A. PENDAHULUAN
Kemukjizatan al-Qur’an dari aspek kondisi Nabi yang Ummi merupakan rencana agung Tuhan yang sangat Luarbiasa. Hanya Tuhanlah yang Maha Agung yang dapat mengucapkan kata kata indah Alquran, mengolah dan menata logika-logika maknanya. Bukan Muhammad, setan atau jin apalagi tukang peramal yang bisa mendisain proyek logika agung Alquran ini, baik dari segi makna, argumen-argumen maupun akrobatika dialektika teksnya. Terlalu berat resikonya kalau Muhammad yang ummi dan cerdas nalar serta akhlaknya membuat proyek Agung Alquran.
Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril. Ia merupakan kitab suci, pedoman seluruh ummat manusia di muka Bumi. Bagi ummat yang telah tercerahkan keimanannya meyakini Alquran sebagai kitab lengkap yang tiada tandingannya dengan kitab atau buku (teks) lain. Pengagum Alquran, dari ahli Islam menilai Alquran memiliki gaya bahasa khas yang dalam penataannya berbeda dengan bahasa yang biasa.
Pujian para ahli terhadap Alquran merupakan hal yang wajar karena berdasarkan sejarah kelahirannya, Alquran telah berhasil menentang masyarakat Arab yang yang tidak mengenal perikemanusiaan tetapi sangat tinggi peradaban sastra bahasanya. Bangsa Arab, saat itu dengan kepiawaian bahasa sastranya mencoba menyaingi bahasa Alquran melalui puisi-puisinya yang terkenal indah, namun bahasa mereka tidak sanggup mengungguli, dan tenggelam dalam keindahan bahasa Alquran. Dalam kontek ini bahasa Alquran berarti sebagai pihak pemenang melayani tantangan budaya bahasa Arab. Kemenangan, kekuatan, keistimewaan atau keunggulan Alquran melayani tantangan yang membuat pihak penantang tak berkutik (lemah), dalam diskursus ilmu Alquran disebut denagn I’jaz Alquran.
KEUMMIAN NABI DAN KEOTENTIKAN ALQURAN
B. KEUMMIAN NABI
Surat al-‘Alaq yang diturunkan kepada Muhammad di satu sisi menyiratkan adanya peristiwa ketidakmampuan Nabi membaca (ummi), dan adanya pencerahan kepada Nabi Muhammad di sisi lain. Untuk mendukung secara tegas sifat keummian nabi selain dari yang tersirat pada peristiwa turunnya Alqura dapat dilihat dalam surat al-A’raf ayat 157 ;
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Alquran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Ayat di atas menjelaskan kepada Musa tentang akan adanya Nabi yang ummi sebagai yang telah tertulis dalam kitab Taurat dan Injil, yang akan bertugas menegakkan amar ma’ruf. Adanya Nabi Ummi yang dikaitkan dengan Kitab Taurat dan Injil dalam ayat tersebut, semakin memperkuat kemukjizatan Alquran dalam menangkal tuduhan kepada Nabi saw sebagai penjiplak kitab suci dari Taurat dan Injil. Bahasa Alquran yang redaksi dan isinya sangat mengagumkan dan mengungkap banyak hal yang tidak dikenal pada masanya, mustahil dapat dijiplak oleh seorang Nabi yang ummi.
Inilah yang tidak dipahami para pemaki Alquran, terutama para sarjana Barat dan Pemikir Sekuler, yang terus menerus mengecam orisinilitas Alquran. Mengapa mereka lebih bersemangat meneliti teks al-Quran secara parsial tetapi tidak mampu menelusuri kebenaran Nabi Ummi yang juga terdiktum dalam teks. Padahal kegelisahan Nabi menjelang turunnya wahyu yang tidak mampu memahami kondisi masyarakat termasuk memahami Khadijah sebagai istrinya yang selalu menyembah berhala, merupakan bukti empiris keawaman Nabi (ummi). Dalam surat al-Ankabut ayat 48 semakin dipertegas kebenaran sifat ummi Nabi.
Artinya : “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Alquran) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; Andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari (mu).
Tentu saja sifat ummi nabi ini tidak terjadi lagi setelah mendapatkan Wahyu dari Allah swt,. Turunnya surat al-‘Alaq pada Muhammad teleh membentuk keperibadiannya menjadi lebih mantap dalam keimanan dan menjadi luas dalam berwawasan (berilmu pengetahuan). Dengan kata lain Nabi Muhammad saw, telah memperoleh pendidikan dari Allah swt, dalam melintasi alam keilmuan Mikro maupun Makro. Kata rabb dalam surat al-‘Alaq yang berarti Tuhan berasal dari kata rabba yang mengandung makna pendidikan secera evolutif ; sejak merawat, tumbuh lalu berkembang hingga menjadi insan cerdas dan berbudaya.
Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan adanya kata rabb dalam bismi rabbik surat al-‘Alaq bukan kata Allah, untuk membedakan dari pikiran masyarakat Jahiliyah (kaum musyrik) yang memandang Allah memiliki anak-anak wanita, Allah tidak bisa mereka hubungi karena demikian tinggi-Nya sehingga para Malaikat dan berhala-berhala perlu disembah sebagai perantara mereka dengan Allah . yang punya anak dan menerima Sesajen. Dengan demikian kata rabb dalam mata pandangan jahiliyah merupakan fenomena yang berbeda. Bahkan rabb dipahami mereka sebagai tuan-tuan yang mulia yang umumnya disematkan kepada tokoh-tokoh Jahilyah yang dipandang terhormat dan mulia. Tokoh-tokoh seperti Abu Jahal, Walid al-Mughirah dan lain-lain adalah tokoh yang banyak hartanya karena itu dipandang mulia oleh kaum jahiliyah .
Oleh karena itu, dalam ayat berikutnya surat al-‘Alaq dijumpai kata Rabbuk al-Akram (dalam bentuk superlatif) yang berarti Tuhan Paling Mulia, bukan Tuhan dalam arti tuannya kaum Musyrik yang hanya mulia dengan tidak menggunakan bentuk kata superlative.
Dengan demikian Tuhan Nabi adalah Allah yang Paling Mulia yang Maha Kasih, Maha Pendidik dan Maha Pencerah. Tuhan Nabi adalah Allah SWT, yang mencerahkan Nabi saw dari ummi ke dalam keperibadian yang cerdas yang mampu menangkap dan memahami lebih mendalam realitas, struktur maupun stratafikisasi sosial masyarakatnya. Dibanding ketika belum turunnya wahyu, Nabi masih dalam keadaan gelisah pulang pergi ke Gua Hira dan bertanya-tanya dalam memahami kondisi masyarakatnya yang senantiasa terjelembab menyembah dan percaya kepada benda-benda tak berdaya. Seperti kepada berhala dengan menaburkan sesajen.
Dalam kondisi Nabi saw, yang sudah cerdas karena memperoleh pendidikan dari mukjizat Alquran, maka Allah swt, mengutus Nabi menjadi Rasul untuk betugas mencerahkan dan mengajar di tengah-tengah masyarakat yang ummi (terbelakang), sebagaimana termuat dalam surat al-Jum’ah ayat 2 :
Artinya : “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Muhammad memang sudah cerdas karena kalau Nabi masih ummi tidak mungkin ditugaskan di tengah-tengah masyarakat yang juga ummi. Bagaimana mungkin yang ummi harus mencerdaskan yang ummi. Rasanya mustahil jeruk bertemu jeruk yang sama-sama kecut kecuali yang satu manis diperas dan dimasukkan ke dalam yang kecut baru jeruk yang kecut akan bisa menjadi manis.
Lalu timbul pertanyaan apakah Nabi yang sudah menjadi jeruk manis, dalam arti sudah cerdas dengan pikiran-pikiran manisnya kemudian berdasarkan nafsunya menciptakan ayat-ayat Alquran dengan licik? Atau sebagaimana sering dituduh kaum Kafir Arab waktu itu dan sarjana-sarajana Barat selama ini, bahwa nabi adalah propaganda yang pandai menyihir atau meramal segala hal yang membuat masyakat terhipnotis oleh ajarannya?
Tuduhan-tuduhan yang demikian adalah juga mustahil bagi Nabi yang sudah mendapatkan mukjizat Alquran melakukan tindakan sesat yang menodai Kemahagungan Allah SWT, Dengan akhlak Alquran yang juga merupakan mukjizat terbesarnya, tidak mungkin bagi Nabi membuat ayat-ayat Alqur’an baru yang bukan berasal dari wahyu. Taruhan hukumannya sangat beresiko bagi Nabi seandainya ia membikin-bikin ayat Alquran yang bukan dari Allah sebagai pendidiknya. Alquran selalu mengontrol Nabi dan dengan tegas mengancamnya, akan memotong urat tali jantungnya seandainya ia melakukan hal tersebut. Firman Allah swt, surat al-Haaqqah ayat 44-46.
Artinya : “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) kami, Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar kami potong urat tali jantungnya”.
Inilah yang membuat Fazlurrahman, pemikir kontemporer Islam, merasa terheran-heran mengapa banyak orang tidak memahami kondisi Nabi yang ummi dengan mukjizat Alquran. Orang-orang kafir dan para sarjana Barat selama ini, kata Fazlurrahman, masih memandang Nabi dan mukjizat Alquran berdasarkan penelitian kulitnya saja, tidak menelusuri lebih jauh ke dalam akar-akarnya. Terutama mendalami akar-akar kekokohan ayat Alquran yang satu sama lain saling memperkuat dan memagari. Adalah tidak logis, dangkal, dan pencemburu maniak, demikian Fazlurrahman, jika tuduhan gila, ayan dan tukang ramal yang dilemparkan kafir arab (termasuk sarjana barat zaman ini) kepada Nabi SAW. terjadi setelah Alquran menampakkan gaungnya .
C. KEOTENTIKAN ALQURAN
Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu diantaranya adalah ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. “Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun” (sesungguhnya kami yang menurunkan Al-Quran dan kamilah pemelihara-pemelihara-Nya) (QS 15:9).
Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.
Demikianlah Allah menjamin keotentikan Al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar ke Maha kuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh mahluk-mahluk-Nya, terutama oleh Manusia. Dengan jaminan ayat diatas, setiap muslim percaya bahwa apa yang dibaca dan didengarnya sebagai Al-Quran tidak berbeda sedikitpun dengan apa yang pernah dibaca oleh Rasulullah saw., dan yang didengar serta dibaca oleh para sahabat Nabi saw .
Keaslian yang tak dapat disangsikan lagi telah memberi kepada Qur-an suatu kedudukan istimewa di antara kitab-kitab Suci, kedudukan itu khusus bagi Qur-an, dan tidak dibarengi oleh Perjanjian lama dan Perjanjian Baru. Dalam dua bagian pertama daripada buku ini kita telah menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam Perjanjian Lama dan empat Injil, sebelum Bibel dapat kita baca dalam keadaannya sekarang. Qur-an tidak begitu halnya, oleh karena Qur-an telah ditetapkan pada zaman Nabi Muhammad, dan kita akan lihat bagaimana caranya Qur-an itu ditetapkan.
Orang mengatakan bahwa teks yang ada pada abad VII Masehi mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk dapat sampai kepada kita tanpa perubahan daripada teks yang jauh lebih tua daripada Qur-an dengan perbedaan 15 abad. Kata-kata tersebut adalah tepat, akan tetapi tidak memberi keterangan yang cukup. Tetapi di samping itu, keterangan tersebut diberikan untuk memberi alasan kepada perubahan-perubahan teks kitab suci Yahudi Kristen yang terjadi selama berabad-abad, dan bukan untuk menekankan bahwa teks Qur-an itu karena lebih baru daripada teks kitab suci Yahudi Kristen, lebih sedikit mengandung kemungkinan untuk dirubah oleh manusia.
Bagi Perjanjian Lama, yang menjadi sebab kekeliruan dan kontradiksi yang terdapat di dalamnya adalah: banyaknya pengarang sesuatu riwayat, dan seringnya teks-teks tersebut ditinjau kembali dalam periode-periode sebelum lahirnya Nabi Isa; mengenai empat Injil yang tidak ada orang dapat mengatakan bahwa kitab-kitab itu mengandung kata-kata Yesus secara setia dan jujur atau mengandung riwayat tentang perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan realitas yang sungguh-sungguh terjadi, kita sudah melihat bahwa redaksi-redaksi yang bertubi-tubi menyebabkan bahwa teks-teks tersebut kehilangan autentisitas. Selain daripada itu para penulis Injil tidak merupakan saksi mata terhadap kehidupan Yesus.
Selain daripada itu kita harus membedakan antara Qur-an, Wahyu tertulis, daripada Hadits jami' kumpulan riwayat, tentang perbuatan dan kata-kata Nabi Muhammad. Beberapa sahabat Nabi telah mulai mengumpulkannya segera setelah Nabi Muhammad wafat.5 Dalam hal ini, dapat saja terjadi kesalahan-kesalahan yang bersifat kemanusiaan karena para penghimpun Hadits adalah manusia-manusia biasa; akan tetapi kumpulan-kumpulan mereka itu kemudian disoroti dengan tajam oleh kritik yang sangat serius, sehingga dalam prakteknya, orang lebih percaya kepada dokumen yang dikumpulkan orang, lama setelah Nabi Muhammad wafat.
Bagi Qur-an, keadaannya berlainan. Teks Qur-an atau Wahyu itu dihafalkan oleh Nabi dan para sahabatnya, langsung setelah wahyu diterima, dan ditulis oleh beberapa sahabat-sahabatnya yang ditentukannya. Jadi, dari permulaan, Qur-an mempunyai dua unsur autentisitas tersebut, yang tidak dimiliki Injil. Hal ini berlangsung sampai wafatnya Nabi Muhammad. Penghafalan Qur-an pada zaman manusia sedikit sekali yang dapat menulis, memberikan kelebihan jaminan yang sangat besar pada waktu pembukuan Qur-an secara definitif, dan disertai beberapa regu untuk mengawasi pembukuan tersebut.
Wahyu Qur-an telah disampaikan kepada Nabi Muhammad oleh malaikat Jibril, sedikit demi sedikit selama lebih dari 20 tahun. Wahyu yang pertama adalah yang sekarang merupakan ayat-ayat pertama daripada surat nomor 96. Kemudian Wahyu itu berhenti selama 3 tahun, dan mulai lagi berdatangan selama 20 tahun sampai wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 632 M.; dapat dikatakan bahwa turunnya Wahyu berlangsung 10 tahun sebelum Hijrah (622) dan 10 tahun lagi sesudah Hijrah.
Wahyu yang pertama diterima Nabi Muhammad adalah sebagai berikut (Surat 96 ayat 1-5):6
"Bacalah dengan {menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya."
a. Muhammad Sebagai Nabi Penutup.
Dikaitkan dengan kemukjizatan Alquran kehadiran Nabi penutup ini bukan tidak kuat dijadikan argumen. Tidak sedikit orang mencoba mengaku Nabi baik sejak di zaman Nabi hingga zaman modern ini kandas di tengah jalan. Memang pernah ada yang mengaku Nabi tiba-tiba menjulang ke permukaan tapi hanya terasa kilatan apinya saja, setelah itu padam tak berkilat lagi.
Di zaman Nabi ada seorang murtad yang namanya Musailamah al-Kadzdzab mengklaim dirinya sebagai Nabi. Ia bahkan mengaku mendapat wahyu dari Allah swt, dan mencoba menyampaikan wahyunya itu di tengah-tengah Masyarakat Arab dengan ayat wahyunya yang cukup menggelikan yaitu;
“Gajah, apakah gajah, tahukah engkau apa gajah?. Dia mempunyai belalai yang panjang dan ekor yang mantap. Itu bukanlah bagian bagian dari ciptaan Tuhan kita yang kecil”
Kalimat di atas tampak sangat dangkal maknanya dan terasa dibuat-buat. Kata yang digunakannya tidak tepat dengan kata yang biasa dipakai Alquran. Alquran tidak pernah menggunakan kata wa ma adraka pada hal-hal seperti binatang gajah, kecuali pada hal-hal yang luhur dan sukar hakekatnya dijangkau oleh pemikiran manusia. Karena itu, Alquran tidak menggunakan kata itu kecuali untuk hari kiamat, surga, neraka, bintang tertentu yang gemerlapnya menembus cakrawala, dan perjuangan mendaki menuju hadirat ilahi .
Di zaman modern ini juga pernah muncul klaim kenabian di India bernama Mirza Ghulam Ahmad, namun dalam beberapa penjelasan terdapat penegasan bahwa kenabian Mirza hanyalah sejenis nabi kecil. Nabi yang tidak berpengaruh karena dia tidak mampu menunjukkan kitab sucinya yang benar-benar asli dari Allah swt,k konon kitab yang dimilikinya hanyalah cuplikan ayat–ayat Alquran yang direkayasa dengan tambahan-tambahan. Kalimat tambahan itu diklaim sebagai seolah-olah wahyu yang diturunkan kepada Mirza Ghulam Ahmad.
Di Amerika yang bernama Joseph Smith, yang oleh para pengikutnya dari Kristen sekte “The Church of Yesus Chirst of Letter Day Saint” (kaum “mormon”) juga dianggap sebagai Nabi. Tapi, ia setaraf dengan levelitas pengakuan Mirza sebagai hanya Nabi kecil. Pengaruhnya tenggelam dalam lautan tak berasin sehingga mati tak menjadi ikan lagi .
Uraian di atas membuktikan bahwa Muhammad sebagai Nabi penutup benar adanya, dan hingga sekarang tidak mungkin lagi muncul nabi baru yang mampu menandinginya. Apapun simbol, perangkat dan instrumen yang dikerahkannya untuk mengaku sebagai Nabi, termasuk Lia Aminuddin baru–baru ini, tampaknya hanya utopia.
Ketidak mampuan ini, menurut Ismail Al-Faruqi , adalah kelemahan arus manusia modern yang tidak mampu menembus dimensi rantai ilahiyah. Ini berarti dibalik manusia modern terdapat kelumpuhan mutlak meniru apa yang secara genuine diciptakan Yang Maha Mutlak, yaitu Allah. Maka bahasa Nabi lewat kitab sucinya tidak lagi bisa dicontoh oleh manusia modern.
Bahasa Nabi dalah bahasa pamungkas bahasa yang tidak bisa dibuka lagi oleh rivalitas keindahan bahasa Manusia. Bahasa Nabi SAW. adalah bahasa Alquran ; bahasa keindahan yaitu bahasa I’jaz; bahasa penutup yang tidak bisa dibuka dan disaingkan lagi oleh bahasa teks biasa. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah swt. Surat al-Ahzab ayat 40
Artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi. dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
b. Aspek Tadwin
Tadwin adalah upaya menghimpun atau membukukan Alquran yang dilakukan sejak zaman Abu Bakar hingga zaman Usman bin Affan. Penghimpunan yang sangat sederhana sebenarnya telah dilakukan oleh Nabi saw sendiri dalam lembaran-lembaran tulisan tangan (manuskrip), dan tidak semata dipertaruhkan kepada hafalan para sahabat belaka. Menurut riwayat, Nabi selalu memerintahkan para sahabatnya untuk menulis (mencatat) wahyu yang baru diterima sehingga saat itu terkenal pembukuan dengan nama lembaran-lembaran (shuhuf). Ini diisayaratkan dalam firman Allah surat al-Bayyinah ayat 2-3 :
Artinya : “(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Alquran), di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab yang lurus”.
Ayat di atas menyebutkan Rasulullah membacakan ayat–ayat Alquran dari lembaran-lembaran suci. Informasi ini menunjukkan bahwa penulisan dan pencatatan wahyu Allah sudah terwujud sejak zaman Nabi saw sendiri. Betapa pun penulisan (penghimpunan) itu baru sebatas dalam lembaran-lembaran yang tidak dibukukan dalam sebuah buku berjilid atau mushhaf, namun penulisan itu dibuatnya dengan lengkap.
Penghimpunan Alquran secara serius (bentuk jilid) baru dimulai atas usul Umar Ibnu Khaththab kepada Khalifah Abu Bakar. Usul ini dilatarbelakangi oleh banyaknya para khuffadz yang gugur dalam pertempuran Yamamah. Sebuah riwayat menuturkan bahwa Umar bin Khaththab menanyakan tentang sebuah ayat dari Kitab Allah. Setelah dijelaskan bahwa ayat tersebut di tangan seseorang yang telah tewas dalam peperangan Yamamah. Umar terkejut seraya berteriak mengucapkan; “innalilahi wa inna lillahi raji’un. Lalu Umar segera memerintahkan agar semua (catatan) ayat Alquran dikumpulkan .
Dalam riwayat itu Umar disebut yang pertama kali mengumpulkan Alquran ke dalam mushhaf. Tapi sesungguhnya yang dimaksudkan adalah gagasan Umar yang diajukan kepada Abu Bakar yang otoritasnya sebagai khalifah. Tiga tokoh pupuler yang sering disebut pengumpul pertama Alquran adalah Abu Bakar, Umar dan Zaid ibn Tsabit. Abu Bakar memanggil Zaid ibn Tsabit atas gagasan cemerlang Umar untuk mengumpulkan Alquran karena banyaknya Khuffad terbunuh dalam perang Yamamah. Zaid pada mulanya menolak karena tidak pernah terjadi di zaman Nabi, tapi demi kemaslahatan kemudian ia melakukannya.
Atas perintah itu Zaid mulai mengumpulkan Alquran dengan menggunakan metode yang sangat teliti ia ambil data-data dari pelepah kurma, tulang pipih dan hafalan Ia tidak akan mencatat ayat Alquran sebelum adanya dua saksi. Meskipun ia hafal Alquran di luar kepala ia tidak akan menulis Alquran sebelum terlebih dahulu melakukan verifikasi data. Salah satu contohnya adalah dalam menggali dua ayat terakhir surat al-bara’ah yang hilang yang kemudian ditemukan di tangan sahabat yang bernama Abu Khuzaimah al-Anshari.
Ketelitian methode Zaid bukan sebatas penyelusuran data ayat Alquran yang ada di tangan (hafalan) para sahabat atau dua saksi, melainkan dengan sistem cross-check ia meminta kesaksian pada yang mengaku ayat Alquran itu berasal langsung dari Nabi. Meskipun, sebenarnya, Zaid mengetahui bahwa bagian ayat Alquran itu merupakan bagian ayat yang otentik . Hasil penelitian zaid ibn Tsabit yang kemudian menjadi bentuk lembaran-lembaran kitab suci itu tetap disimpan pada Abu Bakar. Setelah Ia meninggal lembaran itu dipindahkan ke Umar dan setelah Umar meninggal diserahkan kepada anaknya Hafshah (janda Nabi saw) .
Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, pemimpin perang Hudzaifah ibn al-Yaman melaporkan kepada Usman telah terjadi perbedaan di berbagai tempat mengenai bacaan Alquran. Hudzaifah memberi saran kepada Usman segera mengambil tindakan agar tidak terjadi konflik lebih dalam mengenai bacaan Alquran. Khudzaifah tidak ingin perselisihan bacaan kitab suci seperti terjadi pada kitab kaum Nasrani dan Yahudi.
Usman kemudian mengirim utusan kepada Khafshah untuk meminjam shuhuf (lembaran-lembaran) kitab suci yang ia warisi dari ayahnya Umar, yang berasal dari Abu Bakar. Setelah Hafsah mengirim shuhuf itu kepada Usman, beberapa orang ditunjuk Usman antara lain Zaid, Sa’id ibn al-‘Ash dan Abdullah ibn al-Zubair untuk menyalin shuhuf tadi ke beberapa naskah. Kemudian Usman berbicara kepada beberapa kelompok Islam dari suku Quraisy, “jika kalian berbeda pendapat dengan Zaid, maka tulislah kata-kata dari Alquran itu menurut dialek Quraisy karena ia diturunkan dalam dialek ini”
Setelah tugas penyalinan shuhuf selesai mereka lakukan, Usman mengirim satu naskah ke masing-masing pusat terpenting wilayah Kekhalifahan. Ia selanjutnya mengintruksikan agar membakar semua bahan tertulis tentang Alquran baik yang berbentuk lembaran terpisah maupun yang berwujud buku. Upaya tegasnya itu sangat efektif dalam mempersatukan umat tentang perlunya bacaan induk Alquran.
Surat-surat Qur-an yang berjumlah 114, diklasifikasi menurut panjang pendeknya, dengan beberapa kekecualian. Oleh karena itu urutan waktu (kronologi) wahyu tidak dipersoalkan; tetapi orang dapat mengerti hal tersebut dalam kebanyakan persoalan.
Kini induk Alquran itu terkodifikasi--dengan nama Mushhaf Utsmani--tanpa ada lagi orang yang mampu merombaknya .
KESIMPULAN
Alquran sebagai kalam Allah telah terjaga kemukjizatannya sejalan dengan pengakuan Alquran itu sendiri. Ia kalam yang telah membuktikan dirinya menghadapi segala denyut tantangan Masyarakat yang tidak puas dengan kehadirannya. Tetapi ia bukan kalam ambisius melainkan kalam bijak yang mengatasi dan menghadapi ambisi penantang para pelawannya. Kalam mukjizatnya tidak sporadis, ia menantang lawannya yang mengajak bertanding dengan cara berangsur. Pertama ia menantang dengan satu surat, kedua dengan dengan dua butir surat dan ketiga dengan sepuluh surat. Tahap satu dengan cara minus, para penantang terdiam. Tahap kedua dengan cara midle, para penantang kebingungan, dan pada tahap paling top yaitu dengan sepuluh surat, para penantang pun mati kebelinger tak mampu lagi menandinginya.
Kemukjitan Alquran tidak cukup dengan pengakuan normative belaka. Ia pun menyodorkan figure empiris yaitu sang penerima awal Alquran dalam sosok Nabi yang ummi. Nabi yang tidak mampu tulis baca tapi nabi yang cerdas sekaligus senjata pamungkas dalam memerangi para penuduh yang memandang Nabi sebagai penjiplak dan pembuat Alquran. Kecerdasannya merupakan cahaya yang menerangi gurun sahara yang kejam dan terbelakang.
Kemukjizatan yang paling empiris adalah kekuatan dan keterpeliharaan kodifikasi Alquran. Sungguh telah membuktikan bahwa Alquran hingga kini tidak ada yang tercabik ayatnya, tidak ada yang tertukar suratnya. Dari dulu hingga kini tetap tidak berubah; rapih dan tertata. Ia tetap tertutup dengan emas pencerahan meskipun dihujat dan diinjak atau disimpan dalam kastok. Ia masih tetap menyemburkan cahaya ke alun-alun dunia, dan memikat awan para intelektual yang ikut menderaskan hujan pengamalannya. Tentu dari sinilah kita harus terus menangkap deras cinta Alquran untuk bersama-sama dengan sekuat tekad pengamalan dan tenaga penjagaanya.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.M. Quraish Shihab, Membumikan Alquran, Bandung, Mizan, 1994
Dr.M. Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah, Pustaka Kartini, i992
Taufik Adnan Amal dan Syamsul Rizal Panggabean, Tafsir Kontektual Alquran
Sebuah Kerangka Konseptual, Bandung, Mizan, 1990
Fazlur Rahman, Islam Second Edition, Chicago And London, Universit of Chicago
Press, 1979
Nurcholish Madjid, Kontektualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta, Yayasan
Paramadina, 1994
Ismail R. Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam : Menjelajah Khazanah Peradaban Islam, alih
bahasa, Ilyas Hasan, Mizan, 2001
Abu Bakar ‘Abd Allah ibn Abi Dawud, Kitab al-Mashahif, Kairo, 1936
Ibnu Hajar al-‘Asy Qalani, Fath al-Bari, Kairo, 1939
Tidak ada komentar:
Posting Komentar