamim, Azd, Rabi’ah dan Hawazin.
4.    Dampak Qiraat Terhadap penetapan Hukum
        Sampai pada saat ini terdapat anggapan bahwa tujuh huruf yang dimaksud dalam Alquran adalah tujuh sistem qiraat sebagaimana umum mengenalnya. Anggapan demikian di awali dari seorang imam besar yang bernama Ibnu Mujahid pada permulaan abad 300 H di Baqdad yang menghimpun tujuh sistem qiraat dari tujuh orang imam al-Haramain (Mekkah dan Madinah), Kuffah, Bashrah dan Syam.  Mereka adalah :
QIRAAH TUJUH
Qari                           Rawi pertama                       Rawi kedua                      wilayah
Abu Amr (w.770)     ad-Duri (w.860)                   as-Susi  (w.74)                Basrah
Aim        (w.745/6)   Hafsah (w.796)                    Syu’bah   (w.08/9)           Kufah
Ibnu Amir (w.736)    Hiysm (w.859)                   Ibnu Dakhwan(w.856)    Damascus
Ibnu Kasir (w.738)    al-Bazzi (w.64)                   Qunbul (w.903)               Mekah
Hamzah (w.772)        Khalaf (w.843)                   Khalad (w.835)               Kufah
Al-Kisa’I (w.804)      ad-Duri (Hafsah)                Abul al-Haris (854)        Kufah
Nafi (w.785)              Warsy (w.810)                   Qalun (w.835)                 Madinah
Sebenarnya masih banyak lagi sistem qiraat lain yang jika semuanya dicatat dengan tepat, orang akan mengenal istilah ”sepuluh sistem qiraat” dan “empat belas sistem qiraat”.    
    Pada akhirnya dalam studi qiraat untuk menentukan qiraat mana yang dapat dipakai khususnya dalam menetapkan hukum dan imbasnya harus terlebih dahulu melihat masalah asal-usul qiraat. Sama halnya dengan para ulama hukum syara’ dan tafsir yang boleh menarik kesimpulan hanya berdasarkan hadis-hadis yang berisnad shalih . Suatu qiraat dinyatakan shalih apabila memenuhi tiga syarat. Ketiga syarat tersebut adalah: memenuhi kriteria bahasa Arab fasih, mengacu pada mushaf Ustmani dan mempunyai kepercayaan pada sanad (rangkaian)  rawi dan tariq.
    Berdasarkan syarat tersebut terdapat beberapa jenis qiraat antara lain qiraat yang mutawatir, ahad dan syadz. Yang termasuk qiraat mutawatir adalah qiraah sab’ah yang masyhur, sedang yang ahad adalah qiraat tiga yang merupakan pelengkap dari qiraat al’asyr (sepuluh). Adapun qiraat yang paling rendah derajatnya adalah qiraat syadz yaitu qiraat para tabi’in seperti A’masy, Yahya bin Witshab, Ibnu Jubair dll.
    Perbedaan Qiraat akan mempengaruhi terhadap perbedaan hukum.Oleh karena itu para fuqaha membangun pendapat mereka seperti batal tidaknya orang yang disentuh atas perbedaan qiraat    seperti             ﻠﻤﺴﺘﻡ    dengan          ﻻﻤﺴﺘﻡ     .Abu Laits as-Samarqandi dalam kitabnya al-Bustan menceritakan dua pendapat, yaitu:
a. Allah berfirman dengan kedua-duanya bersama-sama.
b. Allah berfirman dengan salah satu dari keduanya tetapi mengizinkan untuk dibaca dengan dua buah qiraat.
    Kemudian ia mengambil jalan tengah, yaitu jika setiap qiraat itu mempunyai makna berbeda dengan qiraat lain maka Allah telah berfirman dengan keduanya dan jadilah qiraat itu seolah-olah dua buah ayat. Jika penafsiran keduanya adalah satu maka Allah berfirman dengan salah satu dari keduanya dan Dia memperbolehkan membaca dengan keduanya bagi setiap qabilah sesuai dengan kebiasaan lisan mereka.


C. KESIMPULAN
            Adanya perbedaan bermacam-macam bacaan seyogyanya menjadi khasanah dalam ilmu Islam khususnya cara membaca Quran. Sebagaimana dijelaskan oleh ulama mutaakhirin bahwa ada faedah di dalamnya, di antaranya : meringankan dan mempermudah umat Islam, menampakkan kemulian dan kelebihan terhadap umat lain (kitab umat lain tidak diturunkan kecuali dengan satu perspektif saja), memperbesar pahala (karena mereka mengarahkan segala kemampuan untuk meneliti perhuruf), menegaskan rahasia Allah dalam kitabNya dan penjagaan dari segala perubahan walaupun ada perbedaan bacaan yang banyak.   
        Di sisi lain Allah SWT memberikan pandangan kedepan bahwa dengan qiraat yang bermacam-macam berarti ada indikasi bahwa makna dari lafadz tersebut akan tetap dapat dimaknai sepanjang masa manusia.
    Adapun bacaan yang umum yang dipelajari di Indonesia menurut Abu Bakar Atjeh ialah riwayat Hafsah yang disandarkan pada bacaan Asim (Kufah). Hal ini berarti mayoritas umat Islam di Indonesia menganut dan menyandarkan bacaan Quran dari Asim.

DAFTAR PUSTAKA

1.    Prof. Dr. MM.Al A’zami, The History of The Qur’anic Text From Reveletion to Compilation terj., Jakarta: Gemalasari 2005
2.    Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Alquran, Bandung: Rosdakarya 1992
3.    As-Suyuthi Jalaluddin, Al-Itqan Fi Ulumil Quran jilid I terj., Surabaya: PT Bina Ilmu tt.
4.    Dr. Subhi As-Shalih, Mabahits Fi Ulumil Quran terj., Jakarta: Pustaka Firdaus 1995
5.    Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve2005
6.    H. Muin et all, Bunga Rampai Sastra dan Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Fakultas Adab 1993
7.    Manna’ Khalil  Al-Qathn, Mabahist Fi Ulumil Quran, Riyadh: Mansyurat Al’asyr tt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar