BAB I
PENDAHULUAN
Istilah modern sudah sering kita dengar dan tidak asing lagi bagi kita. Bahkan kita senantiasa mengatakan bahwa kita hidup pada zaman modern, zaman di mana tingkat kemajuan telah mencapai puncaknya, dan tidak ada lagi zaman sesudahnya.
Namun anggapan itu akan berhenti manakala dikumandangkan ada istilah lain setelah zaman modern, yaitu istilah posmodern. Meskipun pengertian postmodern ini diselimuti ketidakjelasan makna, selalu saja orang- orang cendrung untuk membicarakannya. Bahkan tidak sedikit bermunculan tokoh- tokoh yang membahas tentang postmodern ini.
Pada 1960- an bangkit suatu gerakan cultural intelektual baru akibat dari rasa cemas terhadap janji gerakan modern yang dianggap tidak pasti. Gerakan ini menamakan dirinya posmodernisme. Gerakan ini secara kongkret menunjukkan kepanikan terhadap modernisme dengan aksi nyata di St. Louis, AS tahun 1972, sederetan bangunan tegar bertingkat empat belas yang dibangun dengan gaya modern dirubuhkan. Arsitektur gaya modern ini sunyi visi, arti, kemanusiaan dan kekayaan histories masa lampau. Demikianlah kilah seorang pakar arsitektur postmodern Robert Venturi dalam bukunya Complexity and Contradiction in Architekthure .
Pertumbuhan teknologi dan ilmu pengetahuan telah melampaui kebutuhan manusia. Demikian kira- kira, kegelisahan tak beralasan yang ditimbulkan oleh kalangan postmodern. Ketakutan pertumbuhan yang sangat cepat, di dukung dengan globalisasi, kapitalisasi, transisi dari masyarakat industrial ke masyarakat tranformatif mendudukkan kekhawatiran pertumbuhan itu melupakan kemanfaatannya terhadap manusia yang menciptakannnya. Padahal seharusnya proyek modernitas membebaskan manusia dari ketidak- berdayaannya terhadap kemampuan biasa menghadapi hidup.
Barangkali kalau makna secara garis besar tentang postmodern belum dipahami. Maka tema paling pokok menurut Akbar bahwa media merupakan ciri pokok postmodern dan beliau mendivisikan peradaban global yang dominan pada zaman kita. Luasnya jangkauan Posmodernisme harapan kemenduan dan tantangan tidak mungkin difahami tanpa memahami media.
Namun yang jelas makna yang lebih aman bagi posmodern adalah sebagai penolakan terhadap modernisme. Maka jika kita mengkaji lebih jauh akan makna posmodern , selalu akan dimulai dengan modernisme. Maka akan dibahas pada bab selanjutnya .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Modern dan Posmodern
1. Pengertian Modern
Secara etimologis, kata” modern” dalam Kamus Webter’s diberi arti sebagai berikut:
1. Sebuah proses yang berlangsung beberapa saat lalu hingga saat ini.
2. Memproduksi atau menghasilkan teknik, metode atau ide.
3. Sesuatu yang biasa dan lumrah terjadi.
4. Karakteristik priode masa kini yang penuh dengan perkembangan dan dikontraskan dengan masa sebelumnya.
5. Suatu pergerakan atau gaya dalam bidang seni yang ditandai dengan penghancuran nilai- nilai tradisional.
Pada dasarnya kata“ modern” berasal dari bahasa latin, modernus, yang diambil dari kata mado yang berarti “baru saja” dan “sekarang ini”. Peradapan modern ditandai oleh dua ciri utama, yaitu: rasionalisasi (cara berpikir rasional) dan teknikalisasi (cara bertindak yang teknikal). Sedangkan modernisme sering kita kenal dengan sebutan nama suatu aliran modern.
Adapun pengertian modernisasi menurut Nurcholish Madjid ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan pengertian rasioanalisasi. Dan hal ini berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah (rasional), dan menggantinya dengan pola berpikir dan tata kerja baru yang akliah. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna dan efesiensi yang maksimal. Hal ini dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan. Sedangkan ilmu pengetahuan, tidak lain ialah hasil pemahaman manusia terhadap hukum- hukum obyektif yang menguasai alam, ideal dan material, sehingga alam ini berjalan menurut kepastian tertentu dan harmonis. Orang yang bertindak dengan pengetahuan (ilmiah), berarti ia bertindak menurut hukum alam yang berlaku. Oleh karena ia tidak melawan hukum alam, malahan menggunakan hukum alam itu sendiri, maka ia memperoleh daya – guna yang tinggi. Jadi sesuatu dapat disebut modern, kalau ia bersifat rasional, ilmiah dan bersesuaian dengan hukum- hukum yang berlaku dalam alam ini.
Sementara itu gerakan modernisasi Islam dapat dipahami sebagai gerakan yang muncul pada priode sejarah Islam modern dengan mengadaptasi ajaran Islam kepada pemikiran dan kelembagaan modern, yang pada dasarnya merupakan suatu gerakan melawan taklid atau peniruan buta terhadap masa lampau yang menghendaki ijtihad. Menurut kaum modernis, ijtihat adalah interpretasi rasional Alquran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang.
Demikian beberapa pendapat yang berhubungan dengan pengertian modern dan modernisme. Namun perlu diingat bahwa modern adalah juga progresif dan dinamis. Jadi tidak dapat bertahan pada sesuatu yang telah ada (status qua), karena bersifat merombak dan melawan tradisi yang benar- benar tidak benar, dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Maka sekalipun bersikap modern, namun kemodrenan tersebut relative sipatnya, sebab terikat oleh ruang dan waktu. Sesuatu yang sekarang ini dapat dinyatakan modern , dapat dipastikan menjadi kolot (tidak modern lagi) di masa yang akan datang. Sedangkan modern secara mutlak, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta seluruh alam (Rabbul – ‘alamin).
2. Pengertian Posmodren.
Secara etimologi, kata posmodren terdiri dari dua kata, yaitu “post” dan “modern”. Kedua bahasa ini berasal dari bahasa Inggris. Kata “post” berarti sesudah. Jadi posmodren adalah masa sesudah zaman modern, yang dalam literature Indonesia sering disebut dengan “ Pasca- Modren”. Maka faham mereka ini sering didengar dengan sebutan PascaModernisme atau posmodernisme.
Sebagaimana telah disampaikan di pendahuluan bahwa istilah Posmodren merupakan istilah yang memiliki ketidak jelasan makna, meskipun begitu Penulis akan mencoba memberikan batasan- batasan yang dapat memberikan pemahaman dari beberapa pendapat .
Secara terminologi posmodren menurut Donny Gahral Adian ialah wacana pemikiran baru yang menggantikan modernisme. Posmodren menghilangkan konsep- konsep modernisme seperti adanya subyek yang sadar diri dan otonom, adanya reprensentasi istimewa tentang dunia. Posmodernisme, jika sungguh- sungguh ada , menurut Giddens sebaiknya diartikan sebagai gaya atau gerakan di dalam sastra, seni lukis, seni plastik, dan arsitektur. Gerakan ini memperhatikan aspek- aspek aessthetic reflection dari modernitas. Sementara itu posmodernitas dimengerti sebagai tatanan sosial baru yang berbeda dengan institusi- institusi .
Formulasi kontemporer posmodernisme menurut Ahmed merupakan fase khusus menggantikan modernisme, berakar pada diterangkan sejarah terakhir barat yang berada pada inti dominasi peradaban global abad ini.Terhadap hal ini Ahmed mencoba mengedentifikasi beberapa ciri utama posmodernisme dengan menekankan watak sosiologisnya. Ada delapan (8) ciri- ciri utamanya, yaitu:
• Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.
• Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistim indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media masa telah menjelma bagaikan "agama" atau "tuhan" sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.
• Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi, sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
• Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisisme dengan masa lalu.
• Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat roda, negara maju sebagai "titik pusat" yang menentukan gerak pada "lingkaran pinggir".
• Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era posmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
• Posmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.
• Bahasa yang digunakan dalam wacana posmodernisme seringkali mengesankan ketidak jelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut "era posmodernisme" banyak mengandung paradoks.
Berdasarkan ciri- ciri utama posmodren, maka dapat dilihat bahwa kecendrungan yang ditekankan dalam literature posmodren adalah rasa anarkinya, ketidak menentuan dan keputusasaaanya. Namun perlu bagi kita untuk menginterpretasikan posmodren dari segi positifnya yang berupa keberagaman, kebebasan meneliti dan kemungkinan untuk mengetahui dan memahami satu sama lain. Posmodernisme tidak perlu dipandang sebagai kesombongan intelektual,
6
diskusi akademik yang jauh dari kehidupan nyata, tetapi sebagai fase histories manusia yang menawarkan kemungkinan yang belum ada sebelumnya kepada banyak orang, sebuah fase yang memberikan kemungkinan lebih mendekatkan beragam orang dan kultur ketimbang sebelumnya.
Ahmad Amir Aziz menyatakan bahwa dalam mendefenisikan posmodernisme itu, dapat dilihat dari dua hal :
1. Posmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern karena post itu sendiri dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern karena post itu sendiri secara literal mengandung pengertian sesudah. Dengan demikian, modernisme dipandang telah mengalami proses akhir yang segera digantikan oleh zaman berikutnya yaitu posmodernisme.
2. Posmodernisme dipandang sebagai gerakan intelektual yang mencoba menggugat bahkan merekontruksikan pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam berbagai paradikma pemikiran modern.
Berikut ini akan dituliskan perbedaan dalam istilah posmodernisme dengan
Modernisme, hampir semua istilah yang diajukan posmodernisme adalah lawan modernisme. Berikut ini daftar beberapa istilah yang biasa digunakan oleh dua aliran ini:
Modernisasi Posmodernisme
Sentralisasi Desentralisasi
Pertarungan Kelas Pertarungan Etnis
Konstruksi Dekonstruksi
Kultur Subkultur
Hermenetis Nihilisme
Budaya Tinggi Budaya Rendah
Hirarki Anarki
Industri Pasca Industri
Teori Paradikma
Kekuatan Negara Kekuatan Bersama
Agama Sekte- sekte
Legitiminasi Delehitimasi
Konsensus Dekonsensus
Budaya Tradisional Libetalisasi
Konstitusi Diskonstitusi
B. Para Krikitus Posmondren dan Pendekatannya
Meskipun istilah posmodren sudah lama didengungkan, akan tetapi dikalangan ilmuan sendiri tidak seluruhnya dapat menerima kehadirannya, untuk itu wajar- wajar saja kalau ada diantara mereka melontarkan berbagai keritikan dengan argumentasi masing- masing, berdasarkan perspektif dan pendekatan yang berbeda.
Bambang Sugiharto mengatakan bahwa “posmodernisme” memang merupakan istilah yang controversial sekaligus ambigu. Posmodernisme itu bagaikan rimba belantara yang dihuni oleh aneka satwa, yang “memayungi” segala aliran pemikiran yang satu sama lain seringkali tak persis saling berkaitan. Namun kiranya cukup jelas, katanya, bahwa dalam posmodernisme gagasan- gagasan seperti “filsafat” , “rasionalitas” , dan “epistemologi” dipertanyakan kembali secara radikal. Problem posmodernisme menurut dia adalah problem keterbatasan bahasa, khususnya keterbatasan fungsi deskriptif bahasa. Dia mengusulkan agar bahasa dilihat fungsi transformatifnya.
Rasa-rasanya membicarakan post- modern sama halnya terjebak dalam permaianan ketidak- pastian. Ya, aliran pos- modern hanya bermain pada wilayah kesadaran, tetapi tidak banyak menyoal persoalan epistemologi. Kesadaran yang berasal dari ratapan dan ketidakmampuan manusia yang putus asa menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jean Francois Lytord ( 1984) dalam bukunya “The Postmodrern Condition: A Report on Knowledge” pada akhirnya mengakui bahwa perkembangan ilmu tehnologi telah mempengaruhi semua sisi kehidupan manusia.
Kritik postmodern terhadap modern bukanlah gugatan ilmiah dan teoritik , melainkan lebih bersifat emosional. Ia tidak membawa konsep yang jelas, hanya mengkeritik konsep lama, tidak memperbaharuinya, dan hanya phenomena politik saja yang melatar belakangi kemunculannya, yakni perang dunia kedua, ketika pasukan Adlof Hitler bertekuk lutut di hadapan sekutu.
Sementara itu, posmodren digambarkan sebagai dekonstruksi. Dekonstruksi (atau postsrukturalisme) adalah istilah kritik sastra, dan identik dengan filsuf Prancia, Jacques Derrida. Para dekonstruksionis tidak percaya adanya makna yang menempel pada teks. Makna hanya muncul bila pembaca/ penafsir memasuki dialog dengan teks. Makna dan teks, dengan kata lain, sebenarnya tak saling berikat. Makna sebuah teks bisa sebanyak pembaca teks.
C. Agama Dalam Kritik Posmodernisme.
Islam tidak mengingkari agama- agama lain, tetapi kenyatakan bahwa pengikut- pengikut yang kemudian dari agama- agama itu telah memasukkan kebenaran tersebut dengan ide- ide mereka sendiri, dengan berbagai cara masing- masing.
Dalam hal ini nampaknya Akbar S. Ahmed dalam bukunya “ Posmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam”, mengingatkan Islam untuk berhati- hati dalam pemanfaatan media yang merupakan ciri pokok posmodernisme.
Bambang Sugiharto (dalam Andito (ed), 1998: 29) mengumpamakan agama era postmodern seperti durian jatuh. Barakhirnya perang dingin dan kacaunya kiblat nilai, menyebabkan agama dijadikan sebagai primadona baru peradaban yang menjanjikan. Disisi lain, kenyataannya bagaikan “ kejatuhan durian di kepala” , ia pusing dan oleng karena terlalu banyak dibebani harapan posmodren. Di satu sisi ia diharapkan tampil membawa kearifan atau pemecahan persoalan, sedangkan di sisi lain, ia tampil sebagai salah satu penyebab pesoalan.
Masih menurut Bambang Sugiharto, tantangan yang dihadapi setiap agama sekarang ini sekurang- kurangnya ada tiga, yaitu :
1. Dalam menghadapi persoalan kontemporer yang ditandai disorientasi nilai dan
degrasi moralitas, agama ditantang untuk tampil sebagai suatu moral yang
otentik.
2. Agama harus menghadapi kecendrungan prulalisme, mengelolanya dalam kerangka “ teologi” baru dan mewujudkannya dalam aksi- aksi kerjasama prural.
3. Agama tampil sebagai pelopor perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan ketidakadilan. (Bambang Sugiharto dalam Andito (ed), 1998: 29- 30)
Dalam bidang bangunan, Akbar mengatakan bahwa: dalam era posmodren sekarang ini bagi orang Amerika mall adalah tandingan kontemporer bagi Mesjid. Mall mencerminkan peledakan citra konsumeris yang menggoda. Mall adalah tempat bersenang- senang para konsumeris, dan pesonanya senantiasa menggoda setiap saat. Bahkan Mall telah tiba di kota- kota Muslim, dan berkembang di Saudi Arabia, tanah suci Islam.
Selain hal diatas contoh yang lain yang muncul berkaitan dengan agama, adalah munculnya sosok Madonna dan Rusdi, mereka digambarkan perujudan zaman posmodren media Barat.
Badan Klasifikasi Film Iggris tidak sendiri dalam menghadapi bahaya melintasi batas- batas kultural. Ada dua kasus lagi yang juga menarik. Dua orang yang sangat terhormat telah memberikan reaksi terhadap apa yang telah mereka lihat sebagai provokasi dalam konteks kultur mereka sendiri. Ayatullah Khomeni telah mengutuk Rushdie karena bukunya telah dinilai menghina Tuhan; Paus mengutuk Madonna karena lagu- lagunya yang provokatif. Sebagaimana kepala stuktur keagamaan, masing- masing melaksanakan apa yang diharapkan pengikutnya. Ulama Muslim akan bereaksi sama terhadap buku tersebut seperti reaksi Ayatullah; pastur- Katolik akan menilai lagu- lagu Madonna menjijikkan.
D. Penulis dan Karya Utama Tentang Islam dan Posmodernisme
Penulis dengan karya- karya monumental posmodren pada umumnya banyak dikaji dan ditulis oleh para ilmuan Barat. Hal tersebut wajar terjadi karena konsep awal posmodren itu sendiri berasal dari Barat. Namun hal tersebut bukan memberikan hambatan bagi kalangan pemikir Islam untuk turut serta menyumbangkan karya- karyanya.
Menurut Azyumardi Azra, sejauh ini (pada tahun 1994) hanya terdapat sedikit karya yang secara eksplisit mengkaji tema posmodernisme yang sedang ngetren di kalangan pemikir Islam, termasuk di antara karya yang sedikit itu adalah:
1. Michael M. J Fisher dan Mehdi Abedi, Debating Muslim: Cultural Dialogues in Posmodernity and Tradition (1990).
2. Akbar S. Ahmed, Posmodernisme and Islam; Predicament and Promise (1992), dan buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Posmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam ( 1993).
3. Ernest Gellener, Postmodernisme; Reason and Relegion (1992).
4. Manzoor, P, Muslim World Book Review ( 1990).
Selain beberapa judul diatas terdapat pula beberapa artikel antara lain:
1. Ibrahim M. Abu Rabi, “ Riview Article, Beyond the Postmodern Mind” (The American Jurnal of Islamic Social Science, 1990).
2. Akbar S. Ahmed, “Posmodernist Perceptions of Islam: Observing the Observer” (Asian Survey, 1991).
3. P. Manzor, Politics without Truth, Metaphysics or Epistemology: Postmodernism Deconstructed for the Muslim (Muslim Word Book review, 1990).
4. Michael M. J Fisher, “Islam the Odd- Civiligation Out ?” (1992).
E. Problem dan Prospek Posmodernisme Dalam Studi Islam.
Pascamodernisme secara amalinya sudah menjadi suatu jenis agama negara yang tidak resmi mitos baru keselamatan, dengan keabsahan yang sarwajagat, yang setiap orang warganegara yang baik mesti berpegang teguh kepadanya. Secara amalinya, siapa yang gagal untuk mengikuti persepakatan yang liberal itu ia bersalah melakukan pengkhianatan. Ukuran perangai yang baik itu tidak lagi sesuatu kitab agama yang berpuncak daripada wahyu, seperti Bibel (kalau di Barat-uem) tetapi aturan-aturan pragmatis dan undang-undang yang diadakan untuk menjayakan perniagaan yang mendatangkan keuntungan.Tugas pemerintah ialah untuk menjadikan perdagangan terus menerus berjalan dan keuntungan terus menerus masuk. Ia mempedulikan kemaslahatan sosial dan kestabilannya. Ini memerlukan wang, alat keselamatan yang baharu. Dengan demikian maka kepentingan yang pusat tentang pemungut sehinga orang yang tidak berkerjasama yang mempunyai fahaman yang berlainan ditekan oleh golongan ‘inquisitor’, pejabat suci yang baharu itu.
Era posmodernisme telah menggilas semua bentuk nilai. Jangankan nilai dan etika, agama dan seperangkatnya pun tak dibutuhkan. Karena itu pula ketika Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi diusulkan menjadi peraturan bermasyarakat mereka sontak menghujat dan menolaknya.
Demikian pula ketika sejumlah aliran sesat bermunculan, kemudian Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan fatwa tentang kesesatan akidah mereka, maka sejurus kemudian mereka menuding fatwa MUI bertentangan dengan kebebasan beragama. Ironisnya lagi mereka juga menuding para ulama MUI sebagai ulama tolol
Para penganut posmodernisme memang anti ilmu dan kebenaran. Karena itu mereka menolak otoritas ulama (ilmuan). Mereka menganggap ulama sebagai biang carut-marut kehidupan.
Problem awal bahwa lahirnya era postmodernisme sendiri akibat ketidakmampuan kaum Barat menjawab tantangan dan nilai modernisme, yang sejak awal memang menegasikan Allah sebagai sumber segala sesuatu (Allah Al-Shamd). Wajar saja jika di kemudian hari Barat dan pengikutnya mengalami kepincangan dan kebutaan nilai kehidupan.
Mengenai hal ini, cendikiawan Muslim asal Palestina, Ismail Raji al-Faruqi, menyatakan, “Para ilmuan Barat menolak Tuhan dan mengusir-Nya dari alam, disebabkan oleh kebencian mereka kepada Gereja Kristen dan kewenangan palsu yang telah dipaksakan Gereja terhadap dirinya sendiri berkaitan dengan seluruh pengetahuan, termasuk pengetahuan kealaman. ” (Isma’il Raji al-Faruqi, Tawhid: Its Implications for Thought and Life, 1982).
Reaksi radikal ilmuan Barat itu mengkristal dan muncul akibat dominasi Gereja yang kaku dan dogmatis. “Sejalan dengan hal itu, hampir seribu tahun ilmu pengetahuan di Barat tidak berkembang, ” sambung al-Faruqi.
Dengan cara itulah mereka mengaku bebas melakukn ekspresi di bidang logika, fisika, seni, filsat, bahasa, teknologi, kepercayaan, ideologi, tindakan dan lainnya. Cara pandangan dan hidup demikian, menurut Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali, tidak ada bedanya dengan perikehidupan binatang. “Mereka hanya cukup puas dengan kehidupan dan kebutuhan biologis, ” tulis Al-Ghazali. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din).
Mengenai hal ini, peringatan Allah dalam surah Al-A’raf: 179, perlu kita camkan. Pada ayat itu disebutkan, bahwa mereka yang mempelajari ayat-ayat Allah tapi mereka jauh dari petunjuk-Nya. “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itu adalah orang-orang yang lain. ”
13
Untuk mensukseskan agendanya, para pemikir Barat dan muridnya bergerak dan melancarkan aksinya di dunia Muslim. Proyek pertama yang mereka lakukan tidak lagi menjajah dan mencaplok wilayah-wilayah negara-negara Muslim, tapi mereka mendirikan kajian-kajian keIslaman (Islamic Studies) sesuai dengan framework dan pandangan hidup (wordlview) mereka.
Sukses agenda pertama, mereka lalu memberikan beasiswa besar-besaran kepada para calon murid untuk studi strata dua (S2/magister ) dan strata tiga (S3/doktor) di tempat mereka. Menjelang membuat tesis dan disertasi, mereka diarahkan oleh para gurunya (orientalis) untuk mengikuti jejak mereka dalam memahami Islam.
Setelah para murid itu kembali ‘mencari’ ilmu di negeri kampung masing-masing, aliansi merusak Islam tak berhenti di situ saja. Para alumni didikan orientalis itu diminta dan didorong mendirikan lembaga penelitian, pesantren, lembaga swadaya masyarakat (LSM), penerbitan, dan lainnya, untuk melanjutkan dan menyebarkan ‘ilmu’ yang selama ini mereka peroleh kepada masyarakat Muslim.
Bantuan dana untuk kegiatan ini terhitung berlimpah. Sebut saja, saat ini ada LSM yang bergerak di bidang isu gender dan plularisme mendapat dana dari The Ford Foundation senilai Rp 10 miliar. Dana itu akan dialokasikan untuk pendidikan Paket A, B, dan C bagi masyarakat Indonesia tentang wacana gender dan pluralisme sesuai keinginan penyandang dana.
Sudah puluhan tahun mereka merintis lembaga-lembaga itu untuk merusak ilmu-ilmu Islam, dan kini hasilnya banyak murid asuhan mereka yang berpikir dan berkepribadian sama seperti mereka, para orientalis. Bahkan tak jarang para murid itu lebih orientalis.
14
Di sisi lain, dan ini sangat memprihatinkan dan menyedihkan, para alumni pesantren yang terbawa arus dan tergerus ilmunya di saat mereka menjejaki dunia perguruan tinggi.
Tak sedikit di antara mereka yang menghalalkan meninggalkan shalat wajib, banyak di antara mereka yang lebih senang mengembangkan dan menikmati seni sastra Barat dibanding dengan seni dan karya sastra Islam. Selanjutnya, mereka pun lebih nyaman hidup permisif daripada harus berhati-hati. Mereka ini lebih berbahaya dari binatang buas dan mengancam kehidupan dan isinya.
Padahal semua agama menekankan pula bahwa tidak cukup kita beriman tanpa amal kebaikan. Keimanan kita kepada Yang Esa mengantar kita kepada kepastian yang menimbulkan rasa aman serta kebahagiaan sejati lahir dan batin. Semua agama tidak memberikan supremasi kepada rasionalitas sebagaimana gerakan modern, tidak pula menggugatnya yang mengakibatkan kita hidup tanpa kepastian sebagaimana sikap posmodernisme. Agama mengandung sisi positif keduanya, menerima rasionalisasi "modern" tapi membatasi ruang lingkupnya.
Dalam Islam bukan saja filusuf seperti al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusydi yang menekankan pentingnya rasionalitas dan ilmu disamping Iman untuk kebenaran abadi, al-Qur'an sendiri bahkan menjanjikan keunggulan bagi mereka yang beriman dan berilmu sekaligus (QS. 58: 11).
Keadaan bahaya yang kita alami akibat Posmodren juga mengandung harapan. Banyak yang bisa diberikan pada dunia yang dilanda disintegrasi, sinisme dan kehilangan iman. Namun ini hanya mungkin jika sentiment ini menjadi filsafat pribadi dan kebijaksanaan luar negeri nasional, jika itu ditempatkan pada urutan pertama pada agenda yang dipersiapkan untuk seribu tahun mendatang. Ini juga adalah sumbangan Posmodren.
Oleh karena itu jika Posmodren berdampak positif bagi Islam, tidak bertentangan dengan syari’at Islam boleh. Sebab Islam tidak monoton ia berkembang menurut zamannya. Tetapi dengan berjalannya ia punya panduan (pegangan) yaitu Alquran dan Hadist
15
G. Signifikansi dan Kontribusi Pendekatan Posmodernisme dalam Studi Islam
Salah satu prinsif teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena sejak dulu hingga sekarang agama dengan tangguh menyatakan ekssestensinya, berarti ia mempunyai peran dan fungsi di masyarakat. Oleh karena itu, secara umum, studi Islam menjadi penting karena agama, termasuk Islam memerankan sejumlah peran dan pungsinya di dalam masyarakat.
Salah satu persoalan yang menarik muncul dalam pembicaraan mengenai posmodernisme bisa dipakai untuk melihat agama. Atau bagaimana posmodernisme bisa digunakan sebagai alat analisa atau strategi untuk melihat agama. Hal ini tentu agak riskan, terutama karena sebagian orang menilai bahwa pemikiran posmodernisme masih belum menemukan bentuk yang jelas.
Menurut Akbar dalam bukunya, “Posmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam”, menyampaikan bahwa : media adalah merupakan cirri pokok posmodernisme dan ia mendefinisikan peradaban global yang dominant pada zaman kita. Luasnya jangkauan Posmodernisme merupakan harapan kemenduan dan tantangannya tidak mungkin difahami tanpa memahami media.
Sifat- sifat Media dan Karektaristik Pokoknya:
1. Media tidak sentra dan tidak ingat teman.
2. Media memperhatikan warna kulit dan pada lahirnya bersifat rasis.
3. Media adalah pengabdian diri dan sangat bersifta sumbang.
4. Mass media telah membukakan kematian.
5. Pada dasarnya media bersifat demoktratis dan mewakili masyarakat umum.
6. Media telah membuat fakta menjadi lebih asing dari pada fiksi, sehingga fiksi lebih enak dilihat dan didengar.
7. Media dengan dingin bersifat netral terhadap posisi- posisi moral dan pesan- pesan spiritual.
8. Media kuat karena teknologi tinggi, tetapi tetap lemah karena antropologi cultural.
Dari uraian diatas jelas bahwa media selain mempunyai dampak positip, juga memiliki dampak negative bagi penggunaannya. Hanya saja dalam kontribusinya dalam Studi Islam kita menerapkan dalam segi positip saja melalui infomasi- informasi dan penyampaian pesan yang kita perlukan.
Bambang Sugiharto, menyatakan contoh konkrit kecenderungan dasar umum posmodernisme dalam perspektif studi agama, adalah:
(1) Konstruksi semiotis dan ideologis dari kecenderungan menganggap segala klaim tentang "realitas" (diri subyek, sejarah, budaya, Tuhan, dsb.).
(2) Skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang "substansi" objektif (meski tidak selalu menentang konsep tentang universalitas);
(3) Pluralisme sebagai upaya mengungkap realitas.
(4) Melihat secara holistik berbagai kemampuan (faculties) lain selain rasionalitas, misalnya: emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dsb. serta
(5) Penghargaan terhadap segala hal "lain" (otherness),yang lebih luas, yang selama ini tidak dibahas atau bahkan dipinggirkan oleh wacana modern, seperti, kaum perempuan, tradisi-tradisi lokal, paranormal, agama, sehingga segala hal dan pengalaman yang selalu mengelak dan pola rumusan kita.
Akan tetapi, keluasan memang berarti juga kekaburan. lnilah memang masalahnya: kekaburan istilah "posmodern" sebagian besar adalah karena kekaburan istilah "modern" itu sendiri. "modern" dalam arti mana yang dikritik "posmodernisme" itu. Berbagai kekisruhan dalam menempatkan tokoh mana dijalur mana berakar pada persoalan itu. Artinya, kendati posmodernisme bisa dicanangkan prinsip-prinsip dasarnya yang sama, - yang membuatnya bisa mencakup demikian banyak aliran - toh selalu bisa juga dilihat perbedaan-perbedaannya pada tingkat rincian-rincian. Dan sudut ini, Foucault bisa dilihat baik sebagai salah satu tokoh posmodern sekaligus juga tokoh modern, tergantung dari perspektif mana kita melihatnya.
Bertitik tolak dari beberapa uraian diatas posmodernisme berdampak harapan dan bahaya, maka sesuatu yang sifatnya berdampak positif bagi Studi Islam dan tidak bertentangan dengan nilai- nilai agama yang kita anut, maka kita ambil sebagai suatu harapan kemajuan Studi Islam , akan tetapi jika berdampak bahaya dan mengandung nilai- nilai negatip serta bertentangan dengan konsep nilai- nilai yang tertuang dalam Alquran dan Hadist maka kita menolaknya sebagai suatu yang membahayakan. Karena Islam bukanlah agama yang monoton dan ia berkembang menurut zaman.
BAB III
KESIMPULAN
Membicarakan Postmodren sama halnya terjebak dalam permainan ketidak pastian. Namun demikian , banyak para ahli membicarakan hal- hal yang berkaitan dengan posmodren itu sendiri. Sehingga tidak heran banyak perbedaan pendapat dalam mendefinisikan makna posmodren. Di sisi lain tidak semua ilmuan menerima kehadiran posmodren.
Untuk lebih mendekati makna dari posmodren, maka makna yang paling aman adalah bahwa posmodren merupakan fase kelanjutan dari modernisme. Posmodernisme mencoba melakukan subversi atas pemikiran modern yang dianggap tidak sesuai lagi .
Maka yang perlu bagi kita adalah untuk memperesentasekan posmodren dengan cara yang positip, seperti keberagaman, kebebasan meneliti dan kemungkinan untuk mengetahui dan memahami satu sama lain. Posmodren tidak perlu dipandang sebagai kesombongan intelektual, diskusi akademik yang jauh dari kehidupan nyata, tapi sebagai fase histories manusia yang menawarkan kemungkinan yang belum ada sebelumnya kepada banyak orang, sebuah fase yang memberikan kemungkinan yang lebih mendekatkan beragam orang dan kultur ketimbang sebelumnya.
Sebagai suatu penutup kiranya perlu disikapi, seandainya posmodren tersebut mengandung nilai- nilai positif bagi Islam dan tidak bertentangan dengan Syari’at Islam maka posmodren boleh kita terima dalam kehidupan kita. Sebab Islam bukannlah agama yang monoton, ia berkembang menurut zamannya. Tetapi dengan berjalannya waktu , ia punya panduan ( pegangan) yaitu Alquran dan Hadist yang senantiasa dipedomani sampai akhir zaman.
19
BIBLIOGRAFI
Amir Aziz, Ahmad, Neo Modernisme Islam di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, 1996.
Abd.Hakim,Atang Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung, 1999.
Babcock Gove, Philip, Webster’s Third New Internasional Dictionary, USA: G & C. Merriam Company Publisher Massachuset, 1996.
Centore, F. F, Being and Becoming, A Critique of Post- Modernisme, Greenwood Press, 1991.
Himawan,Adreas, “ Modernisme, Posmodernisme dan Teologi Kristen” , http:/ www. Filsafat Kita, Com, 12 Desember 2005.
Kurnia Nia dan Fauzia Amelia, Gerakan Modernisme” dalam Taufik Abdullah dkk (ed) , Eksiklopedi Tematis Dunia Islam ( Asia Tenggara) , jilid 5, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003.
Madjid,Nurchilish, Islam Kemodrenan dan Keindonesiaan, Bandung, Mizan, 1992.
M. Abu Rabi, Ibrahim, Riview Article, Beyond The Posmodern Mind, dalam : The American Jurnal of Islamic Sosial Science, Vol. 7, 1990.
Muslehuddin, Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Penerjemah: Yudian Wahyudi Asmin, Yokyakarta, Tiara Wacana Yogya, tt.
Shihab, Shihab, Islam Inklusif, cet. V, Bandung, Mizan, 1999.
S. Ahmed, Akbar, Posmodernisme Bahaya dan Harapan Bagi Islam, Bandung, Mizan, 1991.
Soejatmiko, V. Haryanto, Percah Percah Postmodernisme, http:/ www. Filsafat Kita, Com, 12 Desember, 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar