Selasa, 05 Maret 2013

MU'TAZILAH, SEJARAH TIMBUL DAN WASIL

BAB I                                                                                                                                            
PENDAHULUAN
             Mu’tazilah adalah satu macam lagi diantara gerakan- gerakan yang timbul pada masa kekuasaan Daulah Umawiyah. Gerakan ini mempunyai watak yang berbeda dari gerakan keagamaan semata- mata, tidak pernah membentuk pasukan dan tidak pernah menghunus pedang.
              Walaupun gerakan Mu’tazilah ini merupakan gerakan keagamaan, namun pada saat ia mempunyai kekuasaan ia tidak segan menggunakan kekerasan dan tekanan pada pihak- pihak yang menentangnya. Ini terjadi pada waktu Khalifah Ma’mun menganjurkan kepada ulama bahwa Alquran itu adalah makhluk. Bagi mereka yang mengatakan Alquran bukan makhluk maka mereka dipandang sebagai orang yang fasik dan menentang agama.

              Itulah corak. dari gerakan Mu’tazilah, suatu gerakan fikiran, yang telah banyak membahas beberapa peristiwa politik dengan pembahasan bersifat pemikiran. Senjatanya adalah falsafah dan akal. 
              Tatkala Khalifah Al Ma’ mun menganut beberapa prinsip- prinsip Mu’tazilah itu, ia lalu memepertahankan kepercayaannya dengan menggunakan kekuatan dan tekanan- tekanan. Namun meskipun tindakan tersebut telah dianggap aib dari kaum Mu’tazilah tetapi mereka masih dapat dibela, karena yang melakuk an tindakan tersebut adalah tindakan penguasa, bukan tindakan Mu’ tazilah. Adapun Mu’ tazilah sendiri, mereka tetap berada dalam gerakan fikiran dan falsafah, tanpa memanggul senjata, ataupun  menimbulkan kekacauan- kekacauan yang bersifat militer.
             Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam  lainnya adalah pandangan teologisnya lebih banyak ditunjang  oleh dalil-dalil aqliyah dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Mu’tazilah didirikan oleh Wasil bin Ata’ pada tahun 100 H / 718 M . 
            Berdasarkan pemahaman diatas sudah tidak dapat diragukan lagi kalau istilah kaum Rasionalis Islam sangat beralasan  diberikan kepada kaum Mu’tazilah.
            Disisi lain aliran ini juga mendapat kecaman dan keritikan tajam dari berbagai pihak, banyak hal yang menyebabkan munculnya kritikan dan kecaman itu, salah satu diantaranya karena dipandang sebagai aliran yang mengagungkan aqal manusia.
            Terlepas dari plus minusnya aliran ini, begitu pula berbagai keritik dan kecaman dialamatkan kepadanya, namun sejarah telah mencatat bahwa faham rasionalis Mu’tazilah memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan Filsafat Islam dan dengan semangat rasionalitasnya, ia pernah mengantarkan umat kepuncak kejayaannya, baik dalam  lapangan Ilmu Pengetahuan, Kebudayaan dsb.
           Untuk menggaji lebih jauh dan latar belakang sejarah munculnya serta bagaimana pemikiran  Wasil bin Ata, sebagai pendiri  aliran Mu’tazilah ini, akan diuraikan pada uraian selanjutnya.
                                                                                                                                            
BAB  II                                                                                                                                 PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Lahirnya Mu’tazilah.
              Dalam Bahasa Arab, kata Mu’tazilah merupakan isim fail dari kata                yang artinya memisahkan diri, menjauhkan diri atau menyalahi pendapat orang lain. Menurut Ahmad Warson  kata azala dan azzala mempunyai arti yang sama dengan asalnya. Arti yang sama juga akan ditemui di Munjid, meskipun ia menambahkan satu arti yaitu mengusir.
               Sebenarnya banyak perbedaan pendapat para ahli  terhadap pengertian Muktazilah, demikian pula tentang latar belakang munculnya istilah tersebut. Kalau kita melacak pengertian Mu’tazilah secara terminologis serta latar belakang pemunculan istilah tersebut, dikalangan para ahli terdapat perbedaan pendapat. Secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut:
               Penyebutan istilah ini telah lama dikenal jauh sebelum  peristiwa Wasil bin Ata’, teori ini dimajukan oleh Ahmad Amin.   Nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil  dengan gurunya Hasan Al-Bashri dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi diantara dua posisi. Kalau itu dipakai sebagai designatie terhadap golongan orang-orang yang tak mau turut campur dalam pertikaian-pertikaian politik yang terjadi di zaman “Usman Ibn _Affan dan Ali Ibn Abi Talib”. Mereka menjauhkan diri dari golongan-golongan yang saling bertikai. Golongan yang menjauh diri ini memang dijumpai di dalam buku-buku sejarah.  Al –Tabrani umpamanya menyebutkan bahwa sewaktu Qais Ibn Sa’ad sampai di Mesir sebagai Gubernur dari Ali Ibn Abi Talib, ia menjumpai pertikaian disana, satu golongan turut padanya dan satu golongan lagi menjauhkan diri ke Kharbita (I’tazalat ila Kharbita). Dalam suratnya kepada khalifah, Qais menamai mereka “Mu’tazilin”. Kalau al-Tabari menyebut nama “Mu’tazilin”, Abu al-Fida, memakai kata “al-Mu’tazilah” sendiri. 
            Menurut Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah sudah ada sebelum masa Hasan Basri, kurang lebih 100 tahun. Penyebutan “Mu’tazilah” untuk Wasil bin Ata’, Amr bin Ubaid dan kawan-kawannya hanya menghidupkan kembali sebutan lama. Suatu hal yang sukar diterima akal, kalau sebutan Mu’tazilah sebagai suatu aliran yang mempunyai corak pemikiran dan metode tertentu, terjadi   karena perpindahan tempat yang dilakukan Wasil dari sudut mesjid ke sudut yang lain.
          Golongan yang disebut Mu’tazilah sebelum Hasan Basri ialah mereka yang tidak ikut serta (bebas) dalam persengketaan yang terjadi sesudah Usman  r.a wafat. Antara Talhah dan Zuber di satu pihak dan Ali r.a di lain pihak, dan antara Ali r.a kontra  Mua’wiyah, yang kesemuanya timbul sekitar pembunuhan atas khalifah Usman r.a dan kekhilafatan   Ali r.a. Meskipun persoalan ini bersifat politik, namun mempunyai corak agama, sebab semua persoalan hidup dalam Islam, sosial, ekonomi, politik dan lainnya kesemuanya ditandai dengan corak agama. Golongan bebas tersebut mencerminkan paham politik yang bercorak agama, dan mereka mengatakan sebagai berikut: ”kebenaran tidak mesti berada pada salah satu pihak yang bersengketa, melainkan kedua-duanya bisa salah, sekurang-kurangnya tidak jelas siapa yang benar. Sedang agama  hanya memerintahkan memerangi orang-orang yang menyeleweng, maka kami akan menjauhkan diri”.
           Dari uraian diatas telah ditunjukkan bahwa  secara teknis, istilah mu’tazilah menunjukkan adanya dua golongan.
-  Golongan pertama (disebut Mu’tazilah 1) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam bersikap lunak dalam menangani pertentangan Ali bin Abi Thalib dengan lawan-lawannya terutama Muawiyah. Jadi golongan inilah yang mula-mula disebut Mu’tazilah karena menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini  bersifat netral politik yang diprediksikan akan mengarah kepada unsur stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari. Golongan selanjutnya :
-   Golongan kedua (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa  tahkim. Golongan ini  muncul karena berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.  Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam uraian selanjutnya, yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.

B. Isu Utama  (                                                                                        )
               Menurut beberapa sumber yang dibaca, istilah Mu’tazilah sebagai suatu aliran mulai populer dan melembaga sebagai suatu aliran Teologis Islam adalah dimasa Wasil bin Ata’, berpangkal dari pengertian “I’tazala”(memisahkan diri antara Wasil dan gurunya Hasan  Al-Bisri ) .
               Menurut satu teori nama itu diberikan atas dasar ucapan Hasan Al-Basri, setelah  melihat Washil  memisahkan diri. Hasan Al-Bashri diriwayatkan memberi komentar sebagai berikut: I’tazala anna (“ ia mengasingkan diri dari  kami”). Orang-orang yang mengasingkan diri disebut Mu’tazila. Mengasingkan diri bisa berarti mengasingkan diri dari majlis kuliah Hasan Al-Bashri, atau mengasingkan diri dari pendapat Murji’ah dan pendapat khawarij .
               Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antara Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut kaum Khawarij orang mukmin yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu kaum Murjiah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang kontoversial ini, Wasil bin Ata’ yang ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahului gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi diantara keduanya. Oleh karena itu diakhirat nanti tidak ada tempat diantara surga dan neraka, maka orang itu akan dimasukkan kedalam neraka, tetapi siksaan  yang diperolehnya lebih ringan dari siksaan orang kafir.     
          Menurut al – Baghdadi, Wasil dan temannya ‘ Amr Ibn ‘ Ubaid Ibn Bab diusir oleh Hasan  al- Basri dari majlisnya karena adanya pertikaian antara   mereka mengenai persoalan qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan al- Basri dan mereka serta pengikutt- pengikutnya disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari faham umat Islam tentang soal orang yang berdosa besar. Menurut mereka orang serupa ini tidak mukmin dan tidak pula kafir. Demikian keterangan al – Bagdadi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan ini. 
            Versi lain yang diberikan oleh Tasy Kubra Zadah, menyebutkan bahwa Qatadah  Ibn Da’amah pada suatu hari masuk Mesjid Basrah dan menuju ke majelis  ‘Am Ibn  ‘Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan al- Basri. Setelah nyata baginya bahwa itu bukan majlis Hasan al- Basri ia berdiri dan meninggalkan tempat itu, sambil berkata :  “ Ini kaum Mu’tazilah “.  Semenjak itu, kata Tasy Kubra Zadah, mereka desebut kaum Mu’tazilah. 
           Al- Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama itu dengan peristiwa pertikaian  faham antWasil dan ‘Amr satu pihak dan Hasan al- Bisri  dari pihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil  posisi di antara ke dua posisi itu ( al- manzilah bain al- manzilataini ), menurut versi ini mereka disebut kaum Mu’tazilah, karena mereka membuat orang berdosa  besar jauh dari ( dalam arti tidak masuk ) golongan mukmin dan kafir.
           Demikianlah dari uraian diatas dapat diambil suatu kesimpulan inilah awal mulai dikenalnya Mu’tazilah sebagai aliran dalam kajian pembahasan teologi.
             Dalam menelusuri siapakah yang pertama sekali memberikan nama Mu’tazilah tersebut, dan bagaimana sikap mereka menerima sebutan itu, para ahli terlihat berbeda pendapat, ada yang mengatakan nama itu diberikan sebagai suatu penghinaan, namun ada pula yang mengatakan bahwa nama tersebut dipilih oleh golongan Mu’tazilah sendiri. Sehingga dengan perbedaan tersebut akan dijumpai beberapa versi nama dari Mu’tazilah.
            Ada anggapan bahwa kata Mu’tazilah mengandung arti  tergelincir, dan karena tergelincirnya aliran Mu’tazilah dari jalan yang benar, maka ia diberi nama Mu’tazilah, yaitu golongan yang tergelincir. Sebenarnya kata 1’tazala berasal dari kata ’azala yang berarti ”memisahkan” dan tidak mengandung arti tergelincir. Kata yang dipakai untuk bahas Arab untuk tergelincir memang dekat dengan bunyinya ‘azala yaitu zalla .
           Orang-orang Mu’tazilah sendiri meskipun mereka menyebut diri Ahl Al-Tawhid wa Ahl Al-A’dl, tidak menolak nama Mu’tazilah itu. Bahkan dari ucapan-ucapan pemuka Mu’tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang menimbulkan nama itu. Menurut Al-Qadhi Abdul Jabber, seorang pemuka Mu’tazilah yang buku-bukunya  banyak ditemui pada abad kedua puluh Masehi, di dalam teologi terdapat  kata I’zala yang arti mengasingkan  diri dari yang   salah  dan tidak benar dan dengan  demikian kata  Mu’tazilah mengandung arti  pujian. 
          Dan menurut keterangan seorang Mu’tazilah lain Ibn Al-Murthada, nama Mu’tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain, tetapi orang-orang Mu’tazilah sendirilah yang menciptakan nama itu  .
          Dalam pada itu ada sebutan lain, yaitu “Al-Mu’attilah yang diberikan oleh golongan Ahlussunnah kepada kepada aliran Mu’tazilah sebagai ejekan. Mula-mula sebutan itu diberikan kepada aliran Jahamiah, karena Jaham bin Safwan mengosongkan Tuhan dari sifat-sifatNya. Karena persoalansifat-sifat tuhan diambil oleh aliran Mu’tazilah, maka mereka juga disebut “Mu’attilah”. Dalam buku –buku karangan Ibnu Qayyim sering-sering disebut perkataan “Mu’attilah” dan yang dimaksudkannya ialah aliran “Mu’tazilah” .
          Dari beberapa uraian diatas dapat ditarik beberapa versi nama Mu’tazilah, diantaranya:
1.Golongan yang tergelincir
2. Golongan yang memisahkan diri
3. Golongan ahl Al-Tawhid wa ahl Al-‘Adl
4. Golongan yang mengasingkan diri dari yang salah
5. Disebut juga dengan  kaum Mu’attilah
                         
BAB III
WASIL BIN ATHA’ DAN PEMIKIRANNYA

A.  Riwayat Hidup Wasil bin Atha’
          Seperti yang telah disinggung diatas bahwa aliran Mu’tazilah untuk pertama kalinya  di prakarsai oleh seorang tokoh teologis bernama Wasil bin Ata’, yang lahir di Madinah di tahun 700 M. Kemudian pindah ke Basrah dan meninggal dalam usia 49 tahun.    Nama lengkap beliau Wasil bin Atha’ Al Ghazali . 
          Ketika di Madinah Wasil nyantri (belajar) di tempat Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad  bin al- Hanafiah. Pertemuannya dengan Abu Hasyim inilah yang pada akhirnya memperkenalkan Wasil dengan konsep- konsep teologi Ma’bad dan Gailan yang nota bene adalah pengikut faham Qadariah. Setelah beberapa tahun menimba ilmu di majlis pengajiannya Hasan al- Basri di Basrah, ternyata inilah yang mengantarkan  Wasil bin Ato’ mendirikan teologi yang kemudian dikenal dengan Muktazilah.
          Aliran  ini  muncul pada abad ke 2 Hijriayah, tahun 105- 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik, beliau adalah  mantan murid dari Al – Hasan Al- Bashri.
          Dalam perkembangan selanjutnya Wasil bin Atha’ kemudian mempunyai dua murid, bernama Bisyr Ibn Abu Utsman al- Za’ farani. Dari kedua murid inilah faham Mu’tazilah kemudian dianut juga oleh Abu Huzail al- Akkaf, salah seorang tokoh terkemuka di kemudian hari, serta seorang bernama Bisyr Ibn Mu’tamar yang pada akhirnya menjadi pimpinan Mu’tazilah cabang Bagdad dan Abu Huzail lebih memeilih tinggal di Basrah bersama- sama gurunya mengembangkan paham Mutazilah ini.
          Menurut Harun Nst,  di Indonesia aliran Mu’tazilah belum begitu dikenal dan tidak disukai karena, sebagaimana  tersebut diatas, dianggap mempunyai perbedaan pendapat yang menyimpang dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemuka-pemuka Mu’tazilah dalam pemikiran keagamaan mereka banyak mempergunakan rasio. Mereka memang mempercayai pada kekuatan aqal yang dianugerahkan Tuhan kepada Manusia. Dalam penafsiran ayat-ayat teologi mereka banyak memakai pemikiran rasional. Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan kepada aqal, sehingga timbul anggapan dikalangan sebagian umat Islam bahwa mereka lebih mengutamakan rasio dari pada wahyu. Anggapan ini selanjutnya membawa kepada tuduhan bahwa kaum Mu’tazilah adalah golongan Islam yang tersesat dan tergelincir dari jalan yang lurus dan benar. Bahkan tidak sedikit orang Islam yang menganggap mereka tidak percaya kepada wahyu dan dengan demikian telah menjadi kafir dan bukan Islam lagi.

B.   Pokok  Pemikiran Wasil  dan Diskursus
         Untuk menilai  tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada Muktazilah, agar bisa kita nilai dan evaluasi,  maka berikut ini akan dipaparkan pemikirannya. Adapun pokok-pokok pemikiran Wasil yang diambil dari beberapa sumber sbb:
1.  Manzilah bainal manzilataini
    
          Menurut ajarannya ini, orang yang berdosa besar bukan kafir dan bukan pula mukmin, tetapi fasik, yang menduduki posisi mukmin dan posisi kafir. Kata mukmin merupakan sifat baik dan nama pujian yang tidak dapat diberikan kepada fasik   dengan                                                                                                          
dosa besarnya.Tetapi predikat kafir juga tidak dapat diberikan kepadanya,karena meskipun ia berdosa besar,ia masih mengucapkan syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Jika ia meninggal tanpa tobat, ia akan kekal di dalam neraka, hanya siksaan yang diterimanya lebih ringan dari siksaan orang kafir.  Sumber lain dari jalan tengah ini mereka ambil dari beberapa tokoh filsafat Yunani antara lain Aristo yang tekenal dengan tiori “jalan tengah emas”(golden means) yang mengatakan bahwa tiap-tiap keutamaan merupakan jalan tengah antara kedua ujungnya yang buruk. Keberanian misalnya, adalah tengah-tengah antara gegabah dan penakut, kedermawanan terletak di tengah-tengah antara kesombongan dan kehinaan diri.
         Inilah ajaran yang mula- mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang  melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah,  Kawarij menganggap orang tersebut sebagai  kafir bahkan musyrik, sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Boleh jadi dosa tersebut diampuni Tuhan.
         Pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari sebagai wakil Ahl As-Sunnah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahl Al-Qiblah) Walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi, jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir.
      Mengenai balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak Tuhan dapat saja mengampuninya dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaaat Nabi SAW, sehingga terbebas dari siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal seperti orang-orang  kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan Murji’ah khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa.
         Plato dalam salah satu percakapannya (dialog) mengatakan,ababila sesuatu tidak baik, tidak berarti buruk sama sekali, begitupun sebaliknya. Artinya ada satu tingkatan antara satu kebaikan dan keburukan, seperti ada alam Roh yang menjadi perantara antara Tuhan dan Manusia dan yang mondar-mandir antara alam atas (langit) dan alam bawah (bumi). 

2.  Pendapatnya tentang Keadilan Tuhan
          Tuhan bersifat bijaksana dan adil. Ia tidak dapat berbuat jahat dan bersifat zalim. Tidak mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia  berbuat hal-hal  yang bertentangan dengan perintahNya. Dengan demikian manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahatnya itu . 
          Untuk terwujudnya perbuatan –perbuatan itu, Tuhan memberikan potensi dan kekuatan pada manusia, tidak mungkin Tuhan menurunkan perintah pada manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk berbuat.
    Mewakili aliran mu’tazilah, menurut Abd al-Jabbar  bahwa “keadilan Tuhan mengandung arti Tuhan tidak berbuat dan tidak memilih yang buruk, tidak melalaikan segala kewajiban-Nya kepada manusia, dan segala perbuatan-Nya adalah baik”. Tuhan dalam pandangan mu’tazilah, mempunyai kewajiban-kewajiban yang ditentukan-Nya sendiri buat diri-Nya. Ayat al-Qur’an yang menjadi sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah antara lain:
“Kami menggunakan  neraca yang adil pada hari kiamat maka sesorang tidak akan dirugikan walau sedikitpun. Jika ada masalah yang seberat biji sawi pun pasti akan kami datangkan. Cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. al-Anbiya:47)

“Pada hari itu seseorang tidak akan dizalimi sedikit pun dan kamu tidak akan diberi balasan kecuali sesuai dengan apa yang kamu kerjakan.”(QS. Yasin:54)

 Sama dengan sikap dasar terhadap kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan yang dipahami Mu’tazilah, aliran Maturidiah Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya dan tidak akan memungkiri segala janji-Nya yang telah disampaikan kepada manusia. Abu Mansur al-Maturidi memberi dalil pandangan di atas dengan firman Allah ayat 160 surat al-An’am dan ayat 9 surat Ali Imran.
Golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kebebasan dan kehendak manusia dengan keadilan Ilahi, karena bagaimana mungkin, jika manusia itu tidak diberi kebebasan dan kehendak dalam melakukan sesuatu perbuatan dan kemudian diminta pertanggung jawaban atas akibat perbuatannya. Hal ini jelas bertentangan dengan keadilan Allah yang menghendaki agar manusia itu diberi balasan sesuai dengan perbuatannya yang dilakukan dengan kehendaknya yang bebas bukan terpaksa. Dan selanjutnya, ia dapat meniadakan kezaliman dari Allah sebab kemungkaran moral yang dilakukan manusia, dan sekiranya kemungkaran itu sudah ditentukan Allah atas manusia sejak azali, maka balasan yang diberikan atasnya merupakan suatu kezaliman. Ini bermakna, asas keadilan Ilahi menanamkan dalam diri manusia rasa tanggung jawab atas segala perbuatannya, karena ia yakin bahwa perbuatannya itu dilakukan dengan penuh kehendak dan pilihannya sendiri, dan kemudian ia memperoleh balasan atas perbuatannya itu, maka itu adalah wajar dan adil.  Selanjutnya, “Allah tidak menyukai kerusakan dan tidak menciptakan perbuatan hamba, tetapi hambalah yang melakukan apa yang diperintahkan dan yang dilarang sesuai dengan daya (qudrah) yang diletakkan Allah kepada mereka.
         Muhammad Abduh memandang soal keadilan Tuhan bukan hanya dari segi ke maha sempurnaan Tuhan, tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidakadilan tidak bisa diberikan kepada Tuhan, karena ketidakadilan tidak sejalan dengan ke maha bijaksanaan Tuhan, tidak sejalan dengan kesempurnaan hukum-hukum-Nya dan tidak pula sejalan dengan kesempurnaan peraturan alam semesta.
 Keadilan dalam pandangan Abduh,  berkaitan dengan hukuman dan balasan; baik hukum diberikan sesuai dengan kejahatan yang dilakukan dan balasan baik diberikan sesuai dengan kebaikan yang dibuat. Sifat pemurah Tuhan dapat mengubah derajat balasan baik kepada perbuatan yang baik dan melipat gandakannya. Tetapi dalam soal kejahatan perbandingannya tetap satu lawan satu. Sebuah keadilan tidak bisa mencakup pemberian sesuatu kepada orang yang tidak berhak menerimanya dan menahan sesuatu dari orang yang berhak memilikinya.
 Bagi kalangan Mu’tazilah, Tuhan yang maha bijaksana harus memiliki suatu maksud dari penciptaan alam semesta ini, dan bahwa terdapat keadilan, kebaikan dan keburukan yang objektif dalam ciptaan Tuhan, sekalipun terhadap orang yang mengesampingkan hukum Ilahi (syari’ah) mengenai kebaikan dan keburukan. Tuhan tidak akan berbuat kejahatan dan bersifat tidak adil. Sebaliknya, keburukan diciptakan oleh manusia yang telah diberikan oleh Tuhan kemerdekaan untuk melakukan perbuatan baik atau buruk. Mereka itu bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan dan akan mendapatkan pahala atau hukuman oleh Tuhan atas apa yang dilakukannya itu.
Dalam hal ini, konsep ‘keadilan Tuhan’ berdasarkan perspektif Syi’ah hampir memiliki persamaan dengan konsep Mu’tazilah, dengan demikian Syi’ah pada akhirnya membela mazhab Mu’tazilah yang menekankan pada ‘pelimpahan kekuasaan’ (tafwidh) pada manusia.  Walaupun tidak semua pendapat Mu’tazilah dapat diterima kaum Syi’ah, namun secara garis besar dapat dimasukkan kedalam kelompok ini.
                                                                                                                                      
3. Peniadaan Sifat-Sifat Tuhan
            Satu atribut  Tuhan lainnya yang kuat dipertahankan kaum Mu’tazilah adalah kemahaesaan Tuhan. Bagi mereka Tuhan adalah Maha Esa dan Maha Adil, Dalam usaha memurnikan paham kemahaesaan Tuhan, mereka menolak segala pemikiran yang dapat membawa ke paham syirik atau polyteisme. Kalau dikatakan Tuhan mempunyai sifat, maka dalam diri Tuhan terdapat unsur yang banyak, yaitu unsure zat yang disifati dan unsure-unsur sifat yang melekat kepada zat. Kalau dikatakan Tuhan mempunyai 20 sifat, Tuhan akan tersusun dari 21 unsur, kalau 40 sifat, unsur-Nya akan berjumlah 41 dan kalau dikatakan Ia mempunyai 99 sifat, maka Tuhan akan terdiri dari 100 unsur. Pemberian sifat pada Tuhan membawa kepada banyaknya jumlah yang Qadim, sedangkan dalam paham teologi Qadim itu Esa.         
            Dengan demikian Tuhan tidak mungkin diberikan sifat yang mempunyai wujud tersendiri dan kemudian melekat pada zat tuhan. Karena zat tuhan bersifat Qadim maka apa yang melekat dalam zat Nya juga harus Qadim  pula.Maka sifat itu sudah qadim bersama zatNya
                  Pendapat kaum Al-Asy’ari berlawanan dengan faham mu’tazilah. Mereka dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Tidak dapat dipungkiri bahwa Tuhan mempunyai sifat karena perbuatannya. Ia juga mengatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berkuasa dan sebagainya, disamping mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya.
          Sementara itu, Al-Baghdadi melihat adanya consensus dikalangan kaum Asy’ari, bahwa daya, pengetahuan,  hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan sabda Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat ini, kata al-Ghazali tidaklah sama dengan esensi Tuhan.
              Makturidiyah dalam hal sifat Tuhan,  dapat ditemukan persamaan pemikiran antara al-Maturudi dan al-Asy’ari, seperti dalam pendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti, sama, basher dan sebagainya. Namun demikian al-Maturidi berbeda pengertian tentang sifat Tuhan dengan al-Asy’ari. AlAsy’ari mengartikan sifat tuhan sebagai susuatu yang bukan zat, melainkan melekat pada zat itu sendiri.Sedangkan al-Maturidi mengatakan sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-nya, siafat-siaft Tuhan mulazamah (ada bersama = inheren) zat tanpa terpisah.
              Faham al-Maturidi, dalam memaknai sifat Tuhan cenderung mendekati faham Mu’tazilah. Perbedaannya al-Maturidi mengakui adanya sifat-sifat Tuhan. Sedangkan Mu’tazilah menolah adanya sifat-sifat Tuhan.
   
                                                           
4. Pendapatnya Tentang Kemampuan Aqal

           Menurut Wasil bahwa akal mampu untuk mengetahui yang baik dan yang buruk meskipun Syara’ tidak menentukannya, segala sesuatu mempunyai sifat-sifat yang membikinnya baik, atau buruk.Dengan kata lain bukan Syara’ yang membuat sesuatu itu  menjadi baik karena syara’memerintahkan untuk melaksanakannya, begitu pula tidak menjadi buruk karena syara’ melarangnya. Melainkan sebaliknya,syara memerintahkan terhadap sesuatu karena hal iti baik dan melarang sesuatu karena hal itu buruk.syara’ tidak akan memerintahkan sebalikknya,karena perintah dan larangan selalu mengikuti sifat baik dan buruk yang melekat pada sesuatu tersebut.                                                                                                                                                                                                                                     
           Dari kutipan diatas pada dasarnya aliran ini memakai faham Qadariah yang yang menyatakan bahwa berubahnya suatu kaum, pada dasarnya terletak pada kesanggupan kaum itu sendiri untuk merubahnya. Tuhan berlaku adil  memberikan manusia pada haknya sendiri untuk menetukan nasibnya  masing-masing.
                       Adapun Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan didalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi ,manusia itu memperoleh perrbuatan yang diciptakan Tuhan.

           Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila mseseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, semua itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
                                                       
 5. Janji dan Ancaman
            Prinsip ini merupakan kelanjutan dari prinsif Keadilan Tuhan. Aliran Mu’tazilah yakin Bahwa janji Tuhan akan memberikan pahalaNya dan ancaman akan menjatuhkan siksaNya atas mereka pada hari Kiamat, pasti dilaksanakanNya, karena Tuhan sudah mengatakanNya demikian.Siapa yang keluar dari dunia dengan segala ketaatan dan penuh taubat, ia berhak akan pahala. Siapa keluar dari dunia tanpa taubat  dari dosa besar yang pernah dibuatnya, maka ia akan diabadikan di neraka,meskipun lebih ringan siksanya dari pada orang kafir.
            Demikianlah, beberapa ajaran  penting dari kaum Mu’tazilah yang didasari oleh pemikiran Wasil bin Ata’ sebagai tokoh pertama berdirinya aliran ini. Dalam uraian yang diberikan diatas memang dijumpai suatu bentuk rasionalisme. Tetapi kalau kita menggaji lagi lebih dalam maka akan ditemui bahwa rasionalisme tersebut bukanlah hal yang menetang agama dan menolak wahyu, malahan rasionalisme yang tunduk dan menyesuaikan diri dengan wahyu, sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Harun  Nst dalam bukunya Islam dan Rasional.
           Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bagi kalangan Mu’tazilah, konsep keadilan Tuhan (al-‘Adalah), merupakan salah satu dari lima prinsip dasar yang memiliki kaitan antara satu dengan yang lainnya. Keadilan terkait dengan konsep tauhid karena sifat Esa adalah sifat zat Tuhan sedangkan sifat adil adalah sifat perbuatan Tuhan. Ilmu tauhid mencakup pada pembahasan dari segi Tuhan sebagai zat yang mutlak. Ketika terkait dengan keadilan, maka itu masuk kepada pembicaraan mengenai perbuatan Tuhan dari segi hubungannya dengan manusia. Hubungan itu wajib disandarkan kepada Allah sekaligus kepada manusia.
Kaitannya dengan prinsip selanjutnya, yaitu janji dan ancaman (al-wa’ad wa al-wa’id). Sebagai sebuah ajaran, kaum Mu’tazilah meyakini bahwa Allah ta’ala adalah benar dengan janji dan ancamannya¬. Allah tidak akan mengganti janjinya dan pasti akan mewujudkan janjinya di hari kiamat.  Jika seorang mukmin melaksanakan amal shalih selama hidup di dunia dan tetap dalam keadaan ta’at sampai ia mati, maka ia berhak mendapat pahala dan masuk surga bila pahalanya lebih banyak dari dosanya. Demikan juga sebaliknya, jika ia selama di dunia, ia banyak berbuat dosa dan tidak sempat bertobat, maka sebagaimana janji allah adalah ia di akhirat akan disiksa di neraka.
Dengan begitu, berdasarkan janji Allah yang demikian, maka keadilan akan terpenuhi. Allah tidak akan berdusta dengan janjinya, tidak akan berbuat zalim dan aniaya memasukkan orang-orang yang jahat kedalam surga dan sebaliknya memasukkan orang salih kedalam neraka. Inilah konsep yang adil bagi kalangan Mu’tazilah.
   Sebagai kelanjutan dari prinsip al-wa’ad wa al-wa’id, maka sebagai sebuah keadilan juga,  apabila seorang pelaku dosa besar yang masih percaya kepada Allah dan Nabi Muhammad saw, ia bukanlah termasuk kafir, tetapi bukan juga mukmin karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir, ia juga tidak layak masuk neraka. orang seperti ini berada dalam posisi al-manzilah bain al-manzilatain.
         Prinsip kelima yaitu amr ma’ruf wa nahy ‘an al-munkar, yaitu menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah berbuat kemunkaran. Ajaran ini merupakan akumulasi praktis dalam mengamalkan keempat prinsip dasar lainnya. Dengan melakukannnya, berarti telah sempurnalah lima ajaran dasar keimanan tersebut.
  Kaitannya dengan konsep keadilan, karena dengan meyakini dan mengamalkan prinsip amr ma’ruf wa nahi ‘an al-munkar maka sebagai sebuah kebajikan, pasti akan diberi ganjaran pahala dan kebaikan dari Allah, masuk kedalam kategori orang-orang yang beriman dan layak untuk masuk surga, oleh karena Allah ta’ala bersifat adil kepada hamba-hambanya yang telah melakukan kebaikan.

  





                                                                     19
                                                        

BAB IV
K E S I M P U L A N

           Setelah diuraikan secara pintas permasalahan yang berkaitan dengan Judul Mu’tazilah, Sejarah timbul, Wasil dan Pemikirannya, untuk itu maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.  Mu’tazilah adalah  salah satu aliran teologis Islam yang memiliki peranan yang penting      dalam  sejarah perjalanan filsafat Islam dan mereka  dikenal  sebagai Aliran Rasionalis yaitu suatu  aliran yang lebih banyak ditunjang oleh penggunaan aqal dan filsafat.
2.  Sebenarnya istilah Mu’tazilah telah lama dikenal oleh umat Islam sejak masa Khulafaurrasydin .Istilah ini diberikan kepada suatu kaum yang tidak mau terlibat dalam pertentangan yang terjadi antara dua kelompok dikalangan sesama umat Islam.
3. Istilah Mu’tazilah menjadi suatu aliran teologi dalam Islam bermula dari pemisahan diri Wasil bin Ata’ dengan gurunya Hasan Al-Basri dalam menanggapi perbedaan pendapat tentang dosa besar yang dilakukan oleh seorang muslim
4.  Secara garis besar dari 5 (lima) pokok pemikiran aliran Mu’tazilah ini memang    dijumpai suatu bentuk Rasionalisme,akan tetapi rasionalis yang dimaksud tidaklah menentang agama dan menolak wahyu akan tetapi rasionalisme yang  menyesuaikan diri dengan wahyu.
5.    Pokok-pokok pemikiran yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut:
       1. Manzilah bainal manzilataini
       2. Keadilan Tuhan
       3. Peniadaan sipat-sipat Tuhan
       4. Kemampuan Aqal
       5. Janji dan ancaman
                                                                                   

                                                            20
                                                            
                                                      
                 Demikianlah   uraian singkat hasil kesimpulan dari Judul Makalah ini, Penulis merasa masih banyak kesilafan dan kekurangan dalam menyampaikannya kepada pembaca. Untuk itu dengan segala kerendahan hati mohonlah kiranya kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan Makalah ini.
                                                                                         Telah direfisi:
                                                                                          Medan, 14 September  2009
                                                                                                       Pemakalah


                                                                  

                                                                                  
                                                                                               Laili  Rahmaini Hasibuan















                                                          21
                                                              
                                                                       
                                       DAFTAR  PUSTAKA
Amin, Ahmad, Fajr al Islam ,   Mesir  ,   Maktabah al Nahdah      , 1965  
Asy’ari, Al, Al-Ibanah an Ushul Ad-Dinayah, Idarah At-Tiba’ah Al-Mishriyah, tt

Aziz Dahlan, H Abdul (ed) et.el, Ensiklopedia Islam,(JakartaPT Ichtiar Baru Van      Hoeve, 2003
Daudi, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997.      
Hanafi, A,  Teologi  Islam  ,Jakarta  ,Pustaka Al Husna , cet V ,1992
Jarallah, Zuhdi, al-Mu’tazilah, Dar al Faris Li Nasyri wa al-Tauzik, Amman, 1990.
Muthahhari, Murtadha, Keadilan Ilahi, terjemahan: Agus Efendi, Mizan, Bandung, 1992.

Nasution, Harun,   Islam di Tinjau dari Berbagai Aspek,Jakarta,UI Press, 1978
_____________, Encyclopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992.
                                                                   
_____________, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, UI Press, Jakarta, 1987.
_____________, Islam Rasional :Gagasan dan Pemikiran,Jakarta,Mizan,1992    
_____________,   Islam di Tinjau dari Berbagai Aspek,Jakarta,UI Press, 1978,      jilid II       
_____________,Theologi Islam Aliran Aliran Sejarah  Analisa Perbandingan,Jakarta,Universitas Indonesia,1986  

Nasr, Seyyed Hossein, Intelektual Islam, terjemahan: Suharsono & Djamaluddin MZ, Yogyakarta, 1984.

Nasr, Seyyed Hossein, Intelektual Islam, terjemahan: Suharsono & Djamaluddin MZ, Yogyakarta, 1984.

Nasysyar, Al, Nasy’ah Al –fikr Al Falsafi Al Islam,Kairo,1966   .     

Subhi, Ahmad Mahmud Fii ‘Ilmi al-Kalami, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiah, Beirut, 1985.
Syalabi, A, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta, PT. Al Husna Zikra, 2000.

Yunan Yusuf, M,  Alam Pikiran Islam : Pemikiran Kalam, Perkasa Jakarta, 1990.

Zahrah, Imam Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Islamiah, terj. Abd. Rahman Dahlan & Ahmad Qarib, Logos, Jakarta, 1996.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar