I. Pendahuluan
Asy'ariyah sebagai salah satu aliran dalam teologi Islam, mencuat ke atas secara vulgar sebagai manifestasi sikap kritis dan reaktif terhadap pemikiran yang berembang sebelumnya terutama aliran Mu'tazilah. Pendiri aliran ini tidak pernah memberikan label nama tertentu terhadap aliran ini, tapi para pengikutnyalah yang memberii narna dengan menisbatkan kepada pendirinya yakni Abu Hasan Ibnu Ismail al-Asy’ari.
Sekalipun pada awal kemunculannya, aliran ini mengesankan hanya sebagai kelompok sempalan dari aliran Mu'tazilah, namun pada akhirnya dapat tampil sebagai sosok aliran yang tegar dan eksis, bahkan menjadi
aliran alternatif di antara aliran besar lainnya. Pada lintasan sejarah pemikiran Islam, apabila kita melihat lebih dekat aliran al-Asy'ariyah ini, maka akan terlihat jelas betapa aliran ini mengalami perkembangan pesat, bertahan lama, didukung dan disebarkan oleh para ulama kenamaan di berbagai belahan dunia Islam. Banyak ulama dari berbagai madzhab sempat berguru kepada Abu Hasan al-Asy'ari tetap setia kepada aliran pemikiran teologi sang guru. Di antara mereka adalah Abu Ishaq al-Isfarayani, Abu Bakar al-Qogfal, al-Hafidz al-Jurjani, Abu Muhammad al-Thobari, al-Iraqi, dan lain-lain. Kemudian disusul generasi kedua seperti al-Sa'labi, al-Daroini, Abu Bakar al-Baqillani, Abu Bakar bin Furak dan al-Juaini. Disamping itu juga ada seorang ulama besar yang merupakan pengikut Asy'ari terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam, khusunya dikalangan Ahlus Sunnah wa Al-Jamaa'ah, yakni Abu Hamid al-Ghazali.
Mengingat luasnya cakupan wilayah pembahasan tentang Asy'ariyah ini, maka dirasa perlu adanya pembatasan wilayah bahasan dalam tulisan ini. Yaitu sekedar mencoba melakukan telaah kritis terhadap profil pemikiran al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Ghazali, melalui sudut pandang historis-theologis. Dengan kata lain tulisan ini akan mencoba mencari jawaban atas sebuah pertanyaan sederhana: Bagaimanakah pemikiran al-Baqillani, al-Juwaini, dan al-Ghazali dalam perspektif historis-teologis.
II. Tokoh-Tokoh al-Asy’ariyah
A. al-Baqillani
1. Riwayat Hidup
Menurut penuturan Ibn Khalkan, nama lengkapnya adalah Al-Qadli Abu Bakar Ibn Thayyib Ibn Muhammad Ibn Ja'far Ibn Qasim, tetapi ia lebih popular dengan nama al-Baqillani. Tempat dan tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti. Tapi Ibnu Khalkan hanya berani memberikan informasi bahwa masa awalnya dibesarkan di Bashrah. Yang dapat diketahui secara pasti beliau meninggal di Baghdad tahun 403 H / 1013 M, dan dimakamkan berdekatan dengan nama Ahmad Ibnu Hanbal di Bab al-Harb.
Otorita intelektualnya diperoleh dari dua orang murid utama al-Asy'ari, yakni Abdillah Ibn Mujahid serta Hasan al-Bahili. Al-Baqillani dikenal sebagai pakar ilmu kalam, An-Nadlar, serta ilmu Ushul. Ketiga ilmu tersebut diperoleh dari Ibn Mujahid. Menurut Ibn Asakir, ketiga ilmu tersebut juga diperdalam bersama-sama Ibnu Furak dan al-Asfaraini. Apabila Asfaraini lebih banyak mendekati Al-Bahili, maka al-Baqillani dan Ibn Furak lebih banyak mendekati Mujahid. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, al-Baqillani merupakan salah seorang Mutakallimin Asy'ariyah yang terbaik.
Al-Baqillani dikenal sebagai orator, dan agitator yang mengagumkan karena ia memiliki gaya retorika yang komunikatif, juga piawai dalam berdiplomasi. Kemampuan al-Baqillani disempurnakan dengan kemampuan menulis buku secara produktif.
2. Pemikiran
Dari sekian banyak pemikiran teologis al-Baqillani, maka yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut:
a. Tentang wujud Tuhan
Al-Baqillani memulai pembahasannya dalam ilmu Kalam dengan membahas kejadian alam (hudutsul 'alam) dalam rangka mengkaji masalah wujud Allah. Maujudat dibagi dua yakni yang Qadim dan Muhdats. Yang dimksud dengan yang Qadim di sini adalah Allah berserta sifat DzatiyahNya. Sedangkan yang dimaksud dengan Muhdats adalah yang diciptakan oleh wujud pertama. Dan adanya wujud ini basal dari tidak ada ('adam) menjadi ada. Wujud-wujud ini mengambil bentuk jauhar, 'ardl atau ajsam. Permasalahan ini ia kemukakan dalam rangka membuktikan adanya Tuhan. Menurutnya, tiga hal tersebut merupakan hasil karya cipta. Dan segala sesuatu yang diciptakan pasti didahului oleh yang menciptakan, dalam hal ini adalah Allah.
b. Tentang sifat Tuhan
Dalam beberapa hal, al-Baqillani tidak sependapat dengan al-Asy'ari. Salah satunya adalah mengenai sifat Allah. Apa yang disebut dengan sifat Allah oleh Asy'ari, bagi al-Baqillani bukanlah sifat, melainkan 'hal'.
c. Tentang jisim Tuhan
Dalam hal tajsim atau antropomorphisme, al-Baqillani sependapat dengan ulama salaf dalam pemberian makna "wajhu rabbika" dan "yadullah" dengan wajah Tuhan dan tangan Allah.
d. Tentang iradah Tuhan
Bagi al-Baqillani, konsep Iradah adalah Allah lah yang berkehendak, sedang semua peristiwa di alam ini adalah karena kehendakNya Seandainya semua persitiwa yang terjadi di alam ini bukan atas kehendakNya, niscaya lemahlah Allah, ini berarti kehendakNya terbatas.
B. al-Juwaini
1. Riwayat Hidup
Nama lengkapnya adalah Badul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin Muhammad bin Abdullah bin Hayawi. Dilahirkan pada tanggal 18 Muharram tahun 419 H. bertepatan dengan tanggal 12 Pebruari 1028 M. di Bustanikan, sebuah desa dekat Naisabur. Beliau meniggal dunia pada usia 59 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Rabi'ul Akhir 478 H., di kota kelahirannya.
Ia dikenal dengan panggilan Abul Ma'ali yang menunjukkan pengakuan umat atas kepakarannya, keagamaan, serta ketokohannya di tengah-tengah masyarakat luas. Di samping itu, ia juga mendapat gelar Imam Haramaian setelah mengajar di dua kota suci Mekkah dan Madinah.
Semula, ia belajar ilmu-ilmu agama kepada ayahnya sendiri karena kecerdasan ketekunannya. Dalam usia 20 tahun sudah dipercayai mengajar di Madrasah Naisabur menggantikan ayahnya yang meninggal dunia. Selanjutnya secara berturut-turut ia mempelajari ilmu fikih di bawah bimbingan Abul Qasim Al-Asfarayani, dan memperdalam pengetahuan tentang Alquran di bawah bimbingan Ibnu Muhammad an-Naisaburi al-Khabazi, belajar tentang Hadits kepada Abu Said Abdurrahman bin An-Naisaburi, memperdalam ilmu Lughah kepada Syeh Hasan bin Faidlol bin Ali Jasyi’iy, serta memperdalam filsafat secara otodidak. Pada tahun 450 H/1058 M, ia mengajar di Makkah dan Madinah, dan baru pulang setelah Nidzamul Mulk berkuasa karena mendapat panggilan untuk mengajar di sekolah tersebut. Al-Juwaini melaksanakan tugas itu dengan baik sampai beliau meninggal dunia pada tahun 478 M/1085 M.
2. Pemikiran
Sebagaimana al-Baqillani, al-Juwaini tidak selamanya memiliki keseragaman pemikiran dengan aliran yang dianutnya. Diantara percikan pemikiran al-Juwaini antara lain:
a Tentang Akal Manusia
Kewajiban primer setiap muslim dewasa adalah melakukan kontemplasi sehingga dapat mendatangkan suatu keyakinan bahwa alam ini adalah baharu, artinya semula tidak ada. Kalau kemudian alam ini ada, berarti ada yang mengadakannya. Dan yang mengadakan itu tidak lain adalah Allah/Tuhan. Unsur dominan dalam suatu kontemplasi adalah akal. Dalam pandangan al-Juwaini, suatu aqidah yang benar senantiasa berdasar atas akal dan naqal, serta memadukan keduanya. Akal sebagai cahaya fitriyah anugrah Allah kepada manusia, sebagai sarana untuk mengetahui sesuatu. Sedang Naqliyah merupakan persoalan sima'iyah yang wajib diyakini dan diakui kebenarannya, tanpa memerlukan pembuktian akli atasnya.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa al-Juwaini membagi dalil menjadi dua, yaitu dalil akli dan dalil naqli. Dalil akli diperoleh secara fitrawi dari Allah, sedang naqli bersumber pada al-Kitab dan as-Sunnah, karena di dalamnya terdapat kebenaran yang wajib diikuti dan larangan yang wajib dihindari. Akal dapat memilah sesuatu yang baik dari yang buruk, tapi tidak dapat mengenalinya secara mutlak. Di sinilah letak perlunya naqal sebagai penentu baik dan buruk (salah) secara mutlak.
b. Tentang Sifat Tuhan
Didalam membahas persoalan sifat Tuhan, seperti halnya al-Asy'ari, maka alJuwaini mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Dalam pandangan al-Juwaini, sifat Tuhan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sifat 'nafsiyah' dan sifat 'ma'nawiyah'. Yang dimaksud dengan 'nafsiyah' yaitu yang ada pada zat Tuhan tanpa ‘illat. Sedang yang dimaksud dengan ma'nawiyah adalah yang timbul sebagai kelanjutan dari sifat nafsiyah.
Melihat kakarakteristik kedua sifat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa yang termasuk dalam sifat nafsiyah antara lain sifat; wujud, qidarn, mukhalafatu lil hawadits, dan wahdaniyah. Sedang yang termasuk dalam ma'nawiyah antara lain sifat; ilmun, hayyun, iradah, qudrah, sama', dan bashar.
c. Tentang Perbuatan Manusia
Tentang perbuatan manusia ini, al-Juwaini berbeda pendapat dengan al-Asy'ari dan al-Baqillani. Menurut Asy'ari perbuatan manusia diciptakan Tuhan seluruhnya. Al-Baqillani melihat, ada sumbangan manusia dalam mewujudkan perbuatan. Sedang, al-Juwaini mengatakan, daya yang ada pada manusia selalu memiliki efek, yang serupa dengan efek sebab-musabbab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya tersebut bergantung pula pada sebab lain, demikianlah seterusnya, sehingga sampai pada sebab dari segala sebab yaitu Tuhan.
d. Tentang Jisim Tuhan
Dalam masalah 'tajassum' atau antropomorisme, al-Juwaini juga berbeda pendapat dengan al-Asy'ari. Menurut Asy'ari Tuhan mempunyai muka, tangan, mata, dan sebagainya, dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kayfa) yaitu dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wala yuhadd). Sedang menurut al-Juwaini, tangan Tuhan harus diartikan dengan ta'wil sebagai kekuatan Tuhan, rnata Tuhan diartikan dengan penglihatan Tuhan, dan wajah Tuhan diartikan dengan wujud Tuhan.
C. al-Ghazali
1. Riwayat Hidup
Al-Ghazali dilahiran pada pada abad kelima Hijriyah tepatnya pada 450 H di Thus, Salal, Kharasan. Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhamad bin Ahmad al-Ghazali, yang mendapat gelar Hujjatul Islam Zainuddin at-Thusi al-Faqih as-Syafi’i. Disamping itu, al-Ghazali juga mendapat gelar lain yaitu Bahr Mughriq.
Semenjak kecil, al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan Ia memiliki kecenderungan untuk melihat sesuatu sampai kepada akar-akamya Hal ini terlihat jelas lewat pernyataannya: "Kehausan mendapatkan hakekat sesuatu sudah menjadi tabiat dan kebiasaan semenjak masa kecil saya. Kebiasaan hidupku ini merupakan insting dan fitrah dari Allah yang diberikan kepadaku, bukan atas pilihan dan usahaku.
Al-Ghazali muda tampil sebagai sosok yang cerdas, tekun dan ulet. Ia tidak membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menguasai suatu ilmu pengetahuan. Padahal waktu yang dimiliki lebih banyak digunakan untuk mengkaji ilmu pengetahuan. Maka wajarlah jika ia kemudian ia menguasai berbagai disiplin ilmu, sehingga al-Juwaini memberikan gelar 'Bahrun Mughriq' (samudra yang dalam).
Setelah menyelesaikan studinya di Thus dan Jurjan, beliau melanjutkan ke kota Naisabur. Pada waktu menghadiri majlis Wazir Naizamul Mul, suatu forum pertemuan antara kaum intelektual- kecemerlangan dan keluasan ilmunya tampak sangat menonjol dan mengagumkan banyak pihak. Berkat kedalaman ilmu, kefasihan lisan, kekuatan argumentasi, dan 'low profile' nya membuat diskusan Nizamul Mulk terkagum-kagum padanya. Maka sebagai rasa simpati, Beliau diangkat sebagai Guru Besar Perguruan Nidzamiyah di Baghdad.
Dalam perjalanan bidup masa tuanya -setelah empat tahun mengajar di Baghdad, al-Ghazali menunaikan ibadah haji kemudian 'melancong' ke Syam dan menetap di mesjid Umawi, sebagai 'abid dan zahid. Selanjutnya ia mengembara sebagai filosuf dan sufis, sehingga ketika kembali lagi ke Baghdad ia bukan hanya sebagai guru yang alim tetapi juga sebagai Imam sufi merangkap Mursyid selama kurang lebih sepuluh tahun. Dari Baghdad ia pindah ke Naisabur, kemudian kembali lagi ke Thus. Di Thus inilah beliau mendirikan sebuah lembaga pendidikan dan membinanya hingga beliau meniggal dunia.
2. Pemikiran
Al-Ghazali dikenal sebagai pengikut mazhab Syafi’i dalam fiqh, dan sebagai tokoh mendukung Asy'ari dalam teologi. Bahkan dalam pandangan Prof. Dr. Harun Nasution, al-Ghazali tampil sebagai sosok pengikut Asy'ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahlis Sunnah wal-Jama'ah. Dalam alur pemikiran teologisnya, ia sering tampil beda dari para gurunya, terutama al-Juwaini dan al-Baqillani, tapi hampir selalu terdapat benang merah dengan Asy'ari, sehingga sering mengesankan sebagai duplikatornya.
Banyak butir-butir mutiara pemikiran al-Ghazali dalam berbagai disiplin ilmu seperti filsafat, pendidikan, tasauf, dan ilmu kalam. Untuk yang terakhir ini, di antara pemikiran cerdas beliau adalah:
a. Tentang Sifat Tuhan
Ada kesamaan konsep antara al-Ghazali dengan al-Asy'ari yakni bahwa Tuhan memiliki sifat Qadim yang tidak identik dengan Dzat Tuhan dan mempunyai wujud diluar Dzat.
b. Tentang Perbuatan Manusia
Dalam pandangan al-Ghazali, Tuhanlah yang menciptakan makhluk dan totalitas aktivitanya. Lebih dari itu, Tuhanlah yang yang mentakdirkan rizki dan ajal semua makhluk. Ia maha mengetahui dan mengusai segala yang terjadi di dasar bumi dan di atas langit. Sekecil atom sekalipun-baik yang ada di belahan bumi atau di ujung langit masih dapat termonitor dan senantiasa berada dalam radius jangkauan pengetahuanNya. Tuhan juga mengetahui jika ada seekor semut kurus hitam yang merayap di atas batu hitam-kelam ditengah malam kelam.
Jadi jelaslah bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan manusia. Sedang daya untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai impotensi.
c. Tentang Imamah
Dalam masalah imamah, al-Ghazali berpendapat bahwa imam yang sah setelah Nabi adalah Abu Bakar, Umar, Utsman kemudian Ali.
d. Tentang Melihat Tuhan
Al-Ghazali memiliki paham yang sama dengan Asy’ari dalam hal beatific vision yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud dapat dilihat.
III. Perkembangan al-Asy’ariyah Sebagai Aliran Sunni
Sebelum munculnya istilah Sunni dan dipakainya istilah tersebut dalam bentuk kata sifat untuk menunjukkan kelompok atau aliran tertentu, ada beberapa istilah yang muncul sebelumnya Istilah-istilah itu semuanya memberikan identifikasi terhadap kelompok yang kelak disebut Sunni. Marshall Hodgson, ahli sejarah Islam berkebangsaan Amerika, menyebut kelompok atau aliran itu sebagai Jama’i Sunni, sedangkan sejarawan lainnya sebagai proto-sunnism (cikal bakal aliran sunni). Istilah umum yang dipakai untuk menyebut cikal bakal sunni ialah: (a) Ahlus-Sunnah wal Jama'ah; (b) Ahlussunnah wal Jama 'ah wal Athar; (c) Ahl al-Hadits wal al-sunnah atau Ahl al-sunnah wa ashab al-Hadits; (d) Ahl al-Sunnah wa al-Istiqamah, Ahl Al-Istiqamah, Ahl al-Jama'ah, Ahl Haqq wa al-Sunnah.
Dalam sejarah pemikiran Islam, cikal bakal aliran sunni ini muncul bermula dari bursa pemikirian teologi Al-Asy'ari. Al-Asy'ari adalah satu aliran dalam ilmu Kalam yang lahir akibat adanya benturan antara kaum rasionalis (Mu'tazilah) dan kaum Tekstualis (Al-Hasywiyah) atau dikenal juga sebagai ahli hadits. Aliran ini berupaya mengambil jalan tengah antara kedua kutub itu yang ternyata berhasil menjadi satu aliran dan bahkan dianut oleh sebahagian besar kaum muslim yang berkembang sampai abad ke-20. Pendiri aliran ini adalah Abu al-Hasan, Ali Ibn Ismail al-Asy'ari yang dilahirkan di Basbrah (260 H / 873-4 M) dan wafat (324 H / 935-6 M). Bertolak dari bekal ajaran Mu'tazilah yang serba rasional dan filosofis ia berusaha mempertemukan dua aliran tersebut. Ia telah bergabung dengan aliran Mu'tazilah dalam rentang waktu yang relatif panjang yaitu 40 tahun.
Sedangkan aliran sunni atau lengkapnya aliran Ahli Sunnah wal Jama'ah adalah suatu aliran yang lahir akibat trauma atas perpecahan yang terjadi pada zaman Mu'awiyyah. Mereka tak mau terlibat dalam perpecahan tersebut dan memusatkan diri pada kegiatan inteletual saja, dan mengembangkan konsep “jama'ah" yaitu konsep kesatuan yang ideal seluruh kaum muslim tanpa memandang aliran politik mereka. Sentral tempat pengembangan intelektual mereka di antaranya adalah kota Madinah dan Bashrah.
Dalam sejarah pemikiran Islam, masa Asy'ari sering disebut sebagai masa konsolidasi doktrin kaum Sunni. Meskipun sampai dengan saat itu ilmu Kalam terutama merupakan kesibukan kaum Mu'tazilah, namun lama kelamaan golongan Sunnipun menyertainya, karena keperluan mereka kepada pemikiran sistematis dan rasional tentang pokok-pokok faham mereka. Bahkan desakan itu tidak saja mendorong mereka berpartisipasi dengan golongan lain dalam ilmu kalam, tetapi juga dalam pemikiran filsafat. Dalam bidang teologi ini konsolidasi kaum Sunni diwakili oleh karya-karya intelektual besar Islam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari.
Al-Asy'ari sendiri sesungguhnya dari segi latihan intelektual dan fahamnya adalah seorang Mu'tazilah dan setelah ia menekuni dan mendalami aliran ini sampai 40 tahun ia meniggalkannya dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada hadits. Alasan mengapa ia keluar dari aliran Mu'tazilah yang telah digetoli ternyata secara tuntas belum diketemukan jawabnya Menurut pendapat Ibnu Asakir yang dinukil oleh Jalal Muhammad Musa bahwa suatu malam, al-Asy’ari bermimpi bertemu Nabi saw. Dalam mimpi tersebut Nabi memerintahkan untuk meninggalkan aliran yang ia pegangi kemudian. Menguatkan aliran yang berdasar Sunnah. Alasan lain yang disebutkan Ibnu Asakir adalah timbulnya keraguan dalam hati al-Asy'ari setelah kemusykilan yang ia temukan tidak mendapat jawaban yang memuaskan dari gurunya, sehingga diriwayatkan bahwa ia berkata: “Pada suatu malam saya mendapatkan suatu keraguan dalam masalah akidah kemudian setelah melakukan salat dua rakaat saya mohon petunjuk kepada Allah dan tidurlah saya. Dalam tidur itu saya bermimpi bertemu Rasulullah dan sayapun sempat mengadukan masalah yang saya alami. Rasulullah berkata: "tetaplah pada Sunnahku". Setelah bangun semua masalah itu dapat saya temukan jawabannya dalam Alquran dan hadits. Maka saya tinggalkan akidah saya yang terdahulu”.
Karena belum dapat terungkap alasan al-Asy'ari secara pasti meninggalkan aliran lamanya, wajar kiranya Harun Nasution menawarkan altenatif lain sebagai alasan baru, yaitu: (a) Al-Asy'ari melihat bahwa aliran Mu'tazilah tidak dapat diterima oleh umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran; (2) Perlu adanya aliran teologi lain yang teratur sebagai substitusi aliran lama untuk menjadi pegangan mereka.
Dalam perajalanan karimya sebagai seorang pemikir yang nota- bene mantan pengikut bahkan pemuka aliran Mu'tazilah, tidaklah sedikit hambatan yang ia hadapi kebanyakan umat belum 100% percaya pada dirinya dan sering menuduhnya menyeleweng atau malah kafir karena ia tetap menggunakan metode-metode filsafat dalam argumentasinya. Salah satu risalahnya telah dapat memberikan gambaran kepada kita betapa al-Asy'ari membela diri dari berbagai serangan dan bagaimana dalam perjuangannya mengkonsolidasikan faham kaum Sunni itu ia meyerukan pentingnya mempelajari metode ilmu kalam dan disiplin berpikir saingan utama mereka, kaum Mu'tazilah.
Gebrakan al-Asy'ari dicatat dalam sejarah sebagai salah satu yang sangat sukses dalam sejarah pemikiran Islam, karena beberapa alasan, yakni: (a) ia berhasil melumpuhkan gerakan kaum Mu'tazilah dengan menggunakan logika mereka sendiri; (b) ia berhasil mengukuhkan paham Sunni, dan (c) ia berhasil menyelamatkan Islam dari Hellenisasi total.
Karena upaya al-Asy'ari mangambil jalan tengah antara Jabariyyah dan Qadariyyah, ilmu kalam al-Asy'ari cepat terkenal di kalangan umat dan bahkan kemudian diterima sebagai rumusan ajaran pokok agama yang sah.
Berkembangnya aliran al-Asy’ariyyyah tidak lepas dari dukungan tokoh-tokoh politik Bani Saljuk yang telah berhasil menguasai dinasti Abbasiyah. Abbasiyah sendiri menganut dan menjadikan paham Mu’tazilah sebagai aliran negara. Konspirasi politik yang dilakukan oleh Bani Saljuk terhadap Dinasti Abbasiyah membutuhkan simbol berbeda di segala bidang termasuk di dalamnya aliran yang harus dianut. Teologi al-Asy’ariyyah diperlukan dan mampu mengalahkan teologi Mu’tazilah merupakan aliran Dinasti Abbasiyah.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa konsolidasi al-Asy'ari terhadap aliran Ahlus Sunnah wal Jama'ah meskipun menemui banyak rintangan tetapi dapat dikatakan sangat berhasil, dan keberhasilan aliran Asy'ariyyah ini didukung oleh beberapa faktor:
a. Kondisi yang sangat mernungkinkan berkembangnya aliran al-Asy'ariyah sebab aliran Mu'tazilah yang lebih dahulu dirasa sudah tidak dapat membawa umat Islam pada kondisi yang memungkinkan.
b. Ajaran yang sangat sederhana dan tidak memerlukan pola pikir yang tinggi membuat umat Islam yang awam semakin tertarik untuk mengikutnya.
c. Dukungan pemerintahan Bani Saljuk saat itu cukup besar terutama dibangunnya sekolah guna menyebarkan ajaran Sunni di kalangan remaja dan usia sekolah, dan juga pengaruhnya terhadap penguasa-penguasa saat itu.
Di tangan para pengikut al-As’ari, faham Asy’ariyyah berkembang dan bervariasi sesuai dengan pemahaman tokoh-tokoh terkemuka saat itu, seperti al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Perbedaan paham yang dianut oleh tokoh-tokoh terkmuka aliran Asy’ariyyah merupakan sebuah keniscayaan yang dilatari oleh perbedaan latar belakang kehidupan tokoh-tokoh tersebut, baik dalam bidang disiplin ilmu yang digeluti atau kondisi perkembangan aliran-aliran lain yang bersamaan dengan masa tokoh-tokoh tersebut.
Perbedaan paham para tokoh-tokoh terkemuka aliran al-Asy’ariyyah tidak menjadikan pahamnya keluar dari aliran al-Asy’ariyyah. Dikarenakan dasar-dasar ajarannya masih memiliki kesamaan.
IV. Kesimpulan
Setelah paparan pembahasan di atas, kiranya dapat diambil suatu rumusan akhir sebagai suatu kesimpulan sebagai berikut:
A. Pada dasarnya aliran al-Asy'ariyyah mengambil jalan tengah antra faham Qadaraiyyah dan Jabariyyah. Dalam pengembangannya aliran ini sangat besar pengaruhnya ketika muncul tokoh al-Asy'ariyah yang sangat handal yaitu al-Asy’ari yang memiliki kepribadian yang baik dan kemampuan intelektual yang dapat diandalkan sehingga dapat mengendalikan dan membawa aliran ini ke puncak kejayaannya.
B. Keberhasilan aliran al-Asy'anyah ini didukung oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Kondisi yang sangat memungkinkan berkembangnya aliran al-Asy'ariyah sebab aliran Mu'tazilah yang lebih dahulu dirasa sudah tidak dapat membawa umat Islam pada kondisi yang memungkinkan.
2. Ajaran yang sangat sederhana dan tidak memerlukan pola pikir yang tinggi membuat umat Islam yang awam semakin tertarik untuk mengikutinya.
3. Dukungan pemerintahan Bani Saljuk saat itu cukup besar terutama dibangunnya sekolah guna menyebarkan ajaran Sunni dikalangan remaja dan usia sekolah, dan juga pengaruhnya terhadap penguasa-penguasa saat itu
C. Pada akhirnya aliran Ahli Sunnah wa Jama'ah atau aliran Sunni ini berkembang ke seluruh penjuru dunia Islarn dengan melalui proses panjang.
Daftar Pustaka
Amin, Ahmad. Dhuhah al-Islam, jil. IV. Kairo: Maktabah al- Nahdah al-Misriyyah, 1964.
Dunya, Sulaiman. Tahafut al-Falasifah li al-Ghazali, cet IV. Mesir: t.p., t.t.
Gibb, HAR dan Kramers, J.H. Shorter Enchyclopedia of Islam. Leiden: EJ. Brill, 1965.
Hanafi, A. Teologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Ibnu Khalkan, Wafayat al-Ayan, juz II. Kairo: t.p., 1299 H.
Majid, Nurcholis. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Mughni, Syafiq A. “Ahlus Smmah wal lama'ah dan Posisi Teologi Muhammadiyah” dalam Din Syamsuddin, Muhammadiyah Kini dan Esok. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
Musa, Jalaluddin Abdul Hamid. Nasy’atul Asy’ariyah wa Tathawwuruha. Kairo: t.p., 1975.
Musa, Muhammad Yusuf. Falsafah Wa al-Akhlak Fi al-Qur’an, cet IV. Kairo: t.p., 1963.
Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta: Ul-Press, 1986.
Sayid, Ibrahim Zaki Khur. Rairah al Ma'rifah al-Islamiyah, Jilid VII. Kairo: t.p., 1933.
Sulaiman, Fatiyah Hasan. al-Madzhabu al-Tarbawi 'Indal Ghazali. Kairo: t.p., 1964.
Syarastani. al-Milal wa an-Nihal. Kairo: t.p., 1951.
Wajdi, M. Farid. Dairah al-Ma’arif al-Qarn al-Isyrin, jil. II. Kairo: t.p, 1971.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar