PENDAHULUAN
Beberapa ulama besar yg membawa pembaharuan Islam di Indonesia di akhir tahun 1800-an dan awal tahun 1900 Masehi, tidak hanya belajar di Indonesia saja, tetapi mereka belajar bertahun-tahun di Mekah. Tercatat dalam sejarah bahwa para ulama2 pembaharu tersebut ternyata belajar juga pada salah seorang guru, yang merupakan juga seorang yang berasal dari Indonesia dan merupakan Imam Masjidil Haram pada saat itu. Beliau adalah Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi (lahir Isnin, 6 Zulhijjah 1276 H/26 Jun 1860 M, wafat 9 Jamadilawal 1334 H/13 Mac 1916 M).
Sampai saat ini, beliau tercatat sebagai ulama kedua dari dunia ulama Indonesia Melayu yang pernah menjadi imam dan khatib dalam Mazhab Syafie di Masjid al-Haram Mekah. Yang pertama adalah Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, pada perioda sekitar seratus tahun sebelum Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Yang ketiga adalah Syeikh Nawawi Al-Bantani, menggantikan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Dan Yang keempat adalah Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali Kudus (lahir 1277 H/1860 M, riwayat lain dinyatakan lahir 1280 H/1863 M, wafat 1334 H/1915 M).
Syaikh Ahmad Khatib telah berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy. Banyak sekali murid Syeikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi'i. Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayahanda dari Buya Hamka; Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi, Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syeikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syeikh Khatib Ali Padang, Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan Syeikh Hasan Maksum, Medan. Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari Syeikh Ahmad Khatib.
Disamping itu dua ulama terakhir (KH A Dahlan dan KH Hasyim Asyarie) juga tercatat sebagai murid Syaikh Nawawi Al-Bantani, seorang ulama dari Serang Banten (masih bernasab kepada Maulana Hasanuddin, putra sunan gunung jati dan keturunan ke-11 sultan banten). Beliau juga merupakan Imam besar Masjidil Haram menggantikan perioda Syaikh Ahmad Khatib Al-minangkabawi
Ringkasan:
1. Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi --> Imam Masjidil Haram dan Guru dari beberapa Syeikh-Syeikh Besar di Indonesia. Menguasai beberapa ilmu antara lain: fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri). Menulis 49 buku tentang masalah kemasyarakatan dan agama, tersyiar di mesir, turki dan syria. Salah satunya diantaranya polemik dan tentangan pada beberapa perkara terhadap Tareqat Naksyabandiyah dan juga polemik dan tentangan pada hukum warisan pada adat matrilineal yang diterapkan kaum adat di sumbar.
2. Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; --> Menentang dan juga Menulis Buku tentang Asal Asul Tarekat Naksyabandiyah yg diciptakan orang dari Persia dan India. Mendapat pengakuan luas tentang keahlian di bidang Ilmu Falak. Mendirikan organisasi Persatuan Kebangsaan Minangkabau
3. Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi, --> Salah satu dari Kyai golongan kaum Tua, Mendirikan organisasi politik PERTI yang hanya berpegang tegas pada satu Mazhab, yaitu hanya Mazhab Syafi’i. Berbeda pendapat dan berseberangan dengan Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Syeikh Muhammad Jamil Jambek tentang Tarekat Naksyabandiyah. Dan perbedaan pendapat juga terjadi di banyak hal-hal lain dimulai dari rukyah hisab puasa, jumlah rakaat pada sholat tarawih, dll.
4. Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, --> Bersama dengan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli mendirikan organisasi politik PERTI yang hanya berpegang tegas pada satu Mazhab, yaitu hanya Mazhab Syafi’i.
5. Syeikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, --> Bersama dengan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli mendirikan organisasi politik PERTI yang hanya berpegang tegas pada satu Mazhab, yaitu hanya Mazhab Syafi’i.
6. Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, --> Mendirikan perguruan Tawalib Padang Panjang.
7. Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Mendirikan perguruan Tawalib Parabek
8. Syeikh Khatib Ali Padang,
9. Syeikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing Tapanuli Selatan,
10. Syeikh Hasan Maksum, Medan.
11. K.H. Ahmad Dahlan --> Pendiri Muhammadiyah. Keturunan ke-12 Maulana Malik Ibrahim
12. K.H. Hasyim Asy'ari --> Pendiri NU
13. Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) -->ayahanda dari Buya Hamka
RIWAYAT SINGKAT
1) SYAIKH AHMAD KHATIB AL-MINANGKABAWI
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi'i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dia memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana menjadi guru para ulama Indonesia.
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Makkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M). Awal berada di Makkah, Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi adalah seorang ulama yang paling banyak melakukan polemik dalam pelbagai bidang. Sebagai catatan ringkas di antaranya ialah polemik dengan golongan pemegang adat Minangkabau, terutama tentang hukum pusaka.
Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi menyanggah beberapa pendapat Barat tentang kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta peredaran planet-planet lainnya yang beliau anggap bertentangan dengan pemikiran sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu. Polemik yang paling hebat dan kesan yang berkesinambungan ialah pandangannya tentang Tariqat Naqsyabandiyah. Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi telah disanggah oleh para ulama Minangkabau sendiri terutama oleh seorang ulama besar, sahabatnya. Beliau ialah Syeikh Muhammad Sa'ad Mungka yang berasal dari Mungkar Tua, Minangkabau. Sehubungan dengan sanggahannya terhadap tariqat Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau menyanggah pula teori `Martabat Tujuh' yang berasal daripada Syeikh Muhammad bin Fadhlullah al-Burhanfuri.
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabau adalah seorang yang berpendirian keras dan radikal, sungguhpun beliau menguasai banyak bidang ilmu, namun beliau masih tetap berpegang (taklid) pada Mazhab Syafie dalam fikih dan penganut Ahli Sunnah wal Jamaah mengikut Mazhab Imam Abu Hasan al-Asy'ari dan Imam Abu Mansur al-Maturidi dalam akidah. Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).
Gagasan-gagasan
Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syeikh Ahmad Khatib yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.
Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu salat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
Syeikh Ahmad Khatib juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuang dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab
Karya
Semasa hidupnya, ia menulis 49 buku tentang masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Publikasinya tersebar hingga ke wilayah Syiria, Turki dan Mesir. Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab dan Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar al-Naqiyah fi al-A'mali al-Jaibiyah. Kitab tentang ilmu Miqat ini diselesaikan pada hari Senin 28 Dzulhijjah 1303 H.
Karya lainnya adalah Hasyiyatun Nafahat ala Syarh al-Waraqat. Syeikh Ahmad Khatib menyelesaikan penulisan kitab ini pada hari Kamis, 20 Ramadhan 1306 H, isinya tentang usul fiqih. Karyanya yang membahas ilmu matematika dan al-Jabar adalah Raudhatul Hussab fi A'mali Ilmil Hisab yang selesai dirulis pada hari Ahad 19 Dzulqaedah 1307 H di Makkah. Kitab-kitab lainnya adalah al-Da'il Masmu'fi al-Raddi ala man Yurist al-Ikhwah wa Aulad al-Akhawat ma'a Wujud al-Ushl wa al-Manhaj al-Masyru', Dhau al-Siraj dan Shulh al-Jama'atain bi Jawazi Ta'addud al-Jum'atain.
2) SYAIKH MUHAMMAD JAMIL JAMBEK
Syekh Muhammad Jamil Jambek adalah ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal abad ke-20, dikenal juga sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala Nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Namun, yang jelas Syekh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Kemudian, dia dibawa ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun, untuk menimba ilmu.
Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau. Semula Syekh Muhammad Jambek tertarik untuk mempelajari ilmu sihir, tapi dia disadarkan dan diinsyafkan oleh gurunya. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais.
Ahli Ilmu Falak
Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak.
Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air. Ia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji. Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh Muhammad Jambek dihormati sebagai Syekh Tarekat.
Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Jambek berpikir melakukan kegiatan alternatif. Hatinya memang lebih condong untuk memberikan pengetahuannya, walaupun tidak melalui lembaga atau organisasi. Dia begitu tertarik pada usaha meningkatkan keimanan seseorang. Hingga kemudian dia mendirikan dua buah surau, yakni Surau Tengah Sawah dan Surau Kamang. Keduanya dikenal sebagai Surau Inyik Jambek.
Metoda Baru dalam Tabligh
Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaan di Sumatra Barat. Mengutip Ensiklopedia Islam, Syekh Muhammad Jambek juga dikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig di muka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad dalam bahasa Melayu.
Demikian halnya dengan kebiasaan membaca riwayat Isra Mi'raj Nabi Muhammad dari kitab berbahasa Arab. Dia menggantinya dengan tablig yang menceritakan peristiwa tersebut dalam bahasa Melayu, sehingga dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat. Termasuk juga tradisi membaca kitab, digantinya dengan membahas masalah kehidupan sehari-hari. Menurutnya, semua itu dilakukan karena agama diperuntukkan bagi siapa saja yang dapat memahaminya. Ia pun dikenal sebagai ulama yang lebih bergiat di aktivitas tablig dan ceramah.
Menentang Tareqat Naksyabandiyah, dan “Menulis buku tentan asal usul tareqat Naksyabandiyah yg diciptakan oleh orang dari Persia dan India”
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia "berhadapan" dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syekh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.
Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau.
Mendirikan Organisasi
Tahun 1929, Syekh Muhammad Jambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat.Di samping juga untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, dia juga turut menghadiri kongres pertama Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnya dalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Syekh Muhammad Jambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi
CATATAN PINGGIR: Sekilas Tentang Suluk dan Sufisme
Suluk secara harfiah berarti menempuh (jalan). Dalam kaitannya dengan agama Islam dan sufisme, kata suluk berarti menempuh jalan (spiritual) untuk menuju Allah. Menempuh jalan suluk (bersuluk) mencakup sebuah disiplin seumur hidup dalam melaksanakan aturan-aturan eksoteris agama Islam (syariat) sekaligus aturan-aturan esoteris agama Islam (hakikat). Ber-suluk juga mencakup hasrat untuk Mengenal Diri, Memahami Esensi Kehidupan, Pencarian Tuhan, dan Pencarian Kebenaran Sejati (ilahiyyah), melalui penempaan diri seumur hidup dengan melakukan syariat lahiriah sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian hati untuk mengenal diri dan Tuhan.
Kata suluk berasal dari terminologi Al-Qur'an, Fasluki, dalam Surat An-Nahl [16] ayat 69, Fasluki subula rabbiki zululan, yang artinya Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan (bagimu). Seseorang yang menempuh jalan suluk disebut salik.
Kata suluk dan salik biasanya berhubungan dengan tasawuf, tarekat dan sufisme. Contoh eratnya keterkaitan kata-kata tersebut bisa terlihat pada tema utama dan isi dari tiga website berikut ini, Suluk :: Hanya Sekeping Cermin…™, Suluk Homepage (keduanya dalam Bahasa Indonesia), dan Suluk Academy (dalam bahasa Inggris).
3) SYAIKH SULAIMAN AR-RASULI AL-MINANGKABAWI
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi, (lahir di Candung, Sumatra Barat, 1287 H/1871 M, wafat pada 29 Jumadilawal 1390 H/1 Agustus 1970 M. Ia adalah seorang tokoh ulama dari golongan Kaum Tua yang gigih mempertahankan mazhab Syafie.
Pendidikan
Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi adalah di Mekkah. Ulama yang seangkatan dengannya antara lain adalah Kiyai Haji Hasyim Asyari dari Jawa Timur (1287 H/1871 M - 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara (wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib Ali al-Minankabawi, Syeikh Muhammad Zain Simabur al-Minankabawi (sempat menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun 1955 dan wafat di Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minankabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minankabawi dll. sementara ulama Malaysia yang seangkatan dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara lain adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M - 1339 H/1921 M), Tok Kenali (1287 H/1871 M - 1352 H/1933 M) dll.
Ketika tinggal di Mekah, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi selain belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minankabawi, beliau juga mendalami ilmu-ilmu daripada ulama Kelantan dan Patani. Antaranya, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani.
Perjuangan
Jalan cerita Syeikh Sulaiman ar-Rasuli kembali ke Minangkabau sama dengan kisah kepulangan sahabatnya Tok Kenali ke Kelantan, iaitu setelah kewafatan Syeikh Ahmad al-Fathani (11 Zulhijjah 1325 H/14 Januari 1908 M). Tok Kenali sesampainya di Kelantan langsung memulakan penyebaran ilmunya melalui sistem pendidikan pondok yang dinamakan 'Jam'iyah al-'Ashriyah' (nama ini adalah maklumat terkini yang saya peroleh melalui telepon daripada Zaidi Hasan di Kota Bharu, Kelantan).
Demikian juga dengan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli. Sesampainya beliau di Bukit Tinggi, Sumatera, beliau mula mengajar menurut sistem pondok. Walau bagaimanapun, pengajian sistem pondok secara halaqah iaitu bersila di lantai dalam pendidikan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli berubah menjadi sistem persekolahan duduk di bangku pada 1928, namun kitab-kitab yang diajar tidak pernah diubah.
Mendirikan PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yg mempunyai hanya satu Mazhab: Syafi’i
Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersama sahabat-sahabatnya Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho mengasaskan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Kemudian persatuan tersebut menjadi sebuah parti politik yang mempunyai singkatan nama PERTI. Baik dalam sistem pendidikan mahupun perjuangan dalam parti politik, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani mempertahankan dan berpegang dengan satu mazhab, iaitu Mazhab Syafie.
Ini berarti PERTI agak berbeza dengan Nahdhatul Ulama (NU) yang diasaskan oleh Kiyai Haji Hasyim Asy'ari dan kawan-kawan di Jawa Timur. Dasar Nahdhatul Ulama (NU) adalah berpegang pada salah satu mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafie dan Hanbali). Ia tidak menegaskan mesti berpegang pada Mazhab Syafie seperti PERTI.
Kyai Haji Sirajuddin Abbas dalam bukunya, Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafie, menulis, "Beliau seorang ulama besar yang tidak menerima faham Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha." (Lihat cetakan kedua, Aman Press, 1985, hlm. 298.) Di antara ulama Minangkabau yang gigih menyokong pemikiran kedua-dua ulama Mesir itu ialah Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan Syeikh Thahir Jalaluddin al-Azhari. Ini bermakna, kedua-dua ulama yang sama-sama berasal dari Minangkabau dan semuanya seperguruan itu adalah musuh polemik Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan ulama-ulama dalam PERTI lainnya.
Perbedaan Pendapat Dengan Ulama Lain Mengenai Tarekat Naksyabandiyah
Prof. Dr. Hamka dalam bukunya yang berjudul Ayahku menulis, "Cuma beliau (maksudnya Dr. Haji Abdul Karim Amrullah) berselisih dalam satu perkara, iaitu Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mempertahankan Thariqat Naqsyabandiyah, dan salah seorang di antara Syeikhnya (mungkin maksudnya Syeikh Saad Mungka, musuh polemik Syeikh Ahmad Khathib Minangkabau, pen:), sedangkan pihak Dr. Haji Abdul Karim Amrullah dan Syeikh Jambek tidak suka kepada tarekat itu.”
Mengenai Rukyah dan Hisab Puasa
Demikian juga dalam hal puasa dengan hisab. Syeikh Sulaiman ar-Rasuli lebih menyetujui rukyah. Pernah beliau berkata, "Bagaimana tuan-tuan Kaum Muda! Kata tuan hendak kembali kepada sunah, tetapi dalam hal puasa yang nyata-nyata diperintahkan rukyah, tuan-tuan kembali mengemukakan ijtihad." (Lihat cetakan ketiga, Djajamurni, Jakarta, 1963, hlm. 247.) Pertikaian pendapat yang disebut oleh Buya Hamka antara beliau (Dr. Haji Abdul Karim Amrullah) dengan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli berdasarkan petikan tulisan di atas tidak banyak. Sebenarnya pertikaian pendapat antara 'Kaum Tua' dengan 'Kaum Muda' pada peringkat awal sangat banyak.
Sekurang-kurangnya ada 19 perkara. Contohnya perkara 'muqaranah niat sembahyang' dan 'menjiharkan lafaz niat', Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan semua ulama Kaum Tua mewajibkan 'muqaranah niat sembahyang' dan 'menjiharkan lafaz niat' adalah sunat. Berdasarkan sepakat semua ulama, 'zakat fitrah' wajib dibayar dengan makanan yang mengenyangkan. Tidak sah dibayar dengan nilai berupa wang. Perkara ini tetap dipertahankan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, semua ulama dalam PERTI, di samping ulama dalam Nahdhatul Ulama (NU), dan semua ulama di seluruh dunia Islam yang masih tetap berpegang teguh kepada Mazhab Syafie. Perdebatan mengenai zakat gaji atau zakat pendapatan tidak pernah muncul pada zaman Syeikh Sulaiman ar-Rasuli kerana ia baru muncul pada awal 1990-an, bertitik mula daripada pendapat Syeikh Yusuf al- Qardhawi.
Perbedaan pendapat mengenai Jumlah rakaat pada sholat tarawih
Mengenai sembahyang tarawih dalam bulan Ramadan, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan Kaum Tua mempertahankan 20 rakaat atau 23 rakaat dengan witir. Kaum Muda mengerjakan tarawih 8 rakaat atau 11 dengan witir. Sungguhpun ramai orang melemparkan segala yang dipertikaikan adalah berasal daripada golongan yang mereka namakan Wahabi.
Bahkan Syeikh Abdul Aziz Abdullah Baz (ulama kerajaan Arab Saudi) dalam menjawab perkara tersebut berfatwa bahawa sembahyang tarawih dan witir 23 rakaat adalah sepakat para sahabat Nabi Muhammd s.aw. Terlalu banyak perkara khilafiyah untuk dibicarakan, rasanya contoh ini sudah cukup memadai.
Kenyataan Buya Hamka yang menyebut bahawa "Syeikh Sulaiman ar-Rasuli mempertahankan Thariqat Naqsyabandiyah, dan salah seorang di antara Syeikhnya" memang benar, tetapi dalam satu riwayat lain, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli membantah Thariqat Naqsyabandiyah yang diperkenalkan oleh Dr. Syeikh Jalaluddin. Bantahan Syeikh Sulaiman ar-Rasuli tersebut dituangkan dalam Tabligh al-Amanat fi Izalah al-Munkarat wa asy-Syubuhat, bertarikh 19 Jumadilakhir 1373 H pada 23 Januari 1954 M. Buku ini dicetak oleh Mathba'ah Nusantara, Bukit Tinggi pada 1373 H/1954 M.
Pengaruh
Pada tahun 1950-an Indonesia pernah mengadakan pilihan raya membentuk sebuah badan atau lembaga yang dinamakan 'Konstituante'. Tujuan Konstituante ialah menyusun Undang-Undang Dasar yang lebih permanen, menggantikan UUD 1945 yang disusun sebagai UUD sementara menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Syeikh Sulaiman ar-Rasuli, salah seorang anggota Konstituante dari PERTI, telah dilantik mengetuai sidang pertama badan itu. Konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Beberapa orang ahli sejarah telah mencatatkan bahawa Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah memang seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan lawan. Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang menziarahi beliau. Demikian juga pemimpin-pemimpin setelah kemerdekaan Indonesia. Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa memang sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli. Pada hari pengkebumian beliau, dianggarkan 30,000 orang hadir termasuk ramai pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia.
Pandangan
Paparan mengenai khilafiyah yang saya sentuh dalam artikel ini tiada bermaksud untuk berpihak kepada sesuatu pihak. Kita yang hidup pada zaman sekarang sewajarnya cukup matang untuk membuat penilaian. Pertikaian pendapat (khilafiyah) jika ditinjau dari satu segi, adalah merugikan umat Islam kerana ia boleh mengakibatkan permusuhan sesama Islam yang dilarang oleh agama Islam itu sendiri. Ditinjau dari segi yang lain, ia mungkin menguntungkan kerana dengan adanya khilafiyah bererti mencambuk mereka yang rajin membuat penelitian. Orang-orang yang jujur dalam penilaian ilmu, yang berdepan dengan khilafiyah, mestilah rajin membaca banyak kitab dan buku berbagai-bagai ilmu.
7) SYAIKH IBRAHIM MUSA PARABAIK
Syekh Ibrahim Musa dilahirkan di Parabek, Bukittinggi pada tahun 1882. Setelah belajar pada beberapa perguruan, pada umur 18 tahun ia berangkat ke Mekah dan belajar di negeri itu selama 8 tahun. Ia kembali ke Minangkabau pada tahun 1909 dan mulai mengajar pada tahun 1912. kemudian ia berangkat lagi ke Mekah pada tahun berikutnya dan kembali pada tahun 1915. Saat itu ia telah mendapat gelar Syekh Ibrahim Musa atau Inyiak Parabek sebagai pengakuan tentang ilmu agamanya.
Ketika kembali ke Minangkabau, Inyiak Parabek mendirikan Sumatera Thawalib di Parabek, Inyiak Karim Amarullah (orang tua Buya Hamka) mendirikan Thawalib di Padangpanjang. Berdirinya Madrasah tahun 1910 dimulai dengan halaqah di Parabek. Lama pendidikannya variatif bahkan ada yang mencapai 11 tahun. Namun sejak tahun 1980 sampai sekarang menjadi 6 tahun. Bedanya, sekarang ada pendidikan Takhashus. Jadi murid Parabek yang telah tamat tapi merasa belum puas dengan ilmunya bisa menambah pendidikan non formal.
11) KH Ahmad Dahlan, Pendiri Organisasi Muhammadiyah (Keturunan ke-12 Maulana Malik Ibrahim)
Lahir 1 Agustus 1868 Yogyakarta, Meninggal 23 Februari 1923 Yogyakarta Dikenal karena Pendiri Muhammadiyah dan Pahlawan Nasional. Istri Hj. Siti Walidah Nyai Abdullah Nyai Rum Nyai Aisyah Nyai Yasin (Pendiri Aisyiyah). Anak Djohanah Siradj Dahlan Siti Busyro Irfan Dahlan Siti Aisyah Siti Zaharah Dandanah
Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.
Latar belakang keluarga dan pendidikan
Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.[1] Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).[2]
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.[1] Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.[3]
KH. Ahmad Dahlan dimakamkan di KarangKajen, Yogyakarta.
Pengalaman organisasi
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batikyang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan bermacam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun ia berteguh hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaruan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan,Al-Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah[4] di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci,Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi.[5]
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat;
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam;
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam; dan
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan kaum pria.
12) KYAI HAJI HASYIM ASY'ARIE
Lahir 10 April 1875 Demak, Jawa Tengah. Meninggal 7 September 1947 Jombang, Jawa Timur. Dikenal karena Pendiri Nahdlatul Ulama dan Pahlawan Nasional. GelarHadratusy Syaikh. Pasangan Nyai Nafiqoh Nyai Masruroh. Anak Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul Kholiq), Abdul Karim, Ubaidillah, Mashurroh, Muhammad Yusuf Abdul Qodir, Fatimah, Chotijah, Muhammad Ya’kub
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy'arie (bagian belakangnya juga sering dieja Asy'ari atau Ashari) (10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)–25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar diIndonesia.
Keluarga
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya[rujukan?]: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy'ari (Jombang), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang)
Pendidikan
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo,Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi.
Perjuangan
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, KH Hasyim Asyari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.
Pada tahun 1926, KH Hasyim Asyari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
13) SYAIKH HAJI ABDUL KARIM AMRULLAH --> ayahanda Buya HAMKA
Haji Abdul Karim Amrullah, disebut pula sebagai Haji Rasul, dilahirkan di desa Kepala Kabun, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat pada tanggal 10 Februari 1879, dengan nama kecil Muhammad Rasul. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Amrullah, seorang syekh dari tarekat Naqsyabandiyah. Ibunya bernama Andung Tarawas.
Pada tahun 1894 beliau dikirim ayahnya ke Mekah untuk menimba ilmu, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib yang pada waktu itu menjadi guru dan imam Masjidil Haram.
Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Pada tahun 1925, sepulangnya dari perjalanan ke Jawa, beliau mengembangkan cabang organisasi Muhammadiyah di Minangkabau, yaitu di Sungai Batang, kampung halamannya.
Haji Abdul Karim Amrullah wafat pada tanggal 2 Juni 1945.
Salah satu puteranya, yaitu Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.
Catatan kaki
1. ^ a b Kutojo dan Safwan, 1991
2. ^ Yunus Salam, 1968: 6
3. ^ Yunus Salam, 1968: 9
4. ^ Bukan Ahmadiyyah yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad. Lihat: Mubarok, Aceng Husni (2010), Menziarahi Batu Nisan Tajdid: Refleksi Jelang Seabad Muhammadiyah, dalam "Satu Abad Muhammadiyah: Mengkaji Ulang Arah Pembaharuan", Dawam Rahardjo, dkk.
5. ^ Kutojo dan Safwan, 1991: 33
Daftar pustaka
• Salam, Yunus (1968). Riwayat Hidup KHA. Dahlan. Amal dan perjuangannya. Jakarta: Depot Pengadjaran Muhammadijah.
• Kutojo, Sutrisno, Mardanas Safwan (1991). K.H. Ahmad Dahlan : riwayat hidup dan perjuangannya. Bandung: Angkasa.
• Ricklefs, M.C. (1994). A History of Modern Indonesia Since c. 1300, 2nd ed. Stanford: Stanford University Press.
• Vickers, Adrian (10 September 2010). A History of Modern Indonesia. New York: Cambridge University Press. ISBN 0-521-54262-2.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar